Ridwan al-Makassary:

Paguyuban Nusantara dan `Rapuhnya` Visi Papua Tanah Damai

Senin, 22/06/2020 09:01 WIB
Ridwan al-Makassary, Pekerja Perdamaian Indonesia, Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI) (Dok.Pribadi/Facebook)

Ridwan al-Makassary, Pekerja Perdamaian Indonesia, Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI) (Dok.Pribadi/Facebook)

law-justice.co - Beberapa hari terakhir, isu “Paguyuban Nusantara” Papua, cukup ramai dibahas di laman pegiat media sosial kawan-kawan Papua. Umumnya, bahasan yang ada berasal dari pandangan pribadi beberapa gembala (pendeta), “pegiat” HAM, dan masyarakat umum, yang bernada menyudutkan dengan menyatakan bahwa Paguyuban Nusantara “tidak ada malu”, “tidak tahu di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”, “mengentalkan separatisme”, “Papua bukan Indonesia” untuk menyebut beberapa pelabelan.  

Paguyuban Nusantara juga diprotes pendemo karena tidak melibatkan Orang Asli Papua (OAP) dalam kelompok tersebut, sehingga tampak eksklusif. Beberapa pandangan tersebut mungkin benar adanya tergantung persepsi siapa. Namun, konteks yang melatari pernyataan Paguyuban Nusantara juga mesti diapresiasi. Tulisan ini ingin mengkaji persoalan tersebut dari perspektif yang lebih luas dalam kerangka Papua Tanah Damai.

Diskusi tentang Paguyuban Nusantara kembali menyeruak ketika kelompok ini menolak keras pernyataan beberapa organisasi masyarakat atau kerukunan, yang menginginkan pembebasan tujuh orang tersangka otak kerusuhan yang saat ini berada di Rumah Tahanan Kalimantan Timur. Koordinator Lintas Paguyuban Nunsatara se-Provinsi Papua, Ir. H. Junaedi Rahim, IAI, menyatakan hal tersebut saat menggelar konferensi pers, di Kotaraja, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua, Selasa (16/6/2020).

Dalam tajuk “melawan lupa” Junaedi Rahim mengingatkan “kami cinta akan kedamaian di atas tanah Papua, serta menolak semua tindakan kekerasan yang bertentangan dengan hukum dan HAM. Belum lepas dari ingatan peristiwa pembakaran rumah dan toko di Kota Jayapura pada tanggal 29 Agustus 2019, kemudian penyerangan, pembakaran, pengusiran dan pembunuhan keji di Wamena pada 23 September 2019, lalu aksi-aksi pembakaran dan penganiayaan serta rentetan peristiwa yang terjadi di tahun 2019  maupun di tahun 2020 ini yang tidak bisa kita sebutkan satu persatu”.   

Dalam konteks demokrasi, pernyataan Paguyuban Nusantara ini tidak salah karena hanya menyuarakan aspirasi mereka sebagai korban, tanpa melakukan kekerasan. Persoalan pro dan kontra terhadap pernyataan adalah wajar, dan bagian dari dinamika demokrasi karena setiap pernyataan ada kebenaran dan subjektifitasnya.

Dari rilis yang saya baca, aspirasi yang disuarakan itu adalah nestapa yang dialami mereka, saat terjadi demonstrasi besar berujung pembakaran, penjarahan dan pembunuhan tahun lalu di Jayapura dan Wamena terkait isu rasial di Surabaya, dan beberapa kasus lain yang sempat terjadi di Keerom, ketika Paguyuban Nusantara “main hakim” sendiri, akibat perkosaan dan pembunuhan brutal yang dilakukan oleh orang Wamena.

Selain itu, ketika Forum Kebangsaan dan pak gubernur bertemu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pengurusnya semua OAP dari lima wilayah adat, tanpa melibatkan perwakilan Paguyuban Nusantara. Ini juga menjadi benih insidentil lahirnya kelompok tersebut.

Di sisi lain, saya juga bersimpati dan memahami luka darah dan air mata (memoria passionis) orang asli Papua yang selama ini telah termarjinalkan di negeri mereka yang subur, sehingga ada luapan yang bersemangat dari sebagian gembala dan pejuang self-determination untuk menyuarakan aspirasinya. Murungnya, sebagian warga Papua acap memobilisasi (baca: dimobilisasi) dalam kerumunan dan kumpulan massa yang besar, yang kerap berujung pada pembakaran, penjarahan dan penciptaan teror.

Dari kasus “demo rasial di Jayapura dan Wamena 2019”, sebagian korban adalah nyawa dan properti pendatang. Dalam konteks itu, tajuk “melawan lupa” menjadi relevan. Hingga saat ini, masyarakat korban dari pendatang belum menerima kompensasi maksimal dan bahkan ada yang belum dibantu pemerintah sehingga menanamkan benih dendam kesumat dan akan melakukan balasan jika diganggu pendemo. Karenanya, pemerintah perlu melakukan  rekonsiliasi perdamaian antara korban dan perwakilan pelaku.

Di Papua, terutama di kota-kota yang plural seperti Jayapura, Timika dan lain-lain, persoalan krisis identitas adalah wajar terjadi di tengah cepatnya perubahan sosial dan persaingan ekonomi, politik dan budaya yang tinggi. Pada saat yang sama kearifan lokal tergerus dan hubungan kemanusiaan antar etnik agama menjadi renggang, impersonal, tersegregasi dan terhalang dinding penyekat. Pada titik kulminasi tertentu, ketika perekat sosial (societal glue) telah terkikis habis, maka konflik identitas, ibarat “api” bisa melahap “jerami” sosial dengan cepat dan liar. Orang kemudian berpaling pada “paguyuban” kedaerahan untuk mendapatkan perlindungan.

Hal yang wajar, karena paguyuban banyak ditemukan di berbagai daerah, dari kumpulan arisan atau jejaring, dan seterusnya. Sayangnya, Paguyuban Nusantara sejauh ini energinya masih bersifat partisan, karena hanya bersuara jika kepentingannya terganggu. Idealnya, Paguyuban Nusantara mesti bersuara untuk “keadilan dan perdamaian di Tanah Papua” dalam skala luas yang tidak mengenal sekat-sekat agama dan etnis kedaerahan.

Persoalan di Papua rumit karena lebih bermuara pada konflik politik yang berlarut-larut. Selain itu, marjinalisasi ekonomi orang asli Papua acap menjadikan kecemburuan yang berujung pada antipati dan penyerangan kepada pihak pendatang jika ada trigger yang bisa dimainkan oleh pihak-pihak ketiga yang berkepentingan.

Problem Papua hari ini sejalan laporan hasil “Konferensi-Kelompok Diskusi Terfokus-Perencanaan Strategis” Jaringan Antariman Pemimpin Agama yang dihelat Forum Konsultasi Para Pimpinan Agama (FKPPA) Papua, bekerja sama dengan Yayasan Dian/Interfidei, yang melibatkan 70-an pemimpin agama akar rumput se-Tanah Papua, yang telah mengidentifikasi empat tantangan utama kerukunan beragama dan  perdamaian Papua kontemporer: pertama, fanatisme agama yang berlebihan; kedua, primordialisme etnik; ketiga, marjinalisasi orang asli Papua dan keempat, perubahan sosial akibat bonus demografi.

Ini mengandung arti bahwa konflik-konflik bernuansa agama dan etnis untuk beberapa derajat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, dan juga efek dari manipulasi konflik politik yang sudah menahun. Dan mesti dicamkan bahwa faktor tersebut tidaklah tunggal, namun berkelindan satu sama lain. Paguyuban Nusantara lahir karena ketidakmampuan pemerintah dan aparat berwenang memberikan rasa nyaman kepada mereka yang merasa sering menjadi korban, sehingga melakukan perlawanan untuk membela diri.

Papua beruntung memiliki kerangka kerja perdamaian yang disebut Papua Tanah Damai. Studi tentang konsep Papua Tanah Damai dari beberapa pemimpin agama dan skolar Papua merefleksikan pengalaman ketertindasan orang Papua dan kehendak untuk merengkuh perdamaian. Dimulai dari refleksi mahasiswa dan pemuda di Serui 1999, yang menghasilkan zona damai, kemudian didalami oleh Elsham, Dewan Adat Papua, Jaringan Damai Papua kemudian menghasilkan kerangka kerja dialog Jakarta-Papua untuk penyelesaian masalah.

Sayangnya, ide dialog Papua Jakarta sulit terjembatani karena masing-masing pihak bersikukuh dengan pendiriannya yang tanpa kompromistis. Para tokoh agama memandang Papua Tanah Damai lebih pas dibanding konsep zona perdamaian karena jika ada zona damai maka ada zona perang, sehingga para tokoh agama mendeklarasikan “Papua Tanah Damai” pada 5 Februari 2002.

Inilah yang diperingati sebagai hari Papua Tanah Damai sebagai hari libur fakultatif di tanah Papua. Hingga saat ini visi Papua Tanah Damai mengandung kelemahan intrinsik karena pandangannya yang utopis mengenai perdamaian, dan visi tersebut acap digunakan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengklaim perjuangannya sebagai manifestasi Papua Tanah Damai. Dalam hal ini,  Paguyuban Nusantara memaknai damai dengan “melawan” karena tidak ada keamanan dari negara dan agama dipolitisasi.  

Paguyuban Nusantara hanyalah satu bagian kecil dari pekerjaan rumah besar dalam rangka  menyelesaikan berbagai konflik di Papua. Pandangan saya, para pihak yang berperkara di Papua mesti mengedepankan dialog dan menjaga kerukunan, sebagai dua hal dari manifestasi Papua Tanah Damai. Juga pentingnya semua pihak agar tidak menggunakan jalan kekerasan untuk memaksakan tujuan masing-masing.

Jika pendekatan kekerasan ini  terjadi, rakyat kecil akan menjadi korban dan memicu mereka untuk melakukan pengamanan sendiri di saat merasa berada di tengah ketidakpastian. Dalam hal ini, pemerintah mesti hadir menyelesaikan masalah mendasar (basic needs), seperti sandang, pangan, papan, dan martabat orang Papua tanpa terkecuali.  Semoga semua pihak bisa menahan diri dan mengambil pelajaran dari hiruk pikuk Paguyuban Nusantara ini.

Damai Papua Damai Indonesia!

Penulis: Pekerja Perdamaian Indonesia, Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI), yang pernah mendalami resolusi konflik dan rekonsiliasi perdamaian di Rotary Peace Center Thailand (2015). Pandangan ini bersifat personal.

 

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar