Selamat Ginting, Wartawan Senior Republika

Pelajaran Memilih KSAD, Salah Pilih Bisa Diboikot

Rabu, 17/06/2020 11:46 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbincang dengan KSAD Jenderal Andika Perkasa, KSAL Laksamana Yudo Margono, dan KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo di beranda Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Ahad (14/6). (Foto:Setkab)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbincang dengan KSAD Jenderal Andika Perkasa, KSAL Laksamana Yudo Margono, dan KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo di beranda Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Ahad (14/6). (Foto:Setkab)

Jakarta, law-justice.co - Juni menjadi bulan panas di lingkungan Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad). Negara harus memutuskan, siapa yang akan menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Jika salah pilih, dampaknya akan luar biasa. Maklumlah, Angkatan Darat (AD) sangat dominan di lingkungan TNI. Sekitar 75 persen personel militer berasal dari matra darat. AD adalah ‘ibunya’ militer.

Politikus jangan coba-coba intervensi jika tidak paham budaya militer. Presiden tidak boleh gegabah. Apalagi salah pilih pimpinan AD. Risikonya akan ada perlawanan dari para perwira senior. Boikot, begitulah bahasa politiknya. Keputusan presiden bisa dianggap angin lalu. Jika salah pilih, pelantikan KSAD jangan harap dihadiri elite militer. Jika kondisinya seperti ini, sudah pasti terjadi instabilitas politik. Keamanan nasional terganggu.

Presiden perlu melakukan konsolidasi terlebih dahulu dengan elite militer. Dalam dua pekan belakangan ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan tiga kali pertemuan penting yang memiliki benang hijau (warna militer). Pertama, pertemuan dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (56 tahun 7 bulan) dan Kepala Polri Jenderal Idham Aziz (57 tahun 5 bulan) pada pertemuan yang digelar di Istana Bogor pada Ahad (7/6).

Pertemuan kedua dengan KSAD Jenderal Andika Perkasa (55 tahun 6 bulan), KSAL Laksamana Yudo Margono (54 tahun 7 bulan), dan KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo (54 tahun 2 bulan) pada Ahad (14/6). Kedua pertemuan itu berlangsung pagi hari sambil berolahraga bersama di lingkungan Istana Kepresidenan di Kota Bogor, Jawa Barat. Apa isi pertemuan Presiden Jokowi dengan lima jenderal bintang empat itu? Yang mengemuka di media massa hanyalah pembicaraan mengenai bagaimana hidup sehat di tengah pandemi Covid-19. TNI dan Polri diminta membantu pemerintah dalam penanganan Covid-19.

Pada Rabu (10/6), Jokowi juga mengunjungi kantor Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Ia diterima kepala gugus tugas, Doni Monardo (57 tahun). Seorang Letnan Jenderal TNI aktif. Seperti diketahui sebulan lalu dilakukan pergantian KSAL dan KSAU. Namun, jabatan Panglima TNI dan KSAD belum mengalami perubahan. Marsekal Hadi sudah 2 tahun 6 bulan menduduki jabatan Panglima TNI. Sedangkan Jenderal Andika sudah 1,5 tahun menjadi KSAD.

Apakah tiga rangkaian pertemuan tersebut bukan bagian dari konsolidasi? Jawabannya, inilah konsolidasi model Istana Bogor. Politik bukan seperti air di atas permukaan. Namun, air yang berada di kedalaman. Begitulah. Hanya mereka yang tahu. Yang jelas, Jokowi harus belajar dari sejarah ketika Presiden Sukarno dan kabinetnya salah memilih KSAD dan menghadapi perlawanan dari para perwira senior AD. Berikut ulasannya.

Ditolak Mabesad

“Kepada para perwira untuk tidak menghadiri upacara pengangkatan KSAD!” Begitulah siaran pers dari Wakil KSAD Kolonel (Infanteri) Zulkifli Lubis. Tindakan itu ia tempuh dengan alasan untuk menegakkan wibawa AD yang selama ini hanya diperalat para politisi demi kepentingan sendiri. Ia berharap pemerintah lebih bijaksana dalam pengangkatan pejabat di lingkungan AD dengan mendengarkan aspirasi (wanjakti) dari dalam AD.

Itulah peristiwa 27 Juni 1955. Tindakan insubordinasi perwira senior AD terhadap Istana Presiden. Sebagai orang nomor dua di Mabesad, Zulkifli Lubis dan para perwira senior menolak pengangkatan dan pelantikan Bambang Utoyo sebagai KSAD. Sekaligus kenaikan pangkat Utoyo dari Kolonel menjadi Jenderal Mayor.

Saat itu pangkat perwira tinggi mengikuti Angkatan Bersenjata Belanda. Hanya ada tiga, yakni Jenderal Mayor, Letnan Jenderal, dan Jenderal. Belakangan barulah menjadi Brigadir Jenderal (Brigjen), Mayor Jenderal (Mayjen), Letnan Jenderal (Letjen), dan Jenderal.

Kolonel Zulkifli Lubis selain sebagai Wakil KSAD, dia juga pejabat KSAD terhitung sejak 8 Mei 1955 hingga 25 Juni 1955. Maka pada 65 tahun lalu itu, suasana politik memanas. Terjadi aksi boikot dari pera perwira senior AD terhadap pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD.

Para perwira AD menolak menghadiri acara pelantikan. Menganggap pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD, tidak sesuai isi Piagam Yogyakarta. Isi Piagam Yogya intinya menyatukan kembali TNI AD akibat peristiwa 17 Oktober 1952. Korps Musik Angkatan Darat juga tidak menghadiri upacara di Istana Negara. Padahal diperlukan untuk mengiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Protokol Istana akhirnya memanggil Korps Musik Dinas Pemadam Kebakaran Kota Jakarta. Upacara yang semula dijadwalkan di lapangan Istana, akhirnya dipindahkan di dalam Istana. Upacara dianggap tidak sah, karena tidak disertai panji AD, yaitu Kartika Eka Paksi. Tidak ada pihak Istana yang berani mengambil bendera perang AD di Mabesad.

Pada saat yang sama, Zulkifli Lubis memberi tahu kabinet. Dengan tegas, ia menolak menyerahkan wewenang kepada KSAD yang baru. Sebagai jawabannya, Iwa Kusuma Sumantri memecat Zulkifli Lubis pada saat itu juga.

Usai pelantikan yang tidak dihadiri pejabat utama Mabesad dan para perwira senior, Jenderal Mayor Bambang Utoyo menuju Mabesad. Ternyata, ia sama sekali tidak bisa memasuki Mabesad. Markas itu dibawah kendali Kolonel Zulkifli Lubis. Bambang Utoyo pun balik kanan. Tidak jadi masuk Mabesad. Ibu Kota negara semakin panas.

Konflik PSI

Peristiwa ini diawali, tatkala Perdana Menteri/Menteri Pertahanan, Iwa Kusuma Sumantri mengusulkan nama Kolonel (Infanteri) Zulkifli Lubis sebagai pengganti Jenderal Mayor Bambang Sugeng. Alasannya pertama, Zulkifli Lubis sudah menjabat sebagai Wakil KSAD. Sehingga dianggap sangat paham tugas yang akan diembannya.

Kedua, pencalonan Zulkifli Lubis telah didukung Presiden Sukarno selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Perang. Ketiga, Zulkifli Lubis merupakan perwira anti-Peristiwa 17 Oktober 1952.

Peristiwa 17 Oktober 1952 menuntut parlemen dibubarkan, karena dianggap terlalu campur tangan urusan TNI. Pelopornya abituren Akmil Belanda di Bandung tahun 1942, yaitu Kolonel (Infanteri) AH Nasution dan Kolonel (Zeni) TB Simatupang.

Usulan pengajuan nama Kolonel Zulkifli juga telah memperoleh dukungan penuh dari kabinet. Namun, sepekan kemudian, Iwa Kusuma berubah pikiran. Ia membatalkan pencalonan Zulkifli Lubis sebagai KSAD. Alasannya, Zulkifli mengangkat sejumlah perwira dengan latar belakang PSI (Partai Sosialis Indonesia) di lingkungan AD, tanpa sepengetahuan dirinya.

Iwa Kusuma bersikeras membatalkan pencalonan Zulkifli, kendati telah disetujui Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh Hatta. Ia minta dicarikan calon KSAD, selain Zulkifli Lubis. Timbul jalan buntu, sehingga dicarikan empat nama calon.

Hormati senior

Presiden Sukarno membujuk sejumlah perwira, yakni Kolonel (Infanteri) Warouw, Kolonel (Infanteri) Bachrun, dan Kolonel (Infanteri) Sudirman. Meminta mereka mau mendukung pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD yang baru. Di luar dugaan Sukarno, para perwira itu menolaknya.

Lantaran tidak mendapatkan dukungan, akhirnya Sukarno menyerahkan kembali ke kabinet. Kabinet menjatuhkan pilihanya kepada Kolonel (Infanteri) Sudirman sebagai calon KSAD yang baru. Tetapi lagi-lagi Sudirman menolak, karena merasa banyak yang lebih senior dari dirinya.

Wakil Ketua Parlemen Mr Tambunan mengusulkan agar diadakan rapat lanjutan Dwi Tunggal dengan kabinet untuk mencari calon KSAD. Orang yang bisa diterima para perwira senior AD. Bebas dari segala sentimen dan diskriminasi, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas memadai untuk menjadi KSAD.

Di situ muncul nama Bambang Utoyo. Kemudian pemerintah menghubungi Bambang Utoyo dua kali di Pelembang. Awalnya Bambang Utoyo tidak bersedia dengan berbagai alasan. Termasuk kondisi fisiknya yang kurang sempurna. Tanggannya cacat akibat granat meledak ditangannya dalam pertempuran lima hari lima malam. Tepatnya di Palembang kala menghadapi agresi militer Belanda.

Namun, akhirnya Bambang Utoyo `tergoda`. Sebuah keputusan yang tidak disukai istrinya, karena mengandung risiko besar. Kekhawatiran sang istri ternyata benar. Jabatan KSAD kelak menjadi `petaka` bagi suaminya. Pada 10 Juni 1955, dikeluarkan surat pengangkatan Kolonel Bambang Utoyo sebagai KSAD dengan pangkat Jenderal Mayor.

Pemerintah begitu yakin bisa memperoleh dukungan penuh dari para perwira. Apalagi Presiden Sukarno telah menandatangani surat keputusan Bambang Utoyo sebagai KSAD. Begitu diumumkan nama Bambang Utoyo, muncul reaksi keras dan kemarahan di lingkungan AD. Pemerintah bersikeras tetap melantik Bambang Utoyo.

Hasilnya Jenderal Mayor Bambang Utoyo tidak bisa menjalankan `fungsinya` sebagai KSAD selama sekitar empat bulan, pada Juni-Oktober 1955. Korps Perwira AD menuntut pemerintah membatalkan skorsing terhadap Zulkifli Lubis dan meminta Bambang Utoyo mundur secara sukarela sebagai KSAD. Tokoh senior Kolonel (Infanteri) Gatot Subroto meminta Bambang Utomo mundur demi persatuan AD.

Perlahan, pemerintah `menyerah` dan memenuhi tuntutan Korps Perwira AD. Pemerintah harus mencari jalan keluar dari kondisi yang terkunci ini. Pengaruh Kolonel Zulkifli Lubis dan Kolonel Gatot Subroto luar biasa kuat. Harus dicarikan orang yang lebih senior dari Zulkifli Lubis. Jangan coba-coba abaikan senioritas di AD. Bisa fatal.

Zulkifli Lubis saat itu dikenal sebagai `raja` intelijen TNI. Dia Pelaksana Tugas (Plt) KSAD, setelah KSAD Jenderal Mayor Bambang Soegeng diberhentikan. Bambang Soegeng merupakan orang ketiga yang menjadi KSAD. Terhitung 18 Desember 1952 hingga 6 Mei 1955.

Soegeng menggantikan Kolonel (Infanteri) Abdul Haris Nasution, orang kedua yang menjadi KSAD. Nasution menjadi KSAD terhitung 27 Desember 1949 hingga 18 Desember 1952. Ada pun orang pertama yang menjadi KSAD adalah Kolonel (Zeni) GPH Djatikusumo. Terhitung 15 Mei 1948 hingga 27 Desember 1949.

Dinamika politik pada 1948 hingga 1955 begitu panas. Kolonel AH Nasution dipecat sebagai KSAD sekaligus dipensiunkan oleh Presiden Sukarno. Itulah buntut dari peristiwa 17 Oktober 1952. Korban lainnya adalah Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) TB Sumatupang. Orang nomor satu di Mabes TNI, sebagai pengganti Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Kembalikan Nasution

Jalan buntu mengharuskan Presiden Sukarno kembali melirik kepada dua orang yang dihormati di lingkungan AD. Awalnya Sukarno membujuk Kolonel (Zeni) GPH Djatikusumo untuk mau menerima kembali jabatan KSAD. Tapi di luar dugaan, Djatikusumo menolak.

Bagi Djatikusumo, ia tidak berambisi mengejar jabatan, namun lebih memilih menjadi guru militer. Tujuannya melahirkan para perwira AD yang tangguh dan professional. Usai menjadi KSAD pada 1949, ia turun jabatan menjadi Gubernur Akademi Militer (Akmil) Yogyakarta pada 1948-1950.

Ia bersikukuh tetap merasa bangga menjadi Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) daripada kembali menjadi KSAD. Djati menjadi Komandan SSKAD pada 1952-1955. Setelah itu ia `memilih` menjadi Komandan Korps Zeni merangkap koordinator Operasi Militer di Sumatra. Operasi penumpasan PRRI pada 1955-1958. Ia berduet dengan Kolonel (Infanteri) Ahmad Yani. Kelak menjadi Menteri/Panglima AD.

Djati turut mendirikan Akademi Zeni Angkatan Darat di Bandung. Lalu berubah menjadi Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) dan Akmil Jurusan Teknik (Jurtek). Kelak menjadi embrio dihidupkan kembali Akmil di Magelang pada 1957. Dalam operasi PRRI, ia membawa Batalyon Taruna Zeni ke medan tempur. Para taruna itu, di antaranya Try Sutrisno, Sudibyo, dan Pierre Tendean.

Pilihan kedua Presiden Sukarno kepada AH Nasution yang sudah menjadi sipil selama tiga tahun. Ya, karena Nasution dipecat oleh Presiden Sukarno akibat peristiwa 17 Oktober 1952. Di situ Nasution digantikan Bambang Sugeng. Baik Sukarno maupun AH Nasution saling meminta maaf dan untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar, Sukarno meminta Nasution kembali aktif di dunia militer sebagai KSAD.

Pekan pertama November 1955, AH Nasution pun kembali dilantik menjadi KSAD dengan pangkat Jenderal Mayor. Ia menata AD dengan tiga pendekatan. Pertama, merumuskan sistem tur tugas, sehingga perwira bisa ditempatkan di seluruh daerah dan mendapatkan pengalaman. Dengan maksud menjadikan perwira professional dan menghilangkan ikatan kedaerahan.

Kedua, memusatkan semua metode pelatihan militer. Sehingga ada satu keseragaman sistem maupun metode pelatihan militer. Ketiga, meningkatkan pengaruh militer dan kekuatan, sehingga mampu mengurus dirinya sendiri. Bukan diurus apalagi dikendaikan keputusan sipil (politikus).

Ya, peristiwa 27 Juni 1955 menyebabkan jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo. Sebuah pelajaran bagi pemerintahan siapa pun agar jangan sampai salah memilih KSAD. Risikonya besar.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar