Di Balik Krisis Harga Pangan (Tulisan I)

Impor Bablas Stok Minim, Mafia Pangan Pesta Saat Corona

Minggu, 12/04/2020 13:00 WIB
Bawang putih di pasar Induk Kramat Jati (Foto: Denny Hardimansyah/Law-Justice)

Bawang putih di pasar Induk Kramat Jati (Foto: Denny Hardimansyah/Law-Justice)

Jakarta, law-justice.co - Pandemi Virus Corona yang mewabah di Indonesia sejak Februari lalu berdampak langsung pada kemampuan masyarakat mengakses pangan. Apalagi menjelang bulan puasa, hampir semua harga komoditas pangan meroket. Sementara sebagian besar rakyat harus kehilangan penghasilan karena adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Selain itu, mafia pangan ternyata masih berkeliaran bebas berkuasa melakukan pengaturan mulai dari intervensi kebijakan hingga tata niaga dari hulu ke hilir.

Hampir seluruh dunia saat ini sedang lumpuh karena wabah corona. Semua sektor kehidupan terancam. Kesehatan memburuk, ekonomi ambruk, ditambah masalah klasik yang terjadi setiap tahun di Indonesia: ketersediaan dan harga pangan yang tidak menentu jelang bulan puasa dan hari raya Idul Fitri. Selain itu, adanya relaksasi dari Kementerian Perdagangan dalam Permendag No.27 tahun 2020. Isinya membebaskan RIPH (Rekomendasi Impor Produk Holtikultura).

Beleid baru itu, dikeluarkan dalam masa pandemi corona, alasan pemerintah adalah darurat untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok seperti gula, bawang putih dan juga bawang bombai. Keanehan dalam beleid itu adalah membuka keran impor sebesar-besarnya dan memasukkan barang komoditas dari daerah-daerah yang masuk dalam zona merah daerah terinfeksi virus covid-19 seperti China dan India.

Akibatnya, alih-alih ingin memenuhi stok nasional dengan melakukan impor cepat akhirnya tersendat karena terputusnya jalur distribusi di daerah negara pengimpor. Pemerintah akhirnya putar otak dengan melakukan pengalihan negara pengimpor seperti Selandia Baru. Namun hal itu tidak membantu juga untuk menekan harga sehingga beberapa kebutuhan pokok seperti gula dan produk holtikultura mengalami kenaikan harga drastis hingga 100 persen dari harga normal.

Menanggapi hal itu, ahli pangan dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) David Ardhian mengatakan, dalam setiap situasi krisis, pangan selalu menjadi faktor penentu keselamatan rakyat. Ketika stok menipis dan harga melonjak, potensi terjadinya chaos di masyarakat sangat tinggi.

Pemerintah mengklaim telah memantau ketersediaan 11 bahan pangan pokok, diantaranya adalah beras, jagung, bawang merah, bawang putih, dan cabai besar merah. Ketersedian komoditas lainnya seperti cabai rawit, daging sapi, daging ayam, telur ayam, gula pasir, dan minyak goreng juga dipastikan aman paling tidak sampai Hari Raya Idul Fitri, Bulan Mei 2020.

Kementerian Pertanian sendiri merilis beberapa stok pangan strategis untuk memastikan ketersediaan di pasar. Seperti beras, ada stok 3,5 juta ton di Bulog. Begitu pula untuk beberapa komoditas lainnya, dipastikan surplus hingga Mei 2020. Misalnya, Jagung akan suprlus 4 juta ton, bawang merah 240 ribu ton, gula pasir 584 ribu ton, bawang putih 263 ribu ton, sampai dengan ketersediaan daging sapi kita juga akan surplus 62 ribu ton.

David menegaskan, angka-angka tentang ketersediaan pangan tidak berarti apa-apa karena yang sering bermasalah adalah sirkulasi pangan di level bawah.

“Pangan tidak tersedia otomatis di meja makan kita, namun melalui rantai distribusi dari produsen ke konsumen,” kata David dalam sebuah diskusi online bertema "Ancaman Kelaparan di Tengah Pandemi" pada Kamis (9/4/2020).

Bahkan sebelum adanya krisis virus corona, distribusi pangan selalu menjadi hantu yang mencekik masyarakat miskin. Distribusi yang bermasalah menyebabkan kelangkaan, kelangkaan menyebabkan harga meroket, dan pada akhirnya masyarakat terancam tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan primer mereka.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) kelompok masyarakat miskin menghabiskan 65% pendapatan mereka untuk belanja makanan. Sementara masyarakat hampir/rentan miskin menghabiskan 62% pendapatan mereka untuk membeli makanan, termasuk pangan.

“Pendapatan mereka sebagian besar habis dibelanjakan untuk membeli pangan pokok. Kebijakan PSBB membuat mereka kehilangan pendapatan secara drastis, mengancam diri dan keluarga mereka kekurangan pangan. Sebuah bencana yang tidak kalah mengerikan,” kata David.

Memastikan akses pangan bagi kaum miskin adalah kewajiban negara, lanjut David. Produk pangan tidak akan langsung tersedia dari produsen atau importir begitu saja di pasar atau di warung-warung makan. Ada rantai panjang yang mampu mengatur, mempengaruhi, bahkan memutarbalikkan kondisi dari ketersediaan menjadi krisis pangan. Apa itu?

“Para spekulan harga pangan. Dalam setiap krisis selalu ada penumpang gelap yang mencari keuntungan di tengah masa sulit. Penimbunan pangan dan rente ekonomi yang cari untung dari impor pangan adalah musuh bersama. Melambungnya harga pangan bisa menimbulkan kekacauan, menekan akses pangan rakyat, dan memaksa rakyat membeli pangan yang murah tapi mengesampingkan aspek kualitas,” tutur David.

Kata dia, negara wajib hadir dalam upaya distribusi dan pengendalian harga pangan. Memastikan bahwa pangan tersedia dalam kuantitas dan kualitas, karena keduanya sama-sama penting bagi kelompok rentan.

“Musuh bersama kita sekarang adalah spekulan pangan yang memperburuk keadaan. Tata kelola pangan perlu dibangun dengan aturan main yang jelas, menghidarkan dari para spekulan dan rente ekonomi yang menyengsarakan rakyat dalam masa krisis,” ujar David.

Terkait dengan ketersediaan dan harga pangan, Law-justice.co telah mendatangi langsung Pasar Induk Keramat Jati, Jakarta Timur. Beberapa pedagang yang ditemui mengungkapkan ketidakpastian harga komoditas pangan. Misalnya harga bawang putih yang cenderung turun sejak seminggu terakhir karena melonjaknya stok secara berlebihan.

"Sudah turun mas, sekarang sudah Rp 45.0000. Seminggu kemarin sempat naik Rp 51.000 – 68.000 ribu per kilogram," kata salah seorang pedagang.

Kelebihan stok bawang putih saat ini justru menjadi masalah karena terlampau banyak, tapi permintaan tidak meningkat. Ini menjadi tanda tanya besar karena pemerintah mengeluarkan izin impor bawang putih sebanyak 60.000 ton.

"Kami sudah terlanjur beli untuk stok dengan harga awal yang mahal namun tetap saja tidak ada pembeli. Kalaupun ada yang beli, mau tak mau ya jual impas," katanya.

Situasi sebaliknya terjadi pada komoditas gula pasir yang harganya terus meroket karena masih langka sampai hari ini. Niko, salah seorang pedagang mengatakan, rata-rata harga gula pasir di pasaran berkisar Rp 18.00 - 18.500 per kilogram. Anehnya, hanya ada satu jenis gula yang tersedia di pasaran.

"Coba lihat mas, itu hanya satu produk gula putih. Enggak tahu ya, itu gula impor atau bukan," jelasnya sambil menunjuk tumpukan gula.

Berdasarkan pengamatan, gula tersebut adalah produk impor dari Thailand yaitu gula castor CMS yang diproduksi oleh PT Mitra Legi Sampoerna yang beralamat di Bekasi.

"Selama ini, yang didapat dari distributor gula ya jenis itu saja, tidak ada yang lain. Bahkan produk gula Lampung Gunung Madu Plantations (GMP) pun tak pernah terlihat lagi," tambah Niko.

Soal gula ini, pemerintah Kementerian Perdagangan telah menerbitkan Surat Persetujuan Impor (SPI) gula kristal rafinasi (GKR) untuk periode 2020 sebesar 3 juta ton yang mulai berlaku awal Maret dengan pembagian 1,5 juta ton per semester. Kebijakan impor gula ini dilakukan untuk mengatasi menipisnya pasokan, sebagaimana yang sebelumnya dikeluhkan oleh industri makanan dan minuman.

Dari penelusuran Law-Justice di pasar tradisional, misalnya pasar tradisional Rawamangun ditemukan banyak beredar gula curah. Bahkan di daerah seperti Subang dan Purwakarta, beredar pula gula dengan kemasan karung bertuliskan gula rafinasi. Mengapa itu terjadi? Banyak pedagang dan distributor ingin meraup untung besar dengan memasok gula rafinasi yang sebenarnya ditujukan untuk industri makanan dan minuman.

Dari data pedagang, ternyata gula curah lebih murah, harga sendiri bisa beda Rp 2000-2500, sekarang dijual menjadi gula diproduksi massal. Gula curah banyak datang dari Cina, Vietnam, India. Gula curah merupakan gula yang berasal dari gula rafinasi (raw sugar) yang digiling lebih halus dari butiran gula umumnya.

Celah inilah yang digunakan oleh pemburu rente dan mafia dalam melakukan impor gula rafinasi dan gula curah besar-besaran. Selain dalam masa krisis yang minim pengawasan, mereka berharap mendapatkan untuk besar dengan memasok gula curah dan gula rafinasi.

Sementara itu, berdasarkan penelusuran dari Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), per 10 April 2020, harga rata-rata bawang putih terpantau berkisar Rp 51.000 per kilogram di DKI Jakarta. Sementara harga gula pasir secara nasional di tingkat pasar tradisional memang menyentuh Rp 18.500.

Untuk produk-produk lain seperti cabai rawit, bawang merah, dan beras sudah mulai menunjukkan geliat kenaikan harga. Harga cabai rawit berkisar Rp 49.000 – 50.000 per kg, bawang merah Rp 47.000 - 56.000 per kg, dan beras Rp 13.500 per kg.

Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin mengatakan, awal April 2020 memang diwarnai dengan kenaikan beberapa komoditas pangan strategis seperti gula putih, bawang merah, cabai rawit, dan telur ayam ras.

•Harga gula putih naik 20,9% dari level Rp 14.850 per kg menjadi Rp 17.950 per kg
•Harga bawang merah naik 10,6% dari level Rp 37.150 per kg menjadi Rp 41.110 per kg
•Harga cabai rawit naik 10,2% dari level Rp 38.550 per kg menjadi Rp 38.800 per kg
•Harga telur ayam naik 1,95% dari level Rp 25.650 per kg menjadi Rp 26.150 per kg
•Harga beras naik sedikit 0.43% menjadi Rp 11.900 per kg


Harga komoditas pangan hingga akhir Maret 2020 (Foto:Repro/Law-Justice)

Stok Berlimpah Namun Raib Dipasaran
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Kementerian Pertanian Yasid Taufik mengatakan, saat ini pemerintah tidak cukup hanya memastikan stok bahan pangan. Ada tugas besar yang lebih sulit, yakni menjaga suplai dalam kondisi tidak pasti seperti saat ini.

"Semua aktivitas ekonomi hampir lumpuh karena penerapan PSBB. Di beberapa daerah, segala aktivitas ekonomi pun terbatas. Hal ini yang menjadi hambatan sehingga perhatian yang difokuskan adalah bukan lagi soal produksinya, namun soal suplainya," kata Yasid saat dihubungi Law-justice.co, Kamis (9/4/2020).

Yasid memastikan bahwa ada peningkatan konsumsi pangan dari masyarakat dalam kondisi wabah Corona. Kebutuhan pangan saat tidak bisa lagi menggunakan ukuran konsumsi rata-rata menjelang hari raya yang meningkat 10 - 15 persen. Pasti akan ada peningkatan lebih besar karena produk hortikultura menjadi sasaran masyarakat untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap pandemi.

Ketika disinggung soal kelangkaan produk impor bawang putih dan gula pasir di pasaran sehingga harganya mengalami lonjakan, Yasid meyakini hal tersebut disebabkan keterlambatan suplai karena ada wabah Covid-19.

“Sebenarnya, dari sisi kebijakan pemerintah, baik itu dari Kemendag dan Kementan sudah final. Kelangkaan dan lonjakan harga ini karena terhambatnya sisi suplai dampak wabah Covid-19 ini, itu saja,"kata Yasid.

Yasid juga mendukung kebiakan pemerintah terkait pelonggaran izin impor beberapa komoditas pangan. Menurut dia, izin impor sesuai dengan kebutuhan nasional dan kebutuhan pelaku usaha dalam satu tahun, berdasarkan Permentan yang mengatur soal RIPH.

"Produk holtikultura yang diimpor bukan hanya bawang putih dan bawang bombai, namun ada 19 item yang meliputi sayuran dan buah. RIPH impor yang dikeluarkan ini berdasarkan sisi survei dari produksi petani yang kira-kira produksinya berkurang,” ucap dia.

Namun dalam prakteknya, ada dugaan penimbunan yang dilakukan oleh perusahaan pengimpor. Karena jika merunut data impor bawang putih berdasarkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) bawang putih yang telah diterbitkan Kementan sebanyak 450 ribu ton. Ada 54 importir yang telah mendapat RIPH bawang putih. Sedangkan untuk bombai sebesar 227 ribu ton sebanyak 53 importir.

Sedangkan kebutuhan kebutuhan nasional bawang putih diperkirakan 47.000-48.000 ton per bulan. Sementara untuk bawang bombai, diperkirakan hanya 10.000-11.000 ton per bulan. Bahkan pada beberapa waktu lalu periode Februari-Maret, stok bawang putih dan bawang bombai dipasaran sempat menghilang sehingga harga meroket. Hal ini mengindikasikan ada kesengajaan untuk menutup pasokan ke masyarakat.

Terkait hal itu, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Suhanto mengatakan, kenaikan harga dalam kurun waktu beberapa bulan terjadi karena adanya pengaruh nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Selain itu, stok yang terbatas di negara asalnya menyebabkan harga melambung tinggi.

"Terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan tingginya harga bahan pokok yang berasal dari luar negeri, dan salah satunya adalah pengaruh dari melemahnya ekonomi global sehingga berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Selain itu untuk komoditas bawang putih, terjadi kenaikan harga dari negara asal," katanya.

"Untuk bawang Bombay terjadi keterlambatan pasokan akibat pandemi covid-19, dimana beberapa negara eksportir memberlakukan lockdown sehingga kegiatan ekspor-impor ditunda untuk sementara. Untuk itu, Kemendag saat ini terus melakukan monitoring terkait perkembangan jadwal dan rencana pemasukan bawang bombay oleh pelaku usaha," tambah Suhanto.


Daftar ketersediaan pangan nasional (Foto:Repro Kementan/Law-Justice)

Hal inilah yang membuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai kartel bermain dalam tata niaga bawang putih. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai adanya ketidakberesan dalam realisasi impor bawang putih. Sebab, meski Kementerian Pertanian sudah mengeluarkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) serta Kemendag juga keluarkan Surat Persetujuan Impor (SPI), namun harga bawang putih di pasaran masih belum juga turun, bahkan trennya cenderung naik.

Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih menyoroti bagaimana potensi lambatnya realisasi impor bawang putih di lapangan. Menurut dia, relaksasi dalam bentuk pemberian RIPH dan SPI saja tidak cukup karena juga perlu realisasi distribusi di lapangan. Dikhawatirkan, ada pelaku usaha yang bermain dalam izin impor yang sudah diterima.

"Pemerintah dalam hal ini kemendag, sudah tahu mana importir yang bonafit dan mana yang tidak. kalau dari kami soal ada dugaan untuk melakukan eksesi price tentu saja itu domainnya kami. Nah, motif excessive price apa memang bisa jadi menjadi indikasi, sehingga akan membuat pasokan berkurang dipasar dan mengakibatkan harga akan naik," katanya dalam perbincangan dengan media massa.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus ada praktik kartel dalam bisnis importasi bawang putih. Untuk itu Guntur Syahputra Saragih menambahkan, relaksasi dalam bentuk pemberian RIPH dan SPI saja tidak cukup karena juga perlu realisasi distribusi di lapangan. Dikhawatirkan, ada pelaku usaha yang bermain dalam izin impor yang sudah diterima.

"Penerbitan SPI nggak cukup dalam konteks pengendalian harga di pasar. Karena harga yang diterima adalah barang yang tersedia di pasar. Bahkan realisasi impor nggak cukup sebenernya. Andai kata ada realisasi impor terjadi, tapi jika ada pelanggaran stok, nggak disampaikan ke pasar, itu juga berdampak pada kenaikan harga," sebut Guntur.

Soal penimbunan stok bahan pokok seperti bawang putih pernah menjadi masalah di Jawa Barat. CV Sinar Padang Sejahtera yang berkedudukan di Karawang, Jawa Barat, diduga melakukan penimbunan 150 ton bawang putih. 

Menurut Kepala Disperindag Karawang Ahmad Suroto sebanyak 150 ton bawang putih impor yang ditimbun itu harusnya sudah didistribusikan pada November 2019 silam. Waktu itu, mereka sudah punya kuota 720 ton bawang yang sisanya masih ada di gudang.


Stok bawang putih impor di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur (Foto:Denni Hardimansyah/Law-Justice)

Suroto juga mengatakan, rombongan Satgas Pangan Jawa Barat juga mendatangi dua pasar di Karawang, untuk mengetahui berapa harga pasaran bawang putih di tengah masyarakat di saat komoditas tersebut langka.

"Biasanya harga bawang putih hanya di kisaran Rp. 30 ribu per kilo, tapi saat langka di pasar seperti saat ini harga tembus sampai dengan Rp. 68 ribu per kilo," ujar Suroto dilansir dari Pikiran Rakyat.

Atas temuan dugaan penimbunan bawang putih yang dilakukan oleh PT Sinar Padang Sejahtera, pihak importir pun dipanggil ke Polda Jabar untuk dimintai keterangan.
Selain itu dalam operasi pasar tahun 2019 ini, Sinar Padang diminta untuk memasok bawang ke 10 pasar di dua provinsi.

Dari catatan Kementerian Pertanian, CV Sinar Padang Sejahtera sudah mengimpor bawang putih sejak 2017. Saat itu, Sinar Padang menjadi satu dari 42 importir bawang putih yang mendapatkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) pada 2017.

Cara Mafia Pangan Cari Untung

Masih bermainnya mafia pangan di Indonesia juga diungkapkan oleh Ketua Komisi VI DPR RI Faisol Riza. Komisi yang membidangi Industri, Investasi, dan Persaingan Usaha sebagai mitra dari Kemendag itu membantah bahwa meroketnya harga bawang putih dan gula karena persoalan terhambatnya sisi suplai dampak dari wabah Covid-19. Faisol meyakini, lonjakan harga terjadi karena ada oknum importir yang sengaja menimbun produk impor.

"Enggak ada itu (masalah suplai-Red.). Produk sengaja ditimbun oknum importir, kita sinyalir produk tersebut masih berada di tempat-tempat tertentu yang sebenarnya aksesnya gampang dan mudah dijangkau dan dikirimkan. Jadi janganlah jadikan Covid-19 ini sebagai hambatan. Buktinya barang-barang lain tidak jadi masalah kok. Ini hanya cuma bawang putih yang jadi masalah, kan enggak logis. Saya kirim 10 kotak masker ke Aceh dan Papua saja sampai, enggak ada hambatan," terang Faisol kepada Law-justice.co, Jumat (10/4/2020).

Faisol mengatakan, lonjakan harga gula dan bawang putih karena kelangkaan sama sekali tidak masuk akal. Hal itu karena izin impor gila-gilaan pernah dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan periode sebelumnya, yakni Enggartiasto Lukita. Menurut perhitungan, impor tahun lalu seharusnya cukup untuk memenuhi stok sampai hari raya Idul Fitri 2020 dan tidak akan terjadi kelangkaan.

"Kami sudah mensinyalir ada oknum importir nakal yang menahan stok gula ini. Importir ini kami menduga punya backing (dukungan) kuat dari institusi pemerintah. Kemendag sudah melakukan penelusuran dan ternyata benar bahwa ada penimbunan 35 ton di Lampung, yang mestinya dilempar ke pasar," jelas Faisol.

Komisi VI DPR RI sudah jauh-jauh hari mendesak agar kebutuhan gula sebelum lebaran harus sudah tersedia.

"Melalui keputusan Ratas, untuk gula kebutuhan per bulan itu adalah 250 ton. Selanjutnya pemerintah akan melakukan shifting dengan rincian 100 ribu untuk bahan baku gula industri, dialirkan untuk komsumsi dan 150 tonnya dipenuhi melalui penugasan kepada tiga BUMN yaitu PPI, RRN, dan Bulog dengan total penerimaan masing-masing 50 ribu ton," tambah Faisol.

Data impor gula tahun 2017-2018 yang terus meningkat (Foto:Statista/KataData)

Sementara itu terkait beleid Permendag Nomor 27 Tahun 2020 tentang kemudahan impor, Faisol mengatakan kebijakan itu harusnya sangat berpengaruh terhadap ketersedian bawang putih. Selama ini, memang terjadi disingkronisasi kebijakan impor antara Kementan dan Kemendag.

"Rekomendasi RIHP dari Kementan itu lambat masuk ke Kemendag, sehingga saat melakukan langkah-langkah prosedural seperti ini, dalam kondisi Covid -19, terlalu lama. Padahal kebutuhan di lapangan begitu mendesak," kata Faisol.

Soal kartel dan mafia pangan itu, KPPU mengaku telah berkoordinasi dalam hal data dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Sekretariat Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok, Badan Pusat Statistik, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPPU juga tengah melakukan pengumpulan data kepada 250 pelaku usaha di berbagai bahan pokok tersebut. Gula menjadi prioritas utama yang ditangani KPPU saat ini.

“Salah satu kajian internal kami menemukan bahwa ada persoalan terkait dengan mahalnya harga gula di masyarakat. Bahkan di pasar, pelaku usaha ritel melakukan pembatasan jumlah pembelian gula oleh konsumen. Bahan pokok lain umumnya belum menunjukkan lonjakan harga yang sangat tinggi (excessive). Lonjakan dapat terjadi karena permasalahan data produksi nasional yang kurang tepat, hambatan logistik di masa wabah Covid-19, dan perilaku pelaku usaha sendiri”, ungkap Anggota KPPU Guntur Syahputra Saragih.

Sementara itu Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Suhanto menjelaskan, pihaknya belum menemukan adanya pelanggaran impor dan penimbunan bahan pokok seperti gula dan bawang putih. Dia mengklaim sudah melakukan pengawasan ketat soal impor bahan pokok di masa krisis seperti ini.

"Sejauh ini kami belum menemukan upaya penimbunan, namun demikian untuk antisipasi dan guna menjamin ketersediaan pasokan, Kemendag dan Satgas Pangan terus melakukan pemantauan ke seluruh gudang-gudang importir dan pabrik gula untuk memastikan bahwa tidak ada yang melakukan penimbunan," ujarnya kepada Law-Justice.

Dia juga meminta agar importir dan distributor mengeluarkan stok yang ada di gudang agar tidak terjadi kekosongan di pasaran

"Mengimbau bagi yang masih memiliki stok untuk tetap mendistribusikan ke pasar, serta selanjutnya pengawasan secara intensif terap terus dilakukan sampai kondisi normal," katanya.

Soal mafia juga diungkapkan sumber Law-Justice yang juga bergerak dalam usaha impor pangan. Kata dia, ada pola bancakan terkait impor pangan di Indonesia. Mulai dari bagi-bagi kue impor kepada perusahaan yang sudah bekerjasama dengan pejabat tertentu seperti Bulog, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.

Selain itu ada juga modus permintaan jatah khusus oleh partai politik sehingga biaya impor menjadi mahal dan dibebankan sepenuhnya kepada rakyat. Cawe-cawe inilah yang membuat mata rantai industri pangan selalu menggiurkan dan menguntungkan. Sehingga, siapa pun pejabat yang duduk dalam zona mata rantai industri pangan akan selalu diganggu oleh mafia pangan pemburu rente.

Menanggapi hal itu, Kepolisian yang juga membentuk Satgas Mafia Pangan mengaku bakal terus menjaga komoditas di tengah wabah corona dan menjelang puasa. Karo Penmas Brigjen Pol Argo Yuwono saat dikonfirmasi tentang kesiapan menjaga komoditas mengatakan bahwa Polri hingga saat ini masih terus bekerja dalam rangka pengamanan pangan. Selain itu Argo juga menjelaskan bahwa pihaknya terus berkordinasi dengan kementerian terkait dalam perihal pangan.

"Ada Satgas Pangan yang diketuai oleh Brigjend Tahi Silitonga dengan anggota bersama ASN kementerian terkait," ujar Argo melalui pesan singkat, Rabu (8/4/2020)
Selain itu Argo juga menyebutkan kinerja Polri dalam tugasnya juga mengawasi perekonomian dari lumbung pangan hingga nanti disebar ke masyarakat melalui mekanisme pasar.

"Polri juga bertugas untuk memantau ekonomi atau perekonomian sembako mulai dari hulu sampai hilir," ujar Argo.

Dalam keterangannya juga Argo meminta kepada para pihak yang terkait dengan pangan agar tidak melakukan penimbunan atau menaikkan harga melebihi harga yang sudah ditetapkan pemerintah.

"Saya minta agar tidak ada penimbunan atau menaikkan harga, kita semua sudah sepakat dalam situasi ini agar tidak menimbulkan masalah baru. Kalau ketahuan ada pidana dan akan kami tindak," kata Argo.

Kontribusi Laporan : Ricardo Ronald, Bona Ricki Siahaan, Januardi Husin, Lily Handayani

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar