Tarmidzi Yusuf, Pengamat Politik

Esensi Diktator Konstitusional

Selasa, 02/06/2020 12:46 WIB
ilustrasi matinya demokrasi (beritagar)

ilustrasi matinya demokrasi (beritagar)

Jakarta, law-justice.co - Dalam tataran terkecil diktator konstitusional dapat kita jelaskan melalui kematian seorang warga kulit hitam George Floyd oleh seorang polisi kulit putih Derek Chauvin baru-baru ini.

Kasus kematian George Floyd oleh seorang polisi bernama Derek Chauvin di kota Minneapolis AS telah memicu kerusuhan rasis di Amerika. Warga kulit putih berjubah polisi dan mengatasnamakan hukum telah membunuh warga kulit hitam dengan dalih `pelanggaran hukum`.

Ketidakadilan dan sentimen ras dalam `penegakkan hukum` telah menimbukan kerusuhan dimana-mana di Amerika. Kasus kecil tapi menimbulkan dampak yang besar. Kerusuhan berbau rasis melebar dan meluas di AS.

Melebar menuntut Donald Trump lengser. Meluas hampir terjadi di seantaro AS. Tunggang menunggang hal biasa dalam politik. Goyahkah kekuasaan Donald Trump?

Ada pula diktator konstitusional skala besar tapi tidak berdampak besar bagi rakyat.

Dalam konteks Indonesia kita memaknai ada beberapa peristiwa penting berpotensi menuju diktator konstistusional ketika konstitusi telah menjadi alat politik dan DPR menjadi tukang stempel lembaga kepresidenan.

Sebut saja kasus penangkapan dan penahanan Kapten TNI (Purn) Ruslan Buton karena mendesak Jokowi mundur. Video Ruslan Buton minta Jokowi mundur viral.

Ruslan Buton diancam pasal berlapis. Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Juga dituntut dengan Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kasus lain yang hangat adalah batalnya diskusi yang diselenggarakan FH UGM dan Constutional Law Society (CLS) UGM tentang pemecatan presiden. Panitia dan nara sumber Prof. Dr. Ni`matul Huda diteror.

Diskusi akademis yang dituduh makar. Pemberhentian Presiden bukan hal tabuh untuk didiskusikan apalagi di kampus.

Pemberhentian presiden telah diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945 hasil amandemen. Apalagi pemberhentian presiden menurut Pasal 7A dan 7B UUD 1945 sangat tidak mudah. Kenapa takut?

Apakah ada potensi Presiden melanggar UUD 1945? Menurut pakar hukum dari Universitas Tarumanegara Dr. Ahmad Redi dalam webinar Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah atau MAHUTAMA yang diselenggarakan 1 Juni 2020 mengatakan, pengesahan Perppu No 1/2020 tentang Corona menjadi UU berpotensi melanggar Pasal 23 dan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945.

Demikian pula dengan pengesahan UU Minerba oleh DPR baru-baru ini cacat formalitas dan cacat substansi.
Cacat formalitas karena tidak sesuai Pasal 22D UUD 1945 dan Putusan MK No 92/PPU-X/2012.

Disebut cacat substansi karena tidak sejalan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

Kedua UU tersebut yang disahkan pada masa pandemi covid-19 telah mencuri kesempatan dalam kesempitan. Luput dari perhatian publik. Rakyat sedang susah. DPR mengesahkan dua UU yang tidak pro rakyat. Luput dari perhatian publik.

Mungkinkah RUU Haluan Ideologi Pancasila yang tidak pro Pancasila pengesahannya seperti Perppu Corona dan RUU Minerba?

RUU Haluan Ideologi Pancasila diduga amandemen terselubung terhadap UUD 1945. Menurut Wahyudi al-Maroky Direktur Pamong Institute, RUU HIP ditempatkan di setara dengan UUD 1945 (mediaumat.news)

Kita monitor DPR jangan sampai jadi stempel kekuasaan. Karena RUU HIP berpotensi menjadi diktator konstitusional baru.

 

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar