`New Normal`: Hidup Normal Tanpa Manipulasi Industri Rokok

Minggu, 31/05/2020 16:35 WIB
Seorang remaja yang tergabung dalam remaja anti rokok membentangkan ikat kepala yang bertuliskan keren tanpa rokok pada hari bebas kendaraan bermotor, di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (3/11). (Foto:TEMPO/Dasril Roszandi)

Seorang remaja yang tergabung dalam remaja anti rokok membentangkan ikat kepala yang bertuliskan keren tanpa rokok pada hari bebas kendaraan bermotor, di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (3/11). (Foto:TEMPO/Dasril Roszandi)

Jakarta, law-justice.co - Tepat tiga hari sebelum Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) yang diperingati hari ini,  beredar video viral berisi gambar anak-anak merokok dengan santai bersama orangtua mereka, yang diyakini terjadi di sebuah daerah di Indonesia.

Selain itu, berbagai riset membuktikan bahwa iklan, promosi, sponsor, dan harga rokok yang murah antara lain adalah hal-hal yang mempengaruhi anak mulai merokok, sehingga mendorong tingginya jumlah perokok di sebuah negara.

Sayangnya, di Indonesia, iklan, promosi, dan sponsor rokok masih sangat masif, serta harga rokok masih sangat terjangkau di kantong anak-anak.

Tidak mengherankan, sampai saat ini aturan pengendalian tembakau di Indonesia masih juga sangat lemah dan akhirnya berdampak pada tingginya jumlah perokok, termasuk perokok anak.

Hal ini kemudian memicu berbagai masalah di Indonesia, seperti tingginya angka penyakit tidak menular di Indonesia yang kemudian berdampak pada defisitnya BPJS, sulitnya program pengentasan kemiskinan, tingginya prevalensi stunting, hingga berdampak pada kerugian ekonomi makro Indonesia sampai 600 triliun.

Mengenai hal ini, dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau mengatakan ada upaya manipulatif dari industri rokok untuk menjaring target anak-anak.

“Cara-cara manipulatif yang dilakukan industri rokok demi melanggengkan bisnis buruknya sangat berbahaya dan mengancam masa depan Indonesia, terutama karena yang mereka target adalah anak-anak kita.” ujar dia.

Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebutkan jumlah perokok Indonesia masih sangat tinggi, yaitu 33 persen (ketiga tertinggi di dunia) atau 1 dari 3 orang Indonesia merokok, dengan perokok pria sebesar 63 persen atau 2 dari 3 pria Indonesia merokok. Yang perlu menjadi perhatian penuh adalah perokok bagaimana jumlah perokok anak usia 10 – 18 tahun naik dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen (2018), atau sudah hampir 1 dari 10 anak Indonesia merokok.

Usia tersebut tampaknya tidak mencakup usia anak yang lebih muda seperti yang muncul pada video-video yang viral, sehingga sangat mungkin perokok pemula di negara kita jauh lebih tinggi.

(Tim Liputan News\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar