H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

RUU HIP, Asas Tunggal Pancasila Jilid II Versi Penguasa?

Kamis, 25/06/2020 11:29 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) makin meluas hampir diseluruh Indonesia. Penolakan itu semakin meluas setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan maklumat menolak tegas RUU HIP, yang kemudian diikuti oleh berbagai kelompok dan elemen masyarakat lainnya.

Penolakan itu tidak hanya diwujudkan dalam bentuk maklumat atau pernyataan sikap saja tetapi sudah mengarah pada aksi aksi massa yang turun ke jalan menyampaikan aspirasinya.

Salah satu demo besar digelar di depan Gedung DPR RI yang melibatkan ribuan massa yang dikomandani langsung oleh pimpinan Malelis Ulama Indonesia.

Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama Yusuf Muhammad Martak menegaskan alasan ribuan massa melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Rabu (24/6/2020).

Mereka meminta supaya RUU HIP ditarik dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) karena dianggap tidak ada urgensinya dan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara.

"Ini bukan main-main ini bukan haluan, ini dasar negara ini harus kita jaga dasar negara. Kalau imam besar kita mengatakan kalau hanya pilar, pilar itu terbatas. Kalau dasar, pondasi harus kokoh," katanya sebagaimana dikutip wartakota.

Penolakan terhadap RUU HIP ini memang tak sekadar ingin menjaga Pancasila sebagai dasar negara saja tetapi banyak juga yang curiga munculnya RUU HIP untuk menghidupkan kembali paham komunis Komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia pada hal Tap MPRS No.XXV tahun 1966 telah melarangnya.

Bukan hanya itu, munculnya RUU HIP juga dicurigai sebagai upaya untuk menerapkan “asas tunggal” Pancasila jilid dua ala orde baru (Orba) menurut versi pemerintah yang sekarang berkuasa.

Apa sebenarnya asas tunggal Pancasila yang pernah populer dijaman Soeharto saat Orba berkuasa ?, Mengapa munculnya RUU HIP dicurigai sebagai upaya penerapan asas tunggal Pancasila versinya pemerintah yang sekarang berkuasa ?. Apakah kira kira agenda menjadikan agenda asas tunggal Pancasila versi penguasa ini akan bisa tercapai tujuannya ?

Mengenang Penerapan Asas Tunggal Pancasila

Pada era dekade 1980an, ketika Orba masih berkuasa, publik Indonesia diramaikan oleh wacana pemerintah Indonesia yang menerapkan asas tunggal Pancasila. Namanya juga asas tunggal yang artinya tidak ada asas lain selain daripada Pancasila.Kalaupun ada asas yang lain, maka asas itu tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.

Pokoknya, Pancasila berada di atas segalanya. Yang lain ada di bawahnya, termasuk Islam sebagai agama mayotitas yang dipeluk masyarakat Indonesia.
Pada awal kekuasaannya, Soeharto berusaha meyakinkan bahwa rezim baru ini adalah pewaris sah dari presiden pertama.

Dari khasanah ideologis Sukarno, pemerintah baru ini mengambil Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara dan karena itu merupakan resep yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya.

Kekuasaan awal Orba sanggup memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap bentuk kudeta atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah salah dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya.

Tampaknya ‘propaganda’ itu berhasil sempurna , sehingga tampak jelas ketika rentang Oktober 1965 sampai awal 1966, terjadi peristiwa kekerasan massal yang luar biasa dasyatnya. Saat itu terjadi ‘pembantaian’ orang-orang yang dicurigai berafiliasi terhadap komunis dimana pembantaian itu seolah sah sah saja terbukti tidak ada yang menentangnya karena demi menjaga Pancasila.

Awal mula lahirnya gagasan asas tunggal Pancasila diyakini karena adanya peristiwa tanggal 18 Maret 1982. Saat itu meletus bentrokan antara para simpatisan PPP dan pendukung Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta.

Seperti api yang menjalar, kerusuhan segera merembet ke luar lapangan sehingga membuat panas suasana ibukota. Sejumlah toko, mobil, dan gedung dijarah massa. Buntutnya, 318 orang ditangkap, 274 orang di antaranya pelajar SD hingga SMA.

Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan di DPR, tanggal 16 Agustus 1982, menilai bentrokan itu terjadi karena adanya perbedaan ideology dalam berbangsa dan bernegara.

Ia ingin agar partai maupun organisasi kemasyarakatan menggunakan asas atau ideologi yang sama: Pancasila. Keinginan Soeharto itu kembali disuarakan dalam acara halalbihalal dengan perwira ABRI, 17 Juli 1983, ketika rapat dengan Pengurus Pusat Pepabri, 26 Juli 1983, dan saat menerima DPP KNPI di Bina Graha, 20 September 1983.

"Pancasila tidak akan mengurangi arti dan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan negara," ujarnya menegaskan dalam sebuah acara, Desember 1983, seperti tertuang dalam buku Sang Penjaga Tauhid: Studi Protes Tirani Kekuasaan 1982-1985. Soeharto yakin, tulis Fikrul Hanif Sufyan dalam buku itu, Pancasila sebagai asas politik dan kemasyarakatan, akan mampu menciptakan masyarakat yang sosialistis dan religius melalui asas tunggal Pancasila.

Menteri Agama Munawir Sjazali kala itu ikut meyakinkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Pancasila, kata Munawir, dalam rapat kerja dengan MUI, 5 Maret 1984, tak dapat disejajarkan dengan Islam, karena ia adalah asas hidup bersama yang disepakati dengan pemeluk agama lainnya.

Hal itu ditempuh karena banyak tokoh dan ulama yang menolak penerapan asas tunggal Pancasila, termasuk di kalangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Di lingkungan NU, ada sosok KH As`ad Syamsul Arifin yang berperan penting menjadikan NU sebagai ormas Islam yang pertama menerima asas tunggal Pancasila. Sebelum itu, As`ad menemui Soeharto di kediamannya, Jalan Cendana.

"Apa mau menerapkan Pancasila sebagai agama terus membuang Islam dan agama agama lain-lainnya? Kalau Pancasila ditempatkan sebagai agama, kita berpisah sampai di sini," kata As`ad menyampaikan aspirasi dan kegelisahan para kiai dengan tegas kepada Soeharto sang penguasa Orba.

Soeharto tersentak kaget tidak menduga sikap keras para pemuka agama. Ia menjamin Pancasila tidak akan dijadikan agama atau agama dijadikan Pancasila. Tapi Pancasila akan menjadi semacam pintu gerbang untuk masuknya semua agama, semua komponen bangsa, untuk bersama-sama membangun bangsa. "Agama ya agama, Pancasila ya Pancasila," timpalnya.

Dengan penjelasan tersebut, As`ad akhirnya bisa memakluminya. Ia menegaskan pendirian NU yang siap menerima Pancasila. Sebab, sejak semula NU memang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

"Islam wajib menerima Pancasila, dan haram hukumnya bila menolaknya. Sila pertama itu selaras dengan doktrin tauhid, qul huwallahu ahad (Katakanlah bahwa Dia adalah Allah, (Tuhan) Yang Maha Esa," tuturnya.

Penafsiran Pancasila pun harus dikaitkan dengan pembukaan UUD 1945 alinea ketiga: Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa. Karena itu, menurut As`ad, kita sebaiknya tidak memisahkan keyakinan tauhid umat Islam dengan pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Sebab, kalau umat Islam menafsirkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa berlainan dengan akidah tauhid, murtadlah dia!

Dukungan NU terhadap konsep asas tunggal Pancasila akhirnya diteguhkan dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984. Sementara itu Muhammadiyah, menjadi ormas terakhir yang menerima asas tunggal Pancasila.

Sebenarnya latar belakang lahirnya asas tunggal Pancasila bukan semata mata karena meletusnya peristiwa bentrok massa dilapangan Banteng Jakarta saja. Melainkan juga dilandasi oleh kekuatiran Soeharto terhadap kemungkinan bangkitnya paham komunis di Indonesia. Pemerintah Orba mencium gelagat bahwa bekas anggota PKI mencoba berlindung di balik retorika Marhaenisme yang selama ini menjadi ideologi dari Partai Demokrasi Indonesia.

Selain soal kemungkinan kebangkitan PKI, Soeharto juga mencium masih adanya aspirasi mengenai Piagam Jakarta. Semenjak mengambilalih kekuasaan, Soeharto bertekad untuk mengganti format politik lama dan sekaligus aturan mainnya. Salah satunya adalah Soeharto berusaha mencegah segala bentuk aspirasi mengenai pengembalian dan pemulihan Piagam Jakarta .

Pemerintah Orde Baru menyadari bahwa agama selain memiliki peranan integratif yang menimbulkan harmoni dalam masyarakat, dapat juga memiliki potensi disintegratif yang memecah belah bangsa. Agama khususnya Islam beserta partai politik Islam dan organisasi massa Islam dianggap oleh pemerintah Orde Baru memiliki potensi oposisi terhadap kekuasaannya.

Tekad penguasa Orba untuk menerapkan asas tunggal makin kuat setelah kemenangan Partai Persatuan Pembangunan tahun 1977 di Aceh dan dalam pemilihan umum di Jakarta. Demikian juga munculnya Peristiwa Komando Jihad seperti Peristiwa Pembajakan Pesawat Woyla tahun 1981 dan teror Warman tahun 1982.

Selain itu masih terjadinya konflik-konflik berlatar belakang atau berbau ideologis pada awal tahun 1980-an dan masih digunakannya politik identitas berdasarkan simbol-simbol keagamaan (baca : keislaman) menjadi pemicu penguasa Orba untuk menerapkan asas tunggal Pancasila.

Melalui penerapan asas tunggal Pancasila, pemerintah Orba berharap bisa menjalankan program deideologisasinya. Deideologisasi menurut pemerintah Orba merupakan kebutuhan pragmatis negara.

Dalam kerangka itu, ideologisasi menjadi agenda politik yang penting bagi Orba, terutama dalam rangka mempertahankan dan makin mengakumulasikan kekuasaannya. Selain faktor kekuasaan, ideologisasi justru terkait dengan faktor-faktor ekonomi (akumulasi kapital) serta dengan upaya mempertahankan sistem produksi kapitalis khas Orba.

Melalui asas tunggal Pancasila pula pemerintah Orba bisa mengendalikan kekuatan-kekuatan politik yang ada. Melalui kebijakkan penyederhanaan sistem kepartaian dan asas tunggal, pemerintah berupaya meminimalisir dan melemahkan kekuatan pengimbang terhadap kekuasaan Orba.

Dengan adanya asas tunggal Pancasila, simbol-simbol yang selama ini menjadi penghubung antara partai politik ( PPP dengan asas Islam dan PDI dengan Marhaenismenya) akan menghilang dan dengan sendirinya dukungan rakyat pedesaan terhadap partai-partai politik tersebut akan juga melemah dengan sendirinya.

Selain melemahkan potensi kekuatan oposisi, baik di parlemen maupun di luar parlemen, pemerintah melalui asas tunggal Pancasila berupaya memenangkan Golongan Karya sambil membonsai partai politik lainnya yaitu PDI dan P3.

Selain itu dengan penerapan asas tunggal Pancasila diharapkan mampu mengeliminasi Islam sebagai musuh potensial Orba yang masih tersisa. Pemerintah berupaya menempatkan Islam sebagai ‘musuh’ negara dengan mempertentangkan antara Islam dan Pancasila.

Politik Islam dan Islam Politik dianggap oleh pemerintah Orba sebagai bagian dari fundamentalisme yang dapat membahayakan negara. Oleh karena itu, ide negara Islam dalam persepsi Orba bisa masuk ke dalam kategori subversive kepada negara.

Dengan adanya pemberlakuan asas tunggal Pancasila oleh penguasa Orba menyebabkan pudarnya pemakaian simbol-simbol keagamaan (Islam, Katolikisme, Protestanisme) dan simbol sekuler seperti Marhaenisme yang saat itu digunakan partai yang didukungnya.

Dengan sendirinya hal ini menyebabkan pudarnya hubungan antara partai dengan masyarakat pendukungnya. Karena simbol-simbol itulah yang selama ini menjadi penghubung antara rakyat dan partai politik yang didukungnya. (Fachry Ali, 1984)

Pemberlakuan asas tunggal juga berdampak pada tereliminasinya peran ideologi terutama Islam dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia. Terjadinya metamorfosis PPP menjadi partai politik yang terbuka dengan melepaskan panji-panji dan lekatan ideologis Islam dari tubuhnya, adalah salah satu contohnya. PPP mengalami krisis identitas diri yang sangat serius sehingga menyebabkan satu kesulitan yang serius pula bagi PPP untuk melakukan aktualisasi dirinya.

Pemberlakuan asas tunggal Pancasila telah membuat PPP kehilangan senjata utamanya untuk menarik dukungan massa Islam santri, karena dengan menjadikan Pancasila sebagai asasnya telah merubah partai ini menjadi sama saja dengan partai lainnya.

Bukan hanya itu pemberlakuan asas tunggal juga telah memicu terjadinya perpecahan di dalam tubuh PPP anatara pihak yang menyetujui Pancasila beserta segala konsekuensinya dan pihak yang tetap ingin mempertahankan atribut yang masih bisa mempertautkan PPP dengan massa Islamnya.

Penerimaan NU terhadap asas tunggal Pancasila dan keluarnya NU dari PPP tidak didasarkan pada keinginan untuk meninggalkan politik, akan tetapi karena NU yakin bahwa melawan pemerintah dengan menentang asas tunggal Pancasila akan memakan biaya politik dan sosial yang tinggi, sedangkan di sisi lain PPP sudah tidak lagi efektif dijadikan sebagai sarana perjuangannya.

Sejak pemberlakuan asas tunggal Pancasila, partai-partai politik yang ada semakin kehilangan identitasnya. PPP dan PDI hanya sekedar menjadi formalitas sistem politik belaka. Apalagi jajaran pimpinannya seringkali dikooptasi oleh pemerintah Orba. Dampaknya adalah dukungan masyarakat terhadap kedua partai tersebut semakin memudar, bahkan tidak jarang elit dikedua partai itu kemudian bergabung ke partai penguasa.

Pemberlakuan asas tunggal juga telah berdampak pada menguatnya perlawanan dari kelompok fundamentalisme Islam yang merasa tidak lagi diakomodasi aspirasinya. Abu Bakar Basasyir dan Abdullah Sunkar melarikan diri ke Malaysia kemudian mengembangkan kelompok Aliran Jamaah Islamiyah dengan cita-cita hendak mendirikan Khilafah Islam di Asia Tenggara.

Tindakan keduanya sebagai buntut dari represi yang dialami keduanya terkait dengan penentangan terhadap asas tunggal Pancasila. Terjadinya peristiwa Tanjung Priok. Ketegangan yang menandai hubungan antara negara dan umat Islam dalam konteks pro dan kontra penggagasan kebijakan asas tunggal tersebut akhirnya meletus dalam sebuah kerusuhan yang disertai oleh kekerasan yang menimbulkan banyak korban jiwa.

Sejak pemberlakuan asas tunggal Pancasila memang telah terjadi ketegangan-ketegangan politik antara umat islam dan negara. Ketegangan-ketegangan ini terbentuk oleh semakin menjauhnya negara dari aspirasi kritis umat Islam yang tersumbat aspirasinya. Kondisi ini merupakan faktor yang kemudian memunculkan ledakan kekerasan di masyarakat karena merasa dikebiri oleh penguasa Orba.

Pada masa Orba, indoktrinasi Pancasila sebagai asas tunggal dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Saat itu tidak ada rakyat Indonesia didikan Orba yang tidak mengenal indoktrinasi ini, dari anak kecil di pelosok dusun Sumatera, sampai para pejabat korup di ibu kota hafal 36 butir Pancasila.

Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) sebagai lembaga yang bertugas melakukan sosialisasi dan pemantapan ideologi bangsa. Pancasila ditempatkan sebagai sebuah ideologi yang superior, seakan-akan ideologi lain adalah sampah dan hanya Pancasila yang mampu menyelamatkan bangsa.

Namun kemudian terbukti penerapan asas tunggal pancasila selama orba berkuasa hanya dijadikan sebagai alat yang dapat membenarkan dan memuluskan sebuah otoritarianisme kekuasaan negara. Lima sila Pancasila telah dijadikan alat dan senjata guna melicinkan segala tindakan megalomania penguasa rezim penguasa.

Orba sebagai garda utama dalam pengamalan dan penanaman Pancasila juga tak mampu menahan diri untuk mengkhianati Pancasila. Menakut-nakuti rakyat dengan senjata, pengaturan pemilihan umum, korupsi yang bersifat begitu masif, bagi-bagi proyek nasional pada sanak saudara, dan menekan kebebasan berpolitik warganya adalah juga bentuk pengkhianatan Pancasila yang dilakukan oleh penguasa Orba.

Rakyat tidak diberikan ruang untuk mengkritisi penyelewengan yang dilakukan penguasa. Perut rakyat dibuat kenyang, tetapi tidak dengan pikiran mereka yang dibiarkan kosong seolah olah jasad tanpa nyawa. Hanya gaung lima sila dari Pancasila saja yang diulang-ulang tapi miskin pengamalannya.

Sekedar contoh Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Pemerintah Orba menunjukkan ketidakpatuhannya terhadap sila ini dalam menangani Etnis Tionghoa. Salah satu butir dari sila ini menyinggung sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Etnis Tionghoa yang merupakan salah satu etnis tertua di Indonesia memiliki kepercayaan Kong Hu Cu sebagai agamanya. Tapi seperti kita tahu semua telah terjadi diskiriminasi pemerintah Orba dengan adanya larangan semua jenis tradisi Tionghoa termasuk Kong Hu Cu dilaksanakan secara terbuka. Sehingga otomatis pemerintah saat itu juga melanggar butir lain dari sila pertama ini, yaitu menghormati kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Satu butir yang sederhana dari sila ini berbunyi ‘tidak semena-mena terhadap orang lain’. Ironis ketika pada saat Orde Baru, butir sila ini juga disandingkan dengan butir lainnya yaitu ‘berani membela kebenaran dan keadilan’.

Tetapi ternyata pada masa Orba terjadi kasus penculikan-penculikan aktivis pada hal tujuan dari aktivis pada umumnya adalah membela kebenaran, seperti yang diamanatkan oleh Pancasila, tapi mengapa pemerintah Orba membungkam mereka ?.

Pengkhianatan Orba terhadap Pancasila juga dilakukan untuk sila ketiga, keempat dan kelima dari Pancasila. Intinya Pancasila yang digadang-gadang sebagai asas tunggal hanya diterapkan bagi rakyat, bukan bagi pemerintah yang sedang berkuasa.

Pancasila dijadikan sebagai sarana untuk melanggengkan kekuasaan sambil berusaha meminimalkan kekuatan kekuatan politik yang tidak sejalan dengan penguasa. Penguasa menjadi juru tafsir tunggal Pancasila untuk “mengadili” lawan lawan politik penguasa.

Selain itu pada masa Orba, Presiden Soeharto menyatakan diri dan sistemnya terikat amat kuat dengan nilai-nilai Pancasila. Tetapi ekspresi komitmennya terhadap nilai-nilai Pancasila menghasilkan gejala verbalisme, yakni gejala perasaan seolah-olah telah berbuat karena terlalu sering diucapkan dan dibicarakannya.

Sementara dalam kehidupan sehari-hari malah mencontohkan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Disadari atau tidak, Pak Harto sama dengan Bung Karno pendahulunya.

Alhasil, penyalahgunaan Pancasila pada masa Orba telah mengakibatkan absennya Pancasila dalam membangun bangsa dan negara. Kesalahan mendasar yang telah dilakukan oleh Orba adalah pengaitan Pancasila dengan kepentingan rejim yang sedang berkuasa.

Akhirnya Pemerintah yang seharusnya membela kepentingan rakyat guna kemakmuran dan kesejahteraan mereka malah berbelok arah untuk mengutamakan kepentingan golongan atau kelompoknya.

Asas Tunggal Jilid II ?

Dengan mempertimbangkan track record pelaksanaan pancasila pada zaman Orba dengan asas tunggalnya. Pada akhirnya ketika reformasi bergulir yang ditandai dengan tumbangnya penguasa Orba berdampak pada pencabutan Penetapan asas tunggal Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Dengan dicabutnya asas tunggal Pancasila maka Tap MPR Nomor II Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dicabut berlakunya. Sementara itu Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) sebagai lembaga yang bertugas melakukan sosialisasi dan pemantapan ideologi bangsa juga dibubarkan keberadaannya.

Selain itu dilakukan juga penghapusan mata pelajaran Pancasila (PMP) dari mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi negeri maupun swasta. Sehingga, bangsa Indonesia harus mengembalikan hakikat Pancasila sebagai ideologi yang hidup di tengah masyarakat (living ideology) yang dimulai dari meyakini, kemudian memahami serta mau mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Proses menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang hidup sudah dimulai oleh MPR sejak tahun 2012 lalu melalui program Sosialisasi Empat Pilar kebangsaan yaitu Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.

Selanjutnya dengan munculnya isu-isu yang memiliki dampak krusial terhadap stabilitas keamanan sosial-politik seperti kasus penistaan agama oleh Ahok, pemboman gereja saat perayaan hari besar umat kristen, hingga wacana sebagian kelompok masyarakat yang mengharapkan sistem khilafah berlaku di Indonesia telah mendorong pemerintah Jokowi mengeluarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2017 yang menjadi payung hukum dari pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang sekarang diubah menjadi BPIP atau Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

Pemerintah mengklaim bahwa perlu adanya unit tersebut sebagai upaya pribumisasi Pancasila dan menghilangkan kesan pemaknaan Pancasila seperti saat era Orba. Dengan adanya pribumisasi Pancasila tersebut, dampaknya diharapkan setiap kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah tetap bernafaskan pada nilai-nilai Pancasila. Namun apakah memang demikian kenyataannya ?

Faktanya sejak adanya BPIP, Pancasila semakin aneh aneh saja di tafsirkan oleh penguasa. Sehingga keinginan penguasa sekarang untuk mengoreksi kesalahan pelaksanaan Pancasila yang terjadi pada masa Orba berpotensi mengulang kembali kesalahan itu untuk yang kesekian kalinya.

Sebagai contoh selama masa kepemimpinan BPIP dibawah Yudian Wahyudi, muncul pernyataan pernyataan kontroversial terkait dengan Pancasila diantaranya : menyatakan agama sebagai musuh terbesar Pancasila, mengenalkan Pancasila dengan tik tok serta mengusulkan assalamuakaikum diganti dengan salam pancasila dan sebagainya.

Puncaknya adalah ketika lahir usulan RUU HIP atau Haluan Idiologi Pancasila yang di inisiasi oleh partai utama pendukung penguasa. Lahirnya RUU HIP ini patut dicurigai sebagai upaya untuk membangun asas tunggal pancasila jilid 2 versi penguasa. Kenapa demikian ? karena kalau kita baca tujuan dari pembentukan RUU HIP bisa membuat orang bertanya tanya.

Tujuan dari RUU HIP sebagaimana tertera dalam Pasal 1, ketentuan umum RUU HIP yang berbunyi, Haluan Ideologi Pancasila adalah pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan pelaksanaan dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arah bagi seluruh warganegara dan penduduk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.

Kalau memang hal itu yang menjadi alasannya dan tujuannya lalu apakah selama 75 tahun Indonesia merdeka, penyelenggara negara melaksanakan tugasnya dengan tanpa landasan hukum Ideologi Pancasila? Lalu, apa artinya “Pancasila dijadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum negara” ?

Atau, apakah hukum dan perundang-undangan yang berlaku selama ini tidak sesuai dengan Pancasila ? Bukankah semua pejabat negara disumpah setia untuk melaksanakan Pancasila ? Bukankah HTI “dibubarkan” dan FPI tidak diperpanjang tanda terdaftarnya karena persoalan ideologi Pancasila ? Karena itu tujuan RUU HIP sungguh-sungguh membingungkan dan menyesatkan tentunya.

Akhirnya muncul dugaan bahwa RUU ini memang dimaksudkan untuk membuat tafsir baru atas Pancasila dengan memasukkan unsur unsur kiri didalamnya yaitu dengan adanya Pancasila yang diperas peras menjadi trisila dan ekasila meskipun akhirnya pihak pengusul setuju dibuang karena derasnya kritik atasnya.

Kecurigaan lain juga muncul setelah pengusul RUU HIP tidak mencantumkan paham Komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia pada hal Tap MPRS No.XXV tahun 1966 telah melarangnya. Baru setelah diprotes keras, pengusul setuju untuk mencantumkannya meskipun dengan usulan untuk juga mencatumkan khilafah sebagai bentuk negara yang harus dilarang juga.

Kita bisa membayangkan kalau RUU HIP ini pada akhirnya disahkan, akan menjadi alat legitimasi bagi pemerintah yang sedang berkuasa untuk menjadi penafsir tunggal Pancasila sama halnya dengan pemerintah Orba yang menjadi penafsir tunggal Pancasila setelah Pancasila dijadikan asas tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Potensi menjadi penafsir tunggal ini terlihat jelas kalau kita dalami kata haluan idiologi negara itu sendiri yang mengandung makna arah, tujuan, dan pedoman (seperti penjelasan dalam KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Pasal 1 RUU HIP disebutkan tujuan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila adalah sebagai arah bagi seluruh warganegara dan penduduk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.

Disini menempatkan Pancasila sebagai haluan atau menentukan arah/tujuan Pancasila atau pedoman akan terjadi potensi pemaksaan kehendak penguasa terhadap pihak lainnnya yang tidak sejalan atau seirama dengan kehendak penguasa.

Pada hal sebagaimana kita ketahui bersama Pancasila berarti landasan filosofis negara kesatuan republik indonesia, ideologi negara, dan merupakan sumber segala sumber hukum negara, yang mempunyai makna secara universal dari hanya sekadar arah atau haluan saja.

Pancasila adalah hukum dasar (grund norm) yang tidak selayaknya diatur dalam sebuah Undang Undang karena akan menurunkan derajatnya. Kalau kita lihat hierarkhi perundang undanggan maka Pancasila ada diposisi derajat paling tinggi dibandingkan produk hukum lainnya.

Bahkan TAP MPR dan UUD 1945 ada dibawah Pancasila karena Pancasila itu sendiri adanya di pembukaan UUD 1945 yang tidak bisa diubah ole siapapun juga. Merubah pembukaan UUD 1945 sama dengan membubarkan NKRI yang tela diproklamasikan oleh pendiri bangsa.

Tapi dengan adanya RUU HIP telah mendegradasi posisi Pancasila hanya setingkat Undang Undang saja. Dengan posisi setingkat Undang Undang maka untuk implementasinya nanti bisa dibuat Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden sehingga tafsir Pancasila bisa sesuai dengan kehendak penguasa.

Potensi monopolisi tafsir itu sesungguhnya sudah disediakan landasan yuridisnya yaitu tertuang dalam pasal 44 RUU HIP ayat (1) yang menyatakan : “ Presiden merupakan pemegang kekuasaan dalam Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila.”.

Untuk menyelenggarakan kekuasaan ini Presiden membentuk suatu badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan Ideologi Pancasila dimana Badan ini dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Demikian seperti dinyatakan dalam ayat (2) dan ayat (3) nya.

Dengan adanya pembentukan lembaga untuk pembinaan haluan idiologi Pancasila ini maka bisa saja nantinya difungsikan seperti BP7 pada jaman Orba. Yang paling dikhawatirkan adalah implementasi dari adanya kelembagaan seperti itu dimana presiden mempunnyai kekuasaan yang besar karena sebagai Pembina Pancasila.
Kewenngan ini rawan disalahgunakan oleh Presiden beserta jajaran dibawahnya karena ia bisa menjadi “penafsir tunggal” Pancasila.

Pengalaman Orba dengan BP7-nya sudah menunjukkan hasilnya dimana Pancasila hanya sekadar jadi bahan hafalan belaka tapi tidak dilaksanakan khususnya oleh penguasa.

Bahkan Pancasila dijadikan alat untuk membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Sehingga Pancasila oleh rezim Orba kemudian ditafsirkan sedemikian rupa untuk membenarkan dan memperkuat segala kebijakan kebijakan yang diambilnya. Semua diatasnamakan Pancasila atau sedang menjalankan Pancasila.

Jika RUU HIP nantinya berhasil disahkan menjadi Undang Undang maka pasal 44 bisa menjadi instrument untuk melegitimasi kekuasaan presiden beserta jajaranya untuk menjadi “penafsir tunggal” Pancasila karena merasa dirinya sebagai orang yang paling Indonesia, paling Pancasila.

Kelompok lain yang tidak sepaham bisa saja dilabeli dengan istilah radikal dan intoleran karena dianggap tidak seirama dengan Pancasila versinya penguasa. Kalau sudah begini maka RUU HIP tak ubahnya asas tunggal Pancasila jilid 2 bahkan bisa lebih ganas implementasinya karena ada unsur dendam didalamnya.

Berangkat dari fenomena yang dikemukakan diatas maka RUU HIP seyogyanya bukan hanya sekadar ditunda pembahasannya, tetapi harus ditarik dan dibatalkan pemberlakuannya karena dari sisi kaedah hukum hierarkhi peraturan perundang undangan dan substansinya terlalu banyak masalahnya. Pengesaha RUU ini dikhawatirkan justru akan memecah belah persatuan bangsa ditengah pandemi virus corona.

Karena persoalan terkait Pancasila pada hari ini sesungguhnya adalah soal bagaimana pengamalannya bukan pada cantolan formal yuridisnya. Kiranya sesuai dengan Amanat UU 45 kepada para penyelengra negara sebagai pengelola, pengatur negara yang lebih urgen adalah bagaimana bersama sama mencapai tujuan kita bernegara yaitu mewujudkan masyarakat yang aman, adil dan sejahtera.

Amanat para pendiri bangsa tersebut hingga saat ini belum dapat dilaksanakan dengan sempurna sehingga tujuan negara belum bisa diwujudkan sebagaimana mestinya. Kesanalah harusnya para penyelenggara negara memfokuskan kebijakan dan program programnya.

Mengotak-atik kembali Pancasila yang sudah final, apalagi orientasinya untuk melanggengkan kekuasaan hanya akan menjadikan anak anak bangsa terluka. Apalagi kalau RUU HIP ini bertujuan untuk membentuk asas tunggal pancasila versi penguasa untuk memenuhi syahwat kekuasaannya. Semoga itu semua hanya khayalan salah sangka saya saja.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar