Efek Corona:Dunia Usaha Kolaps, Jutaan di-PHK & Orang Miskin Bertambah

Selasa, 28/04/2020 17:34 WIB
virus corona (tribunews)

virus corona (tribunews)

Jakarta, law-justice.co - Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Matalitti mengakui situasi saat ini berbeda drastis dengan situasi sebelum pandemi COVID-19.

Banyak dunia usaha yang kolaps, daya beli masyarakat turun, PHK resmi maupun tak resmi, dengan pola karyawan dirumahkan dan ada jutaan jumlahnya.

“Saat ini, orang hanya butuh uang untuk sekadar makan, khususnya di kota dan wilayah urban yang cukup tinggi. Mereka tidak butuh dibelikan modul pelatihan pemerintah terkait Kartu Prakerja, tetapi substitusi atas kehilangan penghasilan karena terkena PHK atau dirumahkan," katanya di Surabaya.

Menurutnya, saat ini prioritas utama adalah masyarakat tersubstitusi atas hilangnya mata pencaharian.

Kemiskinan

Wakil Presiden RI Ma`ruf Amin memprediksi jumlah orang miskin di Indonesia bertambah akibat pandemi COVID-19 karena banyak masyarakat kehilangan mata pencaharian sebagai dampak dari kebijakan-kebijakan untuk mencegah penyebaran virus tersebut.

"Banyak orang kehilangan pekerjaan dan banyak warung kecil yang tutup. Jadi, jumlah orang miskin pun makin bertambah. Mungkin di sekitar kita juga banyak orang yang terdampak corona ini," kata Wapres Ma`ruf di Jakarta.

Wapres Ma`ruf selaku Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengatakan, akibat COVID-19 tidak hanya saja mengakibatkan terganggunya kesehatan, tetapi juga berdampak pada masalah sosial dan ekonomi, angka kemiskinan menjadi berlipat, bertambah," katanya menjelaskan.

5 Juta Orang

Di tengah mewabahnya pandemi Covid-19 yang tidak hanya merenggut kesehatan dan nyawa, tetapi juga menggerogoti perekonomian, pemerintah memprediksi jumlah pengangguran dan angka kemiskinan Indonesia bisa naik.

Dalam skenario terberat saat pandemi, jumlah warga miskin diperkirakan bisa bertambah 3,78 juta orang dan pengangguran bertambah 5,23 juta orang.

Melihat situasi terkini, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad melihat bahwa potensi bertambahnya jumlah penduduk miskin akan lebih besar dari perkiraan pemerintah.

"Kami tidak melakukan simulasi model, tetapi kami melihat bahwa potensi akan jauh lebih besar dari skenario pemerintah. Penambahan penduduk miskin bisa di atas 5 juta orang," kata Tauhid.

Tauhid menambahkan, ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, secara umum pendapatan masyarakat lebih menurun dan bahkan ada potensi kehilangan pendapatan sama sekali. Kedua, adanya peluang inflasi yang melebar dari tahun sebelumnya bahkan hingga ke 5%.

"Situasi ini memberatkan. Apalagi kan banyak orang terkena PHK, belum lagi orang yang dirumahkan tanpa pesangon. Lalu 60% tenaga kerja itu informal, dan sisanya formal yang bahkan masih ada yang mendapat upah belum menyentuh Upah Minimum Provinsi. Jadi bisa-bisa yang hampir miskin bergeser ke miskin," tambah Tauhid.

Selanjutnya, pemerintah juga memprediksi bahwa pandemi ini bisa berakhir di September 2020. Namun, ini belum menjadi jaminan untuk perekonomian kelompok miskin bisa kembali membaik.

PO Tumbang

Pandemi COVID-19 yang berujung pada kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta pelarangan mudik menyebabkan operasional bus Antar Kota dan Antara Provinsi dan bus pariwisata baik milik swasta maupun BUMN terhenti, bahkan para karyawan dan sopir dirumahkan.

“Semenjak wabah COVID-19 ini sebenarnya okupansinya sudah menurun 80 persen. Kemudian ada PM (Peraturan Menteri) 25 ini sudah tidak ada tamu lagi, kami tidak ada operasi, karyawan dirumahkan, sopir pulang kampung semua,” kata Ketua Persatuan Angkutan Pariwisata Bali (Pawiba) Nyoman Sudiarta di Jakarta, Minggu.

Sementara itu Sekjen Organda Ateng Haryono mengkalkulasikan kerugian yang mesti ditanggung dengan jumlah anggota, jumlah moda transportasi dan rata-rata pendapatan per bulannya bisa mencapai Rp11 triliun.

Menurutnya jika industri ini sudah terlanjur berhenti bergerak akan menjadi sulit untuk bangkit ketika pandemi berakhir. "Kalau yang kami minta relaksasi. Itu kan masuk akal bukan karena kita pingin enak. Apalagi kalau kerugian Rp11 triliun berapa lama industri bisa bertahan cuma dua bulan juga tidak bisa disebut berlebihan," tutupnya. (harianterbit)

 

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar