M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Adanya Kemungkinan Pemakzulan Presiden

Minggu, 24/05/2020 04:54 WIB
M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan/Ist)

M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan/Ist)

Jakarta, law-justice.co - IMPEACHMENT atau pemakzulan Presiden adalah konstitusional. Artinya UUD 1945 memungkinkan terjadinya hal itu. Memang diakui bahwa proses yang diatur oleh UUD 1945 pasca amandemen relatif lebih sulit dibandingkan sebelum terjadinya amandemen. Dahulu cukup DPR dan langsung diajukan kepada MPR. Kini, setelah empat kali amandemen, maka di samping proses politik di lembaga DPR juga harus melalui proses hukum oleh Majelis Konstitusi dan barulah berujung di MPR.

Meski sulit akan tetapi pemakzulan itu hal yang biasa dan memungkinkan dalam ketentuan hukum ketatanegaraan kita. Adapun yang menjadi alasan bahwa Presiden bisa diturunkan dari jabatannya di tengah jalan sesuai syarat yang diatur dalam Pasal 7A UUD 1945 yaitu jika Presiden/Wakil Presiden melakukan salah satu saja dari perbuatan berupa penghianatan kepada negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat.

Bahwa Presiden atau wakil Presiden korupsi, melakukan suap, atau tindak pidana berat tentu harus diproses oleh peradilan pidana dahulu. Ada kompetensi lain. Akan tetapi untuk penghianatan negara, atau perbuatan tercela atau pula tidak memenuhi syarat, maka hal ini bisa langsung diproses oleh Mahkamah Konstitusi. Disinilah potensi pemakzulan lebih terbuka.
Untuk alasan “memenuhi syarat atau tidak” itu lebih mudah indikasi normatifnya.

Dua hal yang kini menjadi obyek uji yang bisa diajukan DPR mengenai apakah memang Presiden layak dimakzulkan melalui proses Majelis Konstitusi adalah pertama Presiden/Wakil Presiden itu melakukan penghianatan negara atau tidak. Dan kedua, apakah Presiden/Wakil Presiden melakukan perbuatan tercela atau tidak.

Persoalan hubungan dengan RRC itu sangat rentan. Hutang jor-joran, membangun jalur maritim demi kepentingan RRC, menyiapkan lahan bagi kepentingan investasi RRC, Perpres reklamasi, serta Tenaga Kerja China yang “bebas masuk” ke Indonesia sementara pekerja pribumi bangsa Indonesia banyak yang ter PHK, maka hal ini adalah perbuatan penghianatan negara. Belum lagi jika sampai membangun poros Jakarta-Beijing jelas merupakan pelanggaran dari prinsip hubungan luar negeri yang bebas dan aktif.
RRC memiliki sejarah hitam dalam peristiwa pemberontakan komunis PKI.

Pelanggaran Konstitusi adalah perbuatan tercela, bahkan sangat tercela dalam Hukum Tata Negara. Dugaan atau indikasi yang terjadi bisa diuji di Mahkamah Konstitusi. Antara lain pembiaran tanpa pengusutan gugurnya 700 petugas Pemilu 2019 dan pelanggaran HAM aksi Mei 2019. Kebijakan ekonomi kapitalistik liberal yang tidak sesuai Pasal 33 UUD 1945, inkonsistensi dalam pemberantasan KKN, kesewenangan rencana pemindahan ibukota negara, serta menghancurkan banyak undang undang dengan bom “omnibus law”.

Perbuatan tercela pula bahwa Presiden mengeluarkan banyak Perppu tanpa kondisi negara dalam keadaan yang “genting dan memaksa”. Empat Perppu yang dikeluarkan 2015 hingga 2017 lebih pada kepentingan pendek Pemerintah daripada “kegentingan memaksa” yang membahayakan negara.

Terakhir adalah Perppu No. 1 tahun 2020 yang kental indikasi jahat untuk memanfaatkan situasi epidemi. Membuka ruang perampokan dan korupsi melalui penyelundupan pasal antara lain Pasal 27 Perppu tersebut.

Jika saja DPR lebih jernih dalam melihat kebaikan untuk kehidupan rakyat, bangsa, dan negara kini dan ke depan, maka tentu akan mengkaji serius kondisi perilaku pemerintah khususnya Presiden. Apakah sudah memenuhi kategori penghianatan negara dan melakukan perbuatan tercela atau tidak. Lalu segera menyerahkan untuk penilaian hukum kepada Mahkamah Konstitusi.

MPR pada akhirnya secara konstitusional menentukan bahwa situasi telah menghendaki Presiden untuk segera dimakzulkan.

Sebagai awalan DPR RI dapat melakukan penyerapan aspirasi publik tentang apakah Pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Jokowi saat ini telah berbuat dan mengambil kebijakan yang mengabaikan atau melecehkan aspirasi rakyat atau tidak.

Moga DPR masih dipercaya.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar