dr. Debryna Dewi Lumanauw:

Sebenarnya Tidak Yakin Virusnya Mau Berdamai dengan Kita

Senin, 08/06/2020 09:07 WIB
dr. Debryna Dewi Lumanauw (Dok.Pribadi/law-justice.co)

dr. Debryna Dewi Lumanauw (Dok.Pribadi/law-justice.co)

law-justice.co - Penyakit Covid-19 yang disebarkan oleh virus corona telah merambah ke seluruh dunia, dan korban meninggal hampir menyentuh angka 400 ribu orang. Di Indonesia, pasien Covid-19 yang tidak tertolong menurut data terakhir (7/6) yang dilansir dari laman covid19.go.id sebanyak 1851 orang.

Dalam masa pandemi ini, rumah sakit dan petugas kesehatan seperti dokter dan perawat menjadi ujung tombak, bahu membahu menolong korban yang jumlahnya terus meningkat.

Dokter Debryna Dewi Lumanauw, ada di antara para dokter yang berjibaku menghadapi virus corona, dengan risiko tertular dan nyawa sebagai taruhannya. Perempuan kelahiran Magelang 28 tahun silam ini, mengajukan diri untuk menjadi relawan di Wisma Atlet, yang merupakan rumah sakit rujukan pasien COVID-19 di DKI Jakarta.

Bagi Debry, menjadi dokter relawan sudah menjadi panggilan hati, dan menurutnya sudah seharusnya siapapun yang memilki kemampuan, mengambil peran untuk terlibat di lapangan.

"Di masa pandemi,  semua orang pasti terkena dampaknya, mereka yang memiliki peranan di berbagai sektor harus ikut serta. Misalnya, di industri kreatif banyak orang hebat, termasuk media punya fungsi untuk menyampaikan informasi yang positif, dan tentunya sesuai fakta. Saya sudah yakin COVID-19 bakal masuk Indonesia, dan saya sudah siap untuk mengambil  peran dalam situasi ini," ujar Debry, saat dihubungi law-justice.co melalui sambungan telepon.

Dunia kedokteran telah menarik perhatiannya di usianya yang masih sangat muda, 16 tahun. Ia lalu mengutarakan keinginannya menjadi dokter kepada kedua orang tuanya.

Namun, siapa sangka, niatnya untuk menjadi petugas medis ditolak oleh ayah dan ibunya. Meski pun begitu, tidak membuatnya mundur. Ia tetap bersikukuh dalam pilihannya. Di mata Debry, dunia kedokteran adalah pekerjaan yang paling keren, karena membuatnya merasa berguna sebagai manusia.

“Keluarga saya awalnya mendukung setengah-setengah. Mereka bertanya, kamu yakin mau jadi dokter?Yakin enggak mau jadi yang lain saja? Kalau kamu jadi dokter nanti begini loh, nanti begitu loh. Begitu kata-kata yang sering dilontarkan keluarga. Dukungan penuh dari keluarga memang belum penuh saya rasakan hingga saat ini, belum 100 persen,” cerita Debry.

Di tengah keraguan keluarga, Debry menunjukan keseriusannya pada bidang yang dipilihnya. Ia berhasil lulus pendidikan kedokteran di Universitas Kristen Maranatha, Bandung dengan jangka waktu hanya lima tahun(2008-2012). Dua tahun kemudian ia mengambil sumpah dan mendapat sertifikasi kedokteran di tahun 2015.

dr. Debryna Dewi Lumanauw (Dok.Pribadi/law-justice.co)

Debry bukan tipe orang yang mudah berpuas diri. Untuk menambah ilmunya, ia melanjutkan pendidikannya di luar negeri. Setelah menyelesaikan program profesi untuk title dokter di RSUD Mangusada, Badung, Bali, pada tahun 2015 Debry mengambil spesialis bedah di Department of Surgery, Gemeinschaftskrankenhaus Havelhöhe, Berlin Jerman.

Kembali ke tanah air pada 2016, ia bekerja di RS Siloam sambil mengurus visa untuk mengambil program coordinator di LA BioMedical Research Institute, AS. Kembali ke Indonesia, Debry bergabung dengan Basarnas menjadi dokter tim INASAR (Indonesia Search and Rescue).

“Menjadi dokter relawan INASAR harus sigap. Hanya ada waktu kurang dari 30 menit setiap kali menerima panggilan untuk menyelamatkan korban bencana,” kata dia. Debry mengenang, "Saya satu-satunya dokter perempuan dan berusia paling muda tapi saya nggak bermasalah harus masuk terowongan, memanjat bangunan, atau menggotong tabung oksigen sendiri.”

Saat ini, adalah kali kedua Debry kembali ke Wisma Atlet. Ia baru saja menyelesaikan masa 14 hari berdinas di tahap awal tugas perdananya sebelum bertugas kembali. Ia pun menanggapi beberapa informasi  negatif yang tidak jelas sumbernya, mengenai penanganan pasien di Wisma Atlet.

"Penanganan pasien di Wisma Atlet, semua sesuai dengan protokol deadline dari Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Misalnya untuk pasien orang dalam pemantauan (ODP) ada kriteria pengobatan tersendiri begitu pula pasien dalam pengawasan (PDP). Lalu yang harus kita ingat, Covid-19 kan penyakit, dan yang namanya manusia itu memiliki satu sistem yang kompleks. Jadi mungkin tidak hanya Covid-19 yang kita sering temukan  pada satu pasien, tapi juga memiliki riwayat penyakit lain,” jelasnya.

Ia menegaskan, dokter-dokter di Wisma Atlet bukan hanya menerapkan treatment secara medis tapi juga dituntut untuk memberikan pertolongan yang bersifat biopsikososial. Artinya, selain obat-obatan harus juga diimbangi dengan dukungan psikis dan sosial.

dr. Debryna Dewi Lumanauw (Dok.Pribadi/law-justice.co)

Namun ia menyayangkan pelayanan dan fasilitas di rumah sakit-rumah sakit daerah yang menurutnya belum memadai. Debry mengungkapkan berdasarkan pengalamannya, ia sering menemukan alat-alat dengan kondisi yang serba kekurangan, misalnya tabung oksigen yang kosong dan obat-obatan yang harus sering dicek karena banyak yang sudah kadaluarsa.

"Di daerah, kita harus menunggu kedatangan alat dan obat ini tanpa kepastian, bisa minggu depan bahkan bisa bulan," kata Debry yang sudah pernah bertugas hampir di seluruh daerah di Indonesia.

Menurut Debry, ketimpangan yang begitu jauh antara Jakarta dan daerah-daerah tersebut terlihat sangat jelas. "Jangan ditanya soal fasilitas atau pun lainnya, ketersedian tenaga kesehatan saja sangat kurang, padahal tingkat kepatuhan masyarakat desa jauh lebih baik di bandingkan perkotaan," tambah dia.

Ketika disinggung penerapan kebijakan new normal yang akan diterapkan pemerintah, Debry mengatakan, dilihat dari segi kesehatan seharusnya tetap diberlakuan physical distancing. Dengan kondisi yang terlihat saat ini, ia percaya pemerintah sudah melakukan perhitungan yang matang.

Debry berharap pemerintah transparan dan memberikan alasan apa saja yang dipakai untuk melandasi kebijakan yang diambil. “ Jangan sampai penyampaian ini tidak sampai ke masyarakat atau tidak dimengerti masyarakat,” kata Debry.

"Kita harus akui ada kesenjangan edukasi di masyarakat, pemerintah harus lebih menekankan penyampaian kebijakan mereka, edukasi-edukasinya, jangan sampai edukasi kebijakan tak tersampaikan, bisa fatal. Menurut saya, berdamai dengan virus corona? Sebenarnya tidak yakin virusnya mau berdamai sama kita, namun apapun itu, ini adalah momen kita untuk membuktikan humanity is stronger than ever. Saya paham,banyak juga yang risau dengan masa transisi PSBB, terlebih karena banyak yang menyepelekan pandemi ini. Tapi kebijakan yang diambil, saya yakin pasti sudah diperhitungkan dari segala aspek. Mari kita tetap jaga diri sendiri, tanpa menyalahkan siapapun," tutupnya.

(Ricardo Ronald\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar