Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Upaya dan Modus Penguasa Mengail Keuntungan di Saat Bencana Corona

Senin, 20/04/2020 09:09 WIB
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Menonton film The Hurricane Heist karya Rob Coben ternyata mengasyikkan juga. Film yang memadukan unsur action, thriller sekaligus petualangan itu sungguh menegangkan bagi pemirsa. Aksi menegangkan ini bermula dari sekelompok penjahat yang memanfaatkan hadirnya bencana badai untuk berniat mencuri uang milik negara yang disimpan di brankas di kota Gulport yang dijaga oleh Casey (Maggie Grace) dan kawan-kawannya.

Namun, karena badai yang terjadi lebih besar dari perkiraannya, rencana yang telah disusun dengan baik oleh perampok tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Otak dari perampokan ini sendiri adalah Perkins (Ralph Ineson)  teman Casey yang sekaligus rekan kerjanya. Perkins dkk menginginkan uang berjumlah 600 juta dolar yang tersimpan di dalam brankas yang notabene uang negara.

Aksi kejar-kejaran antara perampok dan tiga pemeran protagonis di tengah badai yang semakin menggila, menjadi daya tarik utama bagi para pemirsa. Aksi ini pula lah yang membuat penonton merasakan ketegangan di sepanjang filmnya. Ketegangan pun semakin didukung dengan efek suara yang membuat kejadian tersebut terasa begitu nyata.

Ternyata aksi merampok uang negara ditengah bencana ini bukan hanya terjadi di film saja tetapi juga terbaca di dunia nyata. Yang berbeda mungkin caranya saja tapi tujuannya tetap sama yaitu mendapatkan uang negara atau pengaruh/ kekuasaan  untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Pada dasarnya mental korup ini membuat keadaan orang yang dirundung bencana dalaam situasi ‘sudah jatuh tertimpa tangga” pula. Mereka adalah para oknum pejabat yang memanfaatkan situasi bencana untuk meraih untung sebesar besarnya.

Dalam sejarah perjalanan bangsa, perampokan paling fenomenal di tengah bencana adalah kasus BLBI yang sampai kini masih menjadi catatan kelam karena tidak tuntas penyelesaian hukumnya. BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya bencana ekonomi alias  krismon 1998 sesaat sebelum kejatuhan Orba. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank di Indonesia.

Kerugian kasus BLBI yang semula bernilai Rp 650 triliun pada 1998 terus membengkak nilainya. Hingga kini, kerugian negara akibat korupsi ini masih menjadi beban bagi masyarakat dan negara. Bahkan, kerugian diprediksi masih harus ditanggung oleh negara hingga 2043. Kejahatan ini dia nilai sebagai penyebab defisit yang berujung pada ketergantungan Indonesia pada hutang ke mancanegara.

Bagaimanapun kasus BLBI adalah induk dari kasus korupsi di Indonesia. BLBI adalah pertarungan yang sesungguhnya untuk membuktikan ‘nyali’ KPK. Lawannya adalah para konglomerat hitam dan kawan kawannya. Terbukti kemudian KPK terkapar tidak berdaya menghadapi kekuatan mereka. 

Sampai sekarang upaya untuk menggarong keuangan negara nampaknya masih terus dilanjutkan di tengah bencana. Yang terakhir ini adalah bencana virus corona yang coba dimanfaatkan untuk menarik keuntungan dari pandemic yang sekarang menyatroni dunia.  Memang upaya perampokan tidak sedasyat dan sevulgar kasus BLBI jelang kejatuhan Orba, tetapi indikasi ke arah sana sudah terlihat dan terbaca meskipun dengan modus dan cara yang berbeda. Dalam hal ini yang dikorupsi bukan hanya berbentuk uang semata tapi korupsi jabatan atau penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan diri dan kelompoknya.

Beberapa kasus yang mengindikasikan upaya memanfaatkan situasi bencana untuk mengail di air keruh (korupsi) bisa dibaca pada peristiwa-peristiwa, diantaranya :

 

  • Ironi Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 tahun 2020

 

Disaat masyarakat tercekam menghadapi virus corona, Kementerian ESDM mengeluarkan Permen ESDM No. 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Pertambangan Minerba yang memihak kepentingan asing dan swasta . Permen ESDM No.7/2020 tersebut berisi ketentuan yang melanggar UUD 1945, sekaligus TAP MPR No.IX/2001 dan UU No.4/2009 tentang Minerba.

Permen yang ditandatangani oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 6 Maret lalu mencabut sebagian maupun seluruhnya Peraturan Menteri ESDM nomer 48 tahun 2017, Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2018, Permen nomor 22 tahun 2018, Permen Nomor 51 tahun 2018.

Publik menjadi tersesat atas pernyataan absurd Menteri ESDM dalam mempromosikan Permen No.7/2020. Bahkan, terkesan manipulatif dengan menyatakan bahwa Permen ESDM No.7/2020 diterbitkan untuk kepentingan efisiensi dan efektifitas pengelolaan kegiatan usaha pertambangan, serta guna mendorong pengembangan usaha.

Dalam Permen tersebut ada kewenangan Menteri ESDM terkait penerbitan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi sebagai kelanjutan operasi Kontrak Karya (KK) dan Perusahaan Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) telah mempertimbangkan sejumlah hal krusial, khususnya penyesuaian terhadap Permen ESDM sebelumnya.

Padahal, dalam UU Minerba No.4/2009 memuat ketentuan yang menyatakan bahwa para pemegang KK dan PKP2B tidak otomatis memiliki hak sama sekali untuk memperoleh perpanjangan kontrak dan bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Pasal 75 ayat (3) UU Minerba No.4/2009 menyatakan bahwa kontrak KK dan PKP2B yang berakhir masa berlakunya harus dikembalikan kepada negara, untuk kemudian dapat diserahkan pengelolaannya kepada BUMN dan BUMD, sebagai pemegang hak prioritas, sesuai Pasal 33 UUD 1945.

Pasal 83 ayat d UU Minerba menyatakan bahwa 1 Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) untuk kegiatan operasi produksi pertambangan batubara hanya berhak mengelola wilayah tambang paling banyak 15.000 hektare (Ha).Sebaliknya, dalam Permen No.7/2020 Menteri ESDM dengan mudah dan seenaknya menambah luas wilayah tambang tersebut melebihi 15.000 Ha.

Untuk mengembalikan agar Minerba dikelola sesuai amanah Pasal 33 UUD 45, dan tidak melenceng dari dari ideologis Pancasila, mak atas fakta-fakta hukum yang ada, kiranya pejabat tersebut bisa diproses hukum karena ada indikasi kuat manyelewengkan jabatatannya untuk kepentingannya ditengah pandemic corona.

 

  • Kejanggalan Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020

Pasal 27 dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Virus Corona berbahaya. Musababnya, pasal dalam beleid yang baru diteken Presiden Jokowi itu dianggap dapat menimbulkan celah korupsi dan manipulasi bagi pelaksananya.

Aturan yang dimuat dalam Bab V Ketentuan Penutup Pasal 27 ayat 1 Perpu ini membuat sang pengambil kebijakan menjadi kebal hukum jika dalam pelaksanaannya terjadi maladministrasi seperti penyalahgunaan anggaran, pembiayaan yang tidak efektif hingga risiko penggelapan dana.

Jika kita lebih cermat dalam melihat pasal 27 ini kita akan menemukan celah yang besar bagi terjadinya tindakan penyalahgunaan anggaran. Sebab model bantuan seperti ini sangat berisiko menjadi lahan basah bagi pihak yang tidak bertanggung jawab sebagaimana pola serupa pernah terjadi dalam kasus skandal dan talangan Bank Century saat SBY berkuasa.

Berdasarkan aturan dalam ayat 2,  kebijakan yang menetapkan anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota Sekretaris KSSK dan perjabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan LPS yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.

Pengaturan sebagaimana dikemukakan diatas tentunya membuka peluang untuk terjadinya perampokan keuangan negara yang dilegalkan karena ada alas hukumnya. Rasanya tidak bisa kita mengandalkan penyelenggaraan kekuasaan negara hanya pada niat dan itikad baik semata karena sudah terbukti banyak penyelewengan terjadi karena rakyat terlalu percaya pada pemimpinnya.

 

  • Di Tengah Covid-19, DPR Ngotot Bahas Omnibuslaw

Saat membuka sidang paripurna awal April  lalu, Wakil Ketua DPR Aziz Syamsudin juga sekaligus menjadi pemimpin rapat mengumumkan agenda-agenda yang sudah dikonsultasikan bersama Badan Musyawarah (Bamus) DPR, pada 27 Maret 2020, dan 1 April 2020.Salah satu keputusan yang dibacakan itu, DPR tetap akan membahas RUU Cipta Lapangan Kerja untuk bisa diteruskan ke tingkat selanjutnya.

Tetap dibahasnya pembahasan RUU Omnibus law ditengah pandemic corona itu menimbulkan banyak tanda tanya. Sebenarnya RUU itu dibuat untuk kepentingan siapa ?. Karena beberapa pasal dalam RUU tersebut telah dibatalkan oleh MK tetapi coba di hidupkan kembali melalui RUU Omnibus law cipta kerja. Belum lagi RUU itu mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat mulai buruh, petani, mahasiswa dan komponen masyarakat lainya.

Namanya saja RUU Omnibuslaw cipta kerja, tetapi substansinya sebenarnya lebih berorientasi kepada kepentingan investasi dengan memangkas mekanisme system perijinan yang ada. Dinamai Cipta kerja biar seolah olah RUU itu berpihak kepada kepentingan untuk penciptaan lapangan kerja. Tapi faktanya RUU ini justru di tentang oleh kaum buruh/ pekerja. Lalu sebenarnya RUU ini dicipta untuk siapa ?.

Sementara Parlemen di berbagai negara di dunia ramai-ramai membahas berbagai kebijakan memerangi pandemi Corona. Tapi Parlemen Indonesia justru malah sibuk membahas omnibus law RUU Cipta Kerja."Ini bikin gemes," kata ahli tata negara Bivitri Susanti dalam diskusi webinar `Menilik Perkembangan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja di Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat`, Selasa (14/4/2020)

 

  • Eksodus TKA China di tengan Pandemik Corona

 

Ditengah pandemic corona dimana hampir semua warga bangsa di minta untuk stay tinggal di rumah saja, justru eksodus TKA China tetap dipersilahkan masuk ke Indonesia. Pada hal seperti diketahui bersama, sumber wabah corona ini berasal dari Wuhan China tetapi orang orang China sepertinya dibiarkan tetap masuk ke Indonesia.

Kini setelah kedatangan WNA China itu viral di sosial media dan mendapatkan tanggapan dari masyarakat, kabarnya kedatangan mereka beralih melalui kapal kapal kecil supaya tidak ketahuan oleh masyarakat yang mengkhawatirkan kedatangan mereka.

Sebagai contoh sebanyak 39 warga negara asing (WNA) asal China kedapatan masuk melalui pelabuhan Bulang Linggi, Kota Tanjung Uban, Kepulauan Riau, Selasa (31/3/2020).

Ke-39 TKA Tiongkok itu rencananya akan dipekerjakan di PT Bintan Alumina Indinesia (BAI) di Galang Batang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau-Sumatera. Mereka dibawa oleh dua kapal cepat, yakni Lagoi Expres dan SB Lagoi Expres 9 dari pelabuhan Telaga Punggur Batam dan sandar di Pelabuhan Bulanglinggi sekitar pukul 11.00 WIB. Ke 39 TKA ini konon sudah melalui pemeriksaan Imigrasi Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Selanjutnya, mereka terbang ke Batam sebelum menuju Bintan –Sumatera.

Disini terlihat para “pengkhianat bangsa” mencoba untuk memasukkan TKA China ditengah pandemic corona pada hal negara negara lain sangat ketat menerima orang yang berasal dari luar negaranya. Sungguh hal ini patut diwaspadai karena bisa  mengancam kedaulatan bangsa dan negara.

 

  • Ngotot Pindah Ibukota

 

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara  Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum…” (Preambule/Pembukaan UUD 1945).

Demikianlah bunyi pembukaan UUD 1945. Begitulah perjanjian luhur berdirinya bangsa dan negara Indonesia.  Artinya negara mempunyai tanggungjawab konstitusional untuk melindungi seluruh “tumpah darah Indonesia”. Itulah kesepakatan agung dan meta-norm yang mesti diwujudkan oleh para penyelenggara negara.

Kini di tengah pandemic corona, nyawa anak anak bangsa terancam eksistensinya. Sudah sewajarnya kalau negara memprioritaskan seluruh potensi sumberdaya yang ada untuk mewujudkan keselamatan nyawa warga negaranya. Program program dan kegiatan yang tidak urgen atau tidak mendesak untuk dijalankan semestinya ditunda demi kepentingan yang lebih besar yaitu keselamatan nyawa warga negara.

Anehnya ditengah merebaknya pandemic corona pemerintah melalui Menko Luhut Panjaitan masih juga ngotot ingin menjalankan program pindah ibukota.Juru Bicara Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Marves) dan Kementerian Koordinator Marves Jodi Mahardi menyatakan proses pemindahan ibu kota negara (IKN) hingga kini masih terus berjalan sesuai rencana. Menurutnya tak ada perubahan di tengah mewabahnya virus corona.

"Saat ini persiapan masih on the track," kata dia dalam konferensi video kepada wartawan yang dikutip Rabu (25/3/2020).Dia menjelaskan, kementerian yang dipimpin Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Panjaitan terus berkoordinasi dengan kementerian terkait lainnya.

 

  • Melepas Narapidana

 

Ditengah pandemic corona, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laloly yang akan membebaskan para koruptor dengan dalih untuk mencegah penularan Corona COVID-19 di penjara.Rencana itu akan dilakukan dengan Merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Rencana pembebasan napi koruptor yang digagas Yasonna ini tak ubahnya  merampok di tengah kondisi bencana Corona. Pembebasan para nara pidana ini tentau saja bertentangan dengan landasan berpikir untuk memberikan efek jera terhadap koruptor yang dibangun oleh ketentuan yang ada. Pertama, tindak pidana korupsi (tipikor) tergolong kejahatan extraordinary crime alias luar biasa. Kedua, rencana tersebut bertentangan dengan putusan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017 silam yang dilayangkan oleh OC Kaligis, dan Surya Dharma Ali (SDA).

Sebagaimana diketahui,Oce Kaligis dan  SDA, pernah menguji Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 65 tentang pemasyarakatan. Intinya mereka berpendapat bahwa, pembatasan remisi di PP itu diskriminatif, tetapi hal itu tidak dinyatakan tindakan diskriminatif oleh MK.Dengan demikian jika ada argumentasi pemerintah atau pejabat terkait yang menyebutkan  PP ini diskriminatif, sama saja menyepelekan, melecehkan, dan tidak menghormati keputusan MK.

Ketiga, rencana tersebut menampilkan kemunduran kinerja pemerintah dalam membangun bangsa. Seharusnya,  perubahan dapat dilakukan untuk memberi efek jera kepada pelaku korupsi bukan malah membebaskannya. 

Namun setelah mendapatkan protes bertubi tubi dari masyarakat akhirnya rencana pembebasan koruptor itu di batalkan juga.Diberitakan, Presiden Jokowi memastikan tak akan membebaskan narapidana koruptor sebagai upaya pencegahan penularan Covid-19 akibat kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan (Lapas). Jokowi mengatakan, pemerintah hanya membebaskan narapidana umum yang telah memenuhi syarat saja.

Kendatipun batal membebaskan koruptor, tetapi kebijakan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, kembali menuai masalah dalam pelaksanannya. Tidak lain karena belakangan banyak kasus setelah ribuan napi dibebaskan,beberapa dari mereka ditangkap kembali karena melakukan tindak pidana.

Bukan hanya itu, pembebasan itu juga di liputi aroma tidak sedap karena terugkap bahwa tahanan yang dibebaskan ada yang dikenakan uang `tiket asimilasi` sebesar Rp 5 juta agar bisa segera keluar dari penjara. Ini menjadi salah satu modus untuk mengumpulkan upeti ditengah wabah corona.

 

  • Aksi Blunder Staf Khusus Presiden

 

Beberapa Staf Khusus (Stafsus) Presiden RI Joko Widodo, sempat melakukan blunder di tengah pandemic corona sehingga  menimbulkan banyak kritik dan kecaman kepadanya.Terbaru, Andi Taufan Garuda Putra membuat surat yang dinilai menyalahi wewenang kepada para camat untuk bekerja sama dengan dalam program Relawan Desa Lawan virus corona.

Politikus maupun pengamat menilai tindakan Andi telah menyalahi wewenang, maladministrasi dan pelanggaran berat ditengah pandemic corona. Andi telah mencabut surat tersebut dan menyampaikan permintaan maaf dalam keterangan tertulisnya.

Staf khusus lainnya, Angkie Yudistia juga pernah melakukan blunder ditengah wabah corona.Angkie Yudistia sempat mengunggah informasi palsu atau hoaks terkait cara sederhana mendeteksi virus corona selama 10 detik dengan tarik napas.Informasi itu ia bagikan ke akun Instagramnya, @angkie.yudistia. Beberapa warganet pun mengingatkan Ankie bahwa hal itu tidak benar alias mengada ada.Sadar informasi dalam postingannya tidak benar, Angkie Yudistia pun segera menghapus unggahan tersebut dan meminta maaf.

Staf khusus lainnya Belva Devara mendapat kritik setelah menyampaikan pernyataan dan motivasi di tengah wabah corona. Kritikan kepada Belva terutama mempermasalahkan kalimat dalam poster yang dibuat oleh BNPB."Bukan waktunya saling menjatuhkan atau saling membully. Ayo bertanya pada diri sendiri apa yang bisa saya lakukan untuk negeri. Menyalakan lilin lebih baik daripada menyalahkan kegelapan," ucap Belva.

Politikus Partai Golkar Achmad Annama melayangkan kritik pada pendiri aplikasi Ruang Guru ini."Mohon maaf. Jujur, kalau digaji 50 juta rupiah hanya untuk bicara ini, mubadzir! Rakyat sudah kenyang motivasi dari Tung Desem atau Mario Teguh," cuit Achmad Annama pada Selasa (24/3/3030).

Kritik untuk Belva juga disampaikan oleh komika Arie Kriting."Halah, sebulan lalu banyak yang ingetin akan bahaya corona ini. Negara ngapain? Becanda dan ngeyel. Sekarang menyuruh kita nanya diri sendiri lagi. Pakai acara menyalakan lilin, mau ngepet boss?" tulis Arie Kriting, Selasa (24/3/2020).

Selain itu dikabarkan perusahaan aplikator milik Staf Khusus presiden Adamas Belva Syah Devara ini ,mendapatkan proyek fantastis dari pemerintah pusat. Kementerian Perekonomian menunjuk Ruangguru sebagai aplikator Kartu Prakerja dengan nilai proyek sebesar Rp 5,6 triliun.Fakta ini mengundang kritik keras dari berbagai kalangan, meski Belva menyatakan dirinya siap mundur dari jabatan Staf Khusus Presiden.

Analis politik yang juga Mantan Sekretaris BUMN, Said Didu mengaku kecewa dengan apa yang dilakukan oleh Stafsus milenial Presiden Joko Widodo.Selama ini, kata  Said Didu, seluruh staf khusus Presiden Jokowi identik dengan simbol anak muda yang sukses. Sebagai pejabat publik, Said menegaskan seharusnya Stafsus milenal mampu menghormati etika publik.

"Saya kecewa ini dilakukan anak muda yang katakan saat ini dikenal sebagai anak milenial yang sukses. Ternyata mereka tidak menghormati sama sekali etika sebagai pejabat publik," demikian kata Said Didu kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis Malam (16/4)

Staf khusus lainnya Billy Membrasar mendapat kecaman dari banyak pihak gara gara  cuitannya pada Sabtu (30/11/2019). Pasalnya, Billy di sana menyebut "kubu sebelah megap-megap".

Akibat cuitan ini, tagar #StafsusRasaBuzzeRp sempat masuk dalam daftar trending topik di Twitter pada Minggu (1/12/2019). Meskipun Billy sudah menghapus cuitan tersebut, warganet terlanjut mengunggah screenshot-nya ke sosial media. Setelah mendapat banyak kritik atas cuitan tersebut, Billy kemudian memberikan klarifikasi sekalius permintaan maafnya.

Terkait dengan ulah para staf khusus presiden ini, pengamat sosial Rudi S. Kamri yang juga pendukung Jokowi membuat tulisan yang diberi judul : Presiden Harus Membuang Cacing Kremi di Lingkaran Istana. Intinya dia menyesalkan ulah staf khusus Presiden karena kelakuan mereka dan efek yang ditimbulkannya jauh lebih berbahaya dibanding virus corona.

Mewaspadai Para Pengail di Air Keruh

Tujuh peristiwa sebagaimana telah dikemukakan diatas barangkali hanya beberapa contoh para pengail di air keruh yang memanfaatkan kondisi bencana untuk kepentingan diri dan kelompoknya.

Berdasarkan catatan Republika.co.id, dana penanganan bencana memang sering disalahgunakan oleh para pemangku kepentingan, mulai dari oknum pejabat pemerintah, legislatif,  hingga pihak swasta yang mendapatkan tender proyek penanganan bencana. Ada kasus korupsi dana penanganan gempa-tsunami di Nias pada 2006-2007 lalu yang dilakukan oleh bupatinya.

Selain itu, ada korupsi dana tanah longsor Majalengka pada 2014, ada korupsi peta bencana Sumatra Utara, ada korupsi shelter tsunami di Banten pada 2012, korupsi dana rekonstruksi dampak erupsi Merapi di Magelang pada 2012, korupsi dana penanganan puting beliung di Serang pada 2012, pembobolan dana bencana Mojokerto pada 2013, korupsi logistik bencana Kudus pada 2014. Kemudian, ada korupsi pembangunan pemecah ombak di Kolaka pada 2012, dan korupsi konferensi penggalangan dana Aceh pascagempa-tsunami pada 2005 dan sebagainya.

Ada lagi kasus pungli bencana gempa bumi di Kota Mataram tahun 2019. Kasus pemerasan ini bersumber dari dana proyek senilai Rp 4,2 miliar yang dianggarkan di APBD Perubahan tahun 2018.Dana itu untuk perbaikan 14 unit gedung SD dan SMP terdampak bencana yang dilakukan oleh mantan Anggota DPRD Mataram. Juga  korupsi proyek penyediaan air minum di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah terkait bencana saat tsunami tahun 2018. Kasus ini terungkap oleh KPK yang menggelar OTT terhadap delapan pejabat PUPR.

Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa korupsi dana penanganan gempa sangat rawan terjadi. Padahal, ancaman hukuman korupsi dana penanganan bencana sangat berat yaitu hukuman mati.

Pasal 2 UU Tipikor Ayat 1 menyebutkan: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Kemudian, ayat 2 menyebutkan, //dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan//. Dalam penjelasan mengenai Pasal 2 ayat (2), diterangkan bahwa “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter

Namun, dari belasan pelaku korupsi penanganan bencana, belum satu pun yang dihukum maksimal bagi pelakunya . Baik itu kasus yang ditangani oleh KPK, Polri, maupun Kejaksaan. Padahal, hukuman maksimal ini sangat diperbolehkan. Apalagi, jika hal tersebut bertujuan untuk membuat efek jera kepada yang lain agar tidak terulang kasus korupsi penanganan bencana.

Terjadinya korupsi saat bencana tentu tidak terlepas dari adanya faktor kesempatan serta faktor mental hingga budaya. Jika kesempatan terbuka luas dan budaya tidak mencegah niat untuk korupsi maka korupsi akan mewabah laksana bencana itu sendiri sehingga pengawasan melekat dalam pencegahan korupsi saat bencana sudah seharusnya dilakukan.

Maka perlu kiranya perhatian dan pengawasan ditingkatkan agar korupsi dalam bencana Covid-19 tidak terjadi seperti bencana-bencana sebelumnya karena wabah penyakit ini sudah dikategorikan oleh pemerintah sebagai bencana nasional. Artinya, bagi pelaku korupsi dana bencana saat ini bisa dijatuhi hukuman maksimal hingga hukuman mati bagi pelakunya.

Yang lebih penting lagi adalah pengawasan terhadap pelaku kejahatan di tengah bencana yang tidak semata mata terkait dengan penyelewengan pendanaannya. Tetapi adalah korupsi jabatan yang menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan sendiri maupun kelompoknya. Korupsi kebijakan ini memang agak sulit terendus dan tak gampang dijadikan perkara karena agak sulit pembuktiannya.

Korupsi kebijakan atau penyalahgunaan kewenangan ini bisa diraskaan tapi sulit untuk di usut ke Pengadilan karena mungkin secara materi tidak ada kerugian negara.  Sebagai contoh korupsi kebijakan adalah tetap ngototnya pemerintah mendatangkan TKA asal China ditengah maraknya wabah corona. Demikian pula kengototan pemerintah melanjutkan program pindah ibukota pada hal urgensinya tidak mendesak alias bukan menjadi kebutuhan utama dibandingkan dengan situasi darurat menangani wabah corona.

Para pengail di air keruh yang memanfaatkan pandemic corona ini ternyata bukan hanya dilingkungan eksekutif semata tetapi dilingkungan  legislative juga. Sebagai contoh kengototan DPR untuk melanjutkan pembahasan RUU Omnibus law cipta kerja menjadi pertanyaan banyak orang di tengah pandemic corona. Korupsi jabatan atau penyalahgunaan wewenang ini sebenarnya kepatutan dan sebagian bisa diperkarakan lewat lewat peradilan tata usaha negara. Namun sejauh ini tidak banyak menuai hasilnya. Lebih banyak yang dibiarkan kasusnya berlalu begitu saja. Apakah ini karena para pelakunya seorang pejabat negara ?

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar