Melacak Aset Yayasan Supersemar yang Masih Dikuasai Koruptor (Tulisan-I)

Klaim Bohong Kejaksaan Sita Aset Supersemar

Sabtu, 25/04/2020 22:30 WIB
Logo di depan kantor Yayasan Supersemar di Gedung Granadi, Kuningan, Jakarta Selatan (Foto:Monitor)

Logo di depan kantor Yayasan Supersemar di Gedung Granadi, Kuningan, Jakarta Selatan (Foto:Monitor)

Jakarta, law-justice.co - Akhir tahun 2018 publik diberi angin segar dengan adanya kabar penyitaan beberapa aset milik Yayasan Supersemar oleh tim eksekutor dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Salah satunya adalah Gedung Granadi yang terletak di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Kenyataanya, gedung 12 lantai itu masih beroperasi seperti biasa. Seperti tidak pernah terjadi proses penyitaan dari aparat penegak hukum.

Jaksa Agung ST Burhanuddin bahkan mengklaim pencapaian tersebut dalam laporan akhir tahun 2019. Ia menyebut bahwa penyitaan itu merupakan bagian progres penyitaan aset milik Yayasan Supersemar yang kini jumlahnya sudah mencapai Rp 243 miliar. Angka itu tentu belum seberapa dibandingkan hutang yayasan yang diputus oleh Mahkamah Agung, sebesar Rp 4,4 triliun. Tim eksekutor dan kejaksaan harus memutar otak untuk melacak aset-aset lainnya milik Yayasan Supersemar yang bernilai triliunan rupiah.

Law-justice.co mencoba menelusuri aset-aset Yayasan Supersemar yang sudah disita negara. Salah satunya adalah Gedung Granadi. Bangunan kokoh yang beralamat di Jl. HR. Rasuna Said Blok X 1 No. Kav 8-9, RT.6/RW.4, Kuningan Timur, Setiabudi, Jakarta Selatan, tersebut, masuk dalam dokumen persidangan sebagai aset milik yayasan yang harus disita negara. Namun kini menjadi polemik karena Yayasan Supersemar diklaim bukan pemilik tunggal Gedung Granadi. Setidaknya ada 6 yayasan lainnya yang disebut juga memiliki hak atas gedung tersebut.

Reporter law-justice.co menyambangi Gedung Granadi pada Selasa (21/4/2020) pukul 11.00 WIB dengan berpura-pura menjadi seorang konsumen yang hendak menyewa gedung untuk keperluan pribadi. Sesampainya di lobby utama, gedung tampak cukup ramai oleh beberapa karyawan yang beraktifitas.  Terlihat ada lebih dari enam petugas keamanan yang berjaga, mulai dari pintu gerbang halaman hingga pintu yang di lobby utama.

Di area lobby, terdapat papan nama beberapa perusahaan yang berkantor di Gedung itu. Di sana tertulis nama PT Humpus Group milik keluarga Cendana, yakni PT Humpus Trading, PT Humpus Intermoda Transportasi, PT Humpus Transportasi Curah, LNG Division (Humaico), PT Humpus Aromatik, PT Humpus Pengelolaan Minyak, PT Humpus Patragas, PT Humpus Karbometil Selulosa, dan PT Usaha Gemilang Utama.

Law-justice.co kemudian menghampiri salah seorang marketing khusus gedung pernikahan yang biasa disewakan di sana. Seseorang yang bernama Neng menjelaskan dengan sumringah tentang proses dan harga sewa gedung untuk resepsi pernikahan.

“Sewa ruang Graha Paramitha sebesar Rp 30 juta selama 3 jam. Uang muka 25 persen dari sewa gedung. Sewa ruang truntum per ruangan adalah Rp 500 ribu. Uang charge overtime atau tambahan biaya lebih dari 3 jam sebesar Rp 1,5 juta per jam,” kata dia.

Reporter law-justice.co lalu menemui salah seorang yang mengurusi legalitas penyewaat gedung bernama Febri. Ia menjelaskan beberapa ruang yang kosong di beberapa lantai dan dapat disewakan.

“Harga penyewaan berdasarkan ukuran meter. Ada biaya biaya perawatan, kebersihan dan sampah kurang lebih Rp 75.000. Juga ada tambahan biaya diluar jam kerja sebesar Rp 200.000 per jam,” ucapnya.


Salah satu gedung yang menjadi aset Yayasan Supersemar di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan (Foto: Lili Handayani/Law-Justice)

Febri mengatakan, salah satu perusahaan yang sudah lama berkantor di sana adalah PT Energi Mineral Langgeng bergerak di bidang minyak dan gas. Perusahaan yang dulunya dimiliki oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Inverstasi Luhut Binsar Panjaitan. Sejak menjadi menteri, sepengetahuan dia, Luhut tidak lagi memimpin perusahaan tersebut.

Law-justice.co mencoba untuk menyinggung polemik hukum yang terkait dengan Gedung Granadi, termasuk klaim penyitaan oleh PN Jakarta Selatan dan Kejaksaan Agung. Febri menerangkan bahwa gedung tersebut tidak disita. Aktivitas gedung masih berjalan seperti biasanya.

“Kalau enggak diisi, gedung ini akan hancur. Pemilik gedung ini ada 5 orang sedangkan yang bermasalah hanya 1. Jadi sulit untuk di kosongkan,” terang Febri.

Seorang bagian marketing bernama Anto yang diwawancarai law-justice.co menguatkan pernyataan Febri. Anto menegaskan, pemilik Gedung Granadi bukan Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, sebagaimana yang banyak diberitakan oleh media massa.

Ada lebih dari tujuh yayasan terdaftar sebagai pemilik Gedung Granadi, di antaranya Yayasan Supersemar, Yayasan Dharmais, Damandiri, Amal Bhakti Muslim Pancasila, dan Yayasan Dakap. Anto sendiri enggan menyebutkan secara rinci tentang daftar pemilik gedung tersebut.

Dulu, kata Anto, kejaksaan sempat benar-benar menyita Gedung Granadi, tapi sudah dikembalikan pada tahun 2002. Ia meyakini, sampai saat ini belum ada penyitaan lagi.

Ia juga mengklarifikasi perihal isu penyitaan oleh PN Jakarta Selatan dan Kejaksaan pada akhir tahun 2018 lalu. Menurut dia, beberapa pemberitaan bahwa Gedung Granadi telah disita terkesan berlebihan. Khususnya tentang penggambaran bahwa aktivitas di gedung tersebut sudah ditiadakan.

Wong itu tanggal merah, difoto-foto, ya sepi lah. Makanya dulu pengacaranya pak Tommy sempat undang wartawan, menjelaskan duduk perkaranya. Ya kita kan enggak sembarang juga. Masak iya disita begitu saja. Memang enggak lihat tuh ada kantor, ada wedding di sini,” imbuhnya.

Pihak Tommy Soeharto memang pernah melakukan konferensi pers di Gedung Granadi pada 4 Desember 2018, beberapa hari setelah keluar pernyataan sita oleh Kejaksaan Agung. Kuasa hukum Tommy, Erwin Kallo, menuding Jaksa Agung Muhammad Prasetyo telah bermain politik dengan mengaitkan kasus Yayasan Supersemar dengan kliennya.

“Klien kami hanya penyewa di Gedung Granadi. Sama seperti tenant yang lain. Tidak mungkin menyerahkan apa yang bukan miliknya,” kata Erwin.

Hal itu untuk merespon pernyataan Jaksa Agung saat itu Prasetyo kepada media massa yang meminta keluarga Cendana, khususnya Tommy, agar bersikap kooperatif dalam menyerahkan Gedung Granadi kepada negara. Saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Prasetyo mengatakan  bahwa kepemilikan gedung tersebut telah direkayasa sehingga mengaburkan status Yayasan Supersemar sebagai pemilik tunggal.

“Kami dengar bahwa gedung itu sudah diatasnamakan yayasan. Padahal, yayasan itu dulu pendirinya siapa? Sumber uangnya darimana? Itulah lihainya mereka,” ucap Prasetyo.

Sementara itu, untuk menelusuri aset-aset milik Yayasan Supersemar, Law-Justice berusaha meminta dokumen soal aset mana saja yang disita untuk negara. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Hari Setiyono yang beberapa kali dihubungi melalui pesan singkat dan telepon pun tidak memberikan respon jawaban.

Begitu juga saat ditemui, Kapuspenkum Hari Setiyono hanya mengarahkan ke bagian publikasi media Puspenkum untuk menemui salah satu orang bernama Muhammad Isnaini. Dari sini tim hanya dijanjikan bahwa akan siap diwawancara jika mereka sudah mempelajari data-data terkait perkembangan penyitaan aset Yayasan Supersemar ini.


Pengguna gedung Granadi didominasi perusahaan milik Tommy Soeharto (Foto:Lili Handayani/Law-Justice)

Dari sini tim hanya dijanjikan akan membeberkan data dan memberikan waktu wawancara jika mereka sudah mempelajari data-data terkait perkembangan penyitaan aset Yayasan Supersemar ini.

"Sementara Puspenkum belum mendapatkan hasil sidang perdata tentang supersemar jadi kami mesti cari dan pelajari data itu dulu, sebaiknya ditanyakan kepada pengadilan yang memeriksa perkara tersebut. Pak Kapus saja nggak punya data tersebut, nanti bisa dibantu tapi tidak secepatnya karena kondisi nggak memungkinkan secepatnya akan diusahakan. Besok sama lusa libur, hari Senin baru masuk, pokok diusahakan secepatnya," jelas Isnaini.

Tim juga mendatangi kantor Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), di lobi tamu hanya ada satu orang petugas jaga, tak tampak para pegawai Jamdatun. Pegawai  di kantor Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) juga menolak memberikan jawaban. Pegawai yang ada bahkan meminta tim untuk menemui Kapuspenkum.

"Semua kerja dari rumah mas, tidak ada yang masuk, coba cek saja ke atas kalau tidak percaya," jelas petugas tersebut.

Reporter Law-Justice juga berusaha menemui Jampidsus, yang berada di pojok selatan gedung Kejagung. Di lobi tamu Jampidsus, tim juga disarankan menemui Kapuspenkum dengan dalih tidak ada pejabat yang berwenang.

Sementara itu, Kepala Humas PN Jakarta Selatan (Jaksel) Achmad Guntur yang dihubungi Law-Justice memastikan bahwa pihaknya sudah melakukan prosedur penyitaan terhadap aset-aset Yayasan Supersemar, yaitu berbentuk uang yang berada di rekening Yayasan Supersemar dan aset gedung Granadi yang statusnya dalam tahap Sita Eksekusi yang hingga kini menunggu untuk dilelang.

"Aset-aset yang lain juga sudah disita, datanya sudah lama saya infokan ke media beberapa bulan yang lalu, tapi sekarang saya lupa jumlahnya, saya harus liat datanya lagi, hari Senin saya akan update datanya di kantor," ujar Achmad, Jumat, (25/4/2020).

Achmad menjelaskan sitaan uang dari rekening Yayasan Supersemar sudah diserahkan PN Jaksel kepada pemerintah dalam hal ini Kejagung.

"Uang itu sudah diserahkan ke Pemerintah, yang menyita itu kami, Kejagung dalam perkara ini sebagai Pengacara Negara yang menerima kuasa mewakili Pemarintah/ Negara sebagai pihak dalam perkara perdata," terang Achmad.

Kasus Belasan Tahun yang tidak Pernah Rampung
Perihal perkara hukum Yayasan Supersemar sudah berlangsung lama, terhitung sejak Orde Baru lengser pada 1998. Artinya, proses hukum dan usaha negara untuk mengusut tuntas skandal korupsi dana beasiswa untuk pelajar itu sudah seumur rezim reformasi. Walaupun putusan pengadilan sudah inkracht pada perkara perdata, tetap saja, upaya pengembalian uang negara baru sedikit yang terlaksana.

Proyek Yayasan Supersemar dimulai pada Mei 1974 oleh Presiden Soeharto dengan modal awal Rp 10 juta. Yayasan ini didirikan untuk membantu pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu, namun dianggap memiliki potensi untuk berkembang. Guna menghidupi yayasan, Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 tahun 1976 yang mengatur tentang sumber dana. Salah satunya adalah mewajibkan bank-bank milik negara untuk menyetor 5% laba mereka untuk “beramal” di Yayasan Supersemar.

Berkat adanya PP tersebut, keuangan Yayasan Supersemar jadi membengkak. Dari 8 bank besar milik negara, yayasan mengumpulkan dana segar sebanyak Rp 309 miliar. Sampai akhirnya Soeharto lengser, masih ada sisa dana USD 420 juta dan Rp 182 miliar.

Pada September 1998, Kejaksaan Agung mengendus indikasi penyelewengan dana pada Yayasan Supersemar.Dibentuklah tim Invesigasi Kekayaan Soeharto yang diketuai Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib.

Beberapa orang sempat diperiksa tim investigasi, diantaranya Siti Hardiyanti Rukmana, Bob Hasan, Kim Yohannes Mulia, dan Deddy Darwis. Soeharto sempat menjadi tersangka dalam perkara pidana, namun pada 1999 ia terkena stroke sehingga persidangan yang sudah masuk pada fase penuntutan dihentikan.

Kejaksaan kemudian menuntut secara perdata pada tahun 2007. Pengacara negara menuntut Yayasan Supersemar untuk mengganti rugi keuangan negara karena dianggap telah melakukan penyelewengan uang yang diperoleh dari bank-bank milik negara.


Salinan putusan gugatan Yayasan Supersemar kepada Kejaksaan Agung (Foto:Repro Mahkamah Agung/Law-Justice)

Kejaksaan mengendus aliran dana miliaran rupiah dari Yayasan Supersemar kepada beberapa perusahaan seperti PT Bank Duta, PT Sempati Air, PT Kiani Lestari, PT Kiani Sakti, PT Kalhold Utama, PT Essam Timber, PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri dan Kelompok Usaha Kosgoro.

Pada 2008, dua bulan setelah Soeharto wafat, PN Jakarta Selatan mengabulkan tuntutan kejaksaan.  Yayasan Supersemar yang kini jatuh ke tangan ahli wari Soeharto, harus membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp 46 miliar.

Pada tingkat banding, putusan tersebut diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan memperberat hukuman menjadi denda Rp 185 miliar.

Tidak puas dengan putusan tersebut, baik Yayasan Supersemar maupun pengacara negara melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK) pada tahun 2013. Dua tahun kemudian, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan inkracht yang memenangkan upaya hukum dari pihak kejaksaan.  

Total denda yang harus dibayarkan Yayasan Supersemar kepada negara adalah sebesar Rp 4,4 trilun, akumulasi dari Rp 139,2 miliar dan US$315 juta.

Sejak awal proses hukum berlangsung, Gedung Granadi sudah menjadi salah satu aset milik Yayasan Supersemar yang dituntut harus segera disita. Dalam putusan Peninjauan Kembali Nomor 140 PK/Pdt/2015, disebutkan bahwa tim pengacara negara sempat meminta agar Gedung Granadi disita untuk menghindari penghilangan jejak aset-aset Yayasan Supersemar. Permintaan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun entah bagaimana, gedung tersebut sampai saat ini urung disita.

Karena tidak ada titik terang dalam penyelesaian piutang Yayasan Supersemar, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam LKPP 2018 menganggap eksekusi kasus hukum ini termasuk dalam kategori “Macet”. Macetnya upaya eksekusi aset milik Yayasan Supersemar ini berbahaya bagi pemasukan negara yang diperoleh dari upaya hukum yang sudah inkracht.

“Terdapat potensi ketidakjelasan piutang dan pengelolaan aset sitaan dari piutang Yayasan Supersemar,” demikian isi petikan laporan BPK pada halaman 49.

Menurut BPK, salah satu penyebabnya karena belum ada penunjukkan eksekutor untuk menyelesaikan piutang, termasuk pengelolaan aset sitaan. Secara lebih spesifik, BPK Menyorot PMK No. 127/PMK.05/2018 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus, yang hanya menunjukk Direktoran Pengelolaan Kekayaan Negara Dan Sistem Imformasi (PKNSI) sebagai penyaji piutang. PKNSI tidak memiliki kewenangan eksekutor dan pengelolaan aset negara.

Singkatnya, ada persoalan regulasi akuntansi di Kementerian Keuangan. Sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mengelola kekayaan negara, BPK merekomendasi agar Kementerian Kuangan memperbaiki koordinasi dengan lembaga terkait, agar proses pendataan dan penyitaan aset-aset Yayasan Supersemar lebih cepat terlaksana.


Grafis Aset Yayasan Supersemar (Repro:Tempo/Law-Justice)

Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menilai berlarutnya urusan penyitaan aset Yayasan Supersemar sebagai bentuk tidak ada niat baik dari pemerintah untuk mengikis korupsi yang dilakukan oleh badan hukum yayasan bentukan keluarga Cendana itu.

“Nah ini menjadi pertanyaan besar bagi saya, mengapa negara tidak mampu mengeksekusi. Itu sangat lambat dalam mengeksekusi, dimana letak hukum. Sebenarnya ini pertaruhan negara hukum, pertaruhan Indonesia sebagai negara yang dalam konstitusinya menyebutkan hukum sebagai panglima, ini pertaruhan dan ini sangat memalukan sekali. Jadi bagian utuh sebenarnya pemerintah sekarang nampaknya tidak serius, jadi saya melihatnya  bukan soal kemampuan tapi soal goodwill, soal kemauan, kemauan apa yang sebenarnya ditunjukkan secara serius oleh Presiden,” katanya saat dihubungi law-justice.co

Kata dia, hukum di Indonesia ini tumpul ke atas tajam ke bawah. Sehingga sangat jelas sekali dalam soal kasus ini pemerintah takut menghadapi jaringan penguasa Orde Baru yang menguasai struktur pemerintahan selama 32 tahun.

“Kendalanya adalah karena berhadapan dengan kekuasaan. Jadi seperti kita ketahui meskipun dia sudah tidak lagi berkuasa atau anak penguasa begitu tapi dalam realitanya misalnya aset dan lain-lain itu masih milik atau terkait dengan penguasa kan. Dan dia juga masih berpengaruh dalam banyak hal,”katanya.

Mengenai soal aset yang tetap masih bisa digunakan oleh keluarga Cendana, Isnur menilai ada mafia peradilan yang bermain dalam soal aset sitaan negara.

“Betul sekali, begini, yang pertama para pihak-pihak yang terlibat di dalamnya itu seperti ada intervensi dan lain-lain. Dan kita tahu bersama mafia peradilan ini adalah mafia yang nyata. Dia bisa intervensi banyak hal dalam proses peradilan termasuk dalam eksekusi,” jelasnya.

Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Bona Ricky Siahaan, Ricardo Ronald, Lili Handayani

 

 

  

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar