LBH Jakarta Kritisi Putusan Pidana Pelanggaran PSBB di Pekanbaru

Rabu, 13/05/2020 18:13 WIB
Penegakan aturan PSBB di ruas jalan tol (Foto:Jasa Marga)

Penegakan aturan PSBB di ruas jalan tol (Foto:Jasa Marga)

Jakarta , law-justice.co - Koalisi masyarakat sipil mengkritisi ada putusan pidana pelanggaran PSBB di Pekanbaru, Riau. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana, adanya penerapan pasal dalam KUHP dalam menindak pelanggar PSBB dinilai tidak tepat.

"Penerapan Pasal 216 KUHP untuk menindak pelanggar PSBB sy pikir tidak tepat. Ini akan jadi preseden buruk, penerapan pasal karet baru," katanya kepada Law-Justice.co, Rabu (13/5)

Arif juga menambahkan, seharusnya pemerintah daerah menghindari pengunaan pasal pidana dalam menjerat pelanggar PSBB.

"Mestinya aparat penegak Hukum merujuk pada aturan yang lebih khusus terkait UU Kekarantinaan Kesehatan yg menjadi payung Hukum PSBB bukan KUHP. Harus diingat bahwa PSBB tujuannya utk menjaga Kesehatan masyarakat dari penularan Covid 19 bukan menghukum warga dan penerapan sanksi pidana penjara mestinya dihindari. Sanksi yg diterapkan mestinya sanksi admistratif atau cukup denda bukan pidana," katanya.

Dia juga mendesak agar aparat hukum dan aparatur sipil negara yang bertugas bisa menempuh langkah preventif agar PSBB berjalan efektif.

"Penjara yg bersifat sanksi terakhir (ultimum remidium). Selain itu pendekatan preventif melalui Pendidikan Publik yang efektif dan dukungan kebutuhan dasar yang tepat harus dilakukan pemerintah utk membantu masyarakat menerapkan PSBB secara efektif," ujarnya.

Sebelumnya, pada 30 April 2020 lalu Pengadilan Negeri Pekanbaru memutus pidana 16 pelanggar PSBB di Pekanbaru. Ke-16 orang tersebut divonis pidana denda subsider pidana penjara, mulai dari denda sebesar Rp 700 ribu subsider satu bulan penjara, hingga Rp 3 juta subsider dua bulan penjara.

Oleh Penuntut Umum (PU) mereka didakwa melanggar Pasal 216 KUHP dan Peraturan Walikota (Perwako) Pekanbaru No 74 Tahun 2020 tentang pelaksanaan PSBB. Menurut Penuntut Umum dalam pemberitaan, hal ini karena sidang berkaitan dengan pelanggaran selama masa PSBB. Oleh karena Perwako tidak memuat sanksi pidana, maka PU menggunakan Pasal 216 KUHP.

Koalisi masyarakat sipil juga mengingatkan bahwa Pasal 28J UUD Negara Republlik Indonesia Tahun 1945 dengan jelas menegaskan bahwa pembatasan terhadap pelaksanaan hak asasi manusia hanya bisa dibatasi oleh Undang-Undang, bukan oleh Peraturan Walikota, terlebih ini adalah Pemidanaan terhadap sebuah tindakan.

(Tim Liputan News\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar