H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Apa Jerat Pidana Bagi Pejabat Negara yang Suka Menebar Dusta?

Rabu, 13/05/2020 04:59 WIB
H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Kasus perbudakan Anak Buah Kapal (ABK) warga negara Indonesia di kapal nelayan China menyisakan peristiwa kebohongan publik yang diduga dilakukan oleh seorang  pejabat negara. Kebohongan itu berkaitan dengan tindakan untuk melarungkan jenazah ABK asal Indonesia yang meninggal dunia. 

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi pada Kamis 7 Mei 2020 menjelaskan bahwa  26 April 2020 A.R sakit dan dipindah ke kapal pencari ikan Tian Yu 8 sudah dalam kondisi kritis tidak berdaya. Pada 31 Maret jenazah dilarung ke tengah samudera.“Pihak kapal sudah memberi tahu keluarga dan sudah mendapat persetujuan dari keluarga pada 30 Maret 2020. Keluarga sudah sepakat menerima kompensasi,” katanya.

Tetapi pihak keluarga korban ternyata merasa tidak tahu kalau anggota keluarganya yang meninggal dilarung ke dalam samudera. Sebanyak dua dari empat anak buah kapal (ABK) yang meninggal dunia di kapal penangkap ikan berbendera China adalah warga Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan. Pihak keluarga tidak tahu jika jenazah dua ABK tersebut dilarung di laut, bukan dimakamkan secara biasa.

"Sebelum viral keluarga sudah tahu kalau keduanya meninggal, tapi mereka baru tahu jenazahnya dilarung ke laut bukan di makamkan seperti biasa," kata Adi kepada CNNIndonesia.com, Jumat (8/5).

Dengan adanya  pengakuan keluarga korban itu mengindikasikan bahwa Menteri luar negeri telah melakukan kebohongan publik yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang pejabat negara. Kebohongan itu telah memantik kemarahan masyarakat dan tokoh-tokoh bangsa.  Mengapa mereka marah dengan kebohongan pejabat negara? Bisakah  perilaku bohong dijerat dengan pasal pidana agar mereka jera ? 

Memantik Reaksi

Dengan gaya meyakinkan Menteri Luar Negeri RI menyatakan bahwa dilarungnya jenazah ABK asal Indonesia ke tengah samudera sudah mendapatkan persetujuan keluarga. Tapi pernyataan ini diragukan oleh banyak pihak termasuk oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019, Susi Pudjiastuti yang akhir-akhir ini ikut buka suara terkait dengan perbudakan ABK Indonesia di kapal ikan China.

Susi Pudjiastuti bakal kasih jempol untuk Menteri Luar Negeri Retno Marsudi jika terbukti benar ada surat persetujuan pelarungan Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia yang diduga dibuang ke tengah samudera. Lewat akun Twitter-nya, pengusaha `bertangan besi` itu mempertanyakan keberadaan surat persetujuan yang disebut-sebut telah diperoleh pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia. "Surat persetujuan?????????? Kalau ada [emoji jempol]," tulisnya via Twitter, Sabtu (9/5/2020).

Sementara itu wartawan senior yang juga aktivis politik Iwan Piliang mengecam keras pernyataan Menlu Retno itu. “Dimana dignity kita sebagai bangsa dan negara Bapak @jokowi? Dan Ibu @Menlu_RI pun terindikasi berbohong ke publik seakan mengatakan pengelola kapal sudah ijin melarung jasad ke laut, nyatanya dibantah keluarga. Kapan setetes harap kita memuliakan ketulusan keinsanan?,” tulis Iwan di akun Twitter @iwanpiliang7.

Iwan mengakui bahwa dirinya sebenarnya “puasa” mengkritik penguasa. Hanya saja, karena Retno Marsudi terindikasi tajam berbohong, harus mengecamnya.“Saya puasa kritik sejatinya Pak, beralih berinfaq pujian karena mereka fakir pujian. Tapi @Menlu_RI Bu Retno ini terindikasi tajam berbohong. Ini kan soal dignity, kenapa sadis sekali sih Bu berbohongnya? Kalian digaji siapa sih sejatinya? Ngeri kali peradaban kita Pak @asboediono_id,” tulis @iwanpiliang7 membalas cuitan Romo Boed di akun @asboediono_id.

@iwanpiliang7 menambahkan: “Kalau sampai ranah dignity ini pun diduga boong, parah kali peradaban ingin dibangun @Menlu_RI ini. Apa sih yang dicari dalam hidup, apalagi digaji negara? Pakai uang rakyat!”. Lalu siapa yang dihubungi pihak Kemenhub, sehingga bisa keluar pernyataan Menlu Retno yang bertolak belakang dengan pernyataan pihak keluarga ABK kapal China?

Sementara itu aktivis perempuan Erna Sitompul mempertanyakan sumber informasi Menlu Retno. “Merasa Dibohongi, Keluarga 2 ABK WNI yg dilarung ke Laut Tuntut Pihak Penyalur. Pihak keluarga hanya mndapatkan informasi dari PT KBS bahwa ABK tersebut meninggal karena sakit, dan proses pemakaman jenazah dilakukan scara syariat Islam. Keluarga siapa yang dihubungi Menlu?” tanya Erna di akun @erna_st.

Mengapa mereka semua mengutuk kebohongan yang dilakukan oleh pejabat negara karena dampaknya memang sangat luar biasa. Pada hal pejabat negara itu digaji oleh rakyat untuk bisa memperjuangkan hak haknya. Tapi justru yang terjadi justru malah sebaliknya, membohongi rakyat yang telah menghidupinya.

Sebenarnya perilaku bohong pejabat negara itu sudah jamak dilakukan dan kadang kadang sudah dianggap sebagai hal yang biasa saja terutama menjelang momen momen pelaksanaan pemilu atau pemilukada. Dianggap biasa karena memang sudah sering dilakukan bahkan oleh  pemimpin tertinggi Indonesia.

Indikasi perilaku bohong ini pula yang kemudian mendorong Pengamat Politik Rocky Gerung, sebagaimana dikutip suara.com,29/01/20, memberikan nilai sembilan untuk 100 hari kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan wakilnya. Namun, penilaian angka sembilan yang diberikan Rocky itu untuk kebohongan Jokowi selaku presiden Indonesia.

Kebohongan bagaimanapun adalah perbuatan tercela apalagi jika dilakukan oleh seorang pejabat negara.Agama apapun di Republik ini melarang umatnya melakukan kebohongan, terlebih lagi bagi seorang pemimpin. Hukum Islam menyuruh agar setiap Muslim menepati janji dan melarang mengingkarinya. Soalnya, setiap janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya. 

Pejabat yang kerap melakukan pembohongan baik secara langsung maupun lewat media, selain berdosa juga sama halnya dengan membunuh generasi penerusnya. Terlebih kalau pembohongan tersebut dilakukan secara terstruktur dan terencana. Hal ini jelas dalam agama adalah berbuatan dosa besar dan dampaknya adalah `kematian` bagi generasi penerus," nantinya.

Artinya adalah nilai-nilai kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya perlahan akan terus berkurang hingga memasuki masa krisis yang tentunya bisa saja menjadi bomerang bagi suatu daerah atau negara yang dipimpin oleh pejabat yang kerap berbohong terhadap masyarakatnya.

Kemudian,  pemimpin yang kerap membohongi publiknya sendiri, juga akan membunuh citra kepemimpinannya sendiri sehingga secara berlahan rakyatnya akan meninggalkannya.Hal ini yang kemudian secara tidak langsung akan `membunuh` rasa kecintaan masyarakat terhadap pemimpin dan bisa jadi akan mendatangkan trauma di masa depannya.

Negeri ini membutuhkan pejabat negara  yang jujur dan kompeten mengurus negara. Juga harus memiliki visi dan kompetensi dalam mengurusi negara. Kehancuran suatu negara tidak terjadi karena pemimpin yang tidak pintar melainkan karena pemimpin yang tidak jujur alias suka berdusta. Negeri ini akan hancur jika pemimpinnya suka mengingkari janji dan berkata dusta.

Namun belakangan ini Publik menyaksikan dan terus disuguhi informasi, keterangan, data maupun pernyataan yang kebenarannya belum teruji alias mengandung kebohongan didalamnya. Ironis lagi tak jarang informasi maupun pernyataan itu berasal dari Pejabat Negara yang seharusnya berkewajiban memberikan informasi, keterangan, data dan pernyataan yang benar dan jauh dari unsur dusta.

Kebohongan-kebohongan yang terus mewarnai kehidupan publik/masyarakat ini tentunya membawa efek yang sangat negatif kepada kemajuan bangsa. Kebohongan-kebohongan yang terus dikemas dalam rangka tujuan lain seperti untuk pencitraan dan menutup- nutupi kelemahan dan kegagalan yang terjadi sepertinya akan terus menjadi lingkaran setan yang akan mewarnai wajah informasi publik yang akan menghiasi kehidupan masyarakat kita.

Kondisi ini bila dibiarkan berlarut-larut akan menjadi beban berat dan bahkan potensial memundurkan bangsa. Oleh karena itu ke depan publik harus lebih kritis lagi untuk menyikapi masalah informasi, pernyataan, data, hasil capaian dan hal hal lain yang disampaikan Pejabat Negara atau Instasi Pemerintah dalam kontek pengelolaan kehidupan Bangsa dan Negara. 

Sanksi Hukum Bagi Pelaku Kebohongan Publik.

Pengaturan tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat publik berkaitan dengan Kebohongan Publik antara lain terdapat dalam pasal 55 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja membuat Informasi Publik yang tidak benar atau menyesatkan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)”.

Subyek hukum tindak pidana pasal 55 UU KIP, dirumuskan dengan menggunakan kata “setiap orang”. Penggunaan kata “setiap orang” menunjukkan bahwa subyek hukum yang dapat melakukan tindak pidana sebagaimana di atur dalam pasal 55 UU KIP tersebut tidak lain adalah orang.

Pengenaan sanksi pidana dalam pasal 55 UU KIP tersebut meliputi setiap orang perorangan atau kelompok orang atau badan hukum atau Badan Publik sebagaimana dimaksud dalam UU KIP.Pejabat publik sendiri adalah orang

Unsur-unsur dalam pasal 55 UU KIP antara lain; Unsur “Dengan Sengaja”, “Membuat Informasi Publik Yang Tidak Benar Atau Menyesatkan”, dan yang terakhir unsur “Dan Mengakibatkan Kerugian Bagi Orang Lain”,

Unsur  “Dengan Sengaja”. Kesengajaan merupakan salah satu unsur dari pertanggungjawaban pidana, dimana dapat dilihat hubungan batin Pejabat Publik dengan perbuatannya. Pejabat Publik dapat dicelakan atas perbuatannya apabila adanya kesengajaan dalam sikap batinnya ketika melakukan perbuatan yang masuk ke dalam rumusan Pasal 55 UU KIP.

Kesengajaan (opzet) juga biasa disebut sebagai unsur subyektif, yang diartikan sebagai menghendaki dan mengetahui (willens en wetens). Sehingga Pejabat Publik dianggap melakukan tindak pidana apabila dengan sengaja menghendaki perbuatannya dan mengetahui atau menyadari tentang akibat dari perbuatannya.

Kesengajaan Pejabat Publik untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 55 UU KIP dan menghendaki timbulnya akibat dari tindak pidana tersebut berupa kerugian bagi orang lain sangat bertentangan dengan Asas Umum Pemerintahan khususnya dalam Asas Bertindak Cermat. Asas Bertindak Cermat menghendaki agar Pejabat Publik senantiasa bertindak secara hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. 

Pejabat Publik menurut asas tersebut diharapkan dapat mencegah sekecil mungkin kerugian bagi masyarakat yang mungkin akan timbul dari perbuatannya.6 Sehingga perbuatan dengan sengaja yang dilakukan oleh Pejabat Publik untuk melakukan tindak pidana Pasal 55 UU KIP dan menghendaki untuk adanya kerugian bagi orang lain, selain memenuhi Pasal 55 UU KIP dan patut untuk dijatuhi pidana juga melanggar Asas Pemerintah Umum khususnya Asas Bertindak Cermat.

Unsur “Membuat Informasi Publik Yang Tidak Benar Atau Menyesatkan”.Unsur ini merupakan unsur obyektif yang menunjukkan actus reus dari subyek pejabat publik yang dapat dicelakan berdasar pasal 55 UU KIP.

Perbuatan membuat Informasi Publik yang tidak benar atau menyesatkan merupakan suatu perbuatan aktif. Artinya, suatu Informasi Publik yang tidak benar atau menyesatkan tidak akan ada apabila tidak ada perbuatan untuk membuat Informasi Publik yang tidak benar atau menyesatkan tersebut. Perbuatan tersebut dapat berupa :

  1. membuat informasi publik seolah-olah dibuat oleh badan publik dan/atau pejabat publik yang berwenang;
  2. membuat Informasi Publik membuat informasi publik yang belum pernah ada memang pada dasarnya tidak ada menjadi ada; atau
  3. membuat informasi publik yang mengurangi atau manambahkan informasi yang bersifat integral dari informasi publik yang sebenarnya, sehingga menimbulkan persangkaan yang salah atau bertentangan dengan informasi publik yang sebenarnya.

Unsur “Dan Mengakibatkan Kerugian Bagi Orang Lain”. Penggunaan kata “dan” menunjukkan suatu syarat bahwa pidana dapat dijatuhkan apabila perbuatan mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Pembuat dalam hal ini Pejabat Publik tidak perlu menghendaki atau menginginkan akan timbulnya kerugian bagi orang lain.

Tindak pidana dalam Pasal 55 UU KIP merupakan delik materiil. Kerugian yang merupakan akibat dari perbuatan membuat Informasi Publik yang tidak benar atau menyesatkan, merupakan sesuatu yang essential dimana ketika akibat dari tindak pidana tidak terjadi maka tidak dapat dilakukan pemidanaan atau hanya dapat dikenakan sebagai percobaan.

Kerugian akibat dari pembuatan Kebohongan Publik pada dasarnya tidak memiliki suatu ukuran yang dapat menentukan dapat disebut sebagai kerugian. Informasi Publik pada dasarnya ditujukan kepada setiap orang, sehingga siapa pun dapat terkena akibat yang timbul dari tindak pidana ini. Kerugian yang berlaku bagi siapa saja, yang siapa pun orang yang mengalami kerugian dan bentuk kerugian yang ditanggung olehnya perlu dibuktikan adanya.

Kerugian yang dimaksud tidak hanya kerugian yang bernilai atau dapat dinilai dengan uang, namun terdapat kerugian lain seperti kerugian immateriil berupa tergoresnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap Informasi Publik yang tidak sebenarnya tersebut.

Dalam kasus kebohongan publik yang di duga dilakukan  oleh Menteri Luar Negeri Indonesia terkait dengan pelarungan jenazah ABK yang katanya sudah mendapatkan restu dari pihak keluarga maka unsur “Dengan Sengaja” perlu dibuktikan tentunya. Sedangkan unsur “Membuat Informasi Publik Yang Tidak Benar Atau Menyesatkan”, nampaknya sudah terpenuhi dengan menyebarnya berita itu di media massa yang kemudian mendapatkan klarifikasi dari pihak kelurga korbannya.

Sedangkan unsur “Dan Mengakibatkan Kerugian Bagi Orang Lain”,kiranya sudah terpenuhi kerugian itu yaitu kerugian bagi keluarga korban yang merasa dikesampingkan hak haknya untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya.  Demikian pula public secara keseluruhan dirugikan karena kerugian yang dimaksud tidak hanya kerugian yang bernilai atau dapat dinilai dengan uang, namun terdapat kerugian lain seperti kerugian immateriil berupa tergoresnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap Informasi Publik yang tidak sebenarnya.

Meskipun sudah ada alas hukumnya, namun kasus kasus kebohongan public yang dilakukan oleh pejabat negara ini jarang diproses secara hukum untuk membuatnya jera. Harus diakui untuk menjerat para pelaku kebohongan publik ke dalam ranah hukum pidana adalah sesuatu yang tidak sederhana.

Hal ini harus disadari, karena pelaku kebohongan publik adalah pejabat negara di suatu rezim yang sedang berkuasa  yang sedang memimpin suatu institusi pemerintahan seperti Kementerian, Badan dan Instansi lainnya, yang nota bene mereka melakukan kebohongan publik itu untuk menutupi kelemahan atau kegagalan yang dialami oleh rezim penguasa atau untuk membangun pencitraan guna meningkatkan image positif publik terhadap kinerja rezim yang bekuasa.

Jadi meskipun disadari bahwa salah satu cara efektif dalam mencegah perilaku kebohongan publik ini adalah melalui penegakan hukum, berupa pemberian sanksi hukum tegas dan objektif kepada para pelaku kebohongan public, namun nyatanya implementasinya tidak semudah mengucapkannya.

Soal kebohongan ini sebenarnya pernah di adukan pelakunya kepihak aparat yang berwenang menanganinya.   Sebagai contoh sejumlah perwakilan dari Koalisi Aktivis Masyarakat Anti-Hoaks (KAMAH) pernah mencoba melaporkan Jokowi (selaku Capres) saat itu ke Bareskrim Polri, Jumat (8/3).

Mereka melaporkan capres petahana karena diduga melakukan kebohongan publik saat debat Pilpres 2019  tahap kedua. Selain itu mereka juga melaporkan Ketua Bawaslu Abhan yang dinilai kurang profesional dalam menangani perkara.

Namun, kedua laporan ini ditolak oleh Bareskrim Polri karena dianggap belum cukup bukti buktinya.Salah satu kuasa hukum pelapor Pitra Romadoni Nasution mengatakan, Bareskrim menolak laporan itu karena dianggap belum cukup bukti-buktinya. 

“Tentu kami kecewa karena laporan kami ditolak. Sebab, kami dinilai tidak punya cukup bukti untuk melaporkan Bawaslu dan capres Jokowi dan wakilnya ," sebut Pitra Romadoni Nasution kuasa hukum pelapor di Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (8/3).

Menurut Pitra, pihaknya memilih melaporkan Jokowi ke Bareskrim karena Bawaslu dinilai tak profesional dalam menindaklanjuti laporan yang mereka lakukan sebelumnya.Jokowi sendiri sudah dilaporkan ke Bawaslu pada 19 Februari 2019 karena diduga melakukan kebohongan publik dengan memberikan data yang salah pada debat kedua Pilpres 2019, mengenai impor jagung, infrastruktur internet, dan kebakaran hutan dan yang lainnya.

Kiranya penegakan hukum yang masih tumpul keatas, tajam kebawah menjadi rahasia umum yang membuat masyarakat “dipaksa” memakluminya. Memang begitulah wajah penegakan hukum di negara kita  yang katanya berlandaskan Pancasila. Meskipun begitu kita tidak boleh berhenti untuk terus berharap meskipun kita juga tidak tahu kapan harapan itu bisa diwujudkan oleh penguasa yang adil dan bijaksana.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar