Dituding Ada Mafia dalam Industri Alkes, Pengusaha Alkes Kebingungan

Minggu, 26/04/2020 17:31 WIB
Ilustrasi alat kesehatan (Foto:iStockphoto)

Ilustrasi alat kesehatan (Foto:iStockphoto)

Jakarta, law-justice.co - Industri alat kesehatan belakangan menjadi sorotan berbagai pihak mengingat ketidaksanggupannya dalam pemenuhan kebutuhan berbagai komponen khususnya untuk penanggulangan pandemi Covid-19 di Tanah Air. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pun menyebut industri alat kesehatan (alkes) saat ini didominasi oleh mafia-mafia dan trader yang menjebak pada kondisi short term policy. Alhasil, kemandirian sulit dilakukan dan 90 persen komponen bahan baku harus diimpor.

Tak berhenti disitu, dalam rapat virtual dengan DPR ada ungkapan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang juga seakan menguatkan pernyataan Menteri Erick.

Menurutnya, persoalan industri alkes sudah lama terjadi bahkan dia persis mengetahui sendiri saat berprofesi sebagai pengusaha. Mantan ketua umum Hipmi ini bahkan menuding ada kesengajaan yang mendesain agar tidak dibangun industri alkes di Tanah Air untuk kepentingan impor.

"Aku tahu betul permainan barang ini," katanya.

Atas tudingan pejabat negara tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan meminta klarifikasi khususnya pada Kementerian BUMN terkait dugaan mafia peralatan kesehatan.

KPPU menyatakan khusus masker yang pernah mengalami lonjakan harga pernah dilakukan penelitian bahwa memang adanya permintaan yang tinggi dan tidak diimbangi dengan pasokan bukan praktik usaha yang tidak sehat.

Dikonfirmasi terkait hal di atas, Sekretaris Jenderal Gabungan Alat Kesehatan Indonesia (Gakeslab) Randy H. Teguh justru kebingungan siapa yang dimaksud mafia oleh para pejabat negara tersebut. Pasalnya, dia mengakui industri alkes memang belum memiliki struktur yang kokoh di dalam negeri.

"Saya bingung dengan analisa-analisa tersebut, kalau mau duduklah dengan kami, kami punya analisa industri ini sejak 10 tahun lalu. Upaya kami untuk meningkatkan produksi dalam negeri juga bukan baru lho sudah sejak 10 tahun lalu itu," katanya seperti dilansir Bisnis.com.

Randy pun mengemukakan hasil analisa asosiasi, pada 10 tahun terdapat hambatan utama yakni terkait soal perizinan. Namun, dia mengapresiasi pemerintah yang telah menjawab tantangan perizinan tersebut dengan Online Single Submission atau OSS.

Menurutnya, dulu dibutuhkan hingga tiga tahun untuk mendapat izin usaha di Inodnesia. Sementara dengan adanya OSS dan perbaikan sistem dari Kementerian Kesehatan maka saat ini perizinan sudah bukan masalah lagi atau dapat selesai bahkan kurang dari satu bulan.

Namun, di luar perizinan banyak sekali buntut persoalan investasi untuk industri alkes yang masih ditemui. Gakeslab bahkan menyebut masalah ini sebagai lingkaran setan.

"Sebenarnya ini perlu penjelasan panjang tetapi secara ringkas bisa dimulai dengan membuka pertanyaan pada industri alkes multinasional atau asing kenapa enggan membuka pabrik di sini malah pilih Vietnam atau Malaysia," ujar Randy.

Bahkan, lanjut Randy, ketika riuh perang dagang kemarin ada satu perusahaan dari Amerika Serikat yang mau mengalihkan produksinya di China untuk keluar dari sana. Ketika itu juga bertepatan dengan adanya reaksi Presiden Joko Widodo yang murka karena ada 30 perusahaan tetapi tidak ada satu pun yang mau ke Indonesia.

Randy mengaku pihaknya sempat menawari perusahaan alkes itu untuk masuk ke Indonesia. Sayangnya, lagi-lagi harus kalah dengan Vietnam karena hal simpel tetapi cukup menjadi PR untuk pemerintah. (Bisnis Indonesia)

(Tim Liputan News\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar