Gugat China karena Corona, Begini Kata Pakar Hukum Internasional

Rabu, 29/04/2020 20:04 WIB
Pakar Hukum Internasional Prof. Hikmahanto Juwana. (indonews)

Pakar Hukum Internasional Prof. Hikmahanto Juwana. (indonews)

Jakarta, law-justice.co - Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana mengatakan tidak akan mudah bagi siapa pun yang menggugat Tiongkok terkait wabah virus corona.

Pasalnya, pemerintah Tiongkok tidak akan memberi akses kepada siapapun untuk mendapatkan bukti-bukti yang diperlukan dari dalam negara itu.

"Permasalahan utama dalam mendapat ganti kerugian yang diderita adalah kemana gugatan itu dilayangkan, apa yang menjadi dasar gugatan dan apakah putusan dapat dieksekusi," ujar Hikmahanto Juwana dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/4).

Bila gugatan dilayangkan ke pengadilan di suatu negara maka pemerintah Tiongkok akan mudah mematahkannya dengan alasan mereka memiliki kekebalan (immunity) di lembaga peradilan tersebut.

"Bila diajukan ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice) atau arbitrase internasional seperti Permanent Court of Arbitration, maka Tiongkok harus menyatakan persetujuan terlebih dahulu untuk menjadi pihak yang digugat. Tentu pemerintah Tiongkok tidak akan memberikan persetujuan tersebut," katanya.

Menurutnya membawa pemerintah Tiongkok ke lembaga peradilan maupun arbitrase nasional maupun internasional akan sia-sia, sekalipun yang mengajukan adalah pemerintah suatu negara.

Kalaupun ada lembaga peradilan yang menyatakan berwenang untuk mengadili, isu berikutnya adalah apa yang menjadi dasar gugatan.

Dasar yang digunakan oleh banyak pihak adalah tidak transparannya pemerintah Tiongkok diawal penyebaran Covid 19. Dalam hukum pihak yang menggugat wajib membuktikan apa yang didalilkan.

"Kalaulah ada suatu pengadilan yang memutuskan Tiongkok bersalah dan mewajibkan pembayaran ganti rugi, permasalahan berikutnya adalah bagaimana putusan tersebut dieksekusi. Satu hal yang pasti pemerintah Tiongkok tidak akan dengan sukarela menjalankan putusan," ujar Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani itu.

Putusan dari lembaga peradilan hanyalah menang di atas kertas. Untuk benar-benar merasakan kemenangan tersebut perlu untuk dijalankan atau dieksekusi.

Memang, lanjut dia, terdapat aset-aset Tiongkok yang tersebar di berbagai negara. Namun saat dieksekusi akan dihalangi dengan alasan aset tersebut memiliki kekebalan atau aset tersebut bukan milik pemerintah, melainkan BUMN atau swasta.

Lebih lanjut dikatakannya, menuntut ganti rugi dari negara yang dianggap bertanggung jawab atas suatu tindakan yang dilakukan bukanlah hal baru. Setelah Perang Dunia II, misalnya, banyak pihak yang menuntut ganti rugi atas tindakan penjajahan.

Namun proses ganti rugi ini tidak dilakukan melalui lembaga peradilan, namun melalui proses di luar lembaga peradilan. Proses seperti ini harus dimulai dari kesadaran negara yang memunculkan kerugian.

"Negara tersebut kemudian menyepakati dengan negara yang dirugikan bentuk-bentuk ganti kerugian. Ini yang dikenal dengan sebutan pampasan perang," terang Hikmahanto

Dalam konteks COVID-19, tentu pemerintah Tiongkok bisa memberikan pampasan bagi negara-negara terdampak. Bila dikalkulasi tentu biaya yang harus dikeluarkan akan sangat fantastis. "Rasanya Tiongkok tidak akan rela melakukan itu," tutupnya. (jpnn)

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar