Ibu Guru Kembar: Kemiskinan Ada di Sepanjang Rel Kereta

Senin, 18/05/2020 05:03 WIB
Ibu Guru Kembar, Rossy dan Rian (law-justice.co/Bona Ricki Siahaan)

Ibu Guru Kembar, Rossy dan Rian (law-justice.co/Bona Ricki Siahaan)

law-justice.co - Hampir lebih dari tiga dekade, Sri Rossyati (Rossy) dan Sri Irianingsih (Rian) mengabdikan diri pada dunia pendidikan kaum marginal. Bukan hanya itu, mereka bahkan juga berusaha mengangkat harkat dan martabatnya, khususnya anak jalanan dan gelandangan agar bisa hidup dengan layak. 

Ibu Guru Kembar, demikian masyarakat mengenal dua perempuan hebat ini. Tidak terhitung berapa banyak murid yang sudah mereka hantarkan menjadi manusia yang lebih baik. Tidak terhitung pula harta benda yang sudah diberikan kepada para manusia pinggiran ini. Meski pun begitu, Ibu Guru Kembar tetap ikhlas menjalaninya karena yakin semua itu adalah jalan kehidupan yang harus dilalui. 

Pilihan untuk peduli para mereka yang kurang beruntung, ternyata tidak lepas dari peran kedua orangtuanya. Ayah dari Ibu Guru Kembar yang seorang teknisi di Perusahaan Jawatan Kereta Api (sekarang PT KAI) adalah seorang yang keras namun berhati lembut. Ia seringkali mengajak kedua putrinya itu bersepeda menyusuri rel dan melihat kemiskinan di sepanjang jalurnya. 

Sambil menatap wajah anak kembarnya, sang Ayah menitipkan pesan, “Itu tugasmu nanti ya kalau sudah besar,” kenang Ibu Guru Kembar. Mereka mengaku tidak paham maksud perkataan itu. Barulah saat beranjak dewasa, mereka mengerti pesan sesungguhnya yang ingin disampaikan ayah mereka. 

Peran Ibu dalam membentuk karakter Ibu Guru  Kembar juga besar. Ia tidak henti memberikan nasehat dan mengingatkan keduanya agar menjadi manusia yang berguna bagi sesama. Dari ajaran ibu mereka jugalah, yang menginsipasi Ibu Kembar mendirikan Sekolah Darurat Kartini

Rossy, sang kakak, menikah dengan Admiral Marzuki, SpOG, seorang dokter tentara yang bertugas di RSPAD Gatot Subroto. Mereka dikarunia empat anak, dua orang perempuannya menjadi dokter spesialis mengikuti jejak ayahnya. Sedangkan dua anak lelakinya memilih untuk menjadi teknisi di Amerika dan Australia. 

Rian, ternyata juga mendapatkan jodohnya dari kalangan tentara. Ia menikah dengan Laksamana Muda Faisol Saludin, seorang komandan pasukan katak di TNI Angkatan Laut. Pasangan ini memiliki dua anak yang telah mandiri, seorang bekerja di Kemendiknas, dan seorang lagi  mengabdikan diri sebagai dosen. 

Perjalanan keduanya hingga masuk ke dunia pendidikan, berawal dari Rossy. Waktu itu ia ikut suami yang ditugaskan di Kalimantan. Di sana, suaminya membuka praktek sederhana di bawah sebuah pohon rindang. Rossy menyaksikan betapa anak-anak kelihatan begitu lusuh dan tidak bersekolah. Dari situ terbitlah ide, saat orangtua mereka menunggu diperiksa dokter, ia mengajarkan anak-anaknya menulis dan membaca.

Jika Rossy pertama kali mengajar di Kalimantan, Rian mengajar pertama kali ketika berada di Lombok, juga mengikuti suaminya yang bertugas di sana. Selama mengajar itu, Ibu Kembar sama sekali tidak menarik bayaran kepada murid-muridnya, hingga akhirnya terus berlanjut hingga saat ini.

Ibu Guru Kembar saat diwawancara law-justice.co di rumahnya (law-justice.co/Bona Ricki Siahaan)

Lebih lanjut tentang kehidupan dan perjalanannya mendididik anak-anak kurang beruntung, berikut kisah Ibu Kembar Rossy dan Rian kepada law-justice.co yang dilakukan di rumahnya di Jakarta:

Bagaimana kehidupan waktu kecil dulu?

Saya, Sri Rossyati dilahirkan kembar, anak dari ke tujuh dan ke delapan. Bapak saya teknisi di PJKA yang sekarang menjadi PT. KAI. Ibu saya guru dan kami semua ada 10 bersaudara. Lalu saya menikah dengan dokter Admiral Marzuki SpOG dari RSPAD Gatot Subroto. Saya Sri Rossyati punya anak empat, dua orang perempuan sebagai dokter spesialis, lalu dua orang lagi seorang engineer yang berada di Amerika dan Australia. 

Saya Sri Irianingsih menikah dengan Jenderal Angkatan Laut. Anak kami dua, satu arsitek bekerja di Kemendiknas dan satu lagi menjadi dosen. Lalu cucu saya juga ada dua, seorang baru lulus S2 dan sudah bekerja dan satu lagi masih menjadi mahasiswa. 

Masa kecil dihabiskan di mana?

Waktu kecil kami berpindah-pindah. Pernah di Jogja, Semarang, Bandung, lalu ke Semarang lagi. Kami besar di Semarang dan sekolah di IKIP di sana.  Lalu kami menikah, jadi tidak selesai sekolahnya karena harus keluar Pulau Jawa dan menetap di Lombok, lalu ke Kalimantan punya anak empat. 

Saat menikah kami ikut suami kami masing-masing. Irianingsih sempat mengambil sekolah psikologi di Surabaya karena suaminya Foisal Saludin dari Akmil ‘66 adalah Angkatan Laut di Surabaya. Namun, beliau sudah meninggal 30 tahun lalu. 

Bagaimana orangtua saat mendidik anak-anaknya?

Oh, keras. Waktu itu baru selesai perang kemerdekaan jadi kehidupan kita sangat keras. Tidak seperti sekarang, anak sekarang kan itu tidak mengerti kewajiban dia sebagai seorang manusia.

Dulu, kami bangun tidur harus langsung menyapu, mengepel dan mandi. Dan yang menyediakan sarapan itu kita sendiri. Jadi saat pulang sekolah, kita-kita itu disuruh masak, buat rempeyek sampai banyak lalu dibagikan ke orang-orang. 

Apa  yang paling berkesan dari orangtua?

Bapak saya.  Setiap hari Jumat, kita dibonceng pakai sepeda karena masuk-masuk gang, karena mobil tidak bisa masuk. Jadi sambil berkeliling kita membawa beras untuk dibagi-bagikan ke gubuk-gubuk kecil. Ayah kan bekerja di PJKA jadi beliau tahu kemiskinan itu  ada di pinggir-pinggir rel. Dan ternyata kemiskinan itu masih ada sampai sekarang. 

Jadi kalau misalnya kita pergi ke Jakarta naik kereta kita kan lewat Kampung Bandan itu dan saat itu kan banyak gubuk, lalu ayah berpesan kepada kita “Itu tugasmu nanti ya kalau sudah besar”. Waktu itu kami belum mengerti karena masih kecil-kecil, masih umur tujuh tahun. Tugasmu nanti mengajar mereka, saya bertanya tugas apa? Saya kan tidak terbayang akan pindah kemari. Tapi setelah kita pindah kesini dan kita mengajar di kolong tol itu, lalu saya ingat, inilah tempat yang kita lewati dulu saat bersama ayah naik kereta menuju Jakarta. 

Kalau Ibu kami yang paling berkesan itu sering mengajarkan kami menjahit baju. Jadi diajarkan jahit baju sendiri. Saya bisa membuat sprei, itu kita sulam, kita renda, rajut kalau istilah sekarang. Jadi kita tidak beli.

Semua buat tidak ada yang beli. Makanya kita ajarkan juga ke murid-murid kita. Lalu hasil buatan murid-murid kita jual. Seperti kemarin itu kita ada di Kementerian Sosial, diambil itu sama pak menteri padahal yang kecil-kecil semua, yang harga 250 ribuan. Topi dan syal diambil katanya untuk ke luar negeri.

Jadi apa yang diajarkan kepada murid-murid adalah bentuk gabungan nasehat dan petuah dari orangtua Ibu?

Iya betul. Jadi setelah kita pindah ke Jakarta ini tahun 1990, kita kan sering makan di Kelapa Gading. Terus melihat banyak anak atau gelandangan makan dari sampah. Lalu kita sekeluarga bersepakat bagaimana caranya membantu mereka tapi tidak dengan hanya mengasih makan, lalu kita sepakat pendidikanlah yang menjadi cara kami untuk membantu mereka.

Waktu itu akhirnya memutuskan untuk memberi makan dan pendidikan di Kolong Jembatan Ancol, siapa yang pertama kali punya ide tersebut?

Kita berdua. Pada tahun 1990 kita memulai kegiatan tersebut.

Darimanakah sumber dana untuk melakukan semua kegiatan?

Kami menggunakan dana pribadi dari dulu hingga sekarang. Kita tidak dapat dana dari Kemensos atau yang lain. Untuk ujian anak-anak saja kita bayar sendiri. Ujian Nasional untuk anak-anak itu bayar 900 ribu untuk satu orang, untuk SD. Untuk SMP dan SMA itu bayar Rp. 1.100.000. Kita semua menggunakan kantong pribadi, memangnya siapa yang mau kasih? Apa saya harus keliling cari duit? Malulah.

Ini saja kan sekarang PSBB, begitu Pak Anies bilang di Jakarta semua sekolah harus libur. Saya itu setiap malam tidak bisa tidur, memikirkan anak-anak makannya gimana. Jadi saya curhat dengan guru di sini, seorang dokter, dia mengajar PAUD. Lalu ada executive producer MNC yang juga menjadi guru disini, dia sudah mengajar tujuh tahun. Mereka itu tidak dibayar semua. 

Meskipun  tidak dibayar, mereka ikut urunan memberi beras untuk anak-anak. Untuk makan waktu sebelum PSBB hingga sekarang. Ada orang dari walikota pernah datang. Mereka seperti tidak percaya melihat di kolong jembatan Ancol.

Saya bilang, kalau bapak mau kasih, ya kasih saja. Kalau tidak mau, ya tidak usah, saya juga punya beras. Lalu dia bilang, aduh jangan bu nanti pak walikota marah. Lalu akhirnya kami dikasih beberapa kali sampai kemarin. 

Jadi dari Walikota Jakarta Utara sudah kasih tiga kali dan saya sudah kasih lima kali, jadi total sudah delapan kali kita berikan kepada anak-anak, jadi setiap Minggu.

Anak-anak itu datang ke sini?

Ya enggak, kita bagikan di kolong jembatan Ancol, tempat mereka belajar. Ya disini juga dikasih, tapi kan paling banyak disana. 

Beras yang akan dibagikan ke anak-anak (law-justice.co/Bona Ricki Siahaann)

Kira-kira sudah berapa anak-anak yang menjadi murid Ibu?

Mungkin puluhan ribu. Jadi sesudah tahun 1996, Indonesia kan terpuruk ya. Murid kita 3033 anak. Kami sampai dapat MURI dua kali, yang pertama 1500 murid dan yang kedua 3033 murid. Melihat segitu banyaknya murid sampai bingung, mumet dia. Karena kan di setiap tempat atau di lorong-lorong itu ada yang 800, dan ada yang 900 murid. 

Jadi ada berapa titik menjadi pusat belajar anak-anak?

Karena sekarang banyak yang dibongkar-bongkar, jadi kami kecilkan menjadi pusatnya di Ancol. Dulu banyak tempat menjadi pusat belajar seperti Rawa Bebek Penjaringan, Pluit, Kali Jodo, dan Bandengan. Sekarang tinggal di Ancol dan di sini di Kelapa Gading.

Tapi kan sekarang Indonesia sudah bagus, anak-anak sudah diberikan KJP, dan lain-lain. Sekarang murid-murid paling tinggal 150an anak. Apalagi saat Jokowi jadi gubernur, semua sudah jadi bagus. 

Tapi apa yang pemerintah lakukan sekarang ini sudah Ibu lakukan sejak dulu ya?

Ya, gimana ya, hahahaha. Jadi kalau ada pak walikota mau kasih sesuatu, saya kadang suka telepon beliau, saya bilang pak walikota sudah tidak usah kasih, sudah dibantu anak saya.

Jadi anak-anak Ibu ikut berkontribusi juga?

Anak saya kan dokter, jadi suka buat acara sunatan massal, kalau hari raya suka memberi makanan. Tapi ini kan lagi pandemi, jadi sepertinya tertunda. Pandemi ini kan kita tidak mungkin sholat bareng, paling nanti kita kasih apalah gitu.

Kalau dulu, yang laki-laki dikasih baju muslim dan sajadah, lalu pulangnya dikasih apa gitu. Tapi sekarang tidak bisa. Itu bertahun-tahun sudah seperti itu. Kalau Idhul Adha juga begitu, jadi anak saya dan anak adik saya sumbang sapi dan kambing lalu dibagi-bagikan, seperti itu biasanya. 

Kalau begitu, ajaran orangtua Ibu dahulu diturunkan juga ke anak-anak Ibu?

Oh iya betul. Tapi kan belum tentu semua anak mau. Ada yang mau kasih uang saja, jadi bermacam-macam cara kontribusinya. Jadi kita punya sawah di Puncak, separuhnya untuk makan dan sisanya buat beli lauk-pauk. Jadi kita berusaha dari punya kita dulu. 

Nah, kalau hobi Ibu masing-masing apa?

Kalau Rian menyelam, diving. Saya sejak umur 30 sudah ikut menyelam bersama pasukan katak. Waktu itu kan suami saya komandan Pasukan Katak, bahkan saya dapat brevet. Saya kan suka berenang, jadi saya sering melihat pasukan bapak itu latihan lalu saya ikut sekolahnya. 

Kalau Rossy hobinya belajar, membaca. Terkadang saya diajak berenang oleh adik saya. Kami punya kok alat menyelam itu, dan kalau ingin refreshing pasti kami menyelam tapi lagi-lagi karena pandemi ini jadi tertunda. 

Kita juga suka jalan-jalan. Jalan-jalannya itu ke pedalaman, tapi kita sepakat kalau jalan-jalan itu harus meninggalkan sesuatu jadi kita punya 264 rumah baca di seluruh Indonesia. Kemarin saya baru pulang dari Sebatik.

Kita kerjasama dengan TNI, mereka juga mengajarkan anak-anak di perbatasan. Mengajar sambil berjaga wilayah Indonesia. Kita juga bangun mesjid-mesjid. Bahkan di pedalaman Papua yaitu di suku Dani itu ada rumah baca kita. Itu sudah lama. Itu sudah ada 20 tahun lalu. Kita juga sering jadi konsultan di kementerian untuk pendidikan Indonesia. 

Pertama kali mengajar itu dimana?

Pertama kali itu di Lombok dan Kalimantan. Saat itu tidak ada listrik dan air. Jadi kalau suami saya kalau berpraktek dokter itu kan di bawah pohon, jadi orangtuanya diperiksa oleh suami saya, anak-anaknya saya ajarkan membaca dan menulis. 

Waktu itu saya mau punya anak, waktu itu suami bertugas di Kalimantan. Lalu saya bertanya kalau anak saya lahir nanti sekolah dimana, lalu akhirnya saya buat sekolah disana. Jadi sekolah saya yang dulu saya bangun sekarang sudah menjadi sekolah negeri. Jadi pas suami kami pindah tugas, ya sekolah itu tetap jalan terus. Masih ada hinggi kini.

Kami ajarkan semua selain pendidikan formal. Misalnya merajut yang dulu Ibu saya ajarkan, kalau adik saya buat bemper mobil yang dari besi itu. Semua kami belajar dari otodidak dan kemudian kami ajarkan ke anak-anak murid kami. 

Lalu adik saya ini pernah juga buat stabilizer untuk mobil, itu dijual seluruh Indonesia. Cuma sekarang sudah tidak ada. Sempat dipatenkan namanya TOM Stabilizer. Jadi kami itu suka baca, habis baca lalu kami lakukan, kami coba. Jadi karena ikut suami jadi tidak ada pekerjaan, lalu kami kreatif sendiri. 

Tapi biasanya kan Ibu-ibu pejabat itu suka bepergian dan hidup berkecukupan?

Ya kami dulu berpikir, ngapain ya kita pergi-pergi ke luar negeri mending kita buat sesuatu. Jadi setelah saya baca-baca lalu saya ajak orang-orang yang tidak punya pekerjaan untuk melakukan sesuatu. Kita buat sesuatu. Ya hasilnya begini. Yang penting kami harus berbuat untuk orang lain. 

Dulu, saya ini dari rumah langsung ke mobil, sepatu saya itu tidak pernah injak tanah. Tapi kan itu tidak baik. Kaya tidak sesuai dengan hati saya. Toh juga kan kita tidak kurang makan jadi saya berpikir hidup harus berarti. 

Yang jadi komandan itu suami saya, bukan saya. Jadi kami merasa tidak boleh melebihi. Kami biasa saja, tapi masa tidur, jalan-jalan, makan, ya rugi. Itu yang namanya hidup merugi. Bila kita berbagi maka hidup kita tidak merugi.

Dulu saya pernah ajak suami saya untuk beli mesin di Pasar Ular. Ditanya untuk apa, lalu saya jawab ya wis ayo aja ini untuk orang. Jadi saya beli mesin itu lalu saya pelajari. Setelah saya sudah pintar baru saya kasihkan ke orang lain. 

Pernah dipuji suami memuji atas tindakan Ibu?

Ah enggak tuh. Hahaha. Pokoknya kalau minta duit dikasih. Muji sih enggak. Hahahaha

Soal gaya, mengapa selalu sama? Siapa yang punya ide seperti ini?

Dari dulu ini, dari kecil kami begini. Karena kembar kan. Jadi Bapak saya dulu sekali beli itu sama untuk anak-anaknya. 

Lalu kenapa memilih anak jalanan sebagai fokus dalam kegiatan?

Mereka itu orang-orang yang tidak tersentuh oleh pemerintah. Itu yang jelas. Setiap generasi itu kan harus kita bina, itu kalau mau Indonesia kuat. Kalau kita punya generasi yang bodoh ya tetap saja kita ditindas oleh orang asing. Tidak bisa begitu. 

Apa kendala dalam mengajar anak-anak jalanan? Dan bagaimana mengajarkan mereka tentang disiplin?

Itu bisa dilakukan dengan pembelajaran setiap hari dengan disertai cinta kasih, kasih sayang, memanusiakan mereka, itu akan menjadikan mereka anak yang baik. Juga orangtua dari anak-anak tersebut kita libatkan juga, kita ajari bikin gorengan, nanti kita modalin. Jadi anaknya sekolah, orangtuanya berdagang. 

Kalau menurut Ibu, apakah pemerintah sekarang peduli akan kaum marjinal?

Tergantung pejabatnya. Kalau amanah, dia akan cari saya tapi kalau tidak ya tidak akan. Ada pejabat yang tidak mau mengakui kaum marjinal, padahal ada dan itu bisa dilihat dengan mudah. Dan umpamanya dia ngurusin itu, itu juga tidak rugi. Selain amal itu juga uang negara alias uang rakyat. Kan begitu.

Tapi kadang-kadang pejabat itu terjadi congkak, walaupun jabatannya cuma lurah. Ya seperti itulah. Kalau mereka tidak mengurusi ya sudah, itu urusannya dengan Tuhan. Kalau saya begitu saja.

Pernah tidak Ibu marah atau berselisih paham terkait kegiatan?

Oh sering, seperti kemarin. Mau kasih beras tapi tidak percaya padahal anak-anak sudah menunggu. Kalau tidak dikasih ya sudah  tidak apa-apa saya kasih punya saya sendiri. Aku juga punya, tak mau kasih punyamu juga tidak apa-apa. 

Selama pandemi kegiatan belajar mengajar bagaimana?

Pakai Youtube dan Facebook. Saya setiap hari shooting. Sudah sampai episode 26. Kita kasih pembelajaran persiapan SD. Kalau yang lainnya saya suruh untuk melihat TVRI. Tenaga pengajar kami ada tiga. Saya itu kalau tidak ada corona,  jam lima pagi sudah ke Ancol sampai jam satu siang. Lalu jam tiga sore mulai lagi mengajar di Kelapa Gading. 

Pernahkah anak Ibu mengatakan agar Ibu istirahat saja, jangan lagi melakukan kegiatan?

Ya iya, tapi tidak berani ngomong langsung. Hahaha…Pernah waktu itu dibelikan benang sekarung, agar saya menjahit di rumah saja. Tapi malah saya bagikan ke anak-anak untuk belajar menjahit juga ke orangtuanya untuk berkegiatan, hahahaha. Kami juga mengajar di Sekolah Wanita Tuna Susila (Watunas) di Pasar Rebo milik Kementerian Sosial. 

Cita-cita apa yang belum tercapai?

Woalah, cita-cita opo…yang penting mereka berhasil itu sudah senang hati kami. Wis itu aja, jangan jadi gelandangan dan jangan jadi beban negara.

 

 

 

(Bona Ricki Jeferson Siahaan\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar