DPR: RUU Omnibus Law Berpotensi Kembali ke Orde Baru, Pers Dikekang

Selasa, 26/05/2020 16:03 WIB
Penolakan RUU Omnibuslaw. (Kata Data)

Penolakan RUU Omnibuslaw. (Kata Data)

Jakarta, law-justice.co - Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Heryawan menyebut Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi mengekang kebebasan pers di Indonesia yang mengandung upaya mengembalikan campur tangan pemerintah dalam kehidupan pers. Netty pun meminta pembahasan RUU dihentikan.

 
"Hentikan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja karena  berpotensi membungkam dan menyulitkan dunia pers di tanah air. Kita perlu mendorong pers yang kredibel dan bertanggung jawab, namun jangan sampai RUU ini mengembalikan pengalaman buruk di masa Orde Baru, di mana ada campur tangan Pemerintah yang besar terhadap pers,” katanya dalam siaran pers yang diterima, Selasa, (26/5/2020).

Lanjutnya, pada masa Pemerintahan orde baru, Pemerintah melakukan kontrol terhadap pemberitaan media, mulai dari keharusan adanya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), pengendalian Dewan Pers, pengaturan organisasi wartawan hingga pembredelan.

“Langkah ini dapat menjadi kemunduran bagi kebebasan pers Indonesia," tegasnya.

Dalam RUU ini, jelas Netty, mengatur mengenai sanksi administratif terhadap perusahaan media yang melanggar aturan terkait badan hukum pers, pencantuman alamat dan penanggungjawab secara terbuka. Adanya aturan tersebut seperti membuka pintu belakang yang bertentangan dengan  semangat pengelolaan mandiri (self-regulatory) media yang terbebas dari intervensi pemerintah. 

Selain itu, kata Netty, dalam Undang-Undang  No 40 Tahun 1999 tentang Pers, denda untuk perusahaan pers yang melanggar ketentuan soal kewajiban memperhatikan norma agama dan kesusilaan dalam pemberitaan, paling banyak Rp500 juta, tetapi dalam draft RUU Cipta Kerja disebutkan sampai Rp2 miliar. 

"Pelanggaran memang perlu diberi sanksi sebagai cara pembelajaran. Namun, untuk apa dinaikkan sampai empat kali lipat? Hal ini akan sangat menyulitkan teman-teman pers. Bisa jadi tidak ada lagi yang berani menjalankan perusahaan pers kalau dendanya sebanyak itu," ujar legislator Fraksi PKS itu.

Netty berpendapat bahwa pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab adalah pilar demokrasi. Pers dapat menjadi alat kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat publik. “Nah, fungsi ini akan berjalan dengan baik, jika pers independen dan memiliki keleluasaan. Jika ditakut-takuti dengan denda dan sanksi yang berat dan diawasi dengan peraturan pemerintah soal administrasi, tentu akan mempengaruhi keleluasaan pers dalam menjalankan fungsi kontrol sosial," katanya.

Untuk diketahui, Paragraf 5 Pasal 87 Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja mengandung ketentuan revisi terhadap UU No. 40 tentang Pers, antara lain pada Pasal 11 dan Pasal 18 yang ditolak kalangan insan media.

Pasal 11 mengatur mengenai mekanisme penanaman modal, yang awalnya dilakukan melalui pasar modal direvisi menjadi pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penambahan  modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. Sementara Pasal 18 merevisi ketentuan terkait pemberian sanksi bagi perusahaan pers yang melakukan pelanggaran atas pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 13 UU Pers, dari denda maksimal Rp500 juta menjadi Rp2 miliar.

Kemudian pada ayat 3, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100 juta direvisi menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif. Terakhir, di ayat 4 mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(Ricardo Ronald\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar