Moratorium TKA China Disaat Corona, Beranikah Rejim Jokowi?

Rabu, 03/06/2020 06:39 WIB
TKA China Sedang Apel Sebelum Mulai Kerja. (Tribun)

TKA China Sedang Apel Sebelum Mulai Kerja. (Tribun)

Jakarta, law-justice.co - Akhir bulan lalu Wakil Ketua MPR RI Syariefuddin Hasan meminta pemerintah mengambil langkah tegas untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Diantaranya  melalui moratorium atau penangguhan Tenaga Kerja Asing (TKA).

“Salah satu strategi yang harus ditempuh pemerintah adalah mengutamakan tenaga kerja Indonesia untuk semua tingkatan pekerjaan yang tersedia. Rakyat Indonesia saat ini sangat mampu mengerjakan pekerjaan apapun asal diberi kesempatan dan supervise untuk bekerja,” ujar Syarief Hasan dalam keterangan di Jakarta sebagaimana dikutip media," Rabu (27/5).

Sebelumnya Indo Barometer dan Pusditbang RRI merilis survei pada Selasa (26/5) yang menunjukkan 84,3 persen rakyat Indonesia tidak puas dengan kinerja Pemerintah untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Survei juga menunjukkan bahwa angka kemiskinan naik 21,3 persen. Selain itu, data Kamar Dagang dan Industri Indonesia menyebut PHK akibat COVID-19 mencapai 15 juta jiwa.

Mengapa Buruh buruh asal China itu tetap membanjiri Indonesia ditengah pandemi corona ?, Bisakah kedatangan mereka dihentikan demi kepentingan nasional khususnya bagi  warga negara Indonesia yang banyak terkena PHK ?, Ke depan harusnya bagaimana  ?

Gelombang Kedatangan TKA China

Akhir-akhir ini gelombang kedatangan tenaga kerja asal China ke Indonesia dicurigai masih terjadi ditengah pandemi virus corona.Kedatangan mereka bisa melalui pelabuhan atau bandara tanpa sepenuhnya mendapatkan pantauan dari media. Beberapa video beredar di dunia maya mengabarkan kedatangan mereka mesikpun belum bisa dikonfirmasi kebenarannya.

Pada 22 April lalu dikabarkan 500 Tenaga kerja asing (TKA) asal China dikabarkan akan datang ke Indonesia untuk bekerja di perusahaan pemurnian nikel PT VDNI (Virtue Dragon Nickel Industry) Morosi, Kabupaten Konawe Sultra. 

Sebelumnya pada bulan maret tanggal 18 tahun 2020 tercatat sedikitnya ada 49 TKA asal China masuk ke Indonesia melalui bandar udara Haluoleo, Kendari, Minggu (15/3). Kedatangan TKA China itu banyak dikecam karena dianggap pemerintah mengabaikan keselamatan rakyatnya.

Meski sudah adanya izin dari pemerintah pusat, kedatangan TKA China itu ditolak oleh berbagai pihak di Sultra. Salah satunya dari DPRD Sulawesi tenggara, ramai-ramai para pimpinan DPRD tidak sepakat dengan kedatangan TKA China di tengah pandemi corona.

Karena mendapatkan sorotan tajam dari berbagai pihak akhirnya TKA China itu ada yang datang melalui pelabuhan bukan bandara. Sebanyak 39 tenaga kerja asing (TKA) asal China yang datang untuk bekerja di PT Bintan Alumina Indonesia (BAI) di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Mereka masuk Indonesia melalui Pelabuhan Bulang Linggi Tanjunguban, Bintan.Kedatangan mereka mendapatkan protes dari warga setempat karena merasa resah ditengah pandemi corona. Akhirnya pada Kamis (02/04/2020), -39 TKA China tersebut di pulangkan ke negaranya.

Kedatangan buruh buruh asing khususnya dari China itu selalu dikemas dalam bentuk investasi asal china yang menganggap tenaga kerja lokal tidak mempunyai kapasitas untuk mengerjakannya.Inilah yang berulangkali disampaikan oleh Menko Maritim Luhut Panjaitan mengenai alasan mengapa pemerintah Indonesia mendatangkan mereka.

Dengan alasan seperti itu akhirnya buruh lokal dikorbankan demi mengakomodasi masuknya pekerja asal China ke Indonesia. Kemudahan masuknya buruh al China (termasuk buruh kasar)  itu didukung oleh  berbagai aturan yang menguntungkan buruh asal mancanegara.

Diakui atau tidak karpet merah memang sudah digelar untuk menyambut para pengangguran China itu datang ke Indonesia . Sebut saja soal pemberlakuan bebas visa, pengesahan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian yang di antaranya mengatur soal pengawasan orang asing (POA) yang dulu dilakukan Kepolisian dihapus dan kewenangannya diberikan kepada Dirjen Imigrasi yang petugasnya hanya 100 orang saja.

Belum lagi keluarnya Peraturan Kementerian Tenaga Kerja atau Permenaker 35/2015 yang di antaranya menghilangkan rasio jumlah TKA dengan TK lokal. Sebelumnya, dalam Pasal 3 Permenaker 16/2015 diatur bahwa perusahaan yang mempekerjakan 1 (satu) orang TKA harus dapat menyerap sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang tenaga kerja lokal pada perusahaan yang sama.

Penghapusan pasal tersebut otomatis memberi kesempatan lebih luas kepada perusahaan untuk merekrut lebih banyak TKA tanpa dibebani kewajiban menerima TK lokal sesuai rasio yang sebelumnya ditetapkan.Selain itu, Permenaker 35/2015 itu juga menghilangkan kesempatan alih tekhnologi dari TKA kepada TK lokal.

Hal lain yang jadi pertanyaan adalah implementasi UU No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU itu secara jelas melarang TKA untuk bekerja sebagai buruh kasar. Aturan itu dibuat untuk melindungi TK lokal yang tidak memiliki keahlian. Bagi perusahaan atau pengguna TKA  yang melanggar bisa dikenakan kurungan penjara hingga 4 tahun serta denda hingga Rp 400 juta. Apalagi jika perusahaan tidak memiliki punya IMTA (izin mempekerjakan tenaga kerja asing).

Bagi perusahaan yang memiliki IMTA hanya boleh mempekerjakan TKA yang memiliki keahlian dan posisi pekerjaannya harus sesuai keahlian. Misalnya, ahli mesin hanya boleh bekerja di bidang mesin. Nyatanya, dalam sejumlah razia, baik yang dilakukan oleh pihak Imigrasi maupun Kemenaker ditemukan banyak buruh kasar asal Cina. Tapi, sejauh ini belum ada laporan perusahaan yang diberi sanksi, baik pencabutan IMTA maupun sanksi pidana. Sejauh ini, yang dilakukan hanya mendeportasi TKA bersangkutan. Oleh karena itu hukum harus ditegakkan secara adil dan berkelanjutan untuk membendung ekspansi buruh migrant China.

Aturan aturan yang awalnya memperketat kedatangan mereka, kini memang telah dilonggarkan untuk menyambut kedatangannya.Lima  tahun lalu, misalnya, melalui Permenakertrans No. 16/2015, pemerintahan telah menghapuskan kewajiban memiliki kemampuan berbahasa Indonesia bagi para pekerja mancanegara. Belum ada setahun, peraturan itu kembali diubah menjadi Permenakertrans No. 35/2015.

 Jika sebelumnya ada ketentuan bahwa setiap satu orang tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh perusahaan harus dibarengi dengan kewajiban merekrut 10 orang tenaga kerja lokal, maka dalam Permenakertrans No. 35/2015, ketentuan seperti itu tidak lagi ada.

Ketentuan tersebut bukan regulasi terakhir yang merugikan kepentingan kaum buruh kita. Beberapa waktu yang lalu, tanpa kajian seksama atau melalui proses konsultasi yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan, pemerintah justru meluncurkan Perpres No. 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Mancanegara.

Dengan adanya Perpres No. 20/2018, maka dengan sendirinya menghapus ketentuan mengenai IMTA (Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing). Meskipun Perpres masih mempertahankan ketentuan tentang RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing), namun karena tak ada lagi IMTA, maka tidak ada lagi proses `screening` atau verifikasi terhadap kebutuhan riil tenaga kerja asing yang akan bekerja di Indonesia.

Perpres No. 20/2018  mengabaikan kewajiban sertifikasi kompetensi bagi tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. Sesuai dengan Pasal 18 UU No. 13/2003, dan PP No. 23/2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), yang merupakan turunannya, setiap tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia seharusnya memiliki sertifikasi kompetensi yang diakui oleh BNSP. Namun, jika proses perizinan harus keluar dalam dua hari, rasanya sulit untuk bisa memverifikasinya.

Oleh karena itu bisa terjadi ada tenaga kerja asing asal Cina yang dalam RPTKA-nya disebut sebagai insinyur, tapi dalam kenyataannya ternyata hanyalah seorang juru masak atau pengaduk lumpur biasa. Kasus semacam ini kabarnya sudah banyak ditemukan dilokasi lokasi perusahaan dimana ada bruh China di sana. Selain karena lemahnya pengawasan, kasus-kasus semacam itu bisa terjadi karena ada malpraktik dalam kebijakan perburuhan kita.

Yang lebih mencengangkan lagi adalah Pasal 10 ayat 1a, disebutkan bahwa pemegang saham yang menjabat sebagai direksi atau komisaris tidak diwajibkan memiliki RPTKA. Ketentuan ini juga menyalahi UU No. 13/2003 , yaitu Pasal 42 ayat 1 dan Pasal 43 ayat 1. Sebab, seharusnya perkecualian bagi jabatan komisaris dan direksi untuk orang asing hanyalah dalam hal penunjukkan tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping dan pelatihan pendidikan saja, bukan kewajiban atas RPTKA-nya.

Singkatnya , keluarnya Perpres No. 20/2018  telah membuat  kebijakan ketenagakerjaan yang disusun oleh pemerintahan saat ini porak poranda. Hanya demi mendatangkan dan untuk menyenangkan investor asing, banyak aturan dilabrak dan diabaikan sedemikian rupa sehingga merugikan kepentingan buruh lokal dan kepentingan nasional kita.

Ini Dia Biang Keladinya

Terus  membanjirnya tenaga kerja asal China ke Indonesia memang membuat prihatin kita semua ditengah kondisi dimana anak anak bangsa banyak yang terkesan PHK karena pandemi virus corona. Data terakhir yang dirilis oleh BPS, menunjukan jumlah pengagguran di Indonesia diatas angka 7 juta jiwa (BPS, 2018).

Berbondong-bondongnya tenaga kerja asal China masuk ke Indonesia  telah membuat masyarakat khawatir akan adanya agenda terselubung di balik eksodus tenaga kerja asal China. Merebaknya eksodus tenaga kerja asal China ke Indonesia sebenarnya  berawal dari adanya kesepakatan investasi China di Indonesia melalui sistem Turn key Project Management yang disepakati dengan pemerintah Indonesia.

Turn key Project Management adalah sebuah model investasi yang ditawarkan dan disyaratkan China kepada Indonesia dengan sistem satu paket. Mulai dari top management, pendanaan dengan sistem Preferential Buyer`s Credit, materil dan mesin, tenaga ahli, bahkan metode dan jutaan tenaga (kuli), baik legal maupun ilegal didatangkan dari China.

Turn key Project ini mengatur bahwa China akan berinvestasi  di Indonesia  tetapi menggunakan produk, alat mesin, dan tenaga kerja dari mereka. Turn key Project inilah yang kemudian ditantadatangani oleh pemerintah Indonesia dalam rangka untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Belakangan diketahui bahwa Turn key Project ini merupakan konsep China dalam menciptakan lapangan kerja bagi penduduknya yang sangat besar, yakni mencapai lebih dari 1,5 miliar jiwa.

Saat ini, China sedang menerapkan sistem Investasi Turn key Project Management di Indonesia melalalu 1.734 proyek. Ada dua aspek yang sangat rawan dari investasi Turn key Project Management ini. Pertama soal tenaga kerja, kedua adalah utang-piutang.Masalah tenaga kerja, pembangunan pembangkit tenaga listrik di Purwakarta, misalnya, hampir semua pekerja mulai direksi hingga kuli, didatangkan dari China.

Begitu pula yang akan terjadi di Medan, China membawa sedikitnya 50ribu tenaga kerja. Bila investasi di Medan saja mendatangkan 50 ribua-an pekerja, lalu berapa banyak tenaga kerja China yang datang melalui 1.734 proyek yang direncanakan di Indonesia?.

Turn key Project Management ini bisa menjadi ancaman serius bagi masa depan Indonesia. Sebab, sistem investasi satu paket ini, sudah sukses dijalankan China di Tibet (Dalai Lama) dan di Afrika, tepatnya Zimbabwe dan Angola.Penjajahan China di Zimbabwe telah masuk ke sistem mata uang. Karena tidak mampu membayar utang ke China yang jatuh tempo akhir Desember 2015, pada 1 Januari 2016, Zimbabwe menggunakan mata uang Yuan China sebagai mata uang nasional mereka.

Kesepakatan ini menjadi solusi penghapusan utang. Berbeda dengan Zimbabwe, di Angola, ekonominya saja yang dikuasai China. Namun, banyak pengamat ekonomi internasional memprediksikan, nasib Angola akan mengikuti Zimbabwe.

Dikhawatirkan turn key project ini merupakan strategi Cina untuk menguasai Indonesia secara non militer. Secara perlahan ia memasukkan warganya ke Indonesia, kemudian mendesak keluar warga pribumi Indonesia pada peran di sektor-sektor strategis di Indonesia diganti warga Cina. Hingga akhirnya, pemilik Indonesia bukanlah orang-orang keturunan nusantara, tetapi adalah orang-orang Cina.

Gencarnya investasi China melalui turn key project  tak lepas dari misi China untuk membangun pengaruhnya  di dunia.  Harus dipahami kalau Cina memang punya sumber dana yang hampir tidak terbatas. Sejak Presiden Xi Jinping berkuasa tahun 2013, Beijing juga menerapkan kebijakan luar negeri baru, terutama di bidang ekonomi dan investasi. China sedang mengembangkan misi untuk menguasai dunia melalui program One Belt One Road (OBOR) yang akan menempatkan China sebagai “kepala preman” dalam jalur produksi, distribusi dan konsumsi di Asia Pasifik.

Untuk mengelola dana investasi ke luar negeri, Cina mengumumkan pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan apa yang disebut prakarsa "One Belt, One Road (OBOR)". Tujuan OBOR - yang juga dikenal dengan sebutan Prakarsa Jalan Sutra Baru - adalah membangun infrastruktur lintas benua. Beijing ingin memperluas jaringan dagangnya ke Eropa, Asia Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara, baik melalui darat maupun laut.

Sejauh ini Cina masih terus menggenjot investasi mereka di Indonesia. Pada saat yang sama, Cina saat ini juga menjadi eksportir terbesar di Indonesia dengan nilai dengan nilai 30.800 miliar dollar AS (per Maret 2017). Di Indonesia, investasi China masuk ke berbagai sektor. Mulai dari pertambangan, transportasi, konstruksi dan real estate, perkebunan, hingga pembangkit listrik.

Ada beberapa konstruksi raksasa hasil investasi China di Indonesia, termasuk yang sedang direncanakan diantaranya : jembatan Suramadu, Bendungan Jatigede, industri kelapa sawit, kawasan pengolahan stainless yang dibangun di dalam Kawasan Industri Indonesia Morowali.

Pepatah ‘tidak ada makan siang gratis’ tentu berlaku pada perjanjian-perjanjian kemitraan yang dilakukan Cina. Tidak mengherankan jika dalam berbagai proyek pengembangan infrastruktur di negara ini, kehadiran dan peran perusahaan-perusahaan Cina menjadi sangat dominan mulai dari perencanaan, pengadaan barang dan jasa hingga konstruksi (engineering, procurement, construction[EPC]).

Membanjirnya barang-barang yang terkait dengan konstruksi infrastruktur seperti mesin-mesin dan baja serta pekerja ahli hingga buruh kasar dari Cina merupakan konsekuensi dari pemberian utang tersebut. Padahal sebagian besar dari barang dan jasa tersebut sejatinya amat melimpah di negara ini.

Anehnya Pemerintah Indonesia tegas menyatakan dukungan atas berbagai kepentingan Cina di Indonesia. Ketika bertemu dengan Xi Jinping di Jakarta (22/4/15), Jokowi juga mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia siap memperluas kerjasama dengan Cina di berbagai bidang. Salah satunya adalah mengkolaborasikan rencana Cina “21st Century Maritime Silk Road” dengan strategi pembangunan pemerintahan Jokowi.

Tiga Proyek Cina tersebut merupakan bagian dari ‘one road, one belt’ yang digagas Pemerintah Cina untuk membangunan infrastruktur laut dan darat yang menghubungkan Cina dengan kawasan-kawasan di Asia hingga Eropa. Tujuannya tidak lain adalah meningkatkan pengaruh politik dan ekonomi negara China di kawasan yang dirambahnya.

Xi menganggap komunitas regional sebagai perpanjangan dari negara Cina, atau setidaknya sebagai bagian dari nilai-nilai peradaban China. Jadi, gagasan, struktur, dan proyek Xi dirancang untuk membangun pengaruhnya di kawasan dan pada tatanan dunia, sehingga sama dengan negara-negara kapitalis lainnya, kepentingan politik dan ekonomi Cina akan mulus bila Indonesia ini tetap sekuler.

China masih menggunakan ‘strateginya’ dalam pembangunan proyek-proyek konstruksi dengan memperbanyak mitranya di Indonesia. Karena selama negeri yang berpenduduk Muslim ini menjadikan Islam sebagai agama ritual saja bukan sebagai Islam kafah yang mengurusi masalah politik, ekonomi dan ruang publik lainnya maka kepentingan politik dan ekonomi negara-negara kapitalisme itu akan tetap terjaga.

Bagaimana Sebaiknya ?

Akibat masuknya  tenaga kerja China menyebabkan tenaga kerja lokal tidak terpakai, perlakuan diskriminatif sampai dengan  penyediaan sarana sesuai kebutuhan tenaga kerja asing (TKA) yang bertentangan dengan nilai-nilai kita seperti  (miras, prostitusi hingga narkoba). Selain itu potensi kerja intelijen oleh TKA juga disinyalir oleh banyak pengamat kita. Bahkan dapat menguasai aset strategis milik bangsa bila proyeksi keuntungan dari investasi itu tidak bisa dicapai oleh mereka.

Begitu memprihatinkan, ketika negara membiarkan rakyat membentengi dirinya sendiri dari dampak buruk investasi asing asal China. Investasi asing model Turnkey Project Management pun dimuluskan jalannya. Ini semua menjadi sarana bagi perusahaan-perusahaan asing untuk  ramai-ramai merampok kekayaan alam Indonesia.

Negara seharusnya tak hanya menjadi regulator, atau bahkan operator yang memfasilitasi pihak manapun yang ingin berkiprah di Indonesia. Apalagi jika hal itu merugikan kepentingan nasional kita. Inilah akibatnya ketika negara mengakomodasi  ideologi neo kapitalisme dan neoliberalisme yang sebenarnya bertentangan dengan Pancasila. Sehingga karakter investasi model turn key projectpun diterimanya saja.

Kita menyayangkan pejabat negara yang seharusnya berperan penting dalam mengubah negeri ini menjadi lebih baik justru menjadi kepanjangan tangan tangan asing yang datang dengan nama investasi yang merugikan kedaulatan negara. 

Ingatlah negara-negara penjajah tidak akan pernah rela melepaskan daerah jajahannya. Mereka senantiasa merancang dan memperbarui bentuk penjajahannya. Kini penjajahan itu dibungkus atas nama “investasi”untuk kemajuan ekonomi bangsa . Tapi  fakta berbicara bahwa orang asinglah yang telah “mengatur”/ menjadi pengampu kekuasaan negeri agar para kapitalis itu diperbolehkan melakukan banyak eksploitasi di negara kita. Parahnya hal itu ‘difasilitasi’ melalui berbagai macam Undang-Undang, seperti UU Migas atau UU Penanaman Modal Asing (PMA), dan UU lainnya.

Jelas kiranya kedatangan pekerja asing khususnya China  yang begitu besar melalui paket investasi turn key project telah menimbulkan persoalan sosial, politik, ekonomi dan keamanan dalam negara.  Kalau Pemerintah konsisten menjalankan Pancasila dan UUD 1945 harusnya  mengkaji ulang kebijakan membolehkan datangnya pekerja asal China lewat turn key project ini demi kedaulatan bangsa dan Negara kita.  Moratorium tenaga kerja China dengan sendirinya akan terjadi jika Pemerintah Indonesia berani menyetop investasi model turn key project yang telah membuat kapok negara negara di Afrika.

Pemerintah  Indonesia harus  berani membentengi diri dengan  kembali kepada jati diri dan falsafah perjuangan bangsa beserta ideologinya yaitu  Pancasila dan UUD 1945 dan tidak ikut larut dalam arus neoliberal yang terbukti  gagal membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Tapi apakah pemerintah Indonesia yang sekarang katanya dipimpin oleh seorang Presiden boneka berani melakukannya?

 

(Ali Mustofa\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar