Tegas Menolak! FPI Menduga RUU HIP Anti Nilai Ketuhanan

Rabu, 10/06/2020 09:17 WIB
Munarman pentolan FPI (suaradewan.com)

Munarman pentolan FPI (suaradewan.com)

Jakarta, law-justice.co - Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), Front Pembela Islam (FPI) menolak keras dengan adanya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Sekretaris Umum Front Pembela Islam (Sekum FPI), Munarman mengatakan, pihaknya menduga RUU ini anti nilai ketuhanan ketuhanan.

Pasalnya menurut dia, sila pertama dalam RUU ini tidak menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan hanya Ketuhanan.

“Kita bisa saksikan di dalam RUU menyebutkan pancasila, tetapi di sila pertama tidak menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hanya Ketuhanan. Ini membuktikan bahwa ada maksud-maksud tertentu untuk menghilangkan dan menafikan sejarah bangsa ini yang sudah sepakat bahwa ketuhanan tidak bisa dilepaskan dari Yang Maha Esa, sehingga patut diduga undang-undang ini anti ketuhanan,” katanya dalam diskusi RUU HIP bersama ulama, asatidz dan habaib secara virtual, Selasa (9/6).

Menurut dia, pembukaan UUD tetap menggunakan Ketuhanan Yang Maha Esa, termasuk di dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Piagam Jakarta menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan konstitusi negara.

Artinya kata dia, kalimat tujuh kata itu sudah kembali berlaku.

“Ibarat kata sebidang tanah yang tidak memiliki sertifikat, sekarang memiliki sertifikat dengan Dekrit 5 Juli 1959, maka tidak boleh ada yang melarang (pelaksanaan syariat Islam). Sekarang kan juga ada UU Haji, Wakaf, dan lain sebagainya,” ucapnya.

Dia menambahkan, ada tiga alasan kenapa RUU HIP tidak diperlukan. Pertama kata dia persoalan ideologi. Menurut dia, ieologi bukan untuk dijadikan undang-undang.

“Ideologi adalah khazanah ilmu atau tsaqofah. Jadi alangkah lucunya kalau sebuah ideologi dikerangkeng dengan undang-undang. Artinya, pengusul RUU ini memiliki maksud tertentu. Kalau dalam dunia persilatan pendekar berwatak jahat, kenapa, karena sebuah ideologi tidak bisa dibingkai undang-undang, tapi dia ada di seluruh aspek kehidupan,” tegasnya.

Alasan yang kedua kata dia, ideologi terus berkembang sesuai perkembangan zaman karena didoktrin ilmu pengetahuan, sementara undang-undang itu dari segi ilmu hukum tata negara.

Menurut dia, begitu sebuah pertarungan ide dibungkus menjadi undang-undang, maka orang diharamkan untuk memperdebatkan.

Yang terakhir kata dia, hal yang dibahas dalam RUU ini dinilai sangat muluk dan dinilai omong kosong.

"Ketika berbicara keadilan sosial, misalnya, sumber daya tambang dan kekayaan lainnya tidak diberikan kepada masyarakat Indonesia" tuturnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar