Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Memakzulkan Presiden RI Hanya Ilusi Atau Sudah Cipta Kondisi?

Jum'at, 05/06/2020 05:37 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, H. Desmond J. Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, H. Desmond J. Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Soal pemakzulan Presiden Jokowi  kini ramai dibicarakan lagi setelah munculnya teror terhadap pelaksanaan diskusi bertemakan pemecatan Presiden ditengah pandemi di kampus UGM, Yogya tempo hari. Isu pemakzulan juga mengemuka setelah akhir-akhir ini pemerintahan Jokowi dianggap telah memamerkan kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginan publik saat ini. 

Kasus-kasus seperti naiknya iuran BPJS ditengah pandemi yang melanggar konstitusi, tidak kunjung turunnya harga BBM padahal harga minyak telah anjlok  saat ini serta penanganan pandemi corona yang terkesan setengah hati menjadi amunisi untuk memakzulkan Presiden Jokowi.

Gelombang ketidakpuasan menyeruak sehingga memunculkan aksi-aksi protes yang bisa mengancam kursi seorang presiden RI. Penangkapan mantan tentara Ruslan Buton yang menulis surat terbuka ke Presiden RI ikut mengompori situasi sehingga wacana pemakzulan presiden semakin dianggap relevan untuk di angkat menjadi isu yang seksi.

Apa sebenarnya pemakzulan yang dikenal didalam konstitusi RI ?. Seperti apa proses pemakzulan di atur didalam konstitusi  dan praktek yang terjadi selama ini  ?, Bagaimana kemungkinan memakzulkan presiden untuk situasi saat ini ?. Faktor apa yang harus diwaspadai dari Presiden Jokowi agar tidak kehilangan kursi ?.

Impeachment dan Pemakzulan

Membicarakan soal pemakzulan seringkali orang menyamakannya dengan impeachment, padahal dua istilah tersebut dalam kajian hukum tata negara berbeda. Dua terminologi tersebut memiliki definisi yang tak sama, tapi punya kaitan antara yang  satu dengan yang lainnya.

Secara etimologis, impeachment berasal dari kata ”to impeach” yang mengandung dua makna yaitu  sebuah dugaan dakwaan dan panggilan pertanggungjawabannya. Dengan demikian jika  istilah impeachment disandingkan dengan presiden, tujuannya ada dua yaitu untuk proses pendakwaan terhadap dugaan perbuatan pelanggaran hukum sekaligus  pertanggungjawabannya. 

Sebuah proses impeachment tidak serta-merta akan selalu diakhiri dengan pemakzulan terhadap presiden yang menjadi sasarannya. Karena impeachment presiden merupakan proses awal dari suatu proses untuk menuju pemakzulannya. Atau dengan kata lain, impeachment bukanlah suatu pemakzulan, melainkan baru bersifat penuntutan dengan dasar dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden 

Terminologi pemakzulan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata ”makzul” yang berarti berhenti memegang jabatan atau turun takhta. Jadi, pemakzulan presiden merupakan pemberhentian atau penurunan presiden dari jabatannya. 

Kesimpulannya, pemakzulan adalah sebuah proses dari sebuah badan legislatif yang secara resmi menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi negara. Pemakzulan bukan selalu berarti pemecatan atau pelepasan jabatan, tetapi hanya merupakan pernyataan dakwaan secara resmi, mirip pendakwaan dalam kasus-kasus kriminal, sehingga hanya merupakan langkah pertama menuju kemungkinan pemecatan dirinya. Saat pejabat tersebut telah dimakzulkan, ia harus menghadapi kemungkinan dinyatakan bersalah melalui sebuah pemungutan suara legislatif, yang kemudian menyebabkan kejatuhannya.

UUD 1945 tidak menggunakan kata makzul, pemakzulan atau memakzulkan tetapi menggunakan istilah: diberhentikan, pemberhentian, sebagaimana termaktub pada Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Ke depan, tepat kiranya manakala kata diberhentikan, pemberhentian dalam UUD 1945 diubah menjadi kata dimakzulkan, pemakzulan bagi Presiden dan Wakilnya.

Kata makzul, dimakzulkan dan pemakzulan khusus digunakan bagi Presiden dan Wakil Presiden, bukan terhadap pejabat-pejabat publik lainnya. Pemakzulan berlaku di bawah undang-undang konstitusi di banyak negara di dunia, termasuk Amerika Serikat, Brasil, Rusia, Filipina, dan Republik Irlandia.

Apa yang menjadi urgensi dari pemakzulan bagi suatu negara ? Tak lain dan tak bukan, karena menyangkut keberlangsungan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara yakni, presiden selaku kepala negara. Menjadi pertanyaan selanjutnya, kenapa presiden harus dimakjulkan atau diakhiri masa kekuasaanya ? Yang pasti ini tidak terlepas dari pelanggaran yang dilakukan presiden, sehingga muncul desakan agar lepas dari jabatannya.

Seperti kita ketahui, presiden dipilih dengan membawa amanat rakyanya. Mengemban tugas untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi segenap warga negara. Namun jika dalam perjalanannya, ternyata masih ada presiden yang dianggap tidak menjalankan amanat tersebut, maka rakyat melalui wakilnya bisa  mencabut mandat yang telah diberikan kepadanya.

Pengaturan Pemakzulan

Bagaimana soal pemakzulan ini diatur dalam perundang undangan kita?. Setelah perubahan UUD 1945, dinamika sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa. Amandemen terhadap UUD 1945 membuka pintu demokrasi lebih luas di dalam sistem ketatanegaraan, tidak terkecuali pada proses mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakilnya.

Wacana mengenai mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden selalu menjadi polemik yang berkepanjangan sejak jaman Orla. Sejarah panjang di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terkait pemberhentian Presiden tidak pernah lepas dari kontroversi dari segi hukum karena proses pemberhentian Presiden selalu menjadi ranah ruang politik yang saling rebutan kuasa.

Didalam UUD 1945 dikemukakan alasan untuk memberhentikan Presiden sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7A UUD 1945, yaitu:

  1. Pengkhianatan terhadap negara;
  2. Korupsi dan penyuapan;
  3. Tindak pidana berat lainnya;
  4. Perbuatan tercela;
  5. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Di Indonesia, ketentuan tentang pemberhentian presiden diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun mekanismenya adalah :

  1. Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (“MPR”) hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (“MK”) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
  2. Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
  3. MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK.
  4. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
  5. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lama 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut.
  6. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.

Jadi secara ringkas diawali dengan pelaksanaan hak menyatakan pendapat dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap presiden. Hak menyatakan pendapat itu berupa suatu impeachment atau dugaan bahwa presiden melakukan pelanggaran hukum.

Hasil dari menyatakan pendapat itu kemudian disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diperiksa. Lantas, MK memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh presiden.

Putusan MK tersebut akan diserahkan kembali kepada DPR. Dan akan diteruskan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang kemudian memutus akhir pemakzulan terhadap presiden yang bersangkutan.

Praktek Pemakzulan

Dalam sejarah perjalanan ketatanegaraan di Indonesia sudah ada tiga presiden yang dimakzulkan sehingga tidak sampai menuntaskan masa jabatannya. Presiden pertama, Soekarno, dimakzulkan setelah menjadi presiden selama dua puluh tahun lamanya. Pemakzulan ini dinilai banyak pengamat  tidak sesuai dengan UUD 1945, meskipun MPRS yang menurunkan secara resminya. 

Pemakzulan terjadi  karena Presiden Soekarno dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan pidato nawaksaranya. Selain itu secara defacto saat itu Soeharto yang memegang kekuasaan negara.  Pemakzulan ini sering diberi label sebagai cara “kudeta lembut” alias tidak berasa.

Presiden kedua, Soeharto dimakzulkan dengan paksaan halus juga setelah defacto rakyat tidak mendukungnya. Namun, Soeharto “tahu diri”, dia memakzulkan dirinya sendiri sebelum dilengserkan secara paksa. Itulah sebabnya beliau sangat cerdik dan “licin” sehingga lepas dari jerat untuk dibawa ke pengadilan sampai ajal menjemputnya.

Presiden keempat, “Gus Dur” yang secara demokratis dipilih oleh MPR dan dipilih dengan suara terbanyak, namun akhirnya dimakzulkan juga oleh MPR yang telah mengangkatnya. 

Menurut teori pemakzulan, presiden di Indonesia itu harus memenuhi syarat: korupsi, berbuat maksiat, melanggar hukum, dan sejenisnya. Hal ini terjadi pada “Gus Dur” tanpa dipanggil terlebuh dahulu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan tiba-tiba MPR langsung memakzulkannya. 

Presidenn Soekarno, Soeharto dan Gus Dur dilengserkan karena politik bukan pelanggaran hukum yang tela dilakukannya. Dalam praktik ketatanegaraan kita, presiden dilengserkan karena politik bukan melanggar konstitusi negara.

Jika belajar dari sejarah, pada 1966 rakyat menggugat Presiden Soekarno terlibat kasus G30S/PKI yang sampai sekarang belum  bisa dibuktikan sejauhmana kebenarannya. Karena proses hukum tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pada tahun  1998 terjadi krisis ekonomi sehingga rakyat marah dan melengserkan Soeharto selaku penguasa Orba. Soeharto juga tidak diadili sehinggta tidak jelas apa salahnya. Sedangkan zaman Gus Dur terjadi politik zig-zag kemudian Gus Dur mengeluarkan dekrit presiden presiden yang menjadi pemicu kejatuhannya.

Berdasarkan konstitusi, pemakzulan dimungkinkan bagi presiden yang sedang berkuasa. Namun dalam konstitusi pula dinyatakan bahwa presiden hanya bisa dimakzulkan kalau telah terbukti melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.

Jadi penggulingan tidak bisa dilakukan hanya karena perbedaan politik semata . Hal ini terjadi pada Gus Dur  dimana ia tanpa dipanggil terlebih dahulu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dengan tiba-tiba MPR langsung memakzulkannya.

Gus-Dur diberhentikan karena dekritnya membubarkan MPR, DPR, dan Partai Golkar dinyatakan dalam fatwa Makamah Agung telah melanggar konstitusi negara. Pemakzulan Gus Dur setidaknya menjadi contoh bagaimana kekuatan politikus dapat menjatuhkan presiden tanpa menempuh perjalanan hukum sebagaimana mestinya.

Meski negera ini menganut sistem hukum, ternyata dalam kasus-kasus tertentu seperti di atas, hukum bukan menjadi panglimanya. Hukum akhirnya tunduk pada kekuatan politik yang berkuasa. Faktanya, kekuatan politik dapat menjungkir-balikan hukum dalam undang-undang buatan manusia yang memang tidak sempurna. Karena banyak celah kelemahan dalam hukum inilah, kelompok tertentu memanfaatkan untuk kepentingannya.

Sampai kini soal kejatuhan Gus Dur masih menjadi tanda tanya. Banyak yang beranggapan Gus Dur tumbang akibat kasus korupsi dan kontroversi selama pemerintahannya.Namun demikian, banyak juga yang berpendapat pemakzulan Gus Dur merupakan keputusan tak sah karena menyalahi ketentuan yang ada. Pendapat ini disampaikan oleh GusDurian (pecinta Gus Dur), salah satunya Prof. Mahfud MD yang sekarang menjadi penghuni istana. Menurut Mahfud, pemakzulan Gus Dur merupakan bentuk pelanggaran konstitusi negara.

"Pelengseran Gus Dur secara konstitusi salah. Mestinya itu tanggal 1 Agustus tetapi dimajukan menjadi 23 Juli 2001. MPR langsung mempercepat sidang Gus Dur, harusnya diberi memorandum I dan II. Ini menjadi cacat hukum," kata Mahfud dalam diskusi Pemikiran Gus Dur di PBNU, Jakarta, Kamis (23/1), sebagaimana dikutip republika.

Bukan hanya itu, Mahfud juga menuding MPR telah melakukan pelanggaran saat menyidangkan Gus Dur. "Pasal 27 semua keputusan MPR harus dihadiri oleh semua fraksi, tetapi yang enggak ada fraksi PDKS dan PKB, tapi dipaksakan. Itu melanggar Tap MPR Nomor 2," ujarnya.

Kiranya jelas dalam pelaksanaan pemakzulan presiden dalam prakteknya masih banyak kelemahan dalam pelaksanannya. Meski saat ini isudah ada mekanisme untuk memberhentikan Presiden yang sedang berkuasa namun masih terdapat beberapa kelemahan yang cukup mendasar serta prinsip yang berkaitan dengan kaidah-kaidah dengan segala implikasi yuridisnya.

Kelemahan itu diantaranya terletak pada posisi MK (Mahkamah Konstitusi) yang ada di posisi tengah bukan penentunya. Padahal seyogyanya MK  menjadi lembaga pemutus akhir dan final serta mempunyai daya laku dan mengikat kepada lembaga negara lainya yang harus diikuti oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Berdasarkan desain konstitusional saat ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7A dan 7B serta ketentuan Pasal 24C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi (MK) tak bisa memberhentikan seorang Presiden Indonesia. Tetapi proses pemberhentian kepala negara (Presiden) ada ditangan MPR (desecion makernya).

Alhasil kalau misalnya presiden dinyatakan bersalah oleh MK, maka presiden tak bisa langsung kehilangan kursinya. Karena hilang tidaknya kursi itu tergantung sidang MPR yang akan memutuskannnya. Kalau disidang MPR itu  Presiden menang voting maka presiden tidak jadi kehilangan kekuasaannya.

Dengan realitas seperti itu maka hal ini bisa dinilai sebagai kelemahan UUD  1945 dimana tidak ada prinsip keseimbangan antara daulat hukum dan daulat rakyat. Pada hal seyogyanya dalam konteks proses pemberhentian Presiden mestinya lebih mengutamakan prinsip kedaulatan hukum (supremasi hukum), bukan supremasi politik  (meskipun sering mengatasnamakan daulat rakyat yang menentukannya). Dengan demikian MPR seyogyanya tinggal ketok palu mengesahkan saja kesalahan yang telah dilakukan seorang presiden Indonesia sesuai dengan keputusan MK. 

Karena proses persidangan di selama 90 hari telah  dilakukan secara terbuka melalui peradilan yang mengutamakan prinsip ”fair trial” di MK. Kalau ini yang dijadikan pedoman maka Indonesia sebagai sebuah negara hukum akan mendapat tempat yang proporsional dalam model impeachment/pemakzulan Presiden karena hukum menjadi panglima. Tidak seperti yang terjadi sekarang dimana politik yang menjadi panglimanya.

Hanya Sebuah Ilusi ?

Dimasa orde lama tepatnya tanggal 10 Januari 1967,  Presiden Soekarno dimakzulkan oleh MPR setelah pidato pertanggungjawabannya tentang PKI  ditolak oleh MPRS. MPRS yang kemudian memberikan mandat kekuasaannya kepada Soeharto yang kemudian menjadi penguasa Orba.

Setelah 32 tahun berkuasa, Soeharto memakzulkan dirinya sendiri gara-gara rakyat bersama mahasiswa mendesaknya untuk turun dari jabatannya.  Pada bulan  Juli 2001, dua tahun setelah berkuasa, giliran Gus Dur yang  juga dilengserkan dari kekuasaannya.

Tetapi pemakzulan seperti terjadi pada masa Soekarno, maupun Gus Dur saat ini dinilai sulit untuk direalisasikan karena sudah berbeda kondisinya. Pemakzulan saat ini sulit diwujudkan karena beberapa hal diantaranya.

Pertama, .Presiden  yang sekarang ipilih Langsung oleh rakyat  sesuai dengan  UU 23 Tahun 2003, yang mengatur mengenai mekanisme Pilpres secara langsung oleh rakyat Indonesia. Pemilihan kepala negara tak lagi dilakukan oleh MPR seperi sebelumnya.Pilpres langsung pertama yang dilakukan adalah pada 2004, yang menelurkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai pemenangnya.Dengan adanya system pemilihan presiden langsung maka . semakin kecil peluang untuk melakukan impeachment terhadap presiden yang sedang berkuasa.

Kedua,Impeachment Harus Punya Dasar Yuridis dimana upaya pemakzulan dalam masa sekarang ini, tidak cukup dengan hanya dasar pertimbangan politik semata. Pertimbangan yuridis menjadi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 7A UUD 1945.

Ketiga, Harus Lewati MK Dulu.Pengejawantahan dari konsep gabungan antara hukum dan politik terkait upaya pemakzulan adalah alasan untuk memakzulkan itu harus disetujui terlebih dahulu oleh MK. Mahkamah akan mengkaji alasan-alasan berdasarkan bukti-bukti yang ada untuk selanjutnya menentukan apakah alasan untuk memakzulkan itu bisa ditolak atau diterima.

Bahwa presiden yang berkuasa sekarang sulit untuk di lengserkan dari kursinya diamini juga oleh ahli hukum tata negara Prof. Dr. Denny Indrayana.  Sebagaimana dikutip oleh tempo.co selasa 2 juni 2020, Denny menyatakan  Presiden Joko Widodo sulit dimakzulkan baik secara konstitusional maupun secara politk. Selain syaratnya yang sulit dipenuhi, pemerintahan Jokowi didukung oleh mayoritas partai politik di parlemen yang hampir semuanya mendukung penguasa.

Denny menjelaskan Pasal 7A UUD 1945 mengatur presiden bisa diberhentikan oleh MPR atas usul DPR jika terbukti melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau melakukan perbuatan tercela.

"Di sini saja prosesnya sudah berat, dengan oposisi yang tinggal PKS dan Partai Demokrat, bisa kita duga (usulan pemakzulan) akan ditolak oleh DPR. Jadi baru langkah pertama saja presiden sudah aman," katanya dalam diskusi daring `Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Masa Pandemi Covid-19`, seperti dikutip tempo.co Senin, 1 Juni 2020.

Andai DPR menyetujui usulan pemakzulan, tahapan berikutnya adalah mengajukannya ke Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili tindak pidana yang dilakukan presiden. Ada tiga kemungkinan di sini: usulan ditolak, tidak dapat diterima, dan mendengarkan pendapat DPR."Kalau ditolak atau tidak dapat diterima maka selesai. Kecuali tetap ingin mendengar pendapat DPR, maka itu kembali ke DPR lagi," tuturnya.

Jika MK ternyata menyatakan presiden melakukan tindak pidana, maka tahapan berikutnya adalah sidang MPR. "Di MPR belum tentu juga diberhentikan. Bisa saja keputusan MK itu dianulir MPR," ucapnya.

Selain itu, pemakzulan presiden saat ini kemungkinan besar terganjal oleh syarat kuorum di DPR dan MPR yang diatur dalam Pasal 7B ayat 3 UUD 1945. Pengajuan pemakzulan di rapat paripurna DPR mensyaratkan harus mendapat dukungan dan dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga anggota. Karena untuk mencapai ini saja sudah setengah mati karena koalisi Jokowi yang menguasainya. Kalau tidak ada perubahan arah koalisi sulit ada pemberhentian presiden di periode sekarang karena hampir semua kekuatan parlemen memihak ke penguasa.

Syarat kuorum ini pun semakin berat jika nantinya pemakzulan dibawa ke sidang paripurna MPR. UUD 1945 mengatur pemberhentian presiden di sidang MPR bisa dilakukan jika dihadiri tiga perempat anggota MPR dan disetujui dua pertiga anggota.

Dengan melihat fakta sulitnya jalan untuk melengserkan seorang presiden maka semestinya presiden bersikap santui saja jika ada gerakan gerakan atau upaya upaya untuk melengserkannya.  Tidak usah bersikap kalap apalagi gelap mata sampai menangkapi orang seperti Ruslan Buton hanya karena yang bersangkutan menulis surat terbuka yang meminta supaya turun dari jabatannya. Atau menteror diskusi bertemakan pemecatan presiden di Yogya yang dituduh makar segala.

Karena  upaya pemakzulan presiden itu sekarang begitu sulitnya  maka menjadi aneh kala kemudian  presiden lewat pendukungnya terkesan begitu reaktif ketika kursinya mau di utak atik oleh para penentangnya.

Menyikapi ribut ribut soal pemakzulan yang saat ini ramai di sosial media ada baiknya presiden mendengarkan saran dari Ketua DPP PDIP Cahyo Kumolo sebagaimana dikutip detikcom, Kamis (4/2/2010). Saran Cahyo Kumolo sebenarnya ditujukan kepada pemerintah SBY-Budiono ketika masih berkuasa tapi masih relevan juga dengan kondisi sekarang ketika jagonya PDIP  berkuasa. 

Saat itu Cahyo mengatakan  "Pendukung SBY seharusnya tidak perlu terlalu takut adanya pemakzulan. Kalau memang benar tidak terlibat kenapa takut," katanya. Hal yang sama bisa dipertanyakaqn kepada presiden yang sekaran berkuasa. Kalau memang benar kenapa harus takut menghadapinya ?.

Sungguhpun proses pemakzulan itu panjang dan berliku sehingga sulit mewujudkannya tetapi presiden yang sekarang berkuasa tidak boleh menganggap enteng situasi yang sekarang terjadi di Indonesia. Karena segala kemungkinan bisa terjadi tanpa bisa diduga duga.  Ditengah pandemi corona kalau tidak hati hati seorang presiden bisa kehilangan kursinya.

Proses kehilangan kursi bisa diawali dengan sikap juwawa yang tercermin melalui pengambilan kebijakan kebijakan yang terkesan semau maunya. Seperti misalnya menaikkan iuran BPJS yang jelas jelas melanggar ketentuan yang ada. Atau tidak menurunkan harga BBM dalam negeri meskipun sudah anjlok harga minyak dunia. Bisa juga karena sikap otoriter penguasa dan ketidakadilan yang diterapkannya.

Semua itu akan memicu kekecewaan rakyat sehingga bisa membuat mereka melakukan aksi unjuk rasa untuk menurunkan presidennya. Presiden mungkin sulit diturunkan secara formal melalui parlemen tapi dipaksa memakzulkan dirinya sendiri seperti halnya yang dilakukan penguasa Orba.

Kemungkinan kemungkinan seperti itu selalu terbuka apalagi sekarang fenomena di Amerika sudah mewabah ke seantero dunia.  Ketidakadilan yang ditunjukkan oleh polisi Amerika sehingga membuat seorang kulit hitam meninggal dunia telah memicu kemarahan dimana mana. Karena ketidakadilan adalah bahasa universal yang bisa manjadi instrument untuk membangkitkan kesadaran bersama menentang penguasa.

Akhir-akhir ini publik dunia dibuat heboh ketika meledak demo di Amerika. Demo itu dikabarkan sampai merangsek ke gedung putih tempat Donald Trump bersemayam bersama keluarganya. Ketika demo  massa menyerbu gedung putih, Trump dikabarkan sampai dilarikan ke bunker bawah tanah yang ada disana. Bahkan media besar The New York Times membuat headline soal #BunkerBoy tanggal 2 Juni 2020 yang mengkritik Trump gunakan kekerasan hadapi pendemo tetapi takut dan bersembunyi di bunkernya.

Ditengah pandemi corona dan tewasnya Goerge Floyd di Amerika telah membuat kursi Trump ikut terancam posisinya. Nasib serupa bisa saja menimpa presiden Indonesia jika masih tetap memamerkan kebijakan kebijakannya yang tidak sejalan dengan kehendak rakyatnya. Sekarang semuanya tergantung pada pemegang kuasa. Kalau memang kursinya tidak ingin diambil kembali oleh  yang punya yaitu rakyat Indonesia, maka presiden harus segera putar haluan untuk menjalankan secara teguh Pancasila dan UUD 1945 sesuai janji-janji dan sumpahnya.

Tetapi kalau memang sudah bosan memimpin negara lalu ingin istirahat dari kewajibannya mengurus negara, kiranya rakyat  Indonesia juga akan menerimanya dengan lapang dada. Yang penting ditengah hantaman pandemi corona ini rakyat berharap penguasa tidak aji mumpung menjalalankan kekuasaan yang menyengsarakan rakyatnya. Mungkin itu saja sih yang menjadi harapannya.

(Editor\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar