Waspada, Demo & Kekerasan di Amerika Serikat Bisa Menular ke Indonesia

Kamis, 04/06/2020 06:00 WIB
Polisi di Minneapolis membunuh pria kulit hitam bernama George Floyd dengan cara mencekik lehernya menggunakan dengkul. (Dok. Facebook/Darnella Frazier)

Polisi di Minneapolis membunuh pria kulit hitam bernama George Floyd dengan cara mencekik lehernya menggunakan dengkul. (Dok. Facebook/Darnella Frazier)

Jakarta, law-justice.co - Hari-hari terakhir ini media massa di dunia banyak dihiasi oleh berita gelombang unjuk rasa dan penjarahan yang terjadi di Amerika Serikat akibat tewasnya George Floyd oleh polisi AS. Bahkan gelombang unjuk rasa itu saat ini sudah menular ke Eropa dan Kanada. 

Insiden ini bermula Senin pekan lalu, ketika Floyd, pria kulit hitam yang dicurigai polisi Kota Minneapolis, Negara Bagian Minnesota, mengedarkan uang palsu ditahan semena-mena. Lehernya diinjak salah satu petugas bernama Derek Chauvin selama 8  menit yang membuatnya kehilangan nyawa. Video prosesi diinjaknya leher Floyd sampai dia meningga dunia viral di seluruh dunia.

Mengapa kematian seorang kulit hitam Floyd bisa memicu unjuk rasa besar-besaran yang disusul dengan kerusuhan dan penjarahan  di Amerika ?.  Sejauhmana peristiwa ini bisa memicu peristiwa serupa di Indonesia, adakah potensinya ?

Ini dia pemicunya

Siapapun orangnya kalau  menyaksikan proses kematian George Floyd yang diinjak oleh polisi Amerika akan merasa sedih, trenyuh, marah dan iba.Bagaimana tidak seorang tinggi besar kulit hitam itu harus meregang nyawa dengan cara cara yang sangat menggenaskan karena selama 8 menit  tercekik lehernya. Pada hal dia sudah memohon mohon supaya polisi melepaskannya karena tidak bisa bernafas sebagaimana mestinya. Dikabarkan ketika menyaksikan detik detik kematian Floyd mantan presiden Amerika Barack Otama sampai menitikkan air mata.

Peristiwa itu sempat direkam oleh seorang warga yang juga mengingatkan polisi agar segera melepaskan Floyd yang sudah sekarat karena cekikannya. Tapi permohonan dari warga yang berada di sekitar kejadian perkara itu diabaikan aparat yang ada disana. Sampai akhirnya datang ambulan yang menjemput jasadnya 

Kita bisa bayangkan bagaimana seandainya tidak ada warga yang merekam kejadiannya. Bisa jadi peristiwa  meninggalknya Floyd dianggap sebagai perkara biasa saja. Karena polisi dikabarkan sempat berkilah bahwa Floyd melakukan perlawanan ketika aparat mau meringkusnya. Tapi bukti video CCTC dilokasi kejadian menunjukkan bahwa Floyd tidak melakukan perlawanan sebagaimana tuduhan polisi kepadanya.

Segera video proses meninggalnya Floyd yang di injak oleh polisi Amerika itu  menjadi viral diseluruh dunia. Sehingga  diyakini sebagai penyebab utama munculnya gelombang unjuk rasa, penjarahan dan kekerasan disana.

Meski semua polisi yang terlibat penangkapan Floyd dipecat, sementara Chauvin akhirnya ditangkap dan dikenai pasal pembunuhan, tapi kemarahan massa tak kunjung mereda. Presiden Donald Trump sampai mengerahkan garda nasional untuk membantu kepolisian di beberapa kota yang kewalahan mengadang pengunjuk rasa.

Kematian Floyd hanya menjadi pemicunya saja,tapi potensi rusuh di Amerika oleh warga kulit hitam sebenarnya sudah terpendam sejak  lama. Ibarat api dalam sekam tinggal menunggu pemantiknya saja.Kemarahan massa kulit hitam dipicu oleh keyakinannya bahwa  polisi di Amerika  tak pernah berubah dalam memperlakukan warga kulit hitam yang dianggap sebagai warga kelas dua. 

Ada rasisme sistemik, mengasumsikan semua kulit hitam cenderung melawan ketika ditangkap, sehingga para tersangka yang belum tentu bersalah tewas akibat ditembak atau mengalami kekerasan bahkan sampai meninggal dunia. 

Kerusuhan yang terjadi di Amerika tahun ini bukan yang pertama. Sebelumnya juga pernah terjadi kerusuhan serupa dengan pemicu yang kurang lebih sama. Kerusuhan tahun ini menyamai skalanya menyamai kerusuhan di  Los Angeles tahun 1992 yang dipicu oleh kemarahan massa setelah melihat video seorang warga kulit hitam bernama Rodney King dikeroyok polisi hingga kehilangan nyawanya.

Di bagian negara Minnesota saja menurut catatan BBC, setidaknya ada tiga peristiwa pembunuhan yang melibatkan polisi dan dinilai semena-mena. Pertama, tahun 2015 penembakan terhadap pria berusia 24 tahun, Jamar Clark. Ia ditembak oleh polisi karena menurut keterangan, Clark coba merebut senjata yang digunakan oleh otoritas berwenang disana. Polisi terpaksa mengambil keputusan untuk menembaknya.

Pada tahun 2016 lalu, polisi yang menembak mati Clark tidak dikenakan dakwaan apapun, lantaran ia berhasil membuktikan pria 24 tahun itu ditembak tidak dalam keadaan diborgol tangannya. Keputusan jaksa itu bertentangan dengan keterangan saksi di lokasi yang menyebut Clark ditembak dalam keadaan tangan diborgol dan tidak melawan petugas yang meringkusnya. 

Pada tahun 2016 pula   polisi jmenembak mati Philando Castile ketika mobilnya diminta untuk berhenti di pinggir jalan raya. Polisi meminta agar Castile menunjukkan dokumen berupa SIM dan kartu identitasnya. Alih-alih berakhir damai, Castile justru ditembak dengan alasan, polisi menduganya Castile akan mengambil senjata dan menembak polisi yang akan menangkapnya. 

Petugas kepolisian yang menembaknya dan dijadikan terdakwa adalah Jeronimo Yanez. Tetapi, dalam sidang putusan tahun 2017 lalu, Yanez dinyatakan juri tidak bersalah dan akhirnya bebas dari segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya. 

Berikutnya terjadi pembunuhan terhadap perempuan asal Australia bernama Justine Damond. Pelaku yang juga polisi diketahui bernama Mohamed Noor. Damond justru ditembak ketika hendak melaporkan telah terjadi upaya pemerkosaan yang menimpa dirinya di rumahnya di Minneapolis tahun 2017 lalu. Ketika sidang digelar pada 2019 lalu, Mohamed mengakui penembakan terhadap Damond merupakan sebuah kesalahan. Ia kemudian divonis penjara 12,5 tahun penjara. 

Akumulasi kekecewaan warga kulit hitam Amerika kepada polisi disana sempat diceritakan oleh seorang penulis Michael A. fletcher  di situs Nationalgeographic.co.id ,20/2/2020.  Dalam tulisannya ia  menceritakan bagaimana perlakuan tidak adil polisi Amerika terhadap warganya yang berkulit putih dan berkulit hitam di Amerika.

Ketidakadilan itu misalnya terjadi dalam peristiwa penyetopan penyetopan mobil di jalan raya. Menurutnya penyetopan di jalanan adalah interaksi yang paling umum antara polisi dan masyarakat di Amerika. Ia telah menjadi titik fokus dalam perdebatan tentang ras, penegakan hukum, dan kesetaraan di Amerika.

Proporsi yang tidak seimbang dari perkiraan 20 juta penyetopan di jalan yang dilakukan polisi di AS setiap tahun, melibatkan pengemudi berkulit hitam, walaupun mereka belum tentu memiliki kecenderungan melanggar peraturan lalu lintas, dibandingkan dengan orang kulit putih. Pengemudi berkulit hitam dan Hispanik lebih sering digeledah dibandingkan orang kulit putih, walaupun mereka belum tentu membawa barang terlarang atau pelanggaran hukum lainnya.

Di seluruh negeri, pengemudi kulit hitam dan Hispanik yang taat hukum, merasa ketakutan dan dipermalukan oleh tindakan semena-mena dari polisi, yang terlalu sering memandang mereka sebagai pelaku kriminal. Perlakuan semacam itu membuat perasaan kaum minoritas marah dan curiga terhadap polisi dan motif mereka.

Peristiwa peristisa ini telah memicu aksi aktivis untuk  turun ke jalan  memprotes perlakuan dan penembakan polisi terhadap orang kulit hitam yang tidak bersenjata. Protes juga dilakukan oleh para atlet, termasuk para memain Nasional Football League, berlutut atau mengepalkan tinjunya saat menyanyikan lagu kebangsaan di acara-acara olahraga untuk menyoroti ketidaksetaraan yang masih ada.

Orang-orang kulit hitam dan Hispanik, khususnya, juga khawatir disetop jika mereka mengendarai mobil yang bagus di lingkungan komunitas orang berada di Amerika. Masyarakat kulit hitam dan hispanik juga kuatir jika  mengendarai jenis mobil apapun di daerah yang memiliki tingkat kejahatan tinggi. Image bahwa warga kulit hitam dan hispanik identic dengan pelaku kejahatan sepertinya sudah merasuki benak warga kulit putih di Amerika.  

Sebagai contoh Rosie Villegas-Smith, warga AS kelahiran Meksiko yang tinggal di Phoenix, Arizona, selama 28 tahun, telah disetop beberapa kali oleh deputi sheriff Maricopa County, yang terkenal suka memanfaatkan tuduhan pelanggaran lalu lintas ringan, untuk memeriksa status imigrasi pengemudi Hispanik yang tinggal disana. 

Data statistik tentang penyetopan di tempat lain, adalah samar. Namun, data ini menunjukkan pola yang sama bahwa orang kulit hitam dan Hispanik disetop dan digeledah lebih sering dibandingkan warga kulit putih pada umumnya . Hal ini terlihat di mana-mana, memengaruhi pengemudi di kota, daerah pinggiran, dan pedesaan. Pria memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan wanita, dan bagi pria kulit hitam ini merupakan pengalaman universal yang mereka dapatkan ketika menjelajahi jalan jalan di Amerika.

Penembakan polisi saat penyetopan di jalan secara statistic saat ini memang  mulai  jarang terjadi. Akan tetapi,  perlakuan secara tidak proporsional, masih sering dialami oleh pengemudi kulit hitam dan Hispanik. Rasa sakit yang dialami oleh keluarga dan kerusakan yang diakibatkan terkait perilaku terhadap polisi, tak terhitung jumlahnya.

Akhirnya bisa disimpulkan bahwa unjuk rasa yang di iringi dengan penjarahan dan kekerasan yang hari ini terjadi di Amerika merupakan akumulasi dari rasa kecewa yang begitu lama dialami oleh warga kulit hitam dan hispanik yang  hidup disana.

Pembunuhan yang menimpa Floyd dianggap merupakan kelanjutan dari kisah-kisah serupa di masa lalu. Bahkan, ada seorang warga Minneapolis yang menuliskan di akun media sosialnya dengan huruf besar "kita seharusnya membakar kota ini demi Philando Castile".

Potensi Menular ke Indonesia

Gelombang demo besar di Amerika yang dibarengi dengan aksi penjarahan dan tindak kekerasan dikabarkan telah menyeberang ke Eropa negara. Negara negara seperti Inggris dan Perancil  serta Kanada telah dilanda demam yang sama.

Penduduk di kota kota eropa itu berunjuk rasa sebagai wujud solidaritas terhadap kematian Floyd di Amerika oleh tindakan bodoh empat polisi Amerika.Mereka berunjuk rasa sebagai wujud solidaritas sesama anak manusia yang teraniaya.

Kalau virus demo Amerika bisa menyeberang ke Kanada dan  Eropa maka sangat mungkin aksi itu menular ke Indonesia. Mengingat Indonesia sebenarnya menyimpan potensi yang hampir sama yaitu perasaan diperlakukan tidak adil oleh pihak aparatnya.

Peristiwa unjuk rasa besar di Indonesia yang diiringi dengan penjarahan akibat kesewenang wenangan aparat pernah terjadi misalnya pada agustus 2018 lalu di Papua. Seperti diakui oleh Kapolri saat itu Tito Karnavian, menyatakan kerusuhan yang terjadi di Papua memang dipicu represi aparat terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya.

Peristiwa kerusuhan  juga pernah terjadi menjelang jatuhnya Orba pada 12 Mei 1998 yang lalu. Saat itu empat orang mahasiswa Trisakti Jakarta tewas ditembak polisi di kampus mereka. Penembakan ini memicu terjadinya kerusuhan massal di sejumlah daerah di Indonesia. Hingga kini, kasus penembakan tersebut masih menjadi misteri karena tidak jelas siapa otak penembaknya.

Saat ini potensi unjuk rasa dan kerusuhan itu bisa muncul di Indonesia mengingat adanya perlakuan sewenang wenang yang sering ditunjukkan oleh aparat dalam melakukan penengakan hukum di masyarakat kita. Penegakan hukum yang diwarnai dengan aksi kekerasan, arogansi dan kesewenang wenangan sudah sering kita dengar beritanya.

Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sepanjang Juni 2018 hingga Mei 2019 menemukan 643 kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri, baik dari tingkat Polsek hingga Polda. Hal tersebut diungkap bertepatan dengan hari Bhayangkara ke-73, Senin (1/7).

Koordinator KontraS, Yati Adriyani mengatakan tindakan kekerasan yang dilakukan pihak kepolisian beragam seperti penembakan, penyiksaan, penganiayaan dan lain-lain."643 peristiwa kekerasan oleh kepolisian seperti penangkapan sewenang-wenang yang mengakibatkan korban luka dan tewas," kata Yati dalam diskusi yang bertema `Netralitas, Diskresi dan Kultur Kekerasan Masih Menjadi Tantangan Polri` di kawasan Cikini, Jakarta, Senin (1/7).

Sementara itu menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), untuk perkara penangkapan sewenang-wenang oleh polisi saja ada 88 kasus, dengan jumlah korban mencapai 1.084 jiwa.

Adanya tindakan sewenang wenang yang dilakukan oleh aparat berwenang bisa berpotensi memunculkan gelombang protes seperti yang saat ini terjadi di Amerika. Namun kalau di Amerika terjadi diskriminasi perlakuan antara ras kulit hitam dan hispanik dengan warga kulit putih, di Indonesia agak berbeda.

Di Indonesia kasus kasus itu sering muncul karena perlakuan yang berbeda oleh aparat kepada masyarakatnya. Yang pertama adalah perlakuan yang berbeda antara masyarakat miskin dan kaya. Yang kedua masyarakat pribumi dan dari etnis China. Yang ketiga masyarakat yang menjadi pendukung penguasa atau sebaliknya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum di negara ini bisa dipermainkan sedemikian rupa sehingga keadilan susah didapat oleh rakyat jelata. Mereka yang mempunyai uang akan bisa menentukan merah hijaunya keputusan pengadilan yang sedang menggelar suatu perkara. Memang tidak semuanya begitu tapi rata rata kejadian bahwa hukum bisa “dimainkan” sudah menjadi rahasia umum dan rakyat sudah memakluminya.

Perlakuan ketidakadilan juga dirasakan oleh sebagian warga ketika berurusan hukum dengan mereka yang kebetulan berasal dari keturunan etnis tertentu khususnya China. Dalam banyak kasus, aparat hukum tidak berdaya menghadapi mereka karena kekuatan lobi dan finansialnya.Kebetulan sektor ekonomi banyak dikuasai oleh kelompok mereka sehingga bisa menentukan warna keadilan di negara Indonesia.

Yang paling dirasakan saat ini adalah perlakuan tidak adil yang diterima oleh mereka yang bukan pendukung penguasa. Kasus kasus hukum yang menyangkut oposan pemerintah biasanya akan segera di proses pelakunya untuk bisa dikirim ke penjara. Tapi kalau pelanggaran hukum itu dilakukan oleh mereka yang mendukung penguasa  maka hukum seolah olah tidak berdaya.

Perlakuan perlakuan yang bernuansa ketidakadilan itu sudah barang tentu bisa menyulut kemarahan massa yang berpotensi memunculkan kerusuhan dan huru hara. Saat ini potensi itu nampaknya menjadi terbuka dengan adanya penyebaran virus corona. Dimana dengan adanya rencana “new normal” yang melibatkan polisi dan tentara dalam mengawal pelaksanaanya berpotensi memunculkan gesekan gesekan dimasyarakat kalau aparat tidak arif menyikapinya.

Dibeberapa daerah sudah terlihat adanya potensi gesekan itu dimana langkah aparat untuk menegakkan protokcol covid 19 mendapatkan tantangan dari masyarakt karena bersinggungan dengan kebutuhan ekonomi rakyat yang sekarang memang sedang sekarat akibat pandemi corona.

Kita berharap masyarat Indonesia tidak terinspirasi oleh kejadian demo dan kerusuhan di Amerika. Karena kalau itu terjadi maka kondisi bangsa yang sudah buruk akan semakin terpuruk karena adanya huru hara. Tapi yang paling menentukan dari itu semua adalah para elite kekuasaan dan aparat keamanan yang berada digarda terdepan dalam mengelola masyarakatnya. Bisakah mereka menjadi contoh tauladan untuk menegakkan keadilan bagi semua warga bangsa ?

Kalau praktek-praktek ketidakadilan masih diterapkan dan menjadi santapan harian rakyat jelata, jangan salahkan kalau kemudian mereka bersikap meluapkan emosinya. Karena faktanya rakyat sudah lama menderita akibat penindasan oleh kekuasaan mulai jaman Orla sampai dengan Orla. Aparat sering menampilkan diri sebagai aparat penguasa bukan aparat negara apalagi aparat rakyat jelata. Kalau sudah begini kondisinya, lalu siapa yang patut dipersalahkannya ?

(Ali Mustofa\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar