LP3ES: Indonesia Sudah Penuhi Empat Kriteria Negara Otoriter!

Senin, 15/06/2020 09:02 WIB
Presiden Joko Widodo (Foto: CNN)

Presiden Joko Widodo (Foto: CNN)

Jakarta, law-justice.co - Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) memastikan Indonesia sudah memenuhi empat kriteria negara penganut otoritarianisme lewat sejumlah kebijakan pemerintah.

Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto mengatakan, hal ini merujuk pada empat ciri rezim politik otoriter yang disampaikan beberapa akademisi Universitas Harvard, yaitu komitmen lemah terhadap aturan main demokrasi, penyangkalan legitimasi lawan politik, toleransi terhadap kekerasan, dan pembatasan kebebasan sipil.

Kata dia, hingga saat ini banyak kebijakan pemerintah yang membuktikan keemapt kriteria itu terpenuhi.

"Nah berdasarkan empat indikator itu, saya mau menyampaikan bahwa di Indonesia semua indikator itu ada," ujarnya dalam webinar `Mimbar Bebas Demokrasi Melawan Ologarki`, Minggu 14 Juni 2020 kemarin.

Kata dia, ciri komitmen lemah terhadap aturan demokrasi terbukti dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Saat itu, Bawaslu melaporkan sejumlah kasus ketidaknetralan ASN, tetapi Kementerian Dalam Negeri tidak menindaklanjutinya.

Selain itu menurut dia, wacana amandemen UUD 1945, terutama ide untuk memperpanjang masa pemerintahan presiden menjadi tiga periode.

Selanjutnya ciri penyangkalan legitimasi oposisi tercermin dari campur tangan pemerintah terhadap konflik internal beberapa partai. Contohnya kata dia, intervensi terhadap konflik Partai Golkar usai Pilpres 2014.

"Pada 2014 Partai Golkar dekat dengan Prabowo, bahkan TvOne menyiarkan pemenang pemilu adalah Prabowo. Tapi 2016 tiba-tiba Golkar adalah partai pertama yang mendeklarasikan diri mendukung kekuasaan, mendukung Jokowi untuk maju sebagai presiden pilpres 2019," katanya.

Dia menambahkan, ciri toleransi terhadap kekerasan tercermin dari kasus penembakan mahasiswa Universitas Halu Oleo dalam gerakan #ReformasiDikorupsi dan kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan beberapa tahun lalu.

Kata dia, Polri mengakui kesalahan dalam kasus mahasiswa UHO, tetapi hanya memberikan hukuman 21 hari penjara dan penundaan 1 tahun kenaikan pangkat pada pelaku. Sementara dalam kasus Novel, jaksa hanya menuntut pelaku penyiram air keras satu tahun penjara.

Terakhir, ciri keempat adalah pembatasan terhadap kebebasan sipil. Kriteria ini dicerminkan dalam kasus kriminalisasi sejumlah aktivis pro demokrasi, seperti Ravio Patra. Selain itu, ada ancaman terhadap diskusi-diskusi akademik, seperti diskusi soal pemakzulan presiden di UGM.

"Ini juga belum keluar keputusannya, tapi sudah mencederai keadilan publik. Dari berbagai sign, kemunduran demokrasi Indonesia dan putar balik otoritarianisme yang paling kuat sebenarnya adalah sisi kebebasan sipil, pers, dan akademik," tegasnya.

 

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar