Nama Gedung Wajib Berbahasa Indonesia, Ini Aturan Hukumnya

Minggu, 14/06/2020 16:30 WIB
Ilustrasi Gedung-gedung di Jakarta. (Merdeka)

Ilustrasi Gedung-gedung di Jakarta. (Merdeka)

[INTRO]

Jika kita menelusuri berbagai kawasan di Indonesia, khususnya DKI Jakarta, lazim kita menjumpai bangunan atau gedung dengan nama yang menggunakan pembendaharaan kata bahasa asing.

Nama-nama berkosakata asing bisa dijumpai di pusat perbelanjaan atau mal, gedung kantor, hotel, rumah sakit, lembaga pendidikan, hingga kedai kopi kelas menengah yang berada di pinggiran kota. Kompleks perumahan masa kini pun tidak sedikit yang bernuansa barat dalam penggunaan namanya.

Merunut Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan disebutkan bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen, forum, maupun media komunikasi tertentu.

Pada bagian Kedua, Bab III UU Nomor 24/2009 tersebut setidaknya terdapat 15 hal yang harus menggunakan bahasa Indonesia, salah satunya berbunyi:

"Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia".

Berdasarkan bunyi ketentuan di atas patut dicatat bahwa yang wajib menggunakan bahasa Indonesia hanya bangunan atau gedung yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

Selain itu, dilansir Hukum Online, Minggu (14/6/2020) ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia juga dicantumkan pada BAB II Perpres 63/2019 yang secara khusus terkait nama bangunan diatur dalam Pasal 33 ayat (1) Perpres 63/2009 yang menerangkan bahwa:

"Bahasa Indonesia wajib digunakan pada nama bangunan atau gedung, apartemen atau permukiman, perkantoran, dan kompleks perdagangan yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.`` 

Bangunan/gedung yang dimaksud meliputi, perhotelan, penginapan, bandar udara, pelabuhan, terminal, stasiun, pabrik, menara, monumen, waduk, bendungan, terowongan, tempat usaha, tempat pertemuan umum, tempat hiburan, tempat pertunjukan, kompleks olahraga, stadion olahraga, rumah sakit, perumahan, rumah susun, kompleks permakaman dan/atau bangunan atau gedung lain.

Namun harus dicatat, terdapat pengecualian berdasarkan pasal 33 ayat (3) Perpres 63/2019, apabila bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan memiliki nilai sejarah, budaya, adat-istiadat, dan/atau keagamaan, maka nama geografi dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing.

Penggunaan Bahasa daerah atau bahasa asing tersebut ditulis dengan menggunakan aksara latin sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) Perpres 63/2019. Khusus untuk penggunaan bahasa daerah dapat disertai dengan aksara daerah sesuai bunyi Pasal 33 ayat (5) Perpres 63/2019. 

Sementara itu terkait pengawasan penggunaan bahasa Indonesia, Pasal 42 Perpres 63/2019 menerangkan bahwa:

1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan terhadap penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden ini.

2. Pengawasan penggunaan Bahasa Indonesia oleh Pemerintah Pusat dilaksanakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

3. Pengawasan penggunaan Bahasa Indonesia oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan oleh gubernur dan/atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

4. Untuk pelaksanaan pengawasan pusat maupun daerah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan pedoman pengawasan penggunaan bahasa Indonesia.

5. Dalam rangka pengawasan penggunaan bahasa Indonesia di daerah, pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah dengan mengacu pada pedoman pengawasan penggunaan bahasa Indonesia yang dibuat oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

(Ricardo Ronald\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar