Smith Al Hadar
Apa Makna Kelelahan Opung
Ilustrasi. (sabigaju.com).
Jakarta, law-justice.co - Di suatu pagi kelabu, Opung terkejut melihat wajahnya di cermin. Betapa ia bertambah tua dengan cepat. Baru kemarin ia masih bernyanyi-nyanyi kecil di kamar tidur, kamar mandi, kantor, dan di rapat kabinet.
Menunjukkan ia masih segar bugar, optimis, dan bahagia melihat semua rancangan kebijakannya dijalankan rezim sebagaimana yang diharapkannya.
Kemarin itu ia juga bahagia telah mendapat mandat mutlak dari Jae untuk menakhodai kapal besar Indonesia sendirian, hal yang tak pernah ia mimpikan sepanjang hidupnya. Mungkin juga tak pernah bisa dibayangkan penganut agama minoritas lain di negeri yang hampir 90 persennya Muslim.
Ia bahagia karena walaupun secara formal dia bukan presiden, de facto dialah penguasa negeri. Kadang ia terkekeh-kekeh bahagia atas kemampuannya menelikung Jae yang bodoh dan membuat seluruh menteri menunduk-nunduk saat berhadapan dengannya.
Memang luar biasa nikmat dan membanggakan punya kuasa besar yang dapat menghitam-putihkan nasib 270 juta jiwa penduduk negeri. Dia pun menelepon ibunya secara imajiner untuk berterima kasih telah melahirkannya pada waktu yang tepat.
Kalau saja dilahirkan di waktu yang berbeda, mungkin dia tak bertemu Jae untuk dibohongi, sehingga ia menjadi penguasa seperti sekarang ini, kuasa yang lebih besar daripada kekuasaan sebagian presiden terdahulu.
Tapi saat-saat bahagia itu sepertinya mulai menjauh. Kebijakan-kebijakan yang dibuatnya di bidang hukum, sosial, budaya, politik, dan ekonomi -- semata-mata demi pertumbuhan ekonomi -- ternyata hasilnya tidak menggembirakan.
Sejak lima tahun lalu, pertumbuhan ekonomi stagnan pada angka 5%. Petumbuhan itu pun tidak berkualitas karena yang menikmatinya adalah mereka yang sudah kaya. Mayoritas rakyat yang masih miskin hanya mendapat remah-remahnya.
Kendati Opung berkoar di mana-mana bahwa kondisi ekonomi nasional berada di atas pertumbuhan ekonomi global, dan bahwa semua itu berkat tangan dinginnya, orang mulai mencibir.
Rakyat memang tidak pandai membaca angka-angka sukses ekonomi yang diklaim Opung, tapi mereka dapat merasakan kehidupan mereka yang semakin getir dan tidak berkualitas.
Apalagi saat covid-19 menyerang. Rakyat lintang-pukang mencari selamat seperti orang kebakaran rumah. Opung memang kemudian tampil ke depan, berlagak seperti juru selamat, bahwa keadaan akan baik-baik saja asalkan rakyat semakin patuh pada kebijakan-kebijakannya.
Kepada Jae, dan semua menteri, ia memerintahkan untuk berbohong kepada rakyat tentang covid-19 dan dampaknya. Paling tidak selama dua setengah bulan pertama sejak awal wabah pandemi itu mulai merebak.
Maka kita menyaksikan pembohongan berjamah dengan alasan-alasan idiot mulai dari Jae hingga menteri-menterinya. Sampai kemudian rezim dipaksa mengakui virus berbahaya itu telah masuk menerpa negeri. Itu pun karena mendapat tekanan WHO dan kritik internasional.
Rakyat pun tersadar bahwa mereka sedang berhadapan dengan rezim yang bukan saja bodoh, tapi juga penipu, bahkan jahat. Opung secara sengaja membiarkan rakyat terpapar covid-19 selama dua bulan lamanya tanpa pertahanan.
Toh, ia berpendapat jumlah orang yang bakal mati tak punya arti dibandingkan dengan yang selamat. Artinya jumlah itu hanya masalah statistik, bukan masalah kemanusiaan.
Setelah tak bisa lagi berbohong, Opung membuat kebijakan-kebijakan yang diklaim efektif mencegah penyebaran penyakit berbahaya itu dan melindungi rakyat dari belitan kesulitan ekonomi.
Tapi yang terjadi justru krisis covid-19 semakin bereskalasi. Semakin besar korban yang jatuh. Sementara pengangguran, kebangkrutan, dan kemiskinan meningkat secara eksponensial.
Rakyat pun mulai mengecam inkompetensi Opung menangani masalah ini. Dan di tengah kekacauan ini, mereka diherankan oleh arogansi Opung mengendalikan negara.
Ia tetap merekomendasikan masuknya buruh kasar Cina, mendorong DPR membahas Omnibus Law yang menindas buruh, kokoh pada pendirian memindahkan ibu kota negara yang menyedot ratusan triliun rupiah saat negara tak punya uang, dan tetap mengeluarkan Perppu Penanganan Covid-19 yang berpotensi melanggar Konstitusi dan menjadi pintu gerbang korupsi.
Apakah rezim Opung sudah gila? Mungkin tidak. Toh, kebijakan-kebijakan itu, meskipun ngawur, didasarkan pada skenario menyelamatkan rezim, bukan menyelamatkan rakyat.
Karena tujuan jahat yang mengorbankan rakyat, semakin banyak tokoh dan intelektual sejati yang berteriak keras atas skenario itu. Bukannya mendengar, rezim malah mulai mengancam, membatasi, dan menindas suara-suara kritis.
Di satu sisi mungkin orang menilai itu sebagai bentuk kepercayaan diri Opung berhadapan dengan rakyat yang mulai berani marah. Namun sebenarnya itu mencerminkan kepanikannya menghadapi kondisi sosial yang semakin buruk.
Opung pun mulai kesal pada Jae yang ternyata tidak berguna. Tadinya ia berharap dapat berbuat apa saja berdasarkan legitimasi Jae. Namun, belakangan ini, legitimasi Jae makin tergerus dan ini mengancam posisinya.
Tadinya Opung menganggap kebodohan Jae akan menguntungkannya. Biarlah ia sendiri yang menjadi dalang, Jae menjadi wayang.
Tetapi menghadapi krisis saat ini, peran wayang yang dimainkan Jae tidak menguntungkan Opung. Mestinya, meskipun hanya wayang, Jae dapat berpura-pura jadi dalang.
Peran itu, meskipun sederhana, ternyata tak dapat diperankan Jae dengan baik sehingga rakyat melihat dengan terang-benderang bahwa Opung-lah dalang sesungguhnya sehingga layak disalahkan untuk semua kemerosotan negara saat ini.
Memang Opung salah, tapi sekiranya Jae mampu berpura-pura jadi dalang, tentu Opung tak dikecam sekeras ini. Itu harapan Opung sejak awal. Secara pengecut, Opung berharap Jae-lah yang harus memikul tanggung jawab. Apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur.
Sekali lagi, Opung menatap cermin. Dan heran, wajah itu tidak lagi mengguratkan kebahagiaan seperti kemarin. Napsu bernyanyi pun sirna. Dan tiba-tiba ia merasa ibunya telah melahirkannya pada waktu yang salah.
Sekiranya dulu dia tak bertemu Jae dan tidak menjadi pejabat, apalagi pejabat penentu yang mengharubirukan negeri, tentunya hidupnya akan lebih bahagia. Bahkan untuk menjadi petani pun ia mau.
Ia membuka jendela kantor di lantai paling tinggi dan memandang ke bawah. Jalanan lengang yang menakutkan dirinya. Kehidupan seperti berhenti.
Dan sepanjang mata memandang, yang terlihat adalah gubuk-gubuk rakyat yang sedang tercekam kelaparan. Kadang terdengar tangisan. Semua hasil kerjanya terlihat lapuk, sebagian malah telah runtuh.
Lalu dari jendela gubuk-gubuk derita itu terdengar suara kutukan keras kepadanya. Malah juga terdengar bunyi orang gosok parang. Cepat-cepat ia menutup jendela dan terkulai di atas kursi yang tidak lagi empuk. Dengan suara pelan setengah putus asa dia berdoa semoga Yesus menyelamatkan hidupnya.
Komentar