Jika Manusia Tidak Mengubah Cara Berinteraksi dengan Hewan Liar

Ada 1,7 Juta Virus di Dunia, Waspada Pandemi Berikutnya Setelah Corona

Sabtu, 11/04/2020 20:31 WIB
Pasar hewan liar di Tomohon, Sulawesi Utara (Tribun)

Pasar hewan liar di Tomohon, Sulawesi Utara (Tribun)

law-justice.co - Virus corona baru telah menyebar ke seluruh dunia dan menginfeksi lebih dari sejuta orang. Menurut ilmuwan, sudah hampir pasti bahwa virus berasal dari kelelawar. Sama seperti Ebola, SARS, MERS dan virus lain yang kurang dikenal seperti Nipah dan Marburg, semuanya berasal dari hewan. 

HIV bermigrasi ke manusia lebih dari seabad yang lalu dari seekor simpanse. Demikian juga Influenza A, telah melompat dari burung liar, ke babi lalu ke manusia. Hewan pengerat menyebarkan demam Lassa di Afrika Barat.

Namun, menurut para ilmuwan yang memperlajari penyakit zoonis, masalahnya bukan pada hewan, tetapi pada manusia sendiri. 

Hewan liar selalu memiliki virus yang mengalir melalui tubuh mereka. Tetapi perdagangan satwa liar global yang bernilai miliaran dolar, intensifikasi pertanian, penggundulan hutan, dan urbanisasi membuat orang lebih dekat dengan binatang, memberikan peluang kepada manusia untuk mendapatkan virus tersebut.  

Seperti SARS-CoV-2 Coronavirus Novel yang dibantu oleh populasi manusia menjadi saling berhubungan. Patogen tersebut hanya dalam hitungan jam jika diangkut dengan pesawat, menyebar ke seluruh dunia. 

Ketika dunia berjuang untuk mengatasi krisis kesehatan dan perubahan ekonomi masyarakat yang belum pernah terjadi sebelumnya, banyak peneliti penyakit mengatakan pandemi virus corona harus dianggap sebagai peringatan mematikan. Itu berarti harus memikirkan hewan sebagai mitra yang kesehatan yang habitatnya harus dilindungi, untuk mencegah wabah global berikutnya.

"Pandemi secara keseluruhan semakin meningkat frekuensinya," kata Peter Daszak, seorang ahli ekologi penyakit yang merupakan presiden EcoHealth Alliance, sebuah organisasi kesehatan masyarakat yang mempelajari penyakit. 

“Pandemi bukan pemberian Tuhan. Itu disebabkan oleh apa yang kita lakukan terhadap lingkungan. Kita perlu mulai menghubungkan rantai itu dan perlu melakukan pencegahan dengan cara yang tidak terlalu berisiko,” lanjutnya.

Sekitar 70 persen dari penyakit menular yang muncul pada manusia berasal dari zoonosis, kata para ilmuwan, dan hampir 1,7 juta virus yang belum ditemukan mungkin ada di alam liar. Banyak peneliti mencari apa menyebabkan spillover hewan ke manusia berikutnya. Tiga hal penting yang mungkin memiliki kesamaan, kata Daszak yaitu banyak orang, beragam tanaman dan hewan, dan perubahan lingkungan yang cepat.

Tikus dan kelelawar  adalah rumah bagi banyak inang penyakit zoonosis yang paling mungkin. Sekitar setengah dari spesies mamalia adalah tikus, dan sekitar seperempatnya adalah kelelawar. Kelelawar menurunkan  sekitar 50 persen mamalia di wilayah tropis yang paling beragam hayati. Walaupun mereka adalah penyerbuk dan pemakan hama yang berharga, mereka juga menularkan virus.

Kelelawar memiliki sistem kekebalan seperti superhero yang memungkinkan mereka menjadi "reservoir bagi banyak patogen yang tidak berdampak pada mereka, tetapi dapat memiliki dampak luar biasa jika masuk ke tubuh manusia,” kata Thomas Gillespie, seorang ahli ekologi penyakit di Universitas Emory.

Akhir tahun lalu, virus corona yang berasal dari kelelawar tapal kuda diperkirakan telah masuk di Cina, kata para ilmuwan, di mana perdagangan hewan eksotis didorong oleh permintaan kelas atas, dan juga sebagai persediaan bahan untuk keperluan pengobatan.

Di "pasar basah" di Wuhan terkait dengan kasus awalnya muncul virus corona, setidaknya ada satu toko yang menjual hewan-hewan termasuk anak serigala dan musang kelapa bertopeng untuk dikonsumsi. Pasar seperti itu, kata para ahli, memperlihatkan hewan-hewan yang tertekan dan bertumpuk di dalam kandang, di mana cairan tubuh memercik saat disembelih yang menjadi jalan penyebaran virus.

Meskipun kelelawar tapal kuda diburu dan dimakan di Cina, bagaimana virus kelelawar yang dicurigai pertama kali terinfeksi tidak akan mudah disimpulkan. Sekelompok kasus awal dilacak ke pasar hewan, tetapi keburu ditutup dan disanitasi sebelum para peneliti dapat melacak hewan apa yang mungkin terlibat.  Beberapa kasus pertama malah tidak memiliki koneksi ke pasar hewan.

Karena virus baru ini tidak identik dengan virus kelelawar yang dikenal, virus bermutasi dalam setidaknya satu perantara, mungkin juga berasal dari trenggiling yang terancam punah, mamalia yang banyak diperdagangkan, kata para ilmuwan.

Wabah SARS 2003 akhirnya dikaitkan dengan kelelawar tapal kuda oleh para ilmuwan yang melakukan penelitian di gua-gua yang dilapisi dengan guano kelelawar, selain menelusuri pasar hewan liar. 

Para ilmuwan berpikir bahwa virus corona melompat dari kelelawar ke musang, ke mamalia seperti kucing lalu sampai ke manusia. “Salah satu penyebab penyebaran virus ini adalah pasar dan perdagangan internasional satwa liar,” Chris Walzer, direktur eksekutif untuk program kesehatan global Wildlife Conservation Society, mengatakan kepada wartawan, Kamis (9/4).

Di Afrika, berkurangnya populasi mamalia besar, penjualan hewan bergeser ke spesies yang lebih kecil, termasuk tikus dan kelelawar, kata Fabian Leendertz, seorang dokter hewan yang mempelajari penyakit zoonosis di Robert Koch Institute di Berlin.

Sementara beberapa dikonsumsi untuk keperluan subsisten, penjualan daging eksotis juga memiliki pangsa sendiri di kota-kota besar yang berkembang pesat, kata Leendertz.

"Itu sesuatu yang harus dihentikan dulu," katanya. "Risikonya bukan karena daging itu sendiri, tetapi akan meningkatkan perburuan dan tingkat kontak yang lebih tinggi antara manusia dan hewan liar, bagi mereka yang pergi berburu dan mereka yang membawanya pulang.”

Perdagangan internasional hewan peliharaan eksotis seperti reptil dan ikan juga menjadi perhatian, karena hewan ini jarang diuji patogen yang dapat membuat manusia sakit, kata Daszak. Begitu juga peternakan besar yang penuh dengan binatang, kata Gillespie.

"Ketika saya berpikir tentang apa faktor risiko utama, itu adalah influenza A yang terkait dengan produksi babi dan ayam," katanya.

Tetapi memanen dan memelihara hewan bukan satu-satunya sebab munculnya virus. Manusia semakin berbagi ruang dengan satwa liar dan mengubahnya dengan cara yang berbahaya, kata para peneliti.

Studi baru menemukan, penyakit Lyme, yang disebabkan oleh bakteri, menyebar lebih mudah di Amerika Serikat bagian timur karena hutan yang terfragmentasi memiliki lebih sedikit pemangsa, seperti rubah dan opossum. Kedua hewan itu  memakan tikus yang menjadi tuan rumah kutu yang menyebarkan Lyme. 

Para ilmuwan menunjuk kemunculan virus Nipah tahun 1998 di Malaysia  yang telah menewaskan ratusan orang di Asia, sebagai contoh nyata dari spillover yang dipicu oleh perubahan lingkungan dan intensifikasi pertanian. 

Pembabatan hutan hujan untuk minyak kelapa sawit dan kayu serta ternak yang menggantikan kelelawar buah, beberapa di antaranya berakhir di peternakan babi di mana mangga dan pohon buah lainnya juga tumbuh, kata mereka. 

Kelelawar menjatuhkan sisa makanannya lebih banyak daripada yang mereka makan. Air liur dan kotorannya menginfeksi babi yang ada di daratan. Akibatnya, babi mengantar penyakit kepada petani dan mereka yang dekat dengan industri. 

“Saat ini satwa liar terpaksa mencari sumber makanan baru, memaksa mereka mengubah perilaku dengan cara menempatkan diri pada posisi yang lebih baik untuk mentransfer patogen kepada kita,” lanjut Gillespie. 

Ketika populasi manusia di bumi melaju ke angka delapan miliar, tidak ada yang berpikir interaksi manusia-hewan akan berkurang. Kuncinya adalah mengurangi risiko yang dahsyat, kata para ilmuwan - dan bukan dengan membunuh kelelawar. Tetapi mereka mengakui bahwa tekanan budaya dan ekonomi membuat perubahan menjadi sulit.

Masyarakat Konservasi Satwa Liar dan kelompok-kelompok lain telah meminta negara-negara melarang perdagangan hewan liar untuk disantap, dan menutup pasar basah. Anthony S. Fauci, pakar penyakit menular terkemuka di Amerika mengatakan, bahwa masyarakat dunia harus menekan Cina dan negara-negara lain yang memiliki pasar sejenis untuk menutupnya.

“Saya sangat terkejut melihat situasi ini, di mana begitu banyak penyakit yang diakibatkan kontak hewan dan manusia, tapi kita justru membiarkannya terjadi,”  Fauci mengatakan kepada Fox News "Fox & Friends."

Cina, yang secara singkat menghentikan perdagangan musang setelah merebaknya SARS, pada Januari lalu mengumumkan larangan pengangkutan dan penjualan hewan liar, tetapi hanya sampai epidemi virus corona selesai. Diperlukan undang-undang permanen, kata Aili Kang, direktur eksekutif program Asia WCS.

Tapi tidak semua orang setuju. Larangan dapat menyebabkan pasar bergerak di bawah tanah, kata beberapa orang. Daszak mencatat bahwa orang Barat juga memakan hewan liar - makanan laut dan rusa, misalnya. Sebaliknya, katanya, perdagangan harus diatur dan hewan-hewan diuji secara ketat untuk patogen.

Pengawasan yang lebih kuat terhadap penyakit pada hewan liar sangat diperlukan, kata Leendertz. Begitu juga kesadaran luas bahwa apa yang terjadi di habitat liar dapat memicu krisis kesehatan masyarakat, kata Gillespie.

Banyak peneliti mengatakan pandemi virus corona menggarisbawahi perlunya pendekatan "satu kesehatan" yang lebih holistik, yang memandang kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan sebagai saling terkait.

“Perlu ada perubahan budaya dari tingkat komunitas ke atas tentang bagaimana kita memperlakukan hewan, pemahaman kita tentang bahaya dan risiko biosekuriti yang kita hadapi,” kata Kate Jones, ketua ekologi dan keanekaragaman hayati di University College London. “Itu berarti membiarkan ekosistem utuh, bukan menghancurkannya." (Washington Post)

(Liesl Sutrisno\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar