Erros Djarot, Budayawan

Saat NKRI Bukan Milik Pemenang Pilpres

Sabtu, 23/05/2020 14:15 WIB
Budayawan Erros Djarot  (Ist)

Budayawan Erros Djarot (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Atas tulisan saya yang berjudul "meredupnya kewibawaan negara" banyak yang bertanya; ini benar tulisan Anda? Bukannya Anda pendukung Jokowi? Sebuah pertanyaan yang cukup membuat saya geleng-geleng kepala. Bukankah setiap warga negara berkewajiban mendukung siapa pun yang menang dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) dalam setiap Pemilu digelar? Terlebih lagi ketika yang menang berasal dari kubu yang sama. Dengan sikap ini, pertanyaan di atas menjadi sangat absurd dari kacamata --tugas dan tanggungjawab seorang warga negara. 

Salah satu tugas yang harus dan wajib dilakukan adalah mengingatkan bahwa Pemenang Pilpres tidak serta merta menjadi pemilik NKRI. NKRI tetap menjadi milik seluruh rakyat Indonesia. Maka ketika aspirasi rakyat kebanyakan tak terwakili dalam kebijakan para pemenang Pilpres, rakyat wajib mengingatkan. Seperti ketika pemerintah membiarkan atau malah sengaja menghadirkan Undang-undang tentang Minerba yang baru saja dilangsir DPR. Juga kebijakan menaikkan tarif BPJS di tengah suasana keprihatinan ekonomi rakyat yang kian terasa mencekik leher. Juga masalah Omnibus Law yang masih menuai pro-kontra yang tajam.

Belum lagi kebijakan seputar investasi dan pekerja asing yang dibiarkan bebas masuk atas nama kepentingan menjaga hubungan baik dengan negara saudara tua, China. Dan tentunya masih ada lagi sejumlah kebijakan yang kehadirannya dirasakan sebagai sikap politik pemerintah --yang diberi mandat oleh rakyat, dirasakan tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak.

Sehingga merasa  aspirasi rakyat tak tersuarakan. Heavy pro investasi yang berujung dengan berbagai kebijakan dan langkah pengamanan investasi; dirasakan sangat pro para pemodal dan pemberi modal ketimbang pro bangunan ekonomi rakyat dan ekonomi kerakyatan. Belum lagi masalah kecemburuan sosial yang ditimbulkan dan yang dianggap masalah biasa-biasa saja.

Ketika terjadi pandemi COVID-19 dan rakyat sengsara; mengapa semua diam dan tak ada yang bertanya; di mana mereka? Padahal satu persen saja kekayaan mereka; contoh, dengan pemilikan kekayaan ambil saja 40 miliar dolar AS (sebagaimana dilansir  majalah Forbes baru-baru ini), hanya satu persennya saja sudah mengeluarkan angka 400 Juta dolar AS (US$400.000.000).

Dalam kurs rupiah; mencapai angka dengan jumlah (kurs 1 dolar AS =Rp15.000) kurang lebih Rp6.000.000.000.000,-(enam triliun rupiah). Dan satu persen dari 10 miliar dolar AS, menghasilkan angka Rp1.500.000.000.000,- (satu setengah triliun rupiah); dari kekayaan pemilik 1 miliar dolar AS saja keluar angka; Rp150.000.000.000,- Angka yang fantastis bukan? Sebagai catatan; hal ini tidak ada hubungannya dengan rasialisme, pri-non pri! Masalah ini bisa dibahas dalam ruang dan prespektif yang lain.

Sangat menyedihkan ketika seorang konglomerat yang menyumbang baru Rp50 miliar saja, kita sudah menganggapnya sebagai dermawan yang layak diberi makom sebagai ‘malaikat’ dan layak menjadi penghuni istana. Apakah sebagai pendukung yang sangat ingin melihat yang didukung berada di jalan aspirasi rakyat, untuk tidak mengatakannya sebagai ‘di jalan yang benar’, dinyatakan atau malah dijadikan sebagai keanehan? Hanya karena terlanjur ber-blind faith-ria, right or wrong...pokoke boss ku! Begitu?

Betapa jahatnya para pendukung setia yang membiarkan ketika yang didukung dililit dan terpenjara oleh ulah orang-orang di sekelilingnya yang mungkin membuatnya menjadi banyak menuai kritik. Jangan sampai terjadi satu kesimpulan masyarakat yang malah mengerucut; jangan-jangan memang dianya sendiri yang begitu. Hal mana sangat bisa terjadi bila beliau tidak segera melakukan penyegaran para pembantunya yang mungkin  belum sempat membaca secara cermat kata demi kata, kalimat demi kalimat, pasal demi pasal, ayat demi ayat, yang termaktup-tersurat dan bahkan yang tersirat dalam pembukaan UUD’45, UUD’45 dan Pancasila (khususnya Pasal 33 dan sila kelima).

Jangan sampai dibiarkan tokoh yang kita cintai dan kita dukung terhimbas pemikiran seperti yang tertuang dalam sebuah kalimat yang sangat harus dijauhkan...L’etat c’est moi (negara adalah saya)! Semata karena semua kekuatan di negeri ini sudah berada di tangannya. Sehingga kesan I can do everything I want... dengan tampilan terkesan jumawa, aromanya mulai dirasakan oleh rakyat yang mulai berpikir dan bersikap kritis. Dengan kata lain, menghimbau dan bila perlu mengingatkan agar beliau tetap bersama rakyat, merakyat dan pro rakyat, menjadi tugas para pendukung (genuine) untuk melakukannya! Termasuk dalam hal penanganan masalah Pandemi COVID-19.

Bersama rakyat, merakyat, dan pro rakyat, tidak cukup dengan hanya tampilan lewat mengenakan baju sederhana apa adanya, santai, tidak formil dan sejenisnya. Bersama rakyat tidak juga harus diterjemahkan dengan bersedia selfie di mana saja, turun ke jalan  menyalami rakyat dan bagi-bagi bingkisan. Begitu juga dengan tampilan etnik yang serba ornamental untuk membumikan aku Indonesia yang bhineka. Dan hal-hal lain yang bersifat simbolik permukaan.

Yang diperlukan rakyat adalah langkah pemerintah yang lewat kebijakan politik-ekonominya terasakan heavy dan nyata pro rakyat. Bukan dengan penampilan merakyat, tapi giliran menurunkan kebijakan berada di pihak yang berseberangan. Tidak pula yang membiarkan rakyat terus menerus berada dalam pengkotakan ‘cebong-kampret’, agama A,B,C dan D, kaum mayoritas-minoritas, milenial non milenial (yang muda belia welcome; yang tua...minggir!), Tentara ≠Polisi, dan lain-lain.

Hal-hal sejenis inilah yang masuk dalam wilayah (domain) kekuasaan seorang kepala negara di samping kepala pemerintahan untuk menciptakan equilibrium, keseimbangan dan keharmonian. Agar persatuan rakyat Indonesia kembali terbangun dan semangat GOTONG ROYONG yang menjadi dasar dari segala dasar kekuatan rakyat bangsa Indonesia, kembali bangkit dan terbangunkan.

Sampai kapan pun hal ini akan terus saya suarakan. Karena amanat ini merupakan amanat konstitusi dan titipan dari para Bapak pendiri bangsa yang merupakan amanat pembuka dan penutup bagi siapa pun yang ingin memimpin negeri ini. Jadi kepada para pemimpin di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, sebaiknya mundur saja bila tidak atau belum sempat memahami, menghayati, dan menjiwai kata-demi kata, kalimat demi kalimat, pada setiap alinea yang tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD’45, UUD’45, dan Pancasila!

Semoga tidak ada yang tidak setuju akan hal ini. Tata kelola negara yang baik (good governance) dan pilihan jalan yang benar dari para pemimpin kita, Insya Allah akan membawa dan  memberikan kehidupan sebagaimana yang diinginkan oleh seluruh rakyat Indonesia, utamanya para pendukung (genuine). Kecuali para pendukung buta yang tetap ceria dan tertawa sekalipun pemimpin yang didukung tengah terseret arus yang membawanya ke tepi jurang. Tinggal pilih, mau yang mana? Seperti kata Gus Dur; gitu aja koq repot..!

Memang saya sangat malas memperdebatkan kebijakan yang mana? Di mana salahnya? Bagi saya untuk menjawab itu semua; silahkan baca UUD’45 Pasal 33 dengan baik-baik. Juga camkan dengan sungguh-sungguh sila kelima Pancasila yang ‘konon’ adalah Dasar Negara Republik Indonesia. Pertanyaannya; apakah selama ini, bahkan sejak rezim Orde Baru hingga sekarang, adakah Presiden yang kita miliki melaksanakan amanat konstitusi tersebut secara murni dan konsekuen?

Apa dibenarkan kekayaan yang terpendam dalam tanah bumi negeri ini yang seharusnya dimiliki dan dikelola oleh negara dan untuk sepenuhnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, dibagi-bagi dan diberikan kepada orang-perorang atas nama badan usaha miliknya? Dampak dari pelanggaran demi pelanggaran ini sangat nyata. Kesalahan kelola yang dilegitimasi lewat hegemoni kekuasaan ini menghasilkan sejumlah nama yang dinyatakan sebagai 20 orang terkaya di Indonesia. 

Rata-rata mereka besar dan nyaris (defacto) sebagai pemilik NKRI, terjadinya dikarenakan adanya pelanggaran, untuk tidak mengatakannya sebagai penghianatan, yang dilakukan oleh para pemimpin kita yang mengangkangi amanat UUD’45 dan Pancasila. Walau dengan dalih apa pun; seperti dalih diperlukannya kehadiran konglomerat sebagai lokomotif perekonomian nasional agar mampu dan memiliki daya saing dengan perusahaan-perusahaan di luar negeri. Hasilnya? Mereka justru bersama perusahaan asing mengeduk lebih dalam lagi kekayaan yang terpendam di bumi negeri ini. 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar