H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
Wacana Menambah Masa Jabatan Presiden, Syahwat Berkuasa Para Penguasa
Desmond J. Mahesa
Jakarta, law-justice.co - Wacana penambahan masa jabatan presiden akhir akhir ini kembali mengemuka. Wacana ini muncul seiring dengan usul amandemen terhadap Undang Undang Dasar 1945. Masa jabatan presiden yang sekarang maksimal dua periode, diusulkan untuk di ubah periodenya.
Usulan pertama adalah perlu penambahan periodisasi masa jabatan presiden dari dua menjadi tiga periode agar keberlanjutan program pembangunan dapat dituntaskan tuntas pelaksanannya.
Usulan kedua bukan penambahan periode, namun penambahan tahun dari 5 tahun menjadi 8 tahun agar masa kepemimpinan hanya satu periode saja tapi panjang durasinya. Dengan model ini, seorang presiden dapat melaksanakan visi dan misi secara tuntas tanpa berpikir untuk maju kembali di perode berikutnya.
Jika usulan tersebut (khususnya usulan pertama) diterima, maka perubahan periode masa jabatan presiden ini memungkinkan Presiden Joko Widodo untuk menjabat untuk periode yang ketiga kalinya.
Seolah olah merespons wacana perubahan masa jabatan presiden, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut ada wacana yang sedang digodok pemerintah dan DPR RI untuk mengundur pilkada serentak tahun 2024 ke tahun 2027.
Komisioner KPU Ilham Saputra mengatakan wacana itu saat ini sedang digodok oleh pemerintah dan DPR RI dalam proses revisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Sepertinya akan diundur lagi pilkada dan pemilu serentaknya pada 2027," kata Ilham dalam Seminar Nasional "Mewujudkan Kualitas Pilkada Serentak Tahun 2020 di Era New Normal", Selasa (23/6 sebagaimana dikutip cnn.indonesia.
Siapa sebenarnya yang mengusulkan wacana perubahan periode masa jabatan presiden Indonesia ?. Adakah urgensinya ? Apakah usulan perpanjangna masa jabatan presiden itu baru kali ini saja terjadinya ?. Untuk apa harus lama berkuasa ? Demi kepentingan siapakah kiranya usulan perpanjangan periode masa jabatan presiden Indonesia ?
Siapa Pengusulnya ?
Jika jadi diamendemen, perubahan periode masa jabatan presiden ini memungkinkan Presiden Joko Widodo menjabat untuk periode berikutnya. Wakil Ketua MPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menyampaikan adanya wacana itu di MPR terkait dengan agenda untuk amandemen UUD 1945.
Arsul mengatakan selain periode 3x5 tahun, ada pula yang mengusulkan perubahan 1x8 tahun. "Ya, itu kan baru wacana ya. Ada juga wacana yang lain," kata Arsul, Kamis, 21 November 2019 di Kompleks DPR RI Senayan Jakarta .
Arsul awalnya masih enggan menegaskan siapa pengusulnya namun belakangan, ia mengatakan usulan ini muncul dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi NasDem cuma tidak disebut siapa sebenarnyanya nama anggota DPR yang dimaksudkannya. Kuat dugaan bahwa nama pengusul wacana ini adalah Johnny Plate yang saat ini menjabat sebagai salah seorang Menteri di pemerintahan yang sekarang berkuasa.
Bahkan ia menyarankan agar masa jabatan presiden diperpanjang dengan opsi menjadi 3x4 tahun, atau 3x5 tahun lamanya. Ketika dikonfirmasi Johnny membantah usulan ini datang dari usulan pribadinya. Ia mengatakan usul ini datang dari masyarakat, meski ia tak menyebutkan masyarakat mana yang dimaksudkannya.
Usulan penambahan masa jabatan presiden juga disampaikan oleh mantan Kepala BIN Jenderal (Purn) AM Hendropriyono yang mengusulkan masa jabatan presiden dan kepala daerah di Indonesia ditambah, dari lima tahun menjadi delapan tahun lamanya.
Hendropriyono beralasan, mahalnya biaya pemilihan umum yang kian naik dari periode ke periode, menjadi salah satu dasar dari usulannya. Selain itu, kata Hendropriyono, usulan jabatan presiden ditambah jadi delapan tahun, juga untuk menghindari konflik antar-pendukung seperti yang terjadi pasca-Pilpres 2019 yang menimbulkan banyak korban jiwa.
"Saya usul dan tampaknya ketua DPR RI cocok pikirannya, bahwa tenggang waktu presiden dan kepala daerah itu delapan tahun.", katanya di Jakarta 13/7/19 sebagaimana dikutip wartakota.com
Sementara itu Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid membantah pemberitaan yang menyebutkan bahwa MPR mengusulkan masa jabatan presiden hingga 8 tahun lamanya. Ia menyebut yang mengusung wacana tersebut justru pihak di luar MPR sana.
“Yang usulkan seperti itu pihak di luar MPR.” ujarnya di akun resminya @hnurwahid, Rabu(24/6). “Sikap MPR sangat jelas, yaitu mengikuti aturan yang sudah ada dalam UUD 1945. Bahwa masa jabatan presiden hanya 5 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali saja,” tegasnya.
Senada dengan Hidyat Nurwahid, Ketua MPR lain Bambang Soesatyo juga menyebutkan bahwa perubahan jabatan presiden ini bukan berasal dari MPR namun berasal dari aspirasi masyarakat.
Hanya saja Bambang tidak menjelaskan masyarakat mana yang dimaksudkannya.Dalam hal ini sepertinya masyarakat telah menjadi kambing hitam dari pernyataan pejabat publik. Padahal wacana ini bergulir tanpa adanya kajian mendalam.
Yang jelas usulan penambahan periode masa jabatan presiden ini telah memantik reaksi beberapa partai politik. Partai Gerindra misalnya, melalui Ketua Fraksi Gerindra di MPR Ahmad Riza Patria mengatakan, dua periode masa kepemimpinan adalah periode yang ideal untuk masa jabatan presiden.
Dia menilai keputusan itu final karena sudah diatur dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945. "Kalau masa jabatan, saya kira sudah final ya kan, dua periode," kata Riza di Kompleks Parlemen pada Kamis, 21 November 2019.
Pendapat yang agak abu-abu disampaikan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani mengklaim pihaknya belum memikirkan usulan untuk mengubah masa jabatan presiden meski dia yang pertama kali mengungkapkan wacana tersebut.
"Ini ada yang menyampaikan seperti ini (penambahan masa jabatan), kalau tidak salah mulai dari anggota DPR dari Fraksi NasDem," kata Arsul di Kompleks Parlemen pada Jumat, 22 November 2019.
Dia mengatakan, PPP berpandangan masa jabatan presiden maksimal dua periode seperti diatur dalam UUD 1945 bukan sebuah hal yang buruk. Arsul menegaskan bahwa PPP belum berpikir untuk menyetujui penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
"PPP melihat bahwa soal dua periode yang ada sekarang ini juga bukan sesuatu yang jelek. Rasanya kalau menambah belum berpikir ke sana PPP," imbuh Sekjen PPP itu.
Pendapat berbeda disampaikan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). PSI mengusulkan ide tujuh tahun masa jabatan presiden, tapi dibatasi hanya satu periode. Ketua DPP PSI Tsamara Amany mengatakan jika hanya satu periode, setiap presiden akan bekerja semaksimal mungkin.
Masa jabatan satu periode, kata dia, akan membuat presiden terlepas dari tekanan politik jangka pendek, lebih fokus untuk melahirkan kebijakan terbaik. Politik akan terbebas dari pragmatisme. "Fokus bekerja buat rakyat dan tak memikirkan pemilu berikutnya,” kata Tsamara dalam keterangan pers, Kamis 21 November 2019.
Penolakan masa perpanjangan jabatan presiden juga disampaikan oleh Partai Demokrat. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Fraksi Partai Demokrat Syarif Hasan menilai tak ada urgensi penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Syarif mengatakan saat ini badan kajian yang akan mendalami hal tersebut masih dalam taraf penyempurnaan. Maka terlalu dini untuk menilai itu sekarang. “Saya pikir sudah cukup dua kali lima tahun, tidak ada urgensinya, dan belum ada pemikiran sampai sejauh itu,” kata Syarif di Kompleks Parlemen pada Jumat 22 November 2019.
Lalu bagaimana dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ? Wakil Ketua MPR Fraksi PDIP Ahmad Basarah menolak amandemen UUD 195 yang mengutak-atik masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Basarah menilai tak perlu ada yang diubah dari masa jabatan presiden yang sudah berlaku saat ini, yakni 2x5 tahun. "Sudah sejak dulu masa jabatan lima tahun. Itu sudah cukup untuk mewujudkan konsepsi pembangunan di janji politik," katanya di Kompleks Parlemen pada Kamis, 21 November 2019.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Partai Golkar. Tokoh senior Partai Golkar, Andi Mattalata menilai wacana 3 periode masa jabatan presiden dapat mengarah pada kekuasaan otoritarian.
Menurutnya, pembatasan masa jabatan presiden seperti sekarang merupakan esensi utama reformasi dan amandemen. Jika perpanjangan masa jabatan presiden terealisasi, dia khawatir akan membuat presiden cenderung memerintah secara otoriter. "Tidak ada urgensinya," ujar Andi di kantor Jenggala Center, Jakarta, Jumat 22 November 2019.
Ternyata hampir semua partai politik menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode alias 15 tahun sebagaimana yang ramai dibicarakan akhir akhir ini.
Tapi yang namanya pendapat partai bisa saja berubah sewaktu waktu mengikuti situasi dan perkembangan yang terjadi. Sebab sudah jamak terjadi dimana partai politik yang awalnya getol menolak tiba tiba saja bisa menyetujui suatu kebijakan yang bersifat kontroversi.
Sebenarnya upaya menambah masa jabatan presiden ini sudah terjadi bukan pada era Presiden Jokowi saja. Jauh sebelumnya pada masa orde lama Presiden Sukarno pernah mengangkat diri sebagai presiden seumur hidup.
Pada masa orde baru dibawah Soeharto berupaya memperpanjang masa berkuasanya dengan memanfaatkan Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebelum amandemen yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Karena tidak adanya batasan pada pasal ini, Soeharto terpilih hingga enam periode atau 32 tahun berkuasa.
Wacana memperpanjang masa jabatan presiden juga pernah muncul dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada periode kedua, ketika ia berhasil membangun koalisi dengan mayoritas parlemen, usulan tiga periode juga sempat mengemuka. Baik pada masa SBY maupun Jokowi, dapat kita simpulkan bahwa konsolidasi elite politik berpotensi memunculkan kebijakan yang berbahaya bagi demokrasi.
Adakah Urgensinya ?
Mantan Kepala BIN Jenderal (Purn) AM Hendropriyono menilai perpanjangan masa jabatan presiden akan membuat pemerintah dan rakyat menjadi kuat. Presiden atau kepala daerah pun, lanjutnya, akan lebih fokus dalam bekerja karena tidak terganggu jadwal kampanye lantaran berkompetisi di pilpres dengan status calon petahana.
"Jadi delapan tahun itu pemerintah kuat dan rakyat kuat. Tidak ada yang menggergaji pemerintah. Pemerintah tidak sewenang-wenang, tidak berkampanye, kerja saja delapan tahun yang betul," kata eks Kepala Badan Intelijen Negara (Ka BIN) itu.
Menurut ahli hukum tata negara Refly Harun, perubahan masa jabatan presiden akan berdampak pada kinerjanya. Menurutnya, masa jabatan presiden lima tahun dan bisa dipilih kembali menimbulkan berbagai persoalan. Misalnya, dari sisi perwujudan pemilu yang jujur dan adil.
Petahana, kata dia, berpotensi menyalahgunakan kewenangannya agar bisa terpilih kembali di periode berikutnya. "Misalnya, menyalahgunakan aparatur negara, termasuk misalnya soal netralitas TNI Polri BIN dan ASN.``, katanya.
Secara empiris, memang ada negara yang memberlakukan periode masa jabatan presiden sebanyak tiga kali. Namun, hanya dua negara, yaitu Vietnam (3 periode, 5 tahunan) dan Kiribati (3 periode, 4 tahunan). Negara-negara dengan periode jabatan tujuh tahun sebanyak 11 negara, baik yang hanya sekali, dua kali, maupun tidak terbatas periode jabatan.
Sementara itu, sebagian besar negara memberlakukannya maksimal dua periode, baik 4 tahunan maupun 5 tahunan (list of political term limits, wikipedia). Namun, tidak ada satu pun negara yang memberlakukan masa jabatan presiden 8 tahun dalam sekali periode.
Selain ada sisi positifnya, perpanjangan masa jabatan presiden dinilai lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang, mengatakan penambahan masa jabatan presiden akan membuka ruang terjadinya otoritarianisme.
"Menurut saya, menambah periode masa jabatan presiden sama artinya dengan membuka ruang terjadinya otoritarianisme, karena semakin lama kekuasaan di tangan satu orang, cenderung melakukan monopoli secara paksa," katanya, Jumat (29/11) sebagaimana dikutip republika.
Menurut dia, di tangan kekuasaan eksekutif akan menentukan distribusi sumber daya kekuasaan sehingga yang muncul adalah otoriter dan korup. Oleh karena itu, kata dia, penambahan periode masa jabatan presiden justru akan menciptakan anomali kekuasaan dan anomali demokrasi.
Bill Gelfeld, professor Hubungan Internasional di Universidad San Francisco de Quito, Ecuador, dalam disertasinya yang berjudul “Preventing Deviations from Presidential Term Limits in Low and Middle Income Democracies”, menyebutkan bahwa alih-alih membawa kemajuan, studi di berbagai negara menunjukkan bagaimana penyimpangan terhadap masa jabatan presiden justru berdampak negative pada kehidupan demokrasi dan ekonomi.
Pada enam negara pecahan Soviet, yakni Kazakstan, Uzbekistan, Azerbaijan, Turkmenistan, Rusia, dan Tajikistan, ia mencatat, misalnya, Pendapatan Domestik Bruto per kapita menurun dua tahun setelah masa jabatan presiden diperpanjang.
Ia juga mencatat aspek hak politik mengalami kemunduran setelah empat tahun perpanjangan masa jabatan presiden dan aspek kebebasan sipil mengalami kemunduran setelah 5-10 tahun.
Petahana memang cenderung tergoda untuk memperpanjang masa kekuasaannya. Di seluruh dunia, upaya-upaya serupa juga berlangsung dan diusulkan oleh kelompok mayoritas.
Keinginan petahana untuk memperpanjang masa kekuasaan ini muncul karena mereka memiliki sumber daya yang dikumpulkan selama menjabat, sehingga memiliki kesempatan lebih besar untuk memenangkan pemilu berikutnya.
Di Cina, pada Maret 2018 Kongres Rakyat Nasional sepakat untuk menghapus masa jabatan presiden. Berdasarkan keputusan ini maka Xi Jinping menjadi presiden seumur hidup.
Masih pada tahun 2018, Vladimir Putin di Rusia juga memenangkan pemilu untuk keempat kalinya setelah mengubah konstitusi.Beberapa negara berhaluan sosialis/komunis seperti Kuba dan Korea Utara juga mempraktikkan masa jabatan presiden tak terbatas.
Di Amerika Selatan, Bolivia telah mengubah masa jabatan presiden dari sebelumnya maksimal tiga periode menjadi empat periode. Perubahan konstitusi ini menjadi alat Evo Morales untuk bertarung kembali pada pemilihan presiden 2019.
Namun berbeda dengan keberhasilan pemimpin sosialis lain, kekuatan rakyat dan militer bekerjasama mengagalkan Morales karena kecurangan pemilu.
Otak-atik batasan masa jabatan ini meski terjadi pada negara-negara sosialis, namun lebih banyak terjadi di negara-negara yang secara ekonomi lemah seperti negara-negara Afrika, dibandingkan pada negara dengan ekonomi maju.
Negara-negara di Afrika seperti Burundi, Rwanda, Togo, Republik Kongo, Sudan, Eritrea, dan Republik Demokratik Kongo juga mengubah batasan masa jabatan presiden mereka.Bahkan, negara-negara seperti Ethiopia, Gambia, Lesotho, dan Maroko tidak pernah memperkenalkan batasan masa jabatan presiden.
Negara negara yang menerapkan masa jabatan presiden yang panjang seperti Vietnam dan Kiribati apabila dikaitkan dengan kualitas pelembagaan demokrasi, ternyata kedua negara itu rendah peringkatnya.
Vietnam bahkan masuk kategori otoritarian dalam Indeks Demokrasi Dunia versi The Economist Intelligence Unit (IEU) 2018 dengan menempati peringkat ke-139. Sementara itu, Kiribati malah tidak tercakup dalam pengindeksan tersebut. Indonesia justru berada di peringkat ke-65 di antara 167 negara dan terkategori dalam demokrasi belum penuh (flawed democracy).
Indeks demokrasi tersebut mengukur lima kategori besar, yaitu proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi-fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik.
Lebih lanjut, referensi empiris lainnya dari Freedom House yang merilis Indeks Kebebasan Dunia setiap tahun. Dua indikator besar yang diukur adalah hak-hak politik dan kebebasan sipil dengan status bebas, sebagian bebas, dan tidak bebas.
Hasilnya, Indonesia memiliki skor 64 dengan status sebagian bebas (partly free). Sementara itu, Kiribati mendapat skor 93 dengan status bebas (free) dan Vietnam memperoleh skor 20 dengan status tidak bebas (not free).
Secara tidak langsung, alasan empiris untuk wacana menambah periode kepemimpinan hingga tiga periode membandingkan dengan Vietnam maupun Kiribati masih belum meyakinkan.
Kalaupun Kiribati dalam Indeks Kebebasan Dunia menempati peringkat di atas Indonesia, masa jabatan kepresidenannya hanya empat tahun. Sementara itu, Vietnam jelas berada di bawah Indonesia dalam hal kualitas demokrasi sehingga tidak layak dijadikan acuan.
Berkaca dari sejarah para pemimpin kelas dunia, Nelson Mandela dari Afrika Selatan, misalnya. Betapapun rakyatnya menginginkannya untuk mempimpin lagi, dia tetap berkomitmen satu periode saja.
Atau Presiden Barack Obama, yang di akhir-akhir masa jabatannya periode kedua publik kerap meneriakkan ’’four more years!’’ kepadanya. Namun, dia tidak menghiraukan itu.
Hal itu terjadi setelah mereka mengalami pengalaman buruk yaitu ketika Presiden Franklin Delano Rosevelt terpilih hingga empat kali dan melanggar kesepakatan tidak tertulis yang dimulai sejak George Washington untuk memerintah maskimal dua periode (Maltz, 2007).
Di Indonesia, memori terhadap kesewenang-wenangan Orde Lama dan Orde Baru belum juga hilang, sehingga upaya-upaya memperpanjang masa jabatan presiden justru mencederai reformasi.Apalagi studi Gelfeld juga telah menyebutkan bahwa perpanjangan masa jabatan presiden tidak berhubungan dengan kemajuan suatu negara.
Dengan demikian, aneh bila Indonesia yang memiliki pengalaman buruk masa jabatan Presiden yang terlalu lama pada Orde Lama dan orde Baru, dan mengubahnya pada perubahan pertama, kini justru ingin memperpanjang kembali masa jabatan Presidennya.
Oleh karena itu pemikiran untuk memperpanjang masa jabatan presiden Indonesia melalui amandemen UUD 1945 perlu dipikirkan dengan matang supaya tidak menyesal pada akhirnya. Karena sesal kemudian tiada guna.
Berdasarkan kajian dari Institute For Democracy and Electoral Assistance (IDEA) tahun 2017, perubahan konstitusi seharusnya ditujukan untuk tiga hal. Pertama, untuk penyesuaian lingkungan sebagai syarat bekerjanya sistem politik, seperti karena adanya perubahan ekonomi, teknologi, hubungan internasional, demografi, dan jumlah penduduk. Kedua, untuk mengoreksi ketentuan yang sudah usang. Ketiga, untuk meningkatkan jaminan hak konstitusional atau memperkuat pelembagaan demokrasi.
Saat ini kiranya tidak terdapat satupun alasan tersebut di atas dalam wacana perubahan UUD 1945 terkait masa jabatan Presiden. Yang terlihat justru adanya pihak yang ingin bermain-main dengan isu ini. Terlebih, mengingat MPR tidak lagi memiliki pekerjaan utama pasca Perubahan UUD 1945.
Bila alasan perubahan konstitusi hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi maupun partisan, maka sebagaimana kajian IDEA, justru hal itu akan melemahkan atau bahkan merusak demokrasi. Dengan demikian, selain wacana perpanjangan masa jabatan sebagai hal yang tidak urgen, hal tersebut juga merupakan langkah mundur dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.
Dengan adanya perpanjangan masa jabatan presiden secara normatif potensial menyumbat proses sirkulasi kepemimpinan, memusatkan kekuatan dan sumber daya politik, khususnya bagi petahana yang pada gilirannya bisa menjerembapkan demokrasi dalam kubangan oligarki, bahkan otoritarianisme.
Oleh karena itu perubahan UUD, atau konstitusi sudah seharusnya berasal dari aspirasi masyarakat sehingga menjadi nilai bersama yang disepakati masyarakat. Bila perubahan macam demikian yang ditempuh, maka masyarakat akan merasa memiliki dan merawat konstitusi yang dihasilkan, sehingga nilai-nilai konstitusi benar-benar hidup dan tumbuh di masyarakat, atau yang dikenal dengan”the living constitution.”
Perubahan konstitusi yang bersifat top-down, ditentukan oleh elit untuk masyarakat, justru akan menjadikan konstitusi, yang merupakan “kitab suci” dalam bernegara, tercerabut dari akarnya.
Tampaknya akan lebih bijak bila organ-organ kekuasaan negara yang ada saat ini lebih fokus untuk menjalankan amanah kekuasaan yang dipegangnya dalam mencapai tujuan negara yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyatnya secara adil dan merata.
Sampai lima tahun mendatang lebih fokus pada upaya pembangunan manusia berkualitas, peningkatan daya saing bangsa, penyelesaian permasalahan ekonomi, kesehatan, korupsi, Hak Asasi Manusia, dan sebagainya.
Langkah dan kebijakan seperti ini jauh akan lebih bermakna ketimbang sibuk memikirkan perpanjangan masa jabatan presiden yang kental orientasi kekuasaannya.
Karena amanah inilah yang nanti akan dipertanggungjawabakan bukan saja di dunia tapi juga di akherat kelak setelah meninggal dunia. Semoga saja Presiden Joko Widodo konsisten dengan ucapannya dan tidak terpengaruh orang disekiratnya yang sedang cari muka.
Untuk Apa Lama Berkuasa ?
Alhasil munculnya usulan perpanjangan masa jabata presiden pada akhirnya dipahami oleh masyarakat sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah yang sedang berkuasa.
Bisa dipahami mengapa orang yang sedang berkuasa cenderung mempertahankan kekuasaannya. Karena melihat dunia dari atas itu sungguh indah. Seperti ketika kita sedang berada diatas gunung dan memandang rumah-rumah penduduk di kaki gunung, semuanya tampak kecil seperti miniatur yang bisa dikendalikan dengan mudah.
Mungkin inilah cara berfikir mereka yang sedang berada di posisi penguasa. Mereka akan senantiasa menghalalkan segala macam cara agar kesempatan untuk melihat pemandangan indah ini terus bisa dinikmatinya.
Dari atas, rumah-rumah seperti mainan dan orang-orang seperti boneka. Mereka yang ada di atas kemudian menganggap bahwa semua orang selain dirinya adalah boneka yang siap dikendalikannya.
Mereka pikir, bahwa ini adalah sebuah keniscayaan dan memang begitulah adanya. Yang diatas mengendalikan yang dibawah. Yang dibawah sudah selayaknya harus dikendalikan oleh yang diatasnya.
Semua orang beramai-ramai untuk bisa duduk dipuncak kekuasaan dan menikmatinya. Semua orang beramai-ramai untuk menjadi pengendali dan tidak ada yang ingin dikendalikan alias menjadi rakyat jelata.
Semua orang ingin melihat indahnya pemandangan dipuncak secara langsung agar terpenuhi ambisinya. Apabila ada orang yang mencoba untuk merebut tempat itu, maka penguasa pasti akan menendangnya sampai jatuh tak berdaya. Sampai tidak sanggup lagi untuk bangkit dan mencoba untuk meraih impiannya.
Ada falsafah nyeleneh tentang kuasaan ini dimana dikatakan bahwa bahwa orang yang : lama duduk (berkuasa) , akan lupa berdiri meninggalkan kursi empuknya. Realitas ini dapat ditemukan dalam kehidupan politik atau organisasi termasuk posisi tertinggi sebagai seorang Presiden atau kepala negara.
Fenomena ini pula yang terjadi pada beberapa pemimpin di dunia. Sejumlah tokoh dan negarawan dunia mencengkeramkan kekuasaannya dalam jangka waktu cukup lama. Biasanya mereka cenderung memimpin secara dictatorial bak seorang raja.
Dalam perubahan dunia yang semakin demokratis, orang jadi teringat bagaimana syahwat kekuasaan berlangsung dalam sejarah pemerintahan dunia. Benarlah kata sebuah adagium bahwa kekuasaan itu adalah ganja.
Sekali orang menikmati kursi kekuasaan itu, biasanya cenderung untuk terus berlanjut sampai tua. Hal ini sangat dirasakan dalam proses kudeta kekuasaan di sejumlah Negara. Itulah hakikat watak dasar manusia yang selalu haus dalam memenuhi syahwat kekuasaannya.
Sebagai contoh bagaimana pemimpin, Moammar Khadafi akhirnya tewas di ujung kekuasaannya yang perkasa. Orang kuat Libya yang berkuasa selama 42 tahun itu terbunuh di tangan musuhnya yang berasal dari kolaborasi tentara NATO dan kelompok oposisi yang sudah lama memusuhinya. Tewasnya Khadafi disambut gembira kelompok rakyat opissi dan musuh-musuh politiknya.
Dalam sejarah, tercatat sekurangnya ada sepuluh pemimpin negara dunia yang paling lama berkuasa. Hampir para penguasa terlama itu merupakan dinasti kerajaan di antaranya Raja Thailand Bhumibol Adulyadej berkuasa selama 71 tahun (9 Juni 1946 s.d wafat), Ratu Inggeris Elizabeth II (65 tahun - 6 Februari 1952 s.d sekarang), Sultan Brunei, Hasanal Bolkiah (49 tahun - 5 Oktober 1967 s.d sekarang), Ratu Denmark, Margrethe II (45 tahun - 14 Januari 1972 s.d sekarang), Raja Swedia, Carl XVI Gustaf (43 tahun- 15 September 1973 s.d sekarang), Raja Spanyol dan Juan Carlos (40 tahun -22 November 1975 s.d sekarang).
Sedangkan penguasa dunia yang bukan dari keturunan kerajaan atau dari kalangan rakyat biasa, yang terlama ditempati oleh Moammar Khadafi (43 tahun- 1 September 1969 s.d wafat).
Selanjutnya diikuti oleh Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh (33 tahun- 18 Juli 1978 s.d masa tumbangnya), Presiden New Guinea, Teodoro Obiang Mbasogo (39 tahun- 3 Agustus 1979) dan terakhir Presiden Indonesia, Soeharto (32 tahun –setelah diturunkan mahasiswa).
Dalam konsep kekuasaan rakyat (demokrasi), pembatasan lama berkuasa merupakan pilihan paling ideal sebagai acuan bernegara . Maksudnya agar kekuasaan pemerintahan itu tidak terperangkap dalam diktatorial atau fasis maka harus dibatasi periodenya. Kekuasaan yang terlalu lama tentu saja akan berdampak buruk terhadap peradaban karena cenderung akan diselewengkan oleh penguasa.
Kekuasaan yang ideal hendaklah didapatkan melalui mekanisme demokrasi yang menempatkan kekuasaan tersebut berada di tangan rakyat yang menjadi pemilik kekuasaan sebenarnya.
Pantaslah adagium demokrasi itu berbunyi : suara rakyat, suara Tuhan Yang Maha Kuasa. Tata negara dan tata pemerintahan di hampir semua negara telah membuat aturan main pembatasan kekuasaan negara. Pola yang sama biasanya berlaku mulai dari posisi kepala negara atau kepala pemerintahan hingga jajaran di bawahnya seperti gubernur, bupati/ walikota hingga kepala desa.
Namun, sejarah kekuasaan selalu mengalami deviasi atau penyimpangan-penyimpangan dalam prakteknya. Betapa pun hebatnya peraturan yang sudah dibuat para wakil rakyat (legilastif) namun selalu ada celah bagi orang-orang yang cerdik (tricky) untuk menerobosnya. Tentu saja, orang-orang seperti inilah yang memiliki syahwat kekuasaan agar bisa memimpin lebih lama.
Seseorang yang berkuasa terlalu lama biasanya menemukan comfort zone (wilayah nyaman) biasanya selalu berusaha mempertahankan status quo. Artinya seseorang itu sudah faham betul bagaimana memainkan peranan dalam situasi kekuasaan yang berada di tangannya. Penguasa seperti ini sudah memagari diri dengan strategi dan lapisan barikade para loyalis yang siap berjibaku menopang kekuasaannya.
Lama berkuasa bermakna semakin terjamin pula masa depan yang panjang dari aspek ekonomi atau pemenuhan kebutuhan kebutuhannya. Hal ini sebenarnya sudah ditengarai oleh adagium-adagium lain, salah satu ungkapan paling populer sebagaimana dikemukakan Lord Acton: Power tend to corrupt (kekuasaan cenderung korup).
Itulah sebabnya, ketika seorang penguasa baik di sebuah negara atau organisasi begitu mengakhiri masa kekuasaannya yang terlalu lama selalu menyisakan kasus korupsi atau penyimpangan kekuasaan yang berujung pada memperkaya diri sendiri dan keluarganya.
Ingat saja, bagaimana ketika Ferdinand Marcos di Filipina, Saddam Hussein di Irak atau Hosni Mubarak di Mesir hingga Soeharto ketika mengakhiri kekuasaannya, ditanggapi rakyat dengan penuh kebencian dan pandangan nista.
Bahkan rakyat mendesak pihak berkuasa sesudahnya untuk mengaudit kekayaan atau mengadili kesalahan kesalahannya. Begitulah pembalasan rakyat atas kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh penguasa yang dipandang zalim selama memegang kekuasaaanya.
Dalam perjalanan sejarah, banyak tokoh yang memulai kekuasaan dengan prestasi yang membanggakan rakyatnya. Namun di saat mengakhir kekuasaannya berakhir dengan duka lara.
Sialnya lagi, sering orang-orang yang awalnya begitu dekat selama ia berkuasa, tiba-tiba berbalik jadi musuh yang siap menginjak-injaknya. Begitu tragedi kekuasaan bisa berlaku secara tak terduga.
Oleh karena itulah kekuasaan memang harus dibatasi masa atau periodenya. Kekuasaan harus ada yang mengawasi agar tak terjebak pada kesewenang-wenangan yang dapat membuat rakyat menderita.
Kekuasaan yang berlebihan dipastikan akan menimbulkan mudharat yang luar biasa. Jangan sampai kekuasaan menjadi jembatan menuju kehinaan setelah kekuasaan tak lagi ada di tangannya.
Oleh karena itu kepada para penguasa yang ingin memperpanjang kekuasaannya, ambil hikmah pada penguasa yang sudah tiada. Buat apa lama lama berkuasa kalau akhirnya kehinaan yang didapatnya ?. Ingatlah kata pepatan :: harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama baiknya.
Apalagi kalau kekuasaan itu telah didapatnya dengan cara curang dengan melabrak ketentuan hukum dan etika yang ada. Apalagi kalau kekuasaan yang didapat sekarang tidak berimbas pada upaya untuk mencapai tujuan bernegara yaitu melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.
Harus bisa bercermin diri untuk tidak memikirkan perpanjangan kekuasannya apalagi kalau prestasinya tidak ada. Daripada tetap nangkring di kekuasaan tapi hari harinya jadi bahan cacian dan makian rakyatnya akan lebih baik kalau sadar diri untuk tidak lagi berpikir memperpanjang kekuasaanya meskipun potensi itu tetap terbuka.
Apa Motivasinya ?
Jika usulan perpanjangan masa jabatan presiden sulit ditemukan ugensinya dan lebih banyak mudharatnya maka munculnya usulan perpanjangan masa jabatan presiden, dapat dianggap sebagai jalan memuluskan penguatan oligarki semata, yang secara jangka panjang dapat mengancam kelestarian demokrasi.
Sebagai suatu sistem yang dinamis, demokrasi menggantungkan harapan pada aktor utama yaitu masyarakat sipil. Oleh karenanya para aktor masyarakat sipil harus berperan mengamankan demokrasi melalui kontrol politik yang berkelanjutan, agar potensi penyelewengan demokrasi semacam ini dapat dihindari.
Secara substantif, memang wacana untuk menambah masa maupun periode jabatan presiden bisa dilakukan melalui prosedur demokratis, amendemen UUD 1945 misalnya.
Namun, logika tersebut justru berpotensi menabrak fatsun politik demokrasi itu sendiri. Bahwa demokrasi tiada lain adalah membatasi kekuasaan sehingga dapat tersebar (bukan memusat) dan terdistribusi secara seimbang. Baik secara vertikal, dari generasi sekarang kepada generasi mendatang, maupun horizontal, yakni di antara kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Kiranya patut diwaspadai adanya kelompok kelompok dalang yang menginginkan tetap berkuasanya seorang Presiden atau kepala Negara untuk menjaga kepentingan bisnis dan politiknya. Mereka itu sesungguhnya adalah kelompok orang yang biasa menggunakan instrument hukum dan jabatan untuk menjaga kepentingannya.
Bisa jadi yang berambisi untuk memperpanjang masa jabatannya itu bukan presiden atau kepala negara yang sedang berkuasa melainkan orang orang disekitarnya. Apalagi kalau presiden yang berkuasa itu presiden boneka maka keberadaannya sangat tergantung pada orang orang disekitarnya.
Sehingga yang berambisi sebenarnya bukan presidennya tapi kroni kroninya. Karena kuatir kepentingan politik dan ekonominya terganggu kalau presiden yang didukung mengakhiri kekuasaannya maka ia akhirnya berupaya membangun jalan bagaimana supaya kekuasaan presiden yang di dukungnya langgeng selama lamanya.
Watak seperti itulah yang patut diwaspadai karena mereka itu adalah segerombolan orang yang biasanya sudah mati hati sanubarinya. Tidak peduli dengan prestasi presiden yang di dukungnya yang penting terjaga kepentingannya pada hal rakyat yang nanti akan menjadi korbannya.
Apakah usulan adanya penambahan presiden menjadi tiga periode ini sesungguhnya merupakan upaya pihak pihak tertentu untuk menjadikan presiden boneka tetap eksis di kursinya ?. Mungkin hanya mereka yang punya gagasan memperpanjang masa jabatan presiden yang bisa menjawabnya.
Komentar