Prof. Dr. Julie Sulianti Saroso

Dokter yang Hampir Tidak Pernah Menyuntik dan Menulis Resep Obat

Minggu, 19/04/2020 19:15 WIB
Prof. Dr. Julie Sulianti Saroso (Ist)

Prof. Dr. Julie Sulianti Saroso (Ist)

law-justice.co - Penyebaran virus corona  di seluruh dunia membuat penduduk bumi sangat cemas.  Data dari Worldmeters pada Jumat (17/4) menunjukkan angka sudah mencapai 2.178.848 kasus. Jumlah korban yang terus meningkat  membuat banyak negara berpikir keras bagaimana agar virus tersebut tidak lagi memakan korban.

Indonesia termasuk negara yang dihantam pandemi ini dengan kasus positif virus corona tertinggi di Asia Tenggara, melampaui Filipina. Data terakhir  dengan  520 kematian dan 607 orang dinyatakan sembuh, data terakhir Jumat.

Jumlah pasien positif corona di Indonesia kini melampaui Filipina. Data terakhir dari Covid19.go.id  Minggu (19/4) menunjukkan 6575 positif,  582 orang meninggal dan 686 pasien dinyatakan sembuh.

Penanganan pasien pertama COVID-19 di Indonesia dipusatkan di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso. Rumah sakit yang terletak di daerah Sunter, Jakarta Utara ini merupakan rumah sakit vertikal tipe B non pendidikan yang berada di bawah Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

RSPI Sulianti diresmikan pada 21 April 1994, berfungsi memberikan pelayanan medis untuk seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan. Kegiatan pelayanan RSPI-SS berupa pelayanan rawat jalan, pelayanan rawat inap, pelayanan rawat darurat, pelayanan operasi dan pelayanan ICU serta dapat dimanfaatkan untuk penelitian dan pendidikan tenaga kesehatan.

Nama Sulianti Saroso diambil dari seorang dokter perempuan dengan setumpuk prestasi. Julie Sulianti Saroso lengkapnya, merupakan seorang profesor dokter yang dikenal karena mengeluarkan kebijakan tentang pencegahan dan pengendalian penyakit menular, serta pelopor Keluarga Berencana (KB).

Selama hidupnya, Sulianti  tidak tertarik menjadi dokter prakter. Ia lebih suka meneliti dan merancang kebijakan kesehatan. Hal tersebut diungkapkan oleh putrinya, Dita Saroso seperti dikutip dari Indonesia.go.id.

"Ibu itu hampir-hampir tak pernah menyuntik orang atau menulis resep," cerita  Dita.

Sulianti lahir sebagai anak kedua di Karangasem, Bali, pada 10 Mei 1917. Ayahnya, M Sulaiman adalah seorang dokter yang merupakan keluarga priyayi tinggi di Bagelen-Banyumas dan serumpun dengan Keluarga Soemitro Djojohadikusumo, ayah dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

Mempunyai disiplin yang kuat dari sang ayah, pendidikan Sul, demikian ia biasa dipanggil, sangat diperhatikan oleh orangtuanya. Menempuh pendidikan dasar berbahasa Belanda ELS (Europeesche Lagere School), lalu pendidikan menengah elite di Gymnasium Bandung. Sul kemudian, melanjutkan pendidikan tinggi di Geneeskundige Hoge School (GHS), sebutan baru bagi Sekolah Kedokteran STOVIA di Batavia. Lulus sebagai dokter 1942.

Semasa muda, Sul pernah menjadi dokter perjuangan di Yogyakarta. Dalam tugasnya, ia mengirim obat-obatan ke kantung-kantung gerilyawan republik. Ia juga terlibat dalam organisasi taktis seperti Wanita Pembantu Perjuangan, Organisasi Putera Puteri Indonesia, selain ikut dalam organisasi resmi Kowani.

Selain Yogyakarta, Sul juga pernah menorehkan perjuangan di daerah Tambun, Gresik, dan Demak. Dalam pergerakannya, ia membantu mengirimkan makanan dan obat-obatan kepada para pejuang. Akibat perbuatannya tersebut, ia ditawan oleh tentara Belanda di IVG Yogyakarta selama dua bulan.

Usai kemerdekaan, Sul melanjutkan pendidikannya di Inggris, Skandinavia, Amerika Serikat, dan Malaya selama dua tahun (1950-1951). Ia lalu mendapatkan Certificate of Public Health Administrasion dari Universitas London.

Pada tahun 1962 Sul memperoleh gelar MPH (Master of Public Health) dan TM (Tropical Medicine). Ia kemudian memperoleh gelar Doctor of Public Health (Epidemiologi) tahun 1965 setelah mempertahankan disertasi yang berjudul The Natural History of Enteropathogenic Escherechia Coli Infections di Tulane Medical School, New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat.

Lima tahun kemudian, pada tahun 1967 Sulianti Saroso diangkat sebagai Direktur Jenderal Pencegahan, Pemberantasan, dan Pembasmian Penyakit Menular (P4M). Ia juga merangkap sebagai Direktur Lembaga Riset Kesehatan Nasional (LRKN).

Dalam posisi itu, Profesor Sulianti  memberikan perhatian besar pada klinik karantina di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Klinik itu telah dikembangkannya menjadi rumahsakit penyakit menular sekaligus untuk keperluan riset penyakit menular.

Pada tahun 1969, ia dikukuhkan sebagai profesor pada Universitas Airlangga Surabaya dengan mengucapkan pidato pengukuhan "Pendekatan Epidemiologis dalam Menanggulangi Penyakit".

Sebelumnya, pada tahun 1960-an Sulianti Saroso ditimpa oleh sebuah masalah. Sang suami, Saroso yang merupakan seorang pejabat tinggi di Kementerian Perekonomian terdepak secara politik. Saroso yang merupakan tokoh penting PSI (Partai Sosialis Indonesia) tersangkut peristiwa PRRI.

Jabatan P4M, dijalani oleh Sulianti hingga 1975. Usai jabatan tersebut, ia kemudian mengabdikan dirinya ke Balitbang Kesehatan hingga pensiun pada tahun 1978. WHO masih memanfaatkan kepakarannya dan menjadikannya pengawas pada  Pusat Penelitian Diare di Dakka, Bangladesh 1979.

Di dalam negeri, Ia juga masih diperlukan sebagai staf ahli menteri. Pada era 1970 hingga 1980-an, gagasan-gagasannya tentang pengendalian penyakit menular, KB, dan kesehatan ibu serta anak secara bertahap diadopsi menjadi kebijakan pemerintah.

Prestasi lain yang pernah ditorehkan oleh Sulianti adalah ia pernah mewakili Pemerintah RI dalam sidang-sidang Internasional di Bidang Kesehatan, menjadi anggota WHO Expert Committee of Maternity and Child Health, anggota Komisi PBB Community Development di Negara-negara Afrika, anggota Honorary Society on Public Health Delta Omega, anggota WHO Expert Committee of Internasional Surveilance of Communicable Diseases, anggota Komisi Nasional Kedudukan Wanita Indonesia, President of the World Health Assembly dan anggota Badan Eksekutif WHO.

Sulianti diangkat menjadi anggota badan eksekutif dan Ketua Health Assembly (Majelis Kesehtan) yang berhak menetapkan dirjen WHO. Selama 25 tahun pertama WHO, hanya ada dua perempuan terpilih sebagai Presiden Majelis Kesehatan Dunia, yaitu Rajkumari AMrit Kaur dari India dan Julie Sulianti Saroso dari Indonesia.

Sulianti Saroso yang telah banyak berbuat untuk Indonesia, meninggal pada tanggal 29 April 1991, Dita Saroso mengingat tentang Ibunya. Dita mengatakan, sang Ibu adalah sosok dokter masyarakat, sepanjang hidupnya tak pernah lepas memikirkan kesehatan masyarakat.

‘’Ibu itu lebih sebagai dokternya masyarakat,’’ ujar Dita Saroso. Filosofinya sebagai dokter bukan sebatas mengobati pasien, melainkan membuat masyarakat (terutama kalangan menengah ke bawah) hidup sehat, sejahtera, dan bahagia.

(Bona Ricki Jeferson Siahaan\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar