Elnino M. Husein Mohi, Anggota Komisi XI DPR-RI Fraksi Gerindra

Mengapa Dasar Negara Dipermasalahkan?

Minggu, 21/06/2020 13:12 WIB
Elnino M. Husein Mohi, Anggota Komisi XI DPR-RI Fraksi Gerindra. (60dtk.com)

Elnino M. Husein Mohi, Anggota Komisi XI DPR-RI Fraksi Gerindra. (60dtk.com)

Jakarta, law-justice.co - Belum lama ini, Fraksi PDIP di DPR menyodorkan sebuah draf RUU yang diberi kepala: Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Ini menambah daftar kejutan RUU yang dikebut selain RUU Ciptaker di tengah pandemi coronavirus yang memukul hampir semua negara—tak terkecuali Indonesia.

Sejak mengemuka RUU ini langsung menuai polemik. Sekurang-kurangnya ada empat kelompok pendapat yang paling kencang lalu lalang di linimasa media sosial kita belakangan ini. Mereka yang berpendapat bahwa RUU ini bakal jadi pintu masuk PKI, atau membuka peluang paham komunisme bangkit kembali sebab tak memasukkan TAP No XXV/1966 ke dalam konsiderannya.

Kemudian mereka yang berpendapat bahwa RUU ini seperti kembali ke era Orde Baru, memungkinkan penguasa memberi tafsir tunggal dan memungkinkan penguasa untuk bertindak represif dalam penegakkannya. Yang berikut adalah mereka yang berpendapat bahwa RUU ini hanyalah kamuflase untuk memuluskan proyek-proyek ekonomi yang sedang digencarkan pemerintah—karena di dalamnya juga mengatur soal-soal ekonomi hingga agraria.

Yang keempat yakni mereka yang berpendapat bahwa RUU HIP ini kelewat “ngawur” karena mau mengatur substansi Pancasila, menjatuhkan marwah Pancasila dari preambule ke dalam UU, terlalu memaksakan tafsir ideologi partai—dalam hal ini PDIP—ke dalamnya, dsb.

Tampaknya sebagian besar yang terlibat dalam empat kelompok pendapat itu menginginkan, paling tidak, RUU HIP ini dapat membereskan hal-hal yang digelisahkan oleh mereka.

Jika persoalan sesederhana itu, ketika misalnya PDIP sebagai pengusul kemudian akhirnya memasukkan TAP No. XXV/1966 ke dalam konsideran, lalu menghapus bagian perasan Pancasila, menghindari mengatur substansi dan fokus pada sistem kerja BPIP, menghilangkan bagian-bagian yang mengatur ekonomi, menyebutkan batas-batas tindakan negara agar tidak represif, dan seterusnya, bukankah persoalan selesai? Apakah persoalan benar-benar selesai?

Bung Karno, Suharto, dan Indoktrinasi Pancasila Ideologi
Bayangkan ketika proyek negara Pancasila mau ditegakkan, orang-orang masih terlibat dalam frequensi konflik yang sama dengan yang terjadi di tahun-tahun pasca proklamasi, Demokrasi Terpimpin, Orde baru. Berarti ada titik singgung yang sama. Titik itu sepertinya berpusat pada Pancasila sebagai ideologi.

Hingga tahun 1959, memang belum ada ideologi negara yang resmi. Pancasila belum ditetapkan sebagai ideologi resmi negara. Negara mengalami transisi konstitusi. Memang ada lima sila disebutkan di dalam UUD 18 Agustus 1945, Konstitusi RIS, dan UUDS 1950, namun secara resmi ditetapkan sebagai ideologi negara, belum.

Jadi yang berkembang saat itu adalah tafsir berdasarkan konstitusi dan apa-apa yang dipidatokan Bung Karno. Prof. Notonagoro, Sayuti Melik, Roeslan Abdulgani, hingga Asmara Hadi di antaranya yang paling gigih menafsir. Tafsir resmi negara belum ada.

Sampai sekarang saya belum menemukan satu teks pidato Bung Karno yang mengatakan bahwa Pancasila itu ideologi. Yang paling sering saya temukan ialah kata-kata seperti “weltanschaung”, “dasar negara”, “alat pemersatu”, philosophische gronslag”, “leitstar dinamis”.

Pidato Bung Karno di Siti Hinggil saat menerima honoris causa sebagai pencipta Pancasila (19 September 1951). Dan pidato di Amuntai, 27 Januari 1953, di mana Bung Karno mempukah segala macam ide dan gerakan mendirikan negara Islam—disebut-sebut sebagai awal mula propaganda Pancasila sebagai ideologi oleh Bung Karno sendiri.

Saya belum menemukan kedua naskah pidato itu. Saya hanya menemukan pidato tanggapan atas polemik pidato Amuntai yang diucapkan Bung Karno di UGM, 7 Mei 1953. Di sana tak ada satu pun kalimat yang menyebut Pancasila ideologi.

Di dalam materi kursus Pancasila yang disampaikan langsung oleh Bung Karno (26 Mei, 5 & 16 Juni, 22 Juli & 3 September 1958 kemudian 21 Februari 1959), juga tak ada Bung Karno menyebut Pancasila ideologi. Materi-materi itu sendiri diterbitkan dengan judul: Pancasila Dasar Negara.

Ini agak menggelitik. Memang kalau kita sekadar berfokus pada apakah Bung Karno pernah menyebut Pancasila ideologi atau tidak, kita akan terjebak pada pencarian teks belaka, dan akhirnya melupakan bagian penting dari persoalan ini: pola indoktrinasi Pancasila.

Dengan atau tanpa adanya kalimat Bung Karno yang menyebut Pancasila ideologi jika pola interpretasi dan pelaksanaannya dilakukan dengan indoktrinasi, “sifat” dari Pancasila itu sendiri berubah dari dasar negara menjadi ideologi negara. Pertanyaannya, sejak kapan pergeseran ke arah itu dimulai?

Ada tiga studi yang cukup baik untuk mendapatkan penjelasan situasi di mana itu semua dimulai: karya Daniel S. Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959 (Equinox Publishing, 2009); dua karya Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Cornell University Press) dan Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin (Pustaka Sinar Harapan, 1995); kemudian disertasi Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (Grafiti,Cet II, 2001).

Pada titik temu dua kepentingan ini bermula: Bung Karno yang menginginkan perombakan total sistem negara menjadi Demokrasi Terpimpin di satu sisi, keinginan Angkatan Darat (di bawah komando Nasution) untuk kembali ke UUD 1945 18 Agustus 1945 di sisi yang lain. Korban dari dua kepentingan itu dibubarkannya Konstituante yang dianggap gagal merumuskan UUD baru.

AD (AD-lah yang paling agresif untuk masuk ke gelanggang politik dibanding AL, AU dan Kepolisian) siap mendukung konsep Demokrasi Terpimpin Bung Karno—ini bermula dari Konsepsi Presiden yang disampaikan Bung Karno pada 1957—dengan catatan mereka dilibatkan dalam pemerintahan lewat golongan fungsional; begitu pula sebaliknya, Bung Karno, yang sebelumnya menolak UUD 1945 berlaku kembali, akhirnya siap mendukung rencana AD itu.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 keluar. Konstituante bubar tak jelas. Demokrasi Terpimpin dimulai. AD masuk politik. UUD 1945 berlaku. Banyak proses penting yang terjadi setelah ini, proses pelembagaan Pancasila ke dalam pola indoktrinasi yang diprakarsai dan dipimpin langsung oleh Bung Karno.

Pada 22 Februari 1961, berdasarkan instruksi Bung Karno kepada Panitia Pembina Jiwa Revolusi di bawah koorniasi kementerian Hubra pimpinan Roeslan Abdulgani yang mengoordinir kemeterian penerangan yakni penghubung antara DPA, MPRS dan Front Nasional, dibukukan Tudjuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi yang merangkum semua doktrin sistem Demokrasi Terpimpin.

(1) Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945;
(2) UUD 1945 beserta penjelasannya;
(3) Manifesto Politik (Manipol, pidato Bung Karno 17 Agustus 1959 yang ditetapkan menjadi GBHN);
(4) Pidato “Djarek” 17 Agustus 1960;
(5) pidato Bung Karno di PBB 20 September 1960;
(6) penjelasan Manipol Usdek oleh Roeslan Abdulgani (Ketua Panitia Pembina Jiwa Revolusi);
(7) amanat Bung Karno dalam sidang Depernas 28 Agustus 1959.

Program indoktrinasi tersebut dikawal oleh AD dengan sangat baik. Salah satunya melalui KOTI (dibentuk berdasarkan Kepres No. 142/1963). Struktur komandonya berada langsung di bawah presiden.

Pancasila memang dasar negara, tapi dengan indoktrinasi sifatnya menjadi ideologis. Di atas kertas keputusan-keputusan hukum era Demokrasi Terpimpin ia memang selalu disebut sebagai dasar, falsafah, landasan idiil, namun dengan indoktrinasi, sebagaimana arti kata itu sebagai pemberian ajaran secara mendalam tanpa kritik, rasanya tak penting lagi perdebatan apa pernah Bung Karno menyebutnya ideologi atau tidak. Perdebatan semacam itu terdengar menggelikkan.

Semua rencana indoktrinasi itu memang dirancang bersama Bung Karno dan ia menyetujui semua tafsir yang menjalankan indoktrinasi itu. Pada 12 Juni 1965, saat kekuasaannya di ujung tanduk, ia masih sempat mengeluarkan instruksi agar meresapkan dan mengamalkan Lima Azimat Revolusi, yakni: Nasakom, Pancasila, Manipol-Usdek, Trisakti-Tavip, dan Berdikari. Jelas dalam semua rencana indoktrinasi ini: semuanya mengabdi kepada revolusi—termasuk Pancasila. Apakah itu terdengar mengecilkan esensi Pancasila?

Ketika Suharto dan militer berkuasa, ia melanjutkan pola indoktrinasi peninggalan Demokrasi Terpimpin dengan sedikit modifikasi. Bahkan boleh dikata, dalam konteks indoktrinasi, yang paling mendekati konsep Bung Karno adalah Suharto.

Bung Karno anti multipartai, begitupun Suharto yang menyederhanakan partai, menekankan stabilitas, mendesain pola indoktrinasi yang lebih spesifik mengenai Pancasila sesudah MPR mengeluarkan Tap MPR No. II/1978 tentang P4. Tahun 1979, dalam pidato kenegaraannya 16 Agustus, ia mulai mempromosikan istilah Demokrasi Pancasila secara resmi dan diterjemahkan ke dalam materi-materi P4. (Sebenarnya term ini telah muncul dalam forum-forum akademik sejak tahun 1966, saat itu memang banyak gencar digelar simposium untuk menghancurkan kredibilitas Demokrasi Terpimpin.) Lalu mulai tahun 1985, Suharto dan rezim Orde Baru benar-benar gencar dengan proyek Pancasila ideologi terbuka.

Ada sedikit perbedaan pada materi indoktrinasi. Bung Karno menggunakan Tudjuh Bahan Pokok Indoktrinasi, dengan pelaksananya adalah Panitia Pembina Jiwa Revolusi di mana Roeslan Abdulgani duduk sebagai ketuanya; sedang Suharto menggunakan P4, pelaksananya BP7 dan P7—yang terkahir ini Roeslan duduk sebagai ketuanya.

Bung Karno menggunakan militer untuk mengawal program indoktrinasinya, seperti KOTI misalnya; begitu pula Suharto. Dari struktur kerja organisasi, pola indoktrinasi Suharto lebih spesifik ke Pancasila, organisasinya terstruktur rapi sebagaimana dapat kita lihat dalam lampiran Keppres No. 10/1979.

Khusus bagian pola indoktrinasi ini, baik Bung Karno maupun Suharto memiliki banyak kesamaan. Di atas kertas UU, atau peraturan hukum lainnya, memang Pancasila disebut sebagai landasan idiil, dasar negara, falsafah bangsa, namun dengan pola indoktrinasi, sebagaimana arti kata itu sebagai pemberian ajaran (tanpa kritik), akan mengubah segala hal yang berdiri dalam makna landasan idiil, falsafah, dasar negara tadi—menjadi ideologi.

Maka semua yang menjalankan pola indoktrinasi, di titik ini, adalah sama. Entah ia kiri, kanan, tengah, indoktrinasi hanya menghendaki satu kebenaran tunggal. Dan kita semua adalah hasil dari didikan indoktrinasi itu.

Melembagakan Gagasan dengan Cara yang Keliru

Ada dua program besar yang ingin diwujudkan Presiden Jokowi, dan pemerintahannya, ketika melakukan konsolidasi elit pada periode keduanya ini: menegakkan negara Pancasila dan percepatan pembangunan.

Yang pertama sebagai respon terhadap eksploitasi politik identitas yang brutal beberapa tahun terakhir; yang kedua sebagai respon terhadap perubahan peta ekonomi global. Saya akan fokus pada yang pertama.

Era reformasi paradigma Pancasila sebagai ideologi sudah lebih lugas dituangkan secara tertulis dalam peraturan perundang-undang-undangan, maupun diucapkan secara verbal oleh para pemimpin. Semua orang saat ini membicarakan Pancasila sebagai ideologi.

Saya sendiri, sebagai anggota Badan Sosialisasi 4 Pilar MPR-RI, hampir setiap saat menyosialisasikan Pancasila ideologi bangsa. Itu tugas negara. Meski saya merasa sebenarnya ada yang ganjil dengan tugas-tugas ideologis ini.

Pertama, ada persoalan paradigmatik lama di sini yang belum berubah. Kedua, kita belum menemukan suatu sistem pemasyarakatan Pancasila yang tepat dan bebas dari ikatan kenangan buruk masa lalu. Kegelisahan ini hampir setiap saat menghantui saya.

Pada 2016, Presiden Jokowi, melalui Keppres No. 24/2016, menetapkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Pada 2017, Presiden Jokowi membentuk UKP-PIP, suatu lembaga non-struktural untuk membantu Presiden merumuskan pola pembinaan ideologi Pancasila.

Ketuanya Yudi Latif. Setahun kemudian, lembaga ini dimodifikasi dan diperkuat melalui Perpres No. 7/2018 menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila—BPIP. Tak lama setelah transformasi ini Yudi Latif mundurYudi Latif salah satu cendekiawan yang sangat mengerti Pancasila dan karena itu saya penasaran sebetulnya dengan gebrakan yang mau dia lakukan. Sayang dia memilih mundur.

Dua tahun kemudian, Fraksi PDIP mengusulkan RUU HIP di DPR. Saya pribadi cukup terkejut dengan RUU yang tiba-tiba muncul ini. Saya langsung mempelajari draf naskah akademik dan draf RUU ini dan merumuskan beberapa poin tanggapan saya. Tentu ini tak mewakili pandangan Fraksi Gerindra.

Pertama-tama, soal paradigma lama, atau paling tidak ada kesan yang kuat di dalam draf RUU tersebut akan satu pola indoktrinasi dan sistem kerja organisasional yang menggabungkan dua konsep sekaligus: Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila Orde Baru di dalamnya.

Cukup jelas RUU HIP mau mendikte dan menyeragamkan semua orang ke dalam pikiran Bung Karno. Bagian Kelima, Pasal 13, di sana disebutkan mengenai “demokrasi Pancasila” sebagai “demokrasi politik” dan “demokrasi ekonomi”. Ini semua konsep Bung Karno. Ia menulis di Fikiran Ra’jat tahun 1932 dan Pemandangan tahun 1941 (lihat DBR Jilid I, hlm. 171 & 579).

Konsep tersebut sangat erat kaitannya dengan apa yang dengan sembrono disebutkan dalam Pasal 7 sebagai ciri pokok Pancasila, yaitu Trisila: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan yang berkebudayaan.

Dua konsep pertama, sosio-nasiolisme-demokrasi, itu adalah Marhaenisme—satu-satunya ideologi yang dirumuskan oleh Bung karno. Tulisan Bung Karno mengenai sosio-nasionalisme-demokrasi dapat dibaca dalam DBR Jilid I.

(Mengenai Marhaenisme ini saya punya pendapat lain. Bung Karno tidak pernah menyebut Pancasila ideologi kemungkinan besar karena ia merumuskan satu ideologi, yakni Marhaenisme. Namun ia tidak membatasi tafsir yang mengatakan Pancasila itu sendiri adalah Marhaenisme, sebab jika merujuk pidato 1 Juni, Bung Karno perasan Pancasila menjadi Trisila adalah dua azas Marhaenisme itu sendiri ditambah satu azas yakni Ketuhanan yang Berkebudayaan—ini menandai perkembangan pemikiran Bung karno.)

Saya cukup mengerti, langkah yang dilakukan PDIP bermaksud melembagakan gagasan-gagasan Bung Karno. Niat itu tidak keliru. Saya sendiri pembelajar pikiran-pikiran Bung karno, namun jika ia mau dilembagakan ke dalam sebuah peraturan perundang-undangan, itu sungguh langkah yang keliru, dan fatal!

Menjadi hukum, maka pikiran-pikiran itu akan berhenti jadi diskursus. Apalagi ini RUU tentang ideologi negara. Sifat gagasan-gagasan itu akan berubah menjadi ideologi. Dan ideologi, maknanya harus tunggal, satu garis dari atas ke bawah.

Mestinya tempat gagasan-gagasan Bung Karno di dalam gelanggang keilmuan untuk disaintifikasi. Di sanalah tempat yang pantas buat gagasan-gagasan besar. Di atas gelanggang keilmuan, gagasan-gagasan itu dapat dibanting, diangkat, dan diperbarui.

Inilah problem paling mendasar dari para penafsir pemikiran Bung Karno yang berkaitan dengan Pancasila. Sejak zaman Bung Karno sampai sekarang mereka terlalu asik memosisikan Pancasila sebagai doktrin tunggal tanpa kritik. Perkembangan Pancasila menjadi doktrin itu justru tak menguntungkan bagi tujuan Pancasila jika ia hendak dijadikan ideologi sintesis, pemersatu bangsa.

Perkembangan doktrinal Pancasila seperti itu justru mengubah Pancasila, atau sekurang-kurangnya cenderung mengubahnya, dari platform bersama bagi ideologi politik dan aliran pemikiran yang berbeda-beda di Indonesia menjadi ideologi khas yang bertentangan dengan ideologi lain secara tajam.

Sebagai contoh, Pancasila semenjak gagal dinegosiasikan dengan faksi Islamisme (baca: Islam sebagai ideologi negara) di Konstituante, jarak itu kian kemari kian tajam. Lihat bagaimana reaksi paling keras RUU HIP datang dari kalangan faksi Islamisme.

Ini bukti jika nasionalis gagal membangun jembatan paradigmatik untuk menyintesiskan Pancasila dengan Islam. Sebaliknya, Pancasila justru, oleh segelintir penafsir, malah dijadikan “pentungan” yang seolah berdiri di titik paling moderat untuk memukul ke sisi “kiri” dan “kanan”. Makin aneh dengan segala macam atribut tafsir filsafat. Makin terasing dari buminya sendiri.

Kalau kita baca dengan teliti, sebagian besar substansi RUU HIP tampak seperti dari Garis-Garis Besar Haluan negara (lihat misalnya Tap MPR No. IV/1978). Saya menduga jangan-jangan awalnya ini memang draf GBHN, saya pernah mendengar selentingan kabar di Senayan kalau PDIP punya rencana serius dengan GBHN.

Di luar gagasan-gagasan Bung Karno yang saya singgung di atas tadi, struktur kelembagaan dan model koordinasi organisasional BPIP mirip belaka dengan BP7 dan P7 masa Orde Baru kalau kita baca Perpres No. 7/2018 dengan Keppres No. 10/1979 tentang BP7 dan P7.

Bedanya, jangkauan indoktrinasi BPIP nanti akan jauh lebih luas. Tapi setidaknya pekerjaan itu akan jauh lebih mudah karena ada infrastruktur militer yang akan membantunya dan sebagian besar masyarakat kita memang sudah punya akar dari P4.

Ternyata sangat sulit untuk keluar dari ide dan cara lama yang terus bercabang sehingga tampak seolah kita telah sampai pada ide cara-cara baru memasukkan ideologi Pancasila ke dalam kepala setiap orang.

RUU HIP yang disodorkan PDIP membuat saya tersungkur ke tepian pilihan yang paling muram: haruskah kita selalu mendoktrin orang tentang ideologi Pancasila? Mengapa kita tak membiarkan masyarakat sendiri yang menggali Pancasila sampai ia merasa nyaman “mengalami” Pancasila sebagai ideologi? Adakah cara itu? Jika ada, mengapa kita tak memilih cara semacam itu? Mengapa kita lebih memilih indoktrinasi?

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar