Peneliti SDE : Masyarakat Diminta Bersama-Sama Kawal UU Minerba

Senin, 01/06/2020 19:30 WIB
Ilustrasi tambang nikel (Foto:apni.or.id)

Ilustrasi tambang nikel (Foto:apni.or.id)

Jakarta, law-justice.co - Peneliti Utama School of Democtratics Economicst (SDE) Hendro Sangkoyo menilai transisi energi untuk menuju energi terbarukan dan bersih itu lebih kotor dan lebih berbahaya lebih tinggi biaya sosial ekologisnya.

Ia menyampaikan, pulau di timur yaitu Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua telah dan akan menjadi poros dari lima bahan baku baterai.

"Ini kabar buruk untuk teman-teman di Timur Indonesia," terangnya saat dalam `Sidang Rakyat` untuk membatalkan UU Minerba, Senin (1/6/2020).

Ia menerangkan ukuran batere tersebut cukup besar sebesar kotak yang telah dibuat contohnya di Australia Selatan.

"Bukan batere kecil ukuran A2," jelasnya.

Ia mengatakan batere tersebut membutuhkan nikel magnit, litium dan sebaginya. Dan bahan itu semua ada di Indonesia timur. Bukan hanya di daratan tapi juga di perairan.

"Jadi kalau kita lihat misalnya keputusan menteri ditahun 2017 tentang wilayah tambang di Sulawesi misalnya, itu jelas sekali begitu brutalnya bahkan semua perairan itu dibaca dari sisi kandungan mineralnya. Secara geologi, nggak penting ada kehidupan atau tidak di atasnya. Dan saya kira ini adalah berita buruk bagi kita semua dan saya mengingatkan bahwa tugas kita tidak selesai dengan sidang ini. Tetapi sedang ini, bisa menjadi semacam kunci ingatan kita bahwa ini merupakan langkah awal kita untuk menolak proyek politik disebut sebagian kawan sebagai proyek politik neoliberal yang hendak menggantikan semua kehidupan atau memberi nama baru yaitu sebagai stok kekayaan," kata dia.

Kata dia, saat ini bukan hanya bumi yang mau dibongkar sekarang asteroit dan lain sebagainya mau ditambang. Jadi, masyarakat jangan terkesima oleh industri bersih. Energi bersih adalah energi yang punya resiko lebih tinggi biaya sosial ekologis lebih tinggi.

Lebih lanjut, dirinya menilai hari ini mejadi semacam ironi paling mecolok, semacam penghinaan sebetulnya pada Ir.Soekarno.

"Ini adalah 1 juni, bahwa ini hari lahir pancasila, tapi penghinaan terhadap Soekarno itu, kita hari ini semacam menyaksikan karena rezim setelah soekarno itu wajahnya wajah dari ekstravitisme. Dimana ekstraksi dari bahan bahan berkandungan energi, dan mineralm, utnuk industri itu dibangun dengan kecepatan yang makin lama makin besar. Tetapi tidak pernah kita bayangkan, bahwa setelah Seokarto pergi, keadaan akan semakin buruk seperti ini," ujarnya.

Dan hari ini, tambah dia, kita sama sama menyaksikan bahwa sebetulnya semua kerusakan sejak tahun 1970 ada di Kalimantan sebagai pulau ketiga terbesar didunia. Sepertiga luas daratan termasuk bentang air dan sistem sistem kehidupan disitu, itu dinyatakan rusak atau bangkrut dan tidak bisa menghidupi kembali kehidupan.

"Jadi saya ingin kembali pada apa yang menyebabkan tindakan terendap endap dan tergopoh gopoh, untuk memberikan stempel pada UU yang bejat dan jahat ini, itu patut kita periksa dengan hati hati sekali, apakah yang diwakilinya. Apakah hanya oligarki yang diwakili," tegasnya.

(Lili Handayani\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar