Rugikan Lingkungan, Gerakan #BersihkanIndonesia Gugat UU Minerba

Sabtu, 30/05/2020 19:15 WIB
Gerakan perlawanan #BersihanIndonesia yang digagas Koalisi Masyarakat Sipil untuk menggugat pengesahan UU Minerba (Foto:coaction.id)

Gerakan perlawanan #BersihanIndonesia yang digagas Koalisi Masyarakat Sipil untuk menggugat pengesahan UU Minerba (Foto:coaction.id)

Jakarta, law-justice.co - Koalisi masyarakat sipil melakukan perlawanan untuk membatalkan UU Minerba yang baru disahkan DPR pekan lalu. Melalui gerakan #BersihkanIndonesia, koalisi masyarakat sipil akan melakukan gugatan pembatalan Undang-undang (UU) Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) melalui Sidang Rakyat.

Sidang Rakyat ini merupakan bentuk protes masyarakat yang selama ini peduli terhadap isu sosial, kesehatan, dan lingkungan yang terdampak atas pengesahan UU Minerba yang tidak transparan dan terkesan terburu-buru tersebut. Selain itu, proses pengesahan UU ini juga dibuat secara sepihak dan tidak mengajak diskusi rakyat.

Berbagai jejaring masyarakat sipil lainnya seperti Fraksi Rakyat Indonesia, yang sejak awal telah menolak rancangan undang-undang tersebut lantaran hanya memuluskan kepentingan para pengusaha dan penguasa batu bara, bukan rakyat.

Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang juga juru bicara #BersihkanIndonesia mengatakan, pemerintah dan DPR tidak mengatur klausul hak veto, atau ‘hak mengatakan tidak’ bagi warga yang menolak tambang bahkan tidak melibatkan masyarakat saat UU Minerba tersebut disahkan pada 12 Mei 2020.

“Ada 1.710 izin tambang di hutan lindung, 3.712 izin di hutan produksi, 2.200 izin di kawasan hutan produksi terbatas. Belum lagi, 3.092 lubang tambang batu bara yang tercipta akibat ekspansi energi maut yang menyebabkan meluasnya konflik hingga banyak anak-anak meninggal dunia,” ujar Merah, Sabtu (30/5/2020).

Menurut Merah, UU Minerba yang baru harus dibatalkan karena tidak sejalan dan bahkan kontraproduktif dengan kepentingan rakyat dan hanya menguntungkan raksasa pertambangan batu bara yang sedang akan habis masa berlakunya dan terkait oligarki di rezim saat.

“Ketika memutuskan, UU Minerba lebih layak kita sebut sebagai memo jaminan keselamatan terhadap para pengusaha, bukan keselamatan rakyat,” ujar Merah.

“Banyaknya rakyat dari berbagai wilayah lingkar tambang pada sidang ini membuktikan, mereka tidak diajak bicara saat DPR mengesahkan UU Minerba itu, sehingga tidak sah dan tidak memiliki legitimasi,” kata dia.

Senada dengan Merah, Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, pengesahan UU Minerba merupakan indikator kembalinya Indonesia pada pemerintahan yang otoriter. UU Minerba anyar ini tidak hanya berdampak buruk terhadap masyarakat di daratan, tetapi juga bagi masyarakat bahari.

Tak hanya itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan, para penguasa negara seperti menggelar karpet merah bagi pengusaha tambang untuk memperluas wilayah tambangnya tanpa batas.

Sidang ini akan terus dilakukan selama 3 hari untuk menyampaikan fakta-fakta dirasakan masyarakat terdampak pertambangan batu bara selama ini.

(Lili Handayani\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar