Tarik Ulur Soal Mudik Pertanda Negara Tak Siap Hadapi Corona, Waspada!

Sabtu, 25/04/2020 06:57 WIB
Semua jalan tol kali ini ditutup bagi pemudik Lebaran tahun ini (Foto: Pantau.com)

Semua jalan tol kali ini ditutup bagi pemudik Lebaran tahun ini (Foto: Pantau.com)

Jakarta, law-justice.co - Pada akhinya Presiden Joko Widodo menyatakan melarang mudik Lebaran pada hari raya Idul Fitri 1441 H bagi semua warga. Sebelumnya, Jokowi hanya melarang mudik untuk aparatur sipil negara (ASN), pegawai BUMN, dan TNI-Polri saja. "Mudik semuanya akan kita larang selama wabah Corona," ujar Jokowi membuka ratas di Istana Presiden yang disiarkan langsung lewat akun YouTube Setpres, Selasa (21/4/2020). 

Kebijakan yang bernuansa gamang dan ragu yang tercemin dari larangan "Maju-Mundur"nya mudik bisa membuat virus Corona merasa "Nyaman" tinggal di Indonesia. Sinyalemen ini nampaknya ada benarnya karena penyebaran virus corona di suatu negara sangat tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemimpin pemerintahannya. Sebagai contoh virus corona yang menyerang Vietnam tidak sampai merenggut korban jiwa karena kesigapan pemerintahannya. Tetapi virus corona di Italia, Equador atau Amerika  panen nyawa karena ketidaktegasan pemerintah dan masyarakatnya yang menganggap enteng pandemic virus corona.

Maju Mundur

Sebelum akhirnya diputuskan untuk melarang mudik, pemerintah sempat maju mundur mengambil kebijakan terkait dengan boleh tidaknya warga mudik ke kampung halamannya. Dari jejak digital yang sempat terekam oleh media massa, sekurang kurangnya  ada tiga "sikap" pemerintah mengenai kebijakan mudik bagi warga negara Indonesia. Mulai dari memperbolehkan, melarang sebagian, hingga melarang total.

Pada awalnya mudik tidak dilarang, sesuai dengan arahan Presiden pada  pada Kamis (2/4/2020), dimana Presiden Joko Widodo saat itu telah memutuskan untuk tidak akan melarang masyarakat mudik lebaran di tengah pandemi Covid-19 atau virus corona atau. "Diputuskan tidak ada pelarangan mudik resmi dari pemerintah," kata Pelaksana Tugas Menteri Perhubungan Luhut Binsar Panjaitan seusai rapat.

Saat ditanya alasan pemerintah tak melarang mudik, Luhut hanya menjawab singkat saja. Luhut menyebut ada kemungkinan larangan yang diterbitkan pemerintah juga tak akan diindahkan oleh masyarakat, jadi dipersilahkan saja mereka kalau mau mudik ke kampung halamannya."Orang kalau dilarang, (tetap) mau mudik saja gitu. Jadi kita enggak mau (larang)," ucap dia.

Kendati demikian, Luhut menegaskan, pemerintah tetap mengimbau masyarakat tidak mudik demi mencegah penyebaran virus corona ."Jadi sekarang kita imbau kesadaran bahwa kalau anda mudik, nanti bawa penyakit. Hampir pasti bawa penyakit. Kalau membawa penyakit itu di daerah ada yang meninggal, bisa keluargamu," kata dia.

Luhut pun berjanji, pemerintah akan memberi bantuan sosial bagi masyarakat miskin yang bersedia tidak mudik atau bertahan di kediamannya. Selain itu, pemerintah juga tengah mengkalkulasi untuk memundurkan hari libur nasional ke akhir tahun. Dengan begitu, masyarakat nantinya tetap bisa mudik ke kampung halaman setelah wabah Covid-19 mereda.

Sementara bagi masyarakat yang tetap ingin mudik, maka harus melakukan karantina mandiri selama 14 hari di kampung halamannya. Menurut Luhut, pemerintah pusat akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah agar karantina ini berjalan seperti rencana."Kalau masih ada masyarakat yang ingin mudik dia harus ikut masuk karantina tadi. Dan kemudian pemeriksaan kesehatan di kampungnya," katanya.

Sepekan kemudian, keputusan yang membolehkan warga untuk mudik itu akhirnya mulai berubah juga. Presiden Jokowi mengatakan, pemerintah hanya sebatas mengimbau saja warga agar tidak mudik ke kampong halamannya. Tetapi khusus kepada ASN, TNI, Polri dan Pegawai BUMN, pemerintah melarang mereka untuk  tidak mudik seperti tahun tahun sebelumnya.

Ketika itu, dalam telekonferens pers, Kamis (9/4/2020), presiden mengatakan pemerintah sudah memutuskan beberapa kelompok masyarakat yang dilarang mudik pasa masa pandemi corona. Mereka adalah anggota Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI dan Polri serta pegawai BUMN dan anak-anak perusahaannya.

Terkait kelompok masyarakat lainnya, ketika itu, Jokowi mengatakan bahwa pemerintah sampai saat ini hanya mengimbau masyarakat untuk tidak mudik guna menekan laju penyebaran virus corona.“Kita akan melihat lebih detil di lapangan, akan mengevaluasinya. Untuk itu sekali lagi, pemerintah menganjurkan untuk tidak mudik  dan tadi sudah saya sampaikan bahwa penyaluran bantuan sosial khususnya di Jabodetabek kita berikan ini agar warga mengurungkan niatnya untuk mudik,” jelasnya.

Mungkin setelah ditimbang timbang plus dan minusnya, akhirnya  Presiden Joko Widodo  mengeluarkan larangan kepada masyarakat untuk mudik pada hari raya Idul Fitri 1441 Hijriah.Hal itu disampaikan Presiden dalam rapat terbatas antisipasi mudik 2020, Selasa, (21/4/2020)."Pada hari ini saya ingin menyampaikan, mudik semuanya akan kita larang," kata Presiden. Larangan tersebut dilakukan karena masih tingginya angka masyarakat yang mudik di tengah Pandemi Corona.

Berdasarkan data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) masih ada 24 persen masyarakat yang mudik, meski sudah ada himbauan untuk tidak melakukannya."Dari hasil kajian di lapangan, pendalaman di lapangan, survei Kemenhub, bahwa yang tidak mudik 68 persen, yang masih bersikeras mudik 24 persen, dan sudah terlanjur  mudik 7 persen. Masih ada angka yang sangat besar," katanya.

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan larangan mudik yang diberlakukan pemerintah akan efektif mulai Jumat, 24 April 2020 mendatang atau hari pertama puasa.

Sementara itu Staf Khusus Menteri Perhubungan Adita Irawati memastikan, pemerintah akan memberikan sanksi bagi warga yang nekat mudik dari zona merah corona. Sanksi ini nantinya akan diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan yang mengatur larangan mudik."Salah satu sanksi yang paling mungkin diberikan adalah meminta pemudik yang mencoba keluar dari zona PSBB atau zona merah untuk kembali. Itu salah satu sanksinya," kata Adita kepada Kompas.com, Selasa (21/4/2020).

Menuai Pro Kontra

Kegamangan pemerintah dalam mengambil keputusan untuk larangan mudik bisa jadi karena soal mudik tidaknya warga sempat menuai pro dan kontra.Secara umum, pandangan yang pro terhadap kebijakan mudik lebaran didasarkan pada alasan ekonomi. Mereka ingin agar aktivitas perekonomian masyarakat tetap berjalan. Sementara, pandangan yang kontra terhadap diizinkannya mudik lebaran didasarkan pada alasan kesehatan. Mereka melihat potensi dasyatnya penularan virus corona jika arus mudik dibiarkan seperti apa adanya.

Sebagai gambaran, jika banyak masyarakat yang mudik, kemudian penularan virus corona semakin menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, nantinya jumlah pasien positif pun bertambah. Dengan demikian, sumber daya manusia atau pekerja lama-kelamaan juga berkurang. Kalau pulang kampung, penyebaran virus corona tidak terkontrol. Semakin banyak yang terdampak, manusia akan semakin banyak juga yang terpapar corona.

Selain itu, rumah sakit dan tenaga medis otomatis akan kelimpungan dengan peningkatan pasien yang signifikan setelah mudik nanti. Dengan begitu, ongkos yang harus dibayar pemerintah juga akan semakin mahal harganya.Semakin menyebar di luar Jakarta, kalau di ukur dari sisi ongkos ekonominya bisa jadi besar kalau memang sistem kesehatan di Indonesia tidak bisa menanggung pasien yang positif corona

Sementara itu Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) memprediksi jika mudik tidak dilarang akan memicu gelombang gerakan warga. Sebab, ada indikasi 1,3 juta perantau akan mudik menuju ke Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah atau Jateng dan Jawa Timur (Jatim) serta Bali dan Nusatenggara. Para pemudik berasal dari zona merah Corona seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi atau Jabodetabek.

Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyebut ada 1,3 juta warga yang berpotensi nekat mudik. Bukan hanya pulau Jawa tapi kawasan Sumatra seperti Lampung, Sumsel dan Sumut juga akan dibanjiri para perantau yang berasal dari zona mera corona.

Data Balitbang Kemenhub yang bekerja sama dengan MTI, memperkirakan ada 900.000 warga yang akan mudik dan 2,6 juta warga yang belum memutuskan mudik serta potensial untuk mudik ke kampong halamannya. Sementara itu Tim Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) memprediksi, bila nantinya mudik   tidak dilarang, angka positif coronavirus COVID-19 yang butuh pelayanan rumah sakit bakal tembus hingga sejuta. Prediksi tersebut merupakan hasil permodelan FKM UI, terdiri atas Iwan Ariawan, Pandu Riono, Muhammad N Farid,  Hafizah Jusril dan kawan kawannya.

Pada sisi lain jika mudik tidak dilarang maka roda ekonomi akan bergerak di desa desa.Para perantau yang membawa duit hasil kerja mereka diprediksi akan membelanjakannya di kampungnya. Belum lagi para tenaga kerja atau TKI yang secera serentak juga balik ke kampong halamannya.

Jika ditotal jumlah pemudik di Jabodetabek yang dihabiskan di lokasi mudik adalah sebesar Rp 10,3 triliun. Dana tersebut paling banyak mengalir di wilayah Jawa Tengah sebesar Rp 3,8 triliun, Jawa Barat sebesar Rp 2,05 triliun, Jawa Timur sebesar Rp 1,3 triliun, serta sisanya tersebar ke wilayah lain di Indonesia. Umumnya satu pemudik, menghabiskan dana Rp 2 juta sampai 5 juta di kampung. Pada 2019, jumlah pemudik di Jabodetabek sekitar 14,9 juta.

Mudik biasanya menjadi ajang `pesta keuntungan` bagi seluruh pelaku UMKM yang menjajakan dagangan di pinggir jalan. Pelaku UMKM itu, misalnya pemilik warung makan hingga toko oleh-oleh yang banyak jumlahnya.Jika mudik ke kampung halaman ditiadakan, warung makan dan toko oleh-oleh pun akan sepi pengunjung. Akibatnya, omzet mereka akan turun drastis dibandingkan dengan musim mudik tahun tahun sebelumnya.

Plus minus larangan mudik memang tidak terhindarkan karena setiap kebijakan memang akan manuai pro dan kontra.  Namun arus kuat belakangan lebih menekankan agar kebijakan melarang mudik menjadi prioritas daripada membolehkannya. Sampai disini keputusan pemerinta untuk melarang mudik dinilai tepat berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :

  1. Virus corona tak pandang bulu

Penyebaran Covid-19 berlangsung secara masif sejak kemunculannya di Indonesia. Virus mematikan tersebut bisa menyerang siapa saja, di mana saja dan kapan saja melalui kontak fisik.

Tak terkecuali, jelang musim Lebaran nanti ketika status darurat wabah Covid-19 masih berjalan. Diprediksi kasus tersebut masih menjadi ancaman bila warga tetap bersikukuh untuk mudik. Apalagi, fakta membuktikan, semakin hari kasus positif Covid-19 di tanah air terus bertambah, begitu pula dengan tingkat kematiannya.

  1. Tak bisa Physical Distancing

Presiden Joko Widodo telah mengimbau warga untuk menjaga jarak atau physical distancing guna mencegah penularan Covid-19.Dengan begitu, warga diharapkan lebih banyak melakukan aktivitas di dalam rumah dan menjauhi kerumunan.

Physical distancing tentu tak berlaku ketika musim mudik, di mana kebanyakan warga memanfaatkan transpotasi umum untuk pulang ke kampung halamannya.Pemudik akan kesulitan menjaga jarak fisik satu sama lain saat dalam kendaraan sehingga tidak bisa menekan penularan Covid-19 seperti imbauan pemerintah. 

  1. Potensi penyebaran Covid-19 meningkat

Dokter Pompini Agustina, SpP dari RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso mengatakan potensi penularan Covid-19 bisa meningkat jelang musim Lebaran.Untuk itu, ia mengimbau warga menahan diri untuk tidak melakukan perjalanan jauh bila tidak memiliki kepentingan mendesak.

Sebab, para pemudik berpotensi menjadi carrier atau pembawa virus dari daerah yang telah terpapar virus corona atau masuk zona merah, sehingga bisa menjadi sumber penularan.Status carrier tentu bisa mengancam keselamatan orang lain termasuk keluarga yang ada di rumah dan warga di kampung. 

  1. Status ODP membayangi

Sejumlah provinsi di Indonesia seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat menetapkan setiap pemudik yang berasal dari luar kota terdampak Covid-19 sebagai ODP. Status tersebut tentu tidak bisa diremehkan, lantaran pemudik dari luar kota diwajibkan untuk mengisolasi diri selama 14 hari setibanya di kampung halaman.

Itu berarti, pemudik tidak bisa menghabiskan waktu bersama keluarga secara leluasa saat Lebaran karena harus menjalani karantina. Pun bila isolasi tersebut tidak dilakukan, pemudik bisa diseret ke jalur hukum seperti yang diterapkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 

  1. Fasilitas Kesehatan di Daerah Minim

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr Daeng M Faqih mengkhawatirkan potensi penyebaran virus corona saat musim mudik tiba. Selain itu, ia juga meragukan kesiapan fasilitas kesehatan di daerah tujuan para pemudik yang tidak selengkap di pusat, sehingga sulit untuk melakukan penanganan cepat pasien.Untuk itu, dia mengimbau agar masyarakat bersabar untuk tidak mudik hingga pandemi Covid-19 ini dapat diatasi.

Selain itu larangan untuk mudik dinilai tepat karena kebijakan ini mendapatkan dukungan dari para kepala desa. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) perna melakukan polling ke sejumlah Kepala Desa (Kades) untuk mengetahui opini soal setuju atau tidak dilaksanakan mudik pada tahun 2020 ini.

Hasil polling yang dilakukan dengan metode kuantitatif berupa survai, dengan sampel diambil secara acak terstratifikasi menyebutkan jika hampir seluruh Kades tidak setuju ada mudik tahun ini. Namun, mereka masih ragu antara kebijakan melarang atau menghimbau warganya di kota untuk mengurungkan niat mudik.

“Namun jelas, opini kepala desa saat ini lebih bersifat rasional daripada terbebani muatan adat, sosial, atau ekonomi jangka pendek,” kata Kepala Pusat Data dan Informasi, Ivanovich Agusta, Selasa (14/4/2020).

Data sampel yang diambil dari lapangan sebanyak 3.931 kepala desa pada di 31 provinsi."Polling menunjukkan nilai hampir mutlak, yaitu  89,75%, di antara kepala desa yang tidak setuju warganya mudik pada saat ini. Opini ini mengalahkan 10,25% kepala desa lain yang masih setuju warganya mudik. Jika merujuk pada fakta ini, aspirasi kepala desa perlu didengar oleh warga yang sedang berada di kota, yaitu agar tidak mudik ke desa pada lebaran 2020.

Kesehatan adalah alasan utama penunjang opini kepala desa, baik untuk mudik atau tidak mudik. Walaupun demikian, alasan kesehatan hampir mutlak pada kepala desa yang tidak setuju mudik (88,38%), dibandingkan yang setuju mudik (70,72%). Dasar alasan kesehatan menunjukkan kepala desa berperilaku rasional. Maka, penyajian informasi ilmiah atas aspek-aspek kesehatan dalam pandemik Covid-19 menjadi sangat penting.

Alasan sosial (45,51%) dan ekonomi (43,18%) menjadi prioritas kedua yang penting bagi kades yang setuju mudik. Dengan proporsi alasan kesehatan yang juga lebih rendah di atas, tampaknya kepala desa kategori ini masih terpaut kebiasaan mudik sebelumnya.

Polling diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) dan Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (Balilatfo), Kementerian Desa PDTT. Ini dikerjakan sebagai bagian dari pendampingan desa di seluruh Indonesia.

Pertanda Apa ?

Meskipun pada akhirnya Pemerintah memutuskan untuk melarang mudik bagi warga negaranya, namun keputusna ini dinilai sangat terlambat karena sudah terlalu begitu lama. Keterlambatan Pemerintah dalam mengambil kebijakan larangan mudik ini memancing banyak pihak buka suara. Sebagai contoh  Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo menilai bahwa larangan mudik yang diberlakukan saat ini sudah terlambat. Masyarakat sudah terlanjur pulang ke kampung halaman masing-masing sebelum larangan tersebut diberlakukan mulai 24 April 2020.

Meskipun demikian ia menilai adanya larangan mudik yang sudah ditetapkan Pemerintah, merupakan hal yang sangat menggembirakan. Artinya upaya untuk memutus rantai penyebaran infeksi virus corona bisa dilakukan dengan maksimal dan ada kepastian hukumnya.

Saat ini Wali Kota Solo memperketat prosedur bagi para pemudik yaitu berdasarkan protocol kesehatan yang telah ditetapkan oleh WHO. Mereka yang mudik dengan transportasi umum langsung dijemput di stasiun, terminal dan bandara.

Mereka juga harus mentaati prosedur karantina selama 14 hari di Rumah Karantina khusus, Graha Wisata Niaga. Untuk pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi didata oleh Ketua RT setempat dan dilakukan pemeriksaan kesehatan di Puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya.

Kalau kita cermati kebijakan pemerintah untuk melarang mudik sebenarnya bukan kali ini saja terjadinya. Sebelum sebelumnya  masyarakat disuguhi narasi yang membingungkan terkait penyebaran virus corona. Sempat terjadi polemic mengenai ada tidaknya virus corona di Indonesia. Kemudian ketika ramai ramai muncul tututan lock down atau  tidak , pemerintah juga  gamang menentukan kebijakannya. Begitu juga pengambilan kebijakan untuk menentukan menutup sekolah, tempat wisata dan sarana transportasi seperti pelabuhan, stasiun  dan bandara.

Nampaknya dalam pengambilan kebijakan terkait penyebaran corona ini pemerintah masing menimbang nimbang kepentingan ekonomi dan kepentingan untuk menghambat penyebaran virus corona.

Berbagai diskursus di atas telah membuang banyak waktu dan energi positif yang sebenarnya bisa diarahkan lebih dini untuk menyatukan kekuatan guna memerangi Corona. Bahkan, sampai PSBB diputuskan kita masih belum paham sepenuhnya seperti apa langkah pasti pemerintah dan bagaimana masyarakat perlu mengikutinya.

Berangkat dari fenomena yang ada maka beberapa kalangan menilai lambatnya penanganan virus corona di Indonesia sehingga ada yang mengkhawatirkan negara ini akan menjadi epicentrum baru penyebaran virus corona didunia setelah China, Italia dan Amerika. Kita tentunya berharap semua itu tidak terjadi dan hanya dugaan belaka.

Namun dari kegamangan pemerintah dalam mengambil sikap dan kebijakan dalam menangani virus corona, patut diduga adanya dua kekuatan yang saling tarik menarik di lingkungan elit penguasa. Tarik menarik itu sepertinya terjadi antara kubu Prabowo yang kabarnya sejak semula lebih condong untuk menerapkan lock down daripada PSBB yang sekarang diberlakukan oleh pemerintah khususnya di Jakarta. Kubu lain adalah Luhut Panjaitan yang sejak awal virus mulai merebak di Indonesia, yang dipikirkan hanya kepentingan ekonomi semata. Dalam istilah Saidud Didu, yang dipikirkan hanya uang, uang dan uang saja. Sehingga Faisal Basri sampai menyebut dia lebih berbahaya daripada virus corona.

Ditengah dilema antara yang pro ekonomi dan pro perang terhadap virus  corona, ada Kepala Negara yang nampaknya tidak bisa mandiri dan tegas dalam mengambil keputusan untuk kepentingan rakyatnya. Yang terbaca adalah bahwa sebagai orang yang punya kewenangan dan kekuasaan, dia bingung menentukan kebijakan strategis yang ditunggu tunggu oleh rakyatnya.

Imbasnya adalah keputusan penting untuk menghambat penyebaran virus corona selalu terlambat diambilnya. Termasuk yang terakhir keputusan untuk larangan mudik bagi warga yang akan pulang ke kampong halamannya. Bisa jadi ketidaktegasan dan keterlambatan dalam pengambilan keputusan ini akan menjadi sarana bagi virus corona untuk kerasan tinggal di Indonesia.

Kini ditengah tengah berita larangan mudik bagi semua warga negara, publik disuguhi dengan polemik lain mengenai istilah mudik dan pulang kampung. Jokowi mengatakan mudik itu berbeda dengan pulang kampung. Tetapi masyarakat menilai keduanya sama saja karena yang namanya mudik itu ya pulang ke kampung halamannya. Pada akhirnya perbedaan istilah itu malah dibikin bahan candaan saja bahwa mudik dan pulang kampung memang perlu dibedakan untuk membuat bingung virus corona yang menyerang Indonesia..Ada ada saja.

Menyedihkan seorang Presiden bisa memberikan pernyataan yang diluar akal sehat dan pejabatnya tidak memiliki kapasitas ruang narasi yang memadai terhadap tugas negara yang diembannya. Lihat saja dari setiap kata atau kalimat yang keluar dari pejabat negara tidak berdampak pada hal yang positif tapi malah membuat gaduh.

Para pejabatnya yang banyak asal berkomentar dan tidak masuk diakal sehat rakyat kebanyakan. Sepertinya tidak ada koordinasi yang jelas antara pejabat satu dengan yang lainnya. Bahkan pidato saja bisa diralat oleh jubir Presiden, Mensesneg dan Menko. Hal seperti itu sangat memalukan bagi seorang pejabat negara di sebuah negara yang sedang berjuang keras melawan epidemi corona.

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar