H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Derita Buruh di Tengah Pandemi Corona & Cengkeraman Penguasa

Senin, 18/05/2020 10:36 WIB
Desmond J. Mahesa

Desmond J. Mahesa

Jakarta, law-justice.co - Bencana penyebaran virus corona memang menyasar hampir semua warga Indonesia termasuk elemen buruh yang sebelumnya memang sudah menggenaskan nasibnya.  Mereka terancam dicicil tunjangan hari rayanya, gajinya di potong hingga tinggal separonya sampai gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menjelaskan bahwa perusahaan diperbolehkan untuk mencicil atau menunda pembayaran THR alias Tunjangan Hari Raya. Kebijakan itu diambil karena menyesuaikan kondisi saat ini yang sedang dihadapkan pada pandemi COVID-19 atau virus corona.

Bukan hanya dicicil atau ditunda pembayaran THR-nya, di beberapa perusahaan tertentu para buruh malah disunat upahnya seperti yang terjadi di di Magetan Jawa Timur dimana buruh hanya dibayarkan 50 persen dari gajinya.

Dikutip dari Kompas.com, 25/03/2020,  ribuan karyawan pabrik pakaian dalam PT Bintang Karya Inti di Desa Karangsono, Kecamatan Karang Rejo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur menggelar demo karena tidak terima gajinya dipotong separonya.

Masih untung kalau hanya dicicil THR-nya atau dipotong gajinya, kini ada ribuan bahkan jutaan buruh yang di PHK karena pandemic virus corona. Sebagaimana disitir dari cnn. Indonesia,com,01/05/2020, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) bidang UMKM, Suryani Motik menyebut warga yang menjadi korban PHK  akibat pandemi corona (Covid-19) bisa mencapai 15 juta jiwa.

Angka itu lebih besar dari jumlah yang sudah dirilis oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) per 20 April lalu  sebanyak 2,8 juta. Sebab, kata Suryani jumlah itu belum ditambah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang juga terkena dampaknya."Jadi kalau yang dilaporkan ada 2 juta, maka faktanya  bisa 15 juta karena UMKM tidak melaporkan PHK di perusahaannya," kata Suryani dalam diskusi online via aplikasi Zoom, Jumat (1/5).

Ditengah situasi pandemi virus corona yang membuat buruh merana, kita jadi teringat janji janji penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya termasuk kaum buruh tentunya. Kita juga bisa menilai sejauhmana keberpihakan penguasa dalam membela hak hak warga buruh dan keluarganya. Sebagai sebuah negara berdaulat pemerintah tentu dituntut untuk mencarikan solusi bagaimana mensejahterakan buruh yang menjadi tanggungjawabnya.

Mengenang Janji Penguasa

Peringatan hari buruh sedunia tanggal 1 Mei 2019 yang lalu dimanfaatkan oleh presiden Jokowi untuk makan siang bersama karyawan PT KMK Global Sports I di Kelurahan Talagasari, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, Selasa (30/4).

Dalam kesempatan itu Mantan Wali Kota Solo ini mengatakan, jika dirinya terpilih kembali sebagai Presiden periode 2019-2024 akan meningkatkan kemampuan atau skill buruh Indonesia. Jokowi yakin dengan peningkatan kemampuan berdampak pada kenaikan gaji buruh dan kesejahteraannya.

"Saya kira yang paling penting kita ini kan meningkatkan produktivitas lewat re-skilling, up-skilling sehingga kalau udah produktif perusahaan tentu akan meningkatkan gajinya. Karena produktivitas juga menyangkut produksi berapa yang dihasilkan, kalau yang dihasilkan naik saya kira kalau gaji dinaikkan juga engga ada masalah," ucapnya.

Selain pernyataan di atas, masih ada beberapa janji lain yang dilontarkan Jokowi dan bawahannya untuk buruh Indonesia.  Apa sajakah janjinya ?, dikutip dari merdeka.com 1/5/2029 inilah janji janjinya.

Pertama, Buruh Akan Terlindungi di Era Digitalisasi. Menaker Hanif Dakiri saat itu menjamin bahwa pemerintah akan melindungi para pekerja Indonesia, khususnya di tengah digitaliasi yang sekarang mendunia. Salah satu cara adalah dengan menambahkan kemampuan atau skill, mengganti kemampuan, serta terus berupaya tiap pekerja meningkat kemampuannya."Kita pastikan terlindungi di tengah-tengah digitalisasi. Yaitu hanya satu, (melalui) perlindungan skill," ungkapnya.

Kedua, Revisi Aturan Pengupahan. Kepada para buruh, Jokowi berjanji akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Hal ini disampaikannya saat menyapa ratusan relawan buruh di Gedung Budaya Sabilulungan Soreang Kabupaten Bandung Jawa Barat, Selasa (9/4/2019)."Yang ingin saya sampaikan kepada seluruh pekerja, nanti kami akan bentuk tim bersama dengan KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) dan seluruh federasi yang ada untuk merevisi PP 78. Kita bicara bareng-bareng duduk satu meja," katanya.

Ketiga, Mangun Rumah Murah Untuk Buruh. Jokowi berkomitmen akan terus membangun rumah murah untuk buruh dan para pekerja. Menurut dia, program rumah murah yang sudah berjalan ini mendapat respons yang positif dari masyarakat."Saya sudah meninjau beberapa lokasi, beberapa tempat, sudah penuh dihuni oleh para pekerja kita. Ini nanti akan terus kami lanjutkan. Ini penting sekali," ujar dia.

Ke empat,Beri Perlindungan Maksimal Untuk TKI.Jokowi juga menyatakan akan memberikan perlindungan kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terjerat kasus hukum di mancanegara. Dia lalu menyinggung kasus hukum yang menjerat salah satu TKI yaitu, Siti Aisyah di Malaysia. Siti Aisyah sempat didakwa melakukan pembunuhan Kim Jong-nam, namun kini telah dibebaskan pengadilan Malaysia.

Jokowi menjelaskan pembebasan Siti Aisyah merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan pemerintah kepada warga negaranya. Menurutnya, permasalahan hukum yang dialami para buruh migran Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintahnya.

Ke lima, Lindungi Pekerja Outsourcing.Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) tengah mereview Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Salah satu yang dibahas ialah mengenai pekerja dan pemberi kerja dalam menghadapi industri 4.0, termasuk di dalamnya soal keberadaan outsourcing atau bisnis alih daya .

Setahun kemudian presiden Jokowi kembali mengumbar janjinya kepada buruh Indonesia. Presiden Jokowi dalam akun media sosialnya, Jumat (1/5), menyebut peringatan Hari Buruh Internasional tahun ini jatuh di saat pandemi COVID-19 melanda.“Kita memperingati Hari Buruh Internasional tahun ini di saat pandemi global COVID-19 tengah melanda hampir seluruh negara di muka bumi ini,” katanya.

Ia menambahkan demi mengurangi dampak buruknya, pemerintah berusaha melindungi para buruh agar tetap bekerja dan berpenghasilan, juga mempertahankan kemampuan ekonomi para pelaku usaha melalui berbagai kebijakan yang akan ditempuhnya.“Semuanya bertujuan agar para buruh beserta pengusaha mampu bertahan di era pandemi ini,” imbuhnya.

Sebelumnya dalam rapat terbatas di istana terkait mitigasi dampak COVID-19 terhadap sektor ketenagakerjaan, Presiden Jokowi fokus pada enam langkah untuk memitigasi dampak COVID-19 bagi buruh/ tenaga kerja.

Langkah pertama, mencegah meluasnya PHK dan memastikan program stimulus ekonomi yang sudah diputuskan segera diimplementasikan pelaksanannya.

Langkah kedua, untuk pekerja di sektor formal yang jumlah pekerjanya ada 56 juta, dipastikan skema program yang meringankan beban mereka termasuk insentif pajak dan relaksasi iuran BPJS

Langkah yang ketiga, pekerja di sektor informal dimasukkan dalam program jaring pengaman sosial.

Langkah  keempat, pekerja yang dirumahkan atau korban PHK, diprioritaskan untuk mendapatkan Kartu Prakerja.

Langkah yang kelima, kementerian/lembaga akan memperbanyak program padat karya tunai, sehingga terjadi penyerapan tenaga kerja yang lebih besar.

Dan langkah keenam, diberikan perlindungan kepada para pekerja migran baik yang sudah kembali ke tanah air maupun yang masih berada di mancanegara.

Keberpihakan Penguasa

Kalau mencermati janji janji manis penguasa tentu para buruh akan tersenyum bahagia. Mereka berharap janji janji itu akan direalisasi sehingga bisa meringankan beban hidupnya ditengah pandemi virus corona.

Tapi seperti yang terjadi pada peristiwa yang sudah sudah, janji janji itu tinggal janji belaka. Realisasinya tidak semarnis yang dijanjikannya sehingga membuat para buruh akhirnya kecewa untuk yang kesekian kalinya.Alhasil nasib buruh ibarat pepatah sudah jatuh ketimpa tangga pula. Menggenaskan sekali tentunya nasib mereka.

Mungkin untuk mewujudkan janjinya mencegah gelombah PHK, Presiden Jokowi kemudian mengumumkan kebijakan work from home (WFH) untuk menekan angka penyebaran pandemi virus corona.  Selanjutnya kepada para pengusaha Jokowi menghimbau agar jangan sampai ada pemutusan hubungan kerja (PHK).

Tanggal 16 Maret lalu ia menginstruksikan kepada para menterinya. "Beri tahu kepada perusahaan-perusahaan, agar tidak melakukan pemutusan hubungan kerja," katanya,. Mengikuti imbauan tersebut, pemerintah lantas mengeluarkan kebijakan lain, termasuk memberikan keringanan pajak dan sebagainya.

 Tapi setelah dua pekan imbauan yang disiarkan di media massa ia ucapkan, apa yang terjadi justru sebaliknya. Gelombang PHK justru terjadi dimana mana, sebagai contoh Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi Provinsi DKI Jakarta mencatat 14.697 perusahaan telah merumahkan 13.279 buruh atau karyawannya.

 `Merumahkan` adalah istilah yang umum dipakai untuk merujuk ke situasi saat para buruh tidak perlu bekerja, tapi tanpa mendapat upah atau gaji bulanannya. Sebanyak 3.348 perusahaan yang lain telah mem-PHK 30.137 buruhnya.

 Dikutip  Tirto, Senin (6/4/2020),  di Jawa Tengah, setidaknya ada lebih dari 2.800 buruh mengalami nasib serupa. Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai banyaknya buruh yang di-PHK selama masa pandemi, dan dikontraskan dengan pernyataan Jokowi, menunjukkan betapa lemahnya pengawasan pemerintah yang katanya berkuasa.

Dalam hal ini memang patut disayangkan peran pemerintah yang hanya bisa menghimbau perusahaan perusahaan untuk tidak mem PHK karyawannya.  Sesuai namanya himbauan maka bisa di hiraukan alias tidak harus di laksanakan sebagaimana mestinya. Pemerintah seharusnya mempunyai ketegasan sesuai dengan mandat /wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya.

Celakanya PHK yang dilakukan oleh pengusaha di duga menyalahi ketentuan Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mensyaratkan adanya mekanisme tertentu yang harus dipatuhi pengusaha.

PHK tidak sah sampai ada putusan lembaga perselisihan hubungan industrial sesuai ketentuan yang ada. Maraknya PHK yang terjadi akhir akhir ini ditengah pandemi corona diduga terjadi karena adanya surat yang dibuat pemerintah, melalui Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan virus corona. 

Pada bagian II Poin 4 surat edaran menyatakan: "Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruh tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh."

Ketentuan ini dianggap menyalahi  UU 13/2003 karena dalam ketentuan di  UU ini menjamin [hak] pekerja yang sakit dan dalam kondisi darurat, tetapi dengan keluarnya surat edaran tersebut mengandung makna bahwa hak hak yang sudah dijamin UU tersebut bisa dinegosiasikan sedemikian rupa sehingga merugikan buruh/ pekerja.

Karena SE inilah barangkali pengusaha lalu tidak berpikir lebih panjang untuk melakukan pelanggaran lebih banyak, termasuk mem-PHK buruh pada hal seharusnya  pemerintah melindungi mereka bukan membiarkan nasib buruh ke tangan pengusaha.

Sesuai  hasil rapat terbatas terkait mitigasi dampak COVID-19 terhadap sektor ketenagakerjaan, Presiden Jokowi akan fokus  pada enam langkah untuk memitigasi dampak COVID-19 bagi tenaga kerja diantaranya adalah mencegah meluasnya PHK dan memastikan program stimulus ekonomi yang sudah diputuskan segera diimplementasikan pelaksanannya.

Salah satu langkah penyelamatan buruh yang terkena PHK adalah  lewat kartu prakerja. Tapi kenyataanya program kartu pra kerja dinilai para pengamat tidak bermanfaat karena hanya berisi conten video pelatihan online yang tidak jelas manfaatnya. Bahkan dana Rp, 5,6 triiliun itu diduga hanya terkesan bagi bagi proyek untuk bancakan kalangan istana dan mitra mitranya.

Akan lebih berguna kiranya kalau dana program kartu prakerja sebesar itu disalurkan dalam  bentuk bantuan langsung kepada masyarakat dan jaring pengaman bagi korban PHK. Oleh karena itu lebih tepat kalau  pemerintah sebaiknya membatalkan saja  program kartu prakerja.

Akhir akhir ini yang juga membuat miris kita semua adalah gelombang kedatangan tenaga kerja asal China ditengah pandemi virus corona. Kedatangan buruh buruh asing khususnya dari China itu selalu dikemas dalam bentuk investasi asal china yang menganggap tenaga kerja lokal tidak mempunyai kapasitas untuk mengerjakannya.

Dengan alasan seperti itu akhirnya buruh lokal dikorbankan demi mengakomodasi masuknya pekerja asal China ke Indonesia. Kemudahan masuknya buruh al China (termasuk buruh kasar)  itu didukung oleh  berbagai aturan yang menguntungkan buruh asal mancanegara.

Aturan aturan yang awalnya memperketat kedatangan mereka, kini telah dilonggarkan untuk menyambut kedatangannya.Lima  tahun lalu, misalnya, melalui Permenakertrans No. 16/2015, pemerintahan telah menghapuskan kewajiban memiliki kemampuan berbahasa Indonesia bagi para pekerja mancanegara. Belum ada setahun, peraturan itu kembali diubah menjadi Permenakertrans No. 35/2015.

 Jika sebelumnya ada ketentuan bahwa setiap satu orang tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh perusahaan harus dibarengi dengan kewajiban merekrut 10 orang tenaga kerja lokal, maka dalam Permenakertrans No. 35/2015, ketentuan seperti itu tidak lagi ada.

Ketentuan tersebut bukan regulasi terakhir yang merugikan kepentingan kaum buruh kita. Beberapa waktu yang lalu, tanpa kajian seksama atau melalui proses konsultasi yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan, pemerintah justru meluncurkan Perpres No. 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Mancanegara.

Dengan adanya Perpres No. 20/2018, maka dengan sendirinya menghapus ketentuan mengenai IMTA (Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing). Meskipun Perpres masih mempertahankan ketentuan tentang RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing), namun karena tak ada lagi IMTA, maka tidak ada lagi proses `screening` atau verifikasi terhadap kebutuhan riil tenaga kerja asing yang akan bekerja di Indonesia.

Perpres No. 20/2018  mengabaikan kewajiban sertifikasi kompetensi bagi tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. Sesuai dengan Pasal 18 UU No. 13/2003, dan PP No. 23/2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), yang merupakan turunannya, setiap tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia seharusnya memiliki sertifikasi kompetensi yang diakui oleh BNSP. Namun, jika proses perizinan harus keluar dalam dua hari, rasanya sulit untuk bisa memverifikasinya.

Oleh karena itu bisa terjadi ada tenaga kerja asing asal Cina yang dalam RPTKA-nya disebut sebagai insinyur, tapi dalam kenyataannya ternyata hanyalah seorang juru masak atau pengaduk lumpur biasa. Kasus semacam ini kabarnya sudah banyak ditemukan dilokasi lokasi perusahaan dimana ada bruh China di sana. Selain karena lemahnya pengawasan, kasus-kasus semacam itu bisa terjadi karena ada malpraktik dalam kebijakan perburuhan kita.

Yang lebih mencengangkan lagi adalah Pasal 10 ayat 1a, disebutkan bahwa pemegang saham yang menjabat sebagai direksi atau komisaris tidak diwajibkan memiliki RPTKA. Ketentuan ini juga menyalahi UU No. 13/2003 , yaitu Pasal 42 ayat 1 dan Pasal 43 ayat 1. Sebab, seharusnya perkecualian bagi jabatan komisaris dan direksi untuk orang asing hanyalah dalam hal penunjukkan tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping dan pelatihan pendidikan saja, bukan kewajiban atas RPTKA-nya.

Singkatnya , keluarnya Perpres No. 20/2018  telah membuat  kebijakan ketenagakerjaan yang disusun oleh pemerintahan saat ini porak poranda. Hanya demi mendatangkan dan untuk menyenangkan investor asing, banyak aturan dilabrak dan diabaikan sedemikian rupa sehingga merugikan kepentingan buruh lokal dan kepentingan nasional kita.

Suramnya nasib buruh Indonesia sepertinya akan bertambah lama setelah pemerintah akhir akhir ini juga mengeluarkan serangkaian produk hukum yang merugikan para buruh/ pekerja. Salah satunya  yang lagi heboh adalah omnibus law cipta kerja.  Peraturan dalam bentuk Undang Undang sapu jagad ini dinilai sebagai ketentuan yang bisa membuat buruh makin sengsara. Namanya saja UU omnibus law cipta kerja, tapi isinya lebih banyak memuat ketentuan  untuk mempermudah masuknya investasi ke Indonesia.

RUU Cipta Kerja  dinilai hanya menguntungkan pengusaha, sebaliknya sangat merugikan pekerja. Sejak awal, isi RUU Cipta Kerja tersebut memang menuai banyak kritik dan penolakan dari serikat pekerja dan elemen masyarakat lainnya.

Karena  RUU Cipta Kerja dinilai akan menghilangkan kepastian jaminan kerja, jaminan upah dan jaminan sosial, besaran pesangon PHK berkurang, nasib outsourcing semakin tak jelas  dan pekerja bisa dikontrak seumur hidup. Dengan kondisi seperti itu buruh  akan semakin sulit mendapatkan kesejahteraan dan keadilan sosial sesuai dengan bunyi sila kelima Pancasila.

RUU Cipta kerja juga menghantui buruh terutama buruh wanita. Sebab, RUU Cipta Kerja tersebut berpotensi menghapuskan hak buruh perempuan seperti cuti haid, cuti hamil, melahirkan, atau gugur kandungannya.

Kebijakan pemerintah yang juga semakin membuat buruh merana adalah naiknya kembali iuran BPJS melalui Perpres yang menganulir keputusan MA.  Secara yuridis formal sebenarnya Perpres kenaikan iuran BPJS itu harus dianggap tidak ada karena putusan MA itu bersifat final dan mengikat sehingga kalau Perpres yang menganulir keputusan MA harus dianggap illegal alias tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang ada. Tetapi karena negara ini nampaknya sudah mengarah kepada negara kekuasaan maka terserahlah kepada penguasa, suka suka mereka saja.

Merindukan Kehadiran Negara

Sebenarnya apa sih yang diharapkan oleh buruh Indonesia ? Apakah buruh bermimpi untuk menjadi kaya raya sehingga bisa mengalahkan pemberi kerjanya ?. Rasanya tidak !. Buruh hanya menginginkan hidup yang layak di bumi Indonesia yang katanya kaya raya. 

Namun keinginan buruh untuk hidup layak dan sejahtera itu sampai kini masih menjadi utopia belaka.  Perjalanan panjang untuk menggapai cita cita buruh selalu kandas di tengah jalan sebelum mencapai tujuannya.

Perjuangan buruh untuk mencapai cita citanya terkesan diabaikan oleh negara yang seharusnya hadir untuk membelanya.  Negara terlihat lebih mementingkan kepentingan investor, kepentingan pemilik modal yang banyak uangnya.

Apa yang dijanjikan Jokowi  untuk melakukan revisi PP 78 tentang pengupahan, melibatkan buruh dalam perundingan penentuan potongan iuran BPJS Ketenagakerjaan,  pembentukan desk unit khusus pidana perburuhan dan jaminan perlindungan hukum buruh di mancanegara . Semuanya hanya tiupan angin surga untuk meninabobokkan buruh dalam derita panjangnya.

Inti pokok persoalannya adalah bagaimana membuat buruh Indonesia sejahtera hidupnya. Dalam hal ini memang terdapat dua kutub kepentingan yang berbeda antara buruh, pengusaha dan pemerintah disisi lainnya.

Dimana mana pada umumnya yang namanya pengusaha itu memang berusaha untuk  menekan upah buruh semurah murahnya. Dengan keberhasilannya menekan upah buruh berharap pengusaha akan menangguk untung sebesar besarnya. Dalam konteks inilah negara perlu hadir untuk memaksa pengusaha agar jangan menjadikan buruh sebagai alat produksi saja.  

Negara yang bertanggungjawab atas kesejahteraan kaum buruh, seharusnya ikut—bersama-sama dengan kaum buruh—memaksa pengusaha agar tidak mempraktekkan rejim upah murah yang selama ini dipraktekkannya.

Harus diakui negara Indonesia saat ini sedang menerapkan  model pembangunan yang berbasis pada investasi swasta, sehingga Negara cenderung memprioritaskan kepentingan mereka, terutama investor mancanegara asal china. Dengan pola seperti ini mau tidak mau buruh terutama buruh lokal yang menjadi korbannya.

Ke depan negara perlu membangun kemandirian ekonomi kerakyatan sambil berupaya melepaskan ketergantungan diri dari  sektor swasta terutama swasta asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara. Kita perlu membangun ekonomi sektor publik yang kuat, dimana berbagai macam unit ekonomi berada di bawah kepemilikan Negara sebagaimana amanat pasal 33 UUD 1945.

Negara diharapkan betul betul hadir sebagai pelayan bagi rakyatnya sesuai dengan tujuan didirikannya negara Indonesia. Tidak seperti sekarang dimana negara seolah olah menampilkan dirinya seperti sektor swasta yang sedang berbisnis dengan rakyatnya. Negara telah kehilangan watak publiknya sehingga yang dipentingkan hanya pemilik modal yang dianggap bisa mendorong pertumbuhan ekonomi entah untuk kepentingan siapa.

Dengan ekonomi sektor publik yang kuat, kontrol atas ekonomi berada di tangan masyarakat (melalui Negara), insya Allah kesejahteraan buruh dan rakyat Indonesia akan bisa diwujudkan sesuai dengan amanat sila kelima Pancasila: Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar