Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Krisis Bentrok TNI Vs Polri, Mengapa Terus Terjadi Lagi?

Senin, 13/04/2020 09:38 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (istimewa)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (istimewa)

Jakarta, law-justice.co - Bentrokan antara anggota Polri dengan TNI kembali terjadi. Kali ini peristiwanya berlangsung pada hari Minggu (12/4/2020) di Kasonaweja, Kabupaten Mamberamo Raya, Papua.

Akibat bentrokan tersebut, tiga anggota Polres Mamberamo Raya yaitu  Briptu Marcelino Rumaikewi, Bripda Yosias Dibangga, dan Briptu Alexander Ndun, terluka karena kena tembakan dan akhirnya meninggal dunia.

Sedangkan dua polisi lainnya yaitu Bripka Alva Titaley dan Brigpol Robert Marien, dikabarkan menderita luka-luka karena terkena bedil juga.

Bentrok antara tentara dan polisi di Papua kali ini melengkapi daftar panjang bentrokan keduanya yang sudah berlangsung lama. Entah untuk kali keberapa peristiwa ini terjadi, kedua aparat pemerintah terlibat perselisihan yang berujung pada penyelesaian adu otot alias hukum rimba.

Padahal kalau kita lihat penampilan para pejabat elitenya terlihat akur dan sering tertawa bersama. Akan tetapi di level akar rumput ternyata bagai bara dalam sekam: yang siap membakar kapan saja.

Kapan dan dimana saja polisi dan tentara saling adu otot untuk memamerkan kedigdayaannya ?, Mengapa bentrok antara polisi dan tentara sering terjadi di Indonesia, apa kira kira penyebabnya ?. Solusi kedepan harus bagaimana supaya tidak lagi terjadi bentrok antara polisi dan tentara ?

Catatan Bentrok TNI vs Polri

Kejadian ini sungguh memprihatinkan ditengah upaya memerangi OPM yang aksisnya makin merajalela, polisi dan tentara justru saling sikat sehingga membuat musuh musuh negara di Papua tertawa-tawa.

Peristiwa di Mamberamo Papua kemaren  itu seolah melengkapi daftar panjang bentrok antara aparat di Indonesia yang sudah berlangsung lama.

Alih-alih memberi contoh yang baik kepada rakyat, aparat justru mempertontonkan suguhan yang tidak boleh ditiru oleh semua. Aparat masih saja memperlihatkan sikap kekanak-kanakan bukan sikap ksatria. Pada hal tiap bulan duwit rakyat mengalir untuk menggaji mereka.

Berikut sebagian peristiwa bentrok antara polisi dan tentara yang menjadi  bukti bahwa aparat masih menonjolkan solidaritas antar anggotanya, bukan menunjung tinggi toleransi antar lembaga.

1. Bentrok TNI-Polri di Batam

Terjadi bentrok antara anggota TNI AD Yonif 134/Tuah Sakti dengan Brimob Polda Kepri, Rabu (19/11/2015) malam. Puluhan warga luka-luka dan J.K. Marpaung (33) asal Medan, Sumatra Utara, anggota Yonif 134/Tuah Sakti Kota Batam, tewas saat Markas Brimob diberondong tembakan.

Sebelum menyerang markas Brimob, oknum TNI membobol gudang senjata di Yonif 134 Tuah Sakti di Batam, Kepulauan Riau. Setelah mendapatkan senjata, mereka kembali ke markas Brimob dan menembak ke segala arah.

Semua dipicu dendam lama. Bentrokan serupa pernah terjadi pada 21 September 2014, empat anggota TNI terluka.

2. Bentrok TNI-Polri di Papua

Prajurit TNI dari Batalyon Infanteri (Yonif) 756/Winame Sili (WMS) menyerang Polsek Pirime, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, pada 13 Oktober 2014. Yonif 756/WMS merupakan pasukan yang berada di bawah komando Brigade Infantri 20/Ima Jayakeramo, Kodam XVII/Cenderawasih, yang bermarkas di Wamena, Kabupaten Jayawijaya.

Letda Inf Ali mengalami luka tembak di bagian paha akibat kesalahpahaman saat sweeping. Insiden terjadi di ruas jalan Pirime yang berlokasi di depan Polsek Pirime, saat sebuah truk membawa kayu melintas dari arah Wamena yang ditumpangi Pratu Pius, anggota Yon 756.

3. Bentrok TNI-Polri di Serang

Satu kompi TNI menyerang Brimob yang tengah berjaga di Pospol depan Mega Mal Karawang (19/11/2014). Berawal cekcok di halaman parkir kantor DPRD Karawang. Persoalan itu kemudian diselesaikan dengan musyawarah.

Oknum anggota Yonif 305 menyerang dan menganiaya anggota Dalmas yang sedang melakukan pengamanan aksi buruh. Mereka lalu merusak Pos Lantas dan mobil polisi di depan Mega Mal Karawang, juga Pos Gatur Hero.

4. Bentrok TNI-Polri di Sumsel

Oknum prajurit dari Batalyon Artileri Medan 15/76 Tarik Martapura menyerang Markas Polres Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan, (7/3/2013).

Bermula puluhan anggota Yon Armed 15/76 Tarik Martapura mendatangi Mapolres OKU untuk mempertanyakan kemajuan penanganan kasus penembakan Pratu Heru Oktavianus, yang tewas ditembak Brigadir Bintara Wijaya.

Semua berujung pada pengrusakan Mapolres OKU. Kebrutalan anggota Yon Armed ini semakin menjadi dengan membakar beberapa kendaraan roda dua dan roda empat yang terparkir di sisi sebelah kiri Mapolres OKU. Empat anggota Polri dan warga sipil terluka.

5. Bentrok TNI-Polri di Kalteng

Pada 27 Februari 2001 pasukan TNI ditugaskan mengawal para pengungsi di pelabuhan Sampit. Sekitar 10 ribu penduduk hendak menuju Surabaya sebagai antisipasi atas kasus SARA yang terjadi di wilayah tersebut.

Siang harinya, datang truk berisi pengungsi yang dikawal anggota Brimob. Mereka minta agar pengungsi segera dinaikkan ke dalam kapal yang akan berlayar. TNI menolak, suasana sempat ricuh.

Untuk menenangkan massa Brimob mengeluarkan tembakan peringatan, tetapi kemudian malah terjadi adu tembak, meminta korban dari kedua belah pihak dan pengungsi yang tidak berdosa.

6. Bentrok TNI-Polri di Binjai

Bentrok Yonif Linud 100 dan Brimob di Tanah Tinggi, Binjai, menyebabkan 10 orang tewas. Penyebabnya, polisi menangkap seorang pemuda yang kedapatan membawa narkoba, tetapi oknum anggota TNI meminta agar dia dibebaskan. Polisi menolak, dan terjadilah aksi saling serang.

Sepanjang September 2002 hingga Juni 2018, sekurang kurangnya ada 13 bentrokan antara anggota polisi dan tentara. Korban jiwa akibat pertikaian tersebut berjumlah sekitar enam orang dan setidaknya 24 orang terluka.

Terjadi lima kali perseteruan dalam kurun waktu 2002 sampai 2005. Lokasinya di Madiun, Ambon, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Barat. Kasus kasus ini telah menelan korban jiwa salah satunya terjadi di Mempawah, Kalimantan Barat

Pada periode 2008 sampai 2010 terjadi empat kasus serupa. Keributan pecah di Maluku Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Makassar. Kasus di Pemantang Siantar, Sumatera Utara dan Padang, Sumatera Barat.

 Sepanjang 2010 hingga 2018, paling tidak keributan antara TNI dan Polri terjadi 10 kali. Satu kasus terjadi di Papua Barat, dua kasus di Jawa Barat, Batam satu kasus, Sulawesi Barat satu kasus, Bekasi dua kasus, dan Jakarta Timur dua kasus.

Berawal dari Soal Sepele dan Salah Paham

Menurut Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw, bentrokan yang  terjadi di Mamberamo Papua kemaren itu  berawal dari kesalahpahaman.

"Memang betul ada pertikaian yang berawal dari kesalahpahaman hingga menyebabkan tiga anggota Polres Mamberamo Raya meninggal dunia," kata katanya saat dihubungi hari minggu 12 april 2020 sebagaimana diikutip law-justice.co.

Kasus bentrokan ini berawal pada hari minggu tanggl 12 april 2020 sekitar pukul 07.15 WIT waktu Papua. Saat itu anggota Polres Mamberamo Raya yang berjumlah sekitar 20 anggota termasuk para korban mendatangi Pos Pam Satgas Yonif 755 di Kasoweja.

Rombongan dipimpin oleh Bripka John Tahapari, KBO Sabhara Polres Mamberamo Raya. Kedatangan rombongan ini bermaksud ingin menyelesaikan masalah pengeroyokan terhadap Bribda Petrus Douw yang dilakukan oleh anggota Satgas Yonif 755.

Setelah rombongan tiba ditempat yang dituju, Bripka John Tahapari selaku ketua rombongan mempertanyakan sebab pemukulan terhadap Bripka Petrus Douw.

Namun anggota Pos yang ditanya tidak mau menerima pertanyaan seperti itu bahkan justru melakukan pemukulan terhadap Bripka John Tahapari KBO Sabhara Polres Mamberamo Raya.

Bahkan selanjutnya anggota pos mengeluarkan senjata dan melakukan pengejaran sambil melakukan tembakan  membabibuta terhadap anggota Polres Mamberamo Raya.

Bentrok yang terjadi antara polisi dan tentara yang disebabkan oleh salah paham dan masalah sepele ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Mamberamo Papua saja.

Tahun 2015 yang lalu tepatnya tanggal 12 Juli 2015 bentrok antara polisi dan tentara juga terjadi di Semarang melibatkan  ratusan anggota TNI dari Penerbagan Angkatan Darat (Penerbad) yang menyerbu Markas Komando Brigade Mobil Subden 2 di Simongan Semarang.

Kasus bermula dari sebuah ATM ketika dua anggota TNI R dan AJ mengambil uang di ATM Jl. Abdurrahman Saleh Semarang. Karena transaksinya tidak hanya ambil uang, maka prosesnya cukup lama.

Sementara di luar sudah ada dua anggota Brimod dari Sub Den 2 Simongan yang menunggu cukup lama. Karena kesal keduanya sempat mengucapkan umpatan-umpatan kasar yang didengar juga oleh dua orang anggota TNI yang sedang ambil uangnya.

Dari situlah kemudian muncul perselisihan. Dari adu mulut berlanjut dengan perkelahian. Menurut cerita dua anggota Brimob tadi kewalahan menandingi kedigdayaan prajurit Penerbad, dan lantas memanggil bala bantuan.

Takberselang lama datanglah puluhan anggota Brimob lainnya. Adu jotos  berlanjut dengan kekuatan tidak berimbang, dua lawan puluhan.

Karena perkelahian tidak imbang dua anggota TNI tadi terdesak, dan menderita luka-luka di kepalanya. Keduanya lantas pulang ke markas dan melaporkan kejadian tersebut kepada rekan-rekan yang lain. Dari peristiwa itulah kemudian berujung pada penyerbuan ratusan anggota TNI ke Markas Brimob Subden 2.

Bentrok antara polisi dan tentara yang diawali dari masalah sepele dan salah paham ini juga pernah terjadi antara sejumlah oknum anggota Kompi 3 Yon Pelopor Brimob Polda Maluku dan TNI 734 SNS di Saumlaki, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, Jumat (20/12/2019), sekitar pukul 19.00 WIT.

Bentrokan bermula saat  anggota Brimob Polda Maluku sedang melaksanakan patroli rutin dan mengatur arus lalu lintas di lokasi kejadian perkara.

Pada saat itu ada ada pengendara roda dua yang tidak menggunakan helm kemudian ditegur oleh anggota Brimob, Bharatu ML yang sedang menjalankan tugasnya. Belakangan diketahui pengendara yang tidak memakai helm tersebut adalah seorang oknum anggota TNI berinisial Prada P.

Saat itu langsung terjadi pertengkaran mulut dan berlanjut hingga terjadi penamparan oleh anggota Brimob terhadap warga tersebut yang ternyata seorang tentara.

Tak lama berselang, terdapat beberapa anggota TNI 734 SNS yang saat itu sedang mengatar istri mereka ke pusat perbelanjaan ikut menyaksikan kejadian sehingga membuat situasi semakin membara.

Saat itulah terjadi perkelahian di lokasi kejadian, dan karena ada yang melihat salah seorang oknum TNI mencabut sangkur, Bharatu ML langsung melepaskan tembakan dengan peluru hampa.

Sekitar pukul 20.25 WIT, 40 personel TNI 734 datang ke TKP dengan mobil dan sepeda motor sebagian memukuli anggota polres yang saat itu sedang melakukan pengamanan sehingga empat orang mengalami luka luka.

Tentara dan polisi memang seperti  Tom dan Jerry saja. Kasus yang terjadi di Ambon pada November 2005 juga berawal dari dari hal sepele: dimana pada sebuah acara pernikahan, Bribda Lukman menegur salah seorang anggota Denkav V Kodam XVI/Pattimura ketika berjoget dengan mengenakan topi dan merokok.

Tentara itu tak terima. Keributan pun pecah. Rentetan tembakan terdengar hingga jauh. Setidaknya ada tiga sipil luka-luka karena peristiwa ini.

Jadi kalau di identifikasi, sumber pertikaian di antara prajurit kedua institusi penjaga keamanan tersebut seringkali berawal dari hal-hal sepele dan sama sekali tidak terkait pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.

Bentrok bisa terjadi karena saling mengejek setelah pulang dari acara hiburan, persoalan pacar, ketersinggungan karena saling pandang dan sebagainya. Ironisnya, cara penyelesaian bentrokan justru sering dilakukan dengan melibatkan kekuatan penuh pasukan, layaknya berperang dalam mempertahankan negara.

Mengurai Akar Masalahnya

Seringnya bentrok antara keduanya yang diawali dari masalah sepele yang kemudian membesar karena melibatkan kesatuannya, memunculkan tanda tanya mengapa kedua korps abdi negara ini mudah tersulut emosinya ketika terjadi masalah sepele di lapangan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan jiwa ksatria ?

Pengamat Kepolisian Bambang W. Umar, menyebutkan bahwa adanya kesenjangan antara dua institusi itu menjadi salah satu penyebab seringnya bentrok antara keduanya.

Dari sisi kehidupan materi, kesenjangan tampak nyata di kalangan bawah antara polisi dan tentara. Menurut Bambang, kondisi itu sangat berpotensi menimbulkan kecemburuan antara anggota dua institusi yang sama sama menjadi abdi negara.

Namun soal kesenjangan sebagai penyebab bentrok antara polisi dan tentara dibantah oleh mantan Menkopolhukam Joko Soeyanto. Dalam dialog  di TV One, (8 Maret 2013, jam 19.00 WIB) yang lalu beliau meragukan faktor kesenjangan yang berimpilkasi pada  “kesejahteraan” itu.

Ia hanya menyebutkan, antara lain bahwa pemisahan kewenangan TNI-Polri adalah berdasarkan undang-undang (UU No.2/2002 tentang Polri, UU No.34/2004 tentang TNI dan UU No.3/2002 tentang Pertahanan Negara), yang salah satu implikasinya adalah kewenangan TNI telah “dipangkas” untuk mengatasi persoalan keamanan dalam negeri. TNI, sesuai UU, hanya “mengurusi” pertahanan saja.

Mantan Wakil Ketua DPR-RI Priyo Budi Santoso waktu itu juga menegaskan bahwa pemangkasan kewenangan menjadi pemicu kecemburuan sosial di antara prajurit  polisi dan tentara.

Mantan Kapolri Jenderal (Purn.) Dai Bachtiar, dan Jhonson Panjaitan (IPW) dalam dialog TV One itu, juga sempat menyebutkan soal “kesenjangan” ini. ‘Balas dendam’, juga dapat menjadi unsur pemicu konflik antara polisi dan tentara.

Bisa jadi benar sinyalemen yang disampaikan oleh para tokoh diatas mengenai adanya kesenjangan yang berujung pada kesejahteraan yang berbeda antara polisi dan tentara. Sudah menjadi rahasia umum, anggota Polri (sebut saja oknum) kerap kali “dikaryakan” di tempat-tempat tertentu.

Di perusahaan, termasuk tempat hiburan, misalnya, sebagai pengamanan (bodyguard?). Atau, menjadi ajudan pribadi atau pengawal sejumlah pejabat tinggi, dengan imbalan tertentu yang jauh melebihi dari jumlah penghasilan perbulannya.  

Di lain waktu, anggota Polri acap kali “dipakai” sebagai tenaga pengamanan (lebih memihak ke perusahaan?) ketika terjadi konflik antara perusahaan dengan karyawannya.

Sementara, jarang sekali terlihat anggota TNI “dikaryakan” seperti ini, sejak pemisahan “kewenangan”, setelah tumbangnya Orba. Akibatnya, “Pasca pemisahan kewenangan tersebut, frekwensi bentrok antara TNI dengan Polri meningkat 300 persen,” (Priyo Budi Santoso, okezone.com).

Belum lagi, misalnya, “budaya setor ke komandan”, di lingkungan institusi Polri (jika betul ada), membuat sebagian anggota di lapangan ‘terpaksa nyambi’.

Kita tak tahu persis, apakah ketimpangan (kewenangan dan kesejahteraan)di antara anggota TNI-Polri di lapisan bawah menjadi akar masalah “bentrok tahunan” itu, memang benar adanya?.

Selain masalah tersebut, banyak kalangan menilai  persoalan paling mendasar yang menjadi penyebab seringnya terjadi bentrok antara polisi dan tentara adalah  mentalitas keduanya. Kawah candradimuka anggota TNI/Polri  belum mampu membentuk karakter yang diharapkan dari seorang prajurit ;karakter ksatria.

Bisa jadi premis ini benar. Menilik kasus yang terjadi di Semarang misalnya, anggota yang terlibat dalam kejadian itu adalah  para tamtama yang notabenenya para anggota baru di kesatuannya.

Mereka masih sering bertindak berdasarkan emosi bukan rasionalitas yang dikedepankannya. Padahal dari kejadian ini efek yang timbul tidak hanya bersakala regional tetapi juga nasional, terutama terkait citra TNI dan Polri di mata rakyatnya.

Sementara itu  Indonesian Police Watch (IPW) melihat penyebab  bentrokan antara polisi dan tentara disebabkan oleh tiga hal. "Pertama, oknum di TNI maupun di Polri belum menyadari mereka adalah aparatur yang digaji rakyat untuk jaga kamtibmas" kata ketua IPW Neta Pane kepada Suara Pembaruan Senin (31/8).

Kedua, anggota berseragam itu lebih mengedepankan sikap arogan dan semangat korsa yang tidak pada tempatnya, sehingga tidak bisa menahan diri dan sering lepas kendali.

Sikap arogansi sebagai aparatur berseragam masih sangat menonjol dalam dinamika TNI-Polri, terutama di jajaran bawah. Hal ini pula yang terlihat dalam kasus bentrokan TNI-Polri di Mamberamo Papua.

Ketiga, terjadinya kesalahan strategi dalam menyikap bentrokan. Yakni, saat jajaran bawah bentrok yang berdamai justru kalangan menengah atas. Seolah perdamaian itu tidak menyentuh jajaran bawah. Akibatnya bentrokan antar jajaran bawah TNI-Polri tetap saja terjadi.

Dengan mengacu pada beberapa kasus bentrokan yang terjadi antara prajurit TNI dan Polri di beberapa wilayah, dapat diperinci penyebab munculnya konflik, di antaranya:

1. Kesenjangan penerimaan fasilitas saat melaksanakan tugas;
2. Gaya hidup anggota Polri terkesan lebih “makmur;” dibandingkan anggota TNI sehingga memunculkan kecemburuan;
3. Rasa setia kawan yang berlebihan di antara masing-masing prajurit sehingga mereka wajib saling membela ketika ada rekannya yang “terancam”;
4. Besarnya akses Polri ke sumber-sumber ekonomi dibandingkan TNI;
5. Ketidakjelasan pengaturan pembagian wilayah kerja antara TNI sebagai kekuatan pertahanan negara dan Polri sebagai kekuatan keamanan Negara;
6. Pimpinan (institusi) seringkali melindungi anggota yang terlibat, bahkan dalam beberapa kasus enggan menjatuhkan sanksi tegas;
7. Penyelesaian konflik tidak sampai keakar masalahnya sehingga potensial memunculkan konflik susulan.
8. Masih muncul pandangan dikalangan prajurit TNI bahwa kedudukan TNI dianggap lebih tinggi dibandingkan prajurit Polri;
9. Pada saat TNI dan Polri tidak lagi berada di bawah satu komando, masing-masing anggota merasa tidak perlu saling menghormati;
10. Sikap pimpinan seringkali tidak peka akan persoalan-persoalan prajurit di tingkat bawah; 

Mencari Jalan Keluar

Harapan warga masyarakat (civil society) tampaknya, masih banyak kepada insititusi TNI-Polri sebagai pengayom, pengawal, pelayan dan pelindung bagi nusa, bangsa dan tanah air beta.

Warga masyarakat tak banyak peduli soal “terpangkasnya kewenangan” atau yang lainnya. Siapa yang berkuasa di dalam negeri dan pihak mana sebagai pemilik area pertahanan, rakyat tidak mempedulikannya.

Mereka hanya menginginkan TNI-Polri, sebagai wakil negara bergerak sesuai tupoksinya. Bukannya saling berantem, yang bisa membuat malu semuanya.

Seyogyanya Polri dan TNI saling menghormati sebagai aparat negara. Bentrok sering terjadi karena mereka tidak saling menghormati melainkan saling iri dan curiga sehingga hilang jiwa ksatria.Karenanya, tak salah jika sebagian kalangan pernah mengusulkan agar psikotes dijadikan sebagai salah satu syarat (utama) bagi orang yang berniat menjadi polisi atau tentara. Persyaratan ini bisa dimaklumi karena  jika mereka lulus menjadi prajurit, alat kokang senjata api berada ‘di ujung telunjuknya’-nya.

Ini, yang membuat prajurit kita amat-sangat “PD” dan tampak gagah penampilannya. Belum lagi, para prajurit, terutama TNI, dalam masa pendidikan, mereka diajarkan dan dilatihkan bagaimana menyerang dan melumpuhkan musuhnya.

Seyogyanya hal itu “hanya” dalam medan perang saja. Di luar dari medan perang ,hasil pendidikan latihan itu harusnya ditanggalkan sehingga tidak dibawa dalam kehidupan biasa.

Untuk menghindarkan potensi konflik antara polisi dan tentara sejauh ini kabarnya berbagai upaya sebenarnya juga sudah dilakukan untuk menjalin keakraban dan menghindari konflik antar anggota.

Berbagai kegiatan, kerjasama, sering dilakukan bersama. Namun sepertinya itu akan memakan waktu yang cukup lama karena anggota dalam kesatuan juga sering berganti personilnya.

Memang fenomena ini tidak bisa dipukul rata karena tentu masih banyak Anggota TNI/Polri yang masih memegang sumpah prajurit dan sapta marga. 

Pada dasarnya, telah banyak upaya yang dilakukan oleh pimpinan TNI dan Polri guna meredam terjadinya bentrokan yang melibatkan keduanya. Namun tampaknya upaya tersebut belum berhasil sebagaimana diharapkan, mengingat penyelesaiannya seringkali tidak menyentuh akar permasalahan yang ada.

Upaya yang selama ini dilakukan oleh pimpinan kedua lembaga tersebut terkesan hanya sebatas melakukan perdamaian atau sekedar saling maaf memaafkan, dengan kata lain hanya menyentuh permukaannya saja.

Akibatnya bentrokan demi bentrokan terus terjadi, khususnya di wilayah konflik yang sering mengundang gesekan antara keduanya.

Padahal, apabila bentrokan tersebut tidak segera diatasi dikhawatirkan akan berdampak negatif pada stabilitas Kamtibmas secara keseluruhan yang pada akhirnya akan bermuara pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap polisi dan juga tentara.

Oleh karena itu, guna mendukung tegaknya profesionalisme antara prajurit di kedua institusi tersebut serta hilangnya akar permasalahan yang menjadi pemicu terjadinya bentrokan, perlu segera ditemukan solusi yang memadai dan sifatnya komprehensif, tidak saja pada tataran pimpinan tetapi yang lebih penting pada tataran prajurit di tingkat bawah karena umumnya bentrokan terjadi ditingkat akar rumputnya.

Agar potensi terjadinya konflik di antara prajurit di kedua institusi dapat diminimalisir tentunya perlu segera ditetapkan upaya antisipasi yang dapat dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya :

  1. Melakukan tindakan tegas terhadap pimpinan yang lalai dalam melaksanakan tanggung jawab pembinaan guna menimbulkan efek jera, agar tanggung jawab komando betul-betul dilaksanakan sebagaimana mestinya.
  2. Tindakan tegas kepada anggota yang terlibat dalam bentrokan guna menghindarkan munculnya anggapan adanya upaya melindungi anggota;
  3. Memperbaiki tingkat kesejahteraan prajurit agar tidak terjadi kesenjangan yang sangat tinggi di antara masing-masing prajurit baik dilingkungan kepolisian atau di jajaran tentara
  4. Pentingnya ada pertemuan berkala antara Pimpinan satuan (TNI dan Polri) di daerah termasuk berkegiatan bersama seperti olahraga bersama, kegiatan keagamaan bersama atau kegiatan saling mengunjungi guna memelihara keharmonisan/silaturahmi antara keduanya
  5. Pembenahan sistem perundang-undangan yang mengatur lingkup tugas masing-masing institusi sehingga tidak memunculkan tarik menarik kewenangan diantara keduanya
  6. Diupayakan untuk adanya atihan secara berkesinambungan, baik latihan satuan maupun atas prakarsa komandan satuan dimana hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kekompakan di antara polisi dan tentara
  7. Menghilangkan praktek praktek beking atau rebutan lahan yang mengandung tujuan ekonomi sehingga memunculkan kecemburuan dan kesenjangan diantara keduanya. Disinilah pentingnya menumbuhkan semangat nasionalisme sebagai abdi negara dan abdi masyarakat bukan mementingkan kepentingan diri sendiri atau golongan atau pemilik modal yang banyak uangnya.

Kita harusnya malu mempunyai aparat yang masih hobi bentrok hanya karena masalah sepele atau cuma salah paham saja. Sementara disaat yang sama  militer dan polisi negara-negara lain sudah melangkah maju dan bersatu dalam menghadapi berbagai gangguan yang dapat mengancam kedaulatan negaranya.

Oleh karena itu agar semua sumber daya yang dimiliki masing-masing institusi dapat didayagunakan demi terwujudnya profesionalisme individu maupun lembaga, sudah saatnya kedua belah pihak, baik TNI maupun Polri, terus menerus menjaga dan memelihara hubungan agar tetap harmonis demi bangsa dan negara.

Ketika hal tersebut bisa diwujudkan  maka akan berpengaruh positif pada terciptanya stabilitas keamanan negara . Kondisi keamanan nasional yang baik tentunya berdampak pula pada tingginya apresiasi yang diberikan masyarakat kepada keduanya. Lebih lebih ketika negara sedang berjuang bahu membahu memerangi pandemic virus corona. Tidak elok kiranya kalau kemudian polisi dan tentara justru harus “saling tikam” karena mengedepankan ego kesatuannya.Jangan lagi ya …..!

 

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar