Saat Negara Tersandera Mafia Alkes yang Berpesta di Wabah Corona

Minggu, 26/04/2020 07:37 WIB
Ilustrasi Para Mafia Bisnis Alat Kesehatan di Saat Wabah Corona (Kompas)

Ilustrasi Para Mafia Bisnis Alat Kesehatan di Saat Wabah Corona (Kompas)

Jakarta, law-justice.co - Sampai saat ini wabah virus corona masih terus menggila. Korban terus berjatuhan setiap harinya. Diantara yang meninggal adalah tenaga medis yang berjuang digarda terdepan dalam memerangi penyebaran virus corona. Sekurangnya ada 34 dokter dan 14 perawat yang meninggal dunia akibat terinfeksi Covid-19 atau virus corona.

Salah satu penyebab banyaknya tenaga medis yang meninggal dunia adalah karena kekurangan alat kesehatan (alkes) yang menjadi pendukung ketika mereka bekerja. Kita masih ingat ketika awal awal virus corona merebak di Indonesia, tenaga medis hanya menggunakan alat kesehatan seadanya. Bahkan dikabarkan ada yang menggunakan jas hujan harga sepuluh ribuan untuk membungkus tubuhnya. Belum lagi soal ketersediaan masker yang sangat langka dan harganya yang menggila.

Alkes langka karena sebagian besar barangnya  harus didatangkan dari mancanegara.  Menurut Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir selama ini Indonesia masih cenderung memilih melakukan impor bahan baku obat-obatan dan alat kesehatan, ketimbang memproduksi sendiri pada hal kemampuan ada.

Sebagai contoh Indonesia sebenarnya mampu memproduksi masker karena pabriknya ada. Tetapi karena bahan bakunya harus impor maka Indonesia tidak memproduksinya melainkan hanya jadi tukang jahitnya saja.

“Pabriknya ada, tapi bahan baku dari luar semua, Indonesia hanya tukang jahitnya doang. Orang luar bawa bahan baku ke tukang jahit, dia bayar tukang jahitnya, diambil barangnya. Itu proses yang terjadi selama ini dan kita akhirnya impor juga barang tersebut, karena bukan punya kita, itu milik yang punya bahan,” kata Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinalungga.

 “Nah, di sini akhirnya Pak Erick melihat ada mafia-mafia besar baik global dan lokal yang mungkin bergabung, dan akhirnya membuat bangsa kita hanya sibuk berdagang, bukan sibuk produksi,” ucap Arya, sebagaimana dikutip Kompas.com.

Berapa sebenarnya kebutuhan Alkes untuk Indonesia agar mampu menopang kebutuhan untuk menghadapi pandemic virus corona ?, Siapa sebenarnya mafia yang bermain dalam pengadaan Alkes di Indonesia ?, Bagaimana modus mafia menjalankan aksinya ?.Langkah apa yang harus dilakukan untuk memerangi mafia ? Kemanakah gerangan KPK dan aparat penegak hukum lainnya ?

Kebutuhan Alkes 

Alkes dalam rangka penanganan virus corona bermacam macam ragamnya. Tetapi yang utama adalah masker, baju APB, Alat Rapid Test, ventilator dan lain lainnya. Dengan populasi 260 juta jiwa, pemerintah harus memikirkan untuk bisa menyediakan Alkes tersebut guna memerangi virus corona.

Sebagai contoh untuk masker, harus dihitung berapa kira kira kebutuhan masker kita. Kita anggap saja prioritas kebutuhan Masker perbulan adalah 30% dari populasi yaitu 78 juta masker perbulannya. Kalau wabah Corona sampai bulan Juli berarti kebutuhan masker Mei ke Juli sekitar 234 juta. 

Baju APD. Kita asumsikan ada 200.000 tenaga kesehatan mulai dari Dokter, perawat, supir ambulance, administrasi Rumah Sakit hingga Puskesmas dan relawan yang bekerja 24 jam terkait penanganan virus Corona. Dari angka asumsi itu berapa kebutuhan APD per harinya? Jika menggunakan standar kesehatan maka APD untuk penanganan virus yang sangat menular seperti Corona hanya bisa di gunakan sekali pakai lalu di hancurkan untuk diganti yang lainnya.

Sekadar informasi, virus Corona menurut National Intitute of Health USA bisa hidup di bahan plastik selama 3 hari, waktu yang cukup lama.  Dengan demikian maka dalam satu bulan paling tidak 200.000 orang x 30 hari berarti di butuhkan APD minimal 6 juta. Kalau di hitung mulai bulan Mei ke Juli dibutuhan APBD sekitar 18 juta.

Lalu bagaimana halnya dengan kebutuhan Rapid tes untuk mengecek mereka yang diduga terpapar virus corona ?. Untuk bisa menghitung kebutuhan Rapid tes barangkali kita bisa mencari pembandingnya dengan negara negara yang saat ini juga diserang virus corona. Sebagai conton Spanyol, populasi 46 juta jiwa membeli Rapid Test sebanyak 5,5 juta pcs.

Kuwait, populasi 4 juta jiwa membeli 30.000.000 Rapid test atau tiap jiwa dapatkan 7 hingga 8 rapid test sampai wabah Corona sirna. Belanda, Populasi 17 juta jiwa membeli sekitar 7,5 juta Rapid test atau sekitar 40 an % dari total populasi, sementara India, populasi 1,3 Milyar jiwa membeli 150.000.000 rapid test atau sekitar 11,5 % dari Populasi/ penduduknya. 

Untuk Indonesia, andaikan saja negara ini mampu membeli Rapid Test 10% dari populasi 260 juta, maka sejak ditetapkannya situasi Darurat Corona 29 Febuari hingga hari ini tanggal 23 April , seharusnya sudah siap Rapid Test sekurangnya 27 juta. Itu baru 3 jenis alkes,  belum lagi kita bicara Ventilator, PCR, Disinfektan dan sekian banyak kebutuhan lainnya. 

Sejauh ini negara masih tergopoh gopoh menyediakan Alkes yang sangat dibutuhkan dalam perang menghadapi virus corona. Di tengah upaya menyediakan Alkes itu muncul kabar tidak sedap terkait penyediaan barangnya. Alkes didapat bukan dari produksi dalam negeri tapi digenjot penyediaan barangnya dari mancanegara. Itupun menurut Rizal Ramli selalu ribut karena masing masing pejabat membawa pengusahanya sehingga soal  impor Alkes ini tambah runyam saja. Menurut istilah Erick Thohir ada mafia yang bermain dalam penyediaan Alkesnya.

Siapa Mafianya ?

Sinyalemen Menteri BUMN Erick Thohir yang menyebut adanya mafia alat kesehatan di tengah pandemi  Covid-19 atau virus corona telah memantik reaksi dari para pengamat untuk buka suara. Sebagai contoh Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono menantang Erick Thohir untuk membuka siapa saja orang dan nama perusahaan yang dimaksud menjadi mafia.“Ya jangan koar-koar saja dong. Langsung sebut dan tunjuk (siapa mafianya) biar enggak bikin bingung. Kalau ngomong pakai data. Berapa jumlah yang diimpor dan siapa yang ngimpor,” ucapnya kepada wartawan, Selasa (21/4/2020).

Pernyataan Erick Thohir juga menjadi perhatian mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sudi Pudjiastuti. Susi pun menyarankan pemerintah dan Erick untuk mengambil beberapa langkah ekstrem. Yakni menghapus Kementerian Perdagangan dan Kementeriian Perindustrian, lalu meleburnya sebagai Direktorat di dalam Kementerian Luar Negeri.

"Pemerintah/ Pak Erick Thohir bisa lebih mudah memberantas mafia impor, kalau Departemen Perdagangan ditiadakan saja. Juga Perindustrian. Jadikan kedirektoratan di deplu. Semua akan lebih mudah dan murah. Mohon maaf kalau tidak berkenan," kata Susi melalui akun Twitter miliknya, Selasa (21/4).

Sejauh ini memang belum jelas siapa sebenarnya mafia impor alkes yang merugikan negara. Tetapi orang dalam sendiri dalam hal ini Adian Napitulu mencoba untuk mereka reka siapa sebenarnya mafianya. Menurutnya ada kalimat yang bisa jadi clue untuk menunjukan siapa mafia di maksud yaitu "Mereka yang mendominasi"  impor alkesnya. Menurutnya kalau ukuran mafianya adalah dominasi impor alkes dan obat maka bisa jadi hanya dua lembaga yang memenuhi syarat Dominasi yaitu BNPB dan BUMN. 

Apakah pernyataan Erik ini menyasar ke BNPB? Menurut Adian mungkin saja, karena ada 19 jenis Alkes yang rekomendasi impornya dikeluarkan BNPB. Ini daftar rekomendasi impor alkes dari BNPB : Surgical apparel, Disinfektan, Sarung tangan steril,Sarung tangan pemeriksaan, Thermometer, Ventilator infusion pump, Mobile x-ray, High flow oxygen device, Bronchoscopy portable, Power air purifying respirator CPAP Mask, CPAP machine, ECMO (extracorporeal membrane oxygenation), Breathing circuit for ventilator and incubator transport, Transport culture medium, Microbiological specimen collection and transport device (dacron swab), Alat rapid test COVID-19, Resuscitation bag. 

Tapi bisa juga Erik sedang menegur oknum atau BUMN di bawah kementriannya. Apakah benar BUMN mendominasi impor Alkes dan Obat? Ini data dari berbagai media; RNI impor 500.000 Rapid test dari Cina, Indo Farma impor 100.000 rapid test, Kimia Farma impor 300.000 rapid test. Total impor Rapid test sudah 900.000 buah. Berikutnya BUMN juga impor bahan baku untuk produksi 4,7 juta masker. Bio Farma impor bahan baku untuk 500.000 obat dari India untuk membuat Oseltamivir. 

BUMN juga impor 2 juta Avigan. BUMN impor bahan pembuat 3 juta klorokuin. BUMN dan BKPM impor bahan baku APD dari China dan Korea. BUMN impor 20 PCR dari Farmas Roche Swiss. Dengan data itu sebenarnya BUMN salah satu yang mendominasi Impor alkes dan Obat. Aneh tidak? BNPB yang keluarkan rekomendasi Impor, BUMN ikutan mendominasi Impor tapi menteri BUMN nya sekarang bicara bahwa ada Mafia yang mendominasi Impor Alkes. Jadi sebenarnya siapa Mafianya ? Kalau impor Alkes harus ada rekomendasi sekian lembaga negara, apakah Pak Menteri ingin katakan bahwa Mafia Mafia itu dapatkan rekomendasi juga?. Demikian Adian mempertanyakan.

Siapapun mafianya, yang jelas mafia itu adalah pengkhianat bangsa. Karena ditengah krisis corona yang sedang melanda, tega teganya memanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Logikanya mafia ini tentu melibatkan birokrasi yang ada dilingkaran penguasa. Sejauh ini diakui atau tidak  oligarki yang sudah menggurita di negara ini, menjadi lahan subur bagi para mafia. Fenomena ini begitu nyata tapi terproteksi dan terpelihara oleh elite penguasa.

Modus yang dilakukan

Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengungkapkan modus mafia alat kesehatan (alkes) yang belakangan jadi sorotan. Menurut bos induk holding badan usaha milik negara (BUMN) sektor farmasi itu, kemungkinan besar praktik tersebut terjadi karena impor alkes dilakukan lewat broker alias perantara tertentu.

"Saya tidak mengatakan mafia itu tidak ada, tapi pada kondisi seperti ini pasti ada yang berusaha untuk memanfaatkan kesempatan seperti itu, apalagi kalau kita bermain dengan broker," kata dia dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI secara virtual, Selasa (21/4/2020).

Jadi kesepakatan yang dilakukan untuk mengimpor alkes dilakukan melalui broker, tidak bertransaksi langsung dengan pabrikannya. Pihaknya berusaha sebisa mungkin menghindari hal semacam itu.

"Nah permasalahan yang muncul dengan adanya isu mafia alkes, mafia farmasi ini karena mungkin deal-nya melalui broker atau melalui perantara tertentu. Tapi yang kami lakukan strateginya kita berusaha untuk melakukan deal langsung dengan pabrikannya. Kita dibantu teman-teman KBRI," jelasnya.

Terlebih di tengah pandemi virus Corona (COVID-19) permintaan terhadap alkes meningkat pesat sementara suplainya terbatas sehingga memicu hal-hal yang tidak diinginkan."Terkait mafia alkes ataupun mafia obat-obatan, ya menurut kami ini memang permasalahan yang hampir pada saat pandemi ini seperti disampaikan di awal tadi, di mana demand-nya jauh lebih tinggi daripada suplainya sehingga ada kelangkaan suplai, apalagi juga proses ekspor-impor itu tidak berjalan mulus karena masing-masing negara juga melakukan pembatasan-pembatasan," lanjut dia.

"Makanya strategi kami adalah kita langsung untuk produk-produk ataupun alkes yang tidak kita miliki, kita langsung deal dengan pabrikannya untuk menghindari adanya kecenderungan nanti harganya akan naik," tambahnya.

Memerangi Mafia Alkes

Erick Thohir mengaku sudah berupaya untuk memerangi mafia alkes yang merajalela disaat pandemic virus corona. Caranya adalah dengan mendorong berbagai pihak dalam negeri untuk memproduksi bahan obat dan alat kesehatan. Dengan adanya produksi dari dalam negeri, demand akan obat dan alat kesehatan diharapkan mampu terpenuhi. Sehingga, secara otomatis ketergantungan terhadap impor akan berkurang. "Dengan kita produksi dalam negeri kan otomatis yang main trader hilang, karena dipenuhi produksi dalam negeri," katanya. 

Pada prinsipnya Erick mengharapkan upaya memerangi mafia dilakukan dengan cara `gotong-royong`. Ia mengajak semua pihak untuk bersama-sama melawan para mafia alkes. Erick seperti menggambarkan bahwa mafia alkes ini punya kekuatan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Cengkeramannya kuat dan mungkin saja melibatkan pihak-pihak tertentu yang punya kuasa. Maka untuk melawannya hanya satu cara yaitu : gotong-royong atau kerja bersama.

Tentunya upaya untuk memerangi mafia tidak cukup hanya dengan harapan dituntaskan secara gotong royong saja. Bagaimanapun harus ada upaya untuk menjadikan jera para pelakunya. Ketika bicara ke ranah ini maka penegakan hukum adalah salah satu jalannya. Karena itu aparat penegak hukum harus di dorong untuk bersatu membongkar praktik mafia pengadaan alat kesehatan dan obat di tengah pandemi penyebaran virus Covid-19 di Indonesia.

Merujuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 77 bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghambat kemudahan akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit dua miliar atau denda paling banyak empat miliar,

Sejauh ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berkomitmen menindak tegas siapa pun yang menyelewengkan  dana anggaran terkait penanganan wabah virus corona covid-19, termasuk mafia alat-alat kesehatan yang sekarang sangat dibutuhkan keberadaannya.

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menegaskan hal tersebut sebagai respons pernyataan   Menteri BUMN Erick Thohir yang menyebut masih ada mafia-mafia alat kesehatan di tengah pandemi covid-19."KPK tegas terhadap pihak yang bermain-main terkait pengadaan barang dan jasa terutama terhadap kebutuhan alat kesehatan, terlebih untuk situasi sekarang ini," kata Ali Fikri, Jumat (17/4/2020).

Kita berharap Menteri Erick Thohir sebagai peniup peluit adanya mafia Alkes bersikap proaktif untuk melaporkan masalah ini ke aparat penegak hukum seperti polisi, Jaksa atau KPK. Serahkan semua bukti bukti yang dimiliki agar kasusnya bisa segera di tindaklanjuti oleh aparat penegak hukum yang berwenang menanganinya. Tidak perlu koar koar ada mafia kalau kemudian tidak bisa membuktikan keberadaannya.

Koar-koar ada mafia tapi tidak bisa menunjukkan buktinya hanya akan membuat suasana menjadi gaduh saja. Menjadikan orang saling curiga karena disangka sebagai mafianya. Ini juga bisa membuat gamang para importir Alkes yang semula berniat mendatangkan barangnya dari mancanegara. Mereka bisa mengurungkan niatnya karena takut disangka mafianya. Pada hal Alkes itu saaat inisangat dibutuhkan sebagai senjata untuk memerangi virus corona.

Sementara itu kepada aparat penegak hukum khususnya KPK harus bertindak prokatif untuk menyikapi adanya dugaan mafianya. Apalagi soal soal terkait mafia alkes ini bukan delik aduan yang harus disikapi oleh KPK dengan duduk manis menunggu orang melapor dikantornya.  Saat ini waktunya bagi KPK untuk membuktikan bahwa lembaga anti rasuah ini bukan Mabes Polri cabang kuningan sebagaimana sinyalemen yang disampaikan oleh Mohamammad Tsani mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK).

Tapi jujur harus diakui, publik sekarang sudah terlalu apatis dengan KPK yang yang dinilainya sudah tidak berdaya. Sejak adanya revisi UU KPK menyusul terpilihnya Irjen Firli Bahuri sebagai ketua KPK, lembaga ini seolah sudah kehilangan nyawanya. Tidak ada lagi terdengar OTT yang menjadi andalan KPK untuk menangkap para koruptor uang negara. Tidak lagi terdengar KPK menangkap koruptor kakap seperti dilakukan oleh KPK sebelumnya. Kasus kasus besar seperti Asabri dan Jiwasraya ambyar diterjang wabah corona sementara KPK hanya menjadi penontonnya.

Mafia alkes ini selain menimbun produknya dan menjual ke luar negeri, juga ada permainan dari hulu ke hilirnya. Sebab itu perlu ada upaya hukum dari KPPU yang selama ini menjaga jalur distribusi dan bisnisnya agar tidak terjadi kartel dan monopoli.

Regulasi dasar hukum soal persaingan usaha kan sudah ada dan tugas KPPU mengawasi persaingan usaha yang tidak sehat, monopoli dan kartel. Sampai sekarang tidak terlihat apa saja yang sudah dikerjakan KPPU di saat wabah corona. Jangan hanya diam berpangkutangan menunggu laporan saja. 

Kalau kemudian ada yang mendesak supaya KPK  turun langsung menangani mafia Alkes yang sekarang diduga sedang merajalela sepertinya akan sekadar harapan hampa belaka. Logikanya kalau kasus kasus besar saja penegakan hukumnya dipandang sebelah mata apalagi kasus mafia Alkes yang belum jelas titik terangnya. Begitulah aksi kura-kura dalam perahu, sudah gaharu tak tahu pula!

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar