PAN Kritisi Draft RUU Pemilu, Otoriter Berselimut Demokrasi

Senin, 01/06/2020 17:15 WIB
Ilustrasi RUU Pemilu (Foto: Media Indonesia)

Ilustrasi RUU Pemilu (Foto: Media Indonesia)

Jakarta, law-justice.co - Politisi PAN yang juga anggota Komisi II DPR RI, Guspardi Gaus mengkritisi draft atau konsep RUU Pemilu 2020. Menurut Dia, ada indikasi mengarah kepada otoritarianisme baru dengan berselimutkan demokrasi.

Guspardi menjelaskan, pada Pasal 741 ayat (3) dalam draft RUU tersebut menyatakan bahwa UU mulai berlaku setelah lima tahun sejak tanggal diundangkan, dikecualikan untuk Pilkada 2020, 2022, dan 2023 dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Namun jika belum memungkinkan untuk disahkan dan diundangkan, secara otomatis pada pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020, pencalonan kepala daerah masih mengacu pada UU No 6 Tahun 2016, dengan ketentuan, calon dapat diusulkan oleh Parpol atau gabungan Parpol yang mempunyai paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah tersebut.

"Dalam draft RUU yang kita terima, pada pasal 192 untuk pemilihan Gubernur dan pasal 197 untuk pemilihan Bupati dan Wali Kota dimasukkan usulan syarat boleh mengajukan calon kepala daerah, baik itu tingkat Gubernur, Bupati dan Wali Kota harus mengacu kepada perolehan suara partai politik di tingkat pusat (DPR RI)," ungkap Guspardi kepada Wartawan, Senin (1/6/2020).

Dia mengatakan, adapun bunyi pasal tersebut adalah parpol atau gabungan Parpol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi anggota DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah dalam Pemilu Anggota DPR RI sesuai hasil Pemilu Nasional sebelumnya. Menurutnya, ketentuan baru tersebut  tidaklah adil.

“Bayangkan bagaimana jika Parpol yang berhasil lolos parliamentary threshold di tingkat pusat tetapi tidak mengakar ke bawah alias tidak mendapatkan suara/kursi di tingkat DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota. Atau sebaliknya, ada partai di tingkat pusat atau DPR RI tidak punya wakil di parlemen tetapi di daerah memperoleh kursi mayoritas atau lebih 20 persen. Semua ini bertentangan dengan cita-cita dan semangat reformasi yang menginginkan adanya alam demokrasi yang sehat, yang mampu memunculkan semua potensi pemimpin dari daerah," terangnya.

Guspardi menyatakan, hal itu juga bertentangan dengan semangat otonomi daerah, mengkerdilkan hak politik rakyat di daerah dan juga tidak mempertimbangkan kearifan lokal. Dia menyebut, persyaratan calon yang mengacu kepada perolehan kursi DPR RI bertentangan dengan tujuan reformasi, karena ketentuan persyaratan ini merupakan upaya untuk mengembalikan kekuasaan yang bersifat sentralistik. Beberapa partai politik yang berhasil mengirimkan wakilnya di tingkat DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota tetapi belum berhasil di tingkat nasional tentu akan gigit jari karena tidak bisa mengusung calon kepala daerah.

"Ini bisa diartikan mengarah kepada otoritarianisme baru dengan berselimutkan demokrasi. Di samping itu dengan acuan suara pusat ini, dikhawatirkan akan mengganggu jalannya roda pemerintahan di daerah dan berdampak kepada stabilitas jalannya roda pemerintahan di daerah tersebut. Apakah setiap kebijakan yang akan dibuat oleh Wali Kota, Bupati dan Gubernur dapat berjalan dengan efektif. Apalagi jika partai yang mengusung kepala daerah hanya mempunyai wakilnya tidak sampai 10 persen bahkan cuma 5 persen di DPRD Kabupaten, Kota dan Provinsi," pungkasnya. 

(Ricardo Ronald\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar