Ahli ITB: Banyak Kasus COVID-19 di Jakarta dan Jabar Tak Terdata

Jum'at, 10/04/2020 09:37 WIB
Wabah virus corona di Korsel (kastara)

Wabah virus corona di Korsel (kastara)

Jakarta, law-justice.co - Salah satu peneliti matematika epidemiologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Nuning Nuraini kembali merilis penelititan terkait fenomena pandemi virus corona jenis baru (COVID-19) yang terjadi di Indonesia.

Menurut Nuning, data yang di rilis pemerintah saat ini diduga tidak seluruhnya terlapor. Sebab, dari hasil penelitian yang dilakukan ditemukan angka yang cukup fantastis dalam kasus virus corona di Tanah Air.

Nuning bersama SimcovID Team mencoba menjawab permasalahan-permasalahan yang lebih kompleks dan spesifik dengan pendekatan model yang lebih reaslistik.

Tim ini terdiri dari belasan peneliti dari berbagai perguruan tinggi di antaranya ITB, Unpad, UGM, ITS, UB, Undana. Bahkan termasuk peneliti perguruan tinggi luar negeri asal Indonesia yaitu Essex & Khalifa University, University of Southern Denmark, dan Oxford University.

Dalam kajian ilmiah yang mereka rancang, Nuning dan Tim SimcovID berusaha untuk menjawab setidaknya tiga rumusan masalah. Pertama, lewat model SEIRQD (Suceptible-Exposed-Quarantine-Recovery-Death), mereka ingin menghasilkan analisa terkait estimasi kepadatan kasus COVID-19 per 100 ribu jumlah penduduk dan menunjukkan seberapa besar perkiraan kasus yang tidak terdeteksi dari provinsi-provinsi di Indonesia.

Kedua, menggunakan metode Extended Kalman Filter, Tim SimcoviID berusaha untuk memberikan nilai Ro yang tepat bagi kejadian di Indonesia.

Lalu, ketiga, Dr. Nuning dan rekan-rekan juga menyiapkan proyeksi waktu puncak dan jumlah kasus kematian dari beberapa skenario kebijakan pemerintah yang mungkin akan dilaksanakan dalam menghadapi situasi pandemi ini.

1. Di Jakarta ada sekitar 32 ribu kasus tidak terdeteksi


Jakarta berstatus PSBB (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Nuning menuturkan, dia bersama berusaha menentukan estimasi parameter yang tepat melalui data yang ada, walaupun validitas data kasus terlapor diasumsikan rendah. Oleh sebab itu estimasi parameter juga dilakukan melalui data kematian yang diasumsikan lebih dapat dipercaya dibandingkan data kasus terlaporkan.

Setelah data-data tersebut diolah, hasil penelitian ini menyimpulkan, Provinsi DKI Jakarta menempati urutan pertama sebagai provinsi dengan estimasi kepadatan kasus COVID-19 per 100 ribu orang tertinggi di Indonesia.

"Dengan estimasi kasus yang tidak terdeteksi sebesar 32 ribu (dalam selang kepercayaan 86%) kasus," ujar Nuning melalui siaran pers, Kamis (9/4).

Jumlah kasus ini jauh meninggalkan estimasi nomor dua yang diduduki oleh Provinsi Jawa Barat dengan 8.090 kasus tak terdeteksi dengan selang kepercayaan yang sama.

2. Provinsi Bengkulu diprediksi jadi daerah paling kecil dalam lakukan deteksi corona


Rapid test COVID-19 dengan sistem "drive thru" kepada pengguna kendaraan di Serpong, Tangerang Selatan, Banten (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)

Selanjutnya, untuk estimasi dari jumlah kasus COVID-19 yang terdeteksi berdasarkan pemodelan, Nuning menyebut Provinsi Bengkulu menjadi daerah yang paling kecil kemampuan deteksinya yakni 0.26 persen dari perkiraan total kasus provinsi sebesar 385 kasus.

“Dari pemodelan, kita juga bisa melihat bahwa provinsi-provinsi yang presentase perkiraan kasus tidak terdeteksinya tinggi ada di luar pulau Jawa, seperti Bengkulu, Papua Barat, Sumatera Selatan, dan beberapa provinsi lain," paparnya.

Menurut Nuning, ada dua catatan penting menyangkut estimasi-estimasi yang dilakukan pada kajian ilmiah ini. Pertama, analisa estimasi hanya dilaksanakan pada provinsi-provinsi yang sudah ada kasus kematiannya.

Kedua, hasil estimasi ini hanya valid jika seluruh pasien yang terkonfirmasi COVID-19 dan meninggal dianggap tidak melakukan perjalanan lintas provinsi selama sekurang-kurangnya dua minggu. Asumsi-asumsi yang dipakai juga didasarkan data yang ada sampai tanggal 31 Maret 2020.

3. Angka penyebaran berdasarkan pemodelan juga tinggi


IDN Times/Bagus F

Berikutnya untuk nilai Ro, lanjut Nuning, Tim SimcovID memprediksi dengan menggunakan Extended Kalman Filter (EKF). Dihasilkan bahwa nilai Ro di Indonesia sekarang ada pada kisaran angka 3.3. Ro itu dalam matematika bisa diartikan sebagai jumlah kelahiran kasus baru akibat 1 orang terinfeksi saat masuk ke dalam suatu populasi yang sepenuhnya sehat dan potensial untuk sakit.

Biasanya, ada pihak yang menyebutnya juga sebagai faktor penggandaan atau semacamnya. "Intinya, kita harus mengejar nilai Ro agar kurang dari 1 sehingga kita bisa mengejar keadaan bebas penyakit,“ papar Nuning.

4. Berbagai kebijakan seperti physical distanding dan PSBB bisa menekan penyebaran COVID-19


Instagram.com/JermCohen

Nuning mengatakan, dalam melakukan kajian proyeksi waktu puncak dan jumlah kasus kematian dari skenario kebijakan pemerintah, Tim SimcovID membagi terlebih dahulu jenis skenario yang akan dikaji, yaitu tanpa kebijakan, kebijakan memperketat social/physical distancing, dan karantina wilayah.

Selain itu, tim juga menambahkan faktor waktu penerapan kebijakan dan waktu pelaporan/waktu konfirmasi kasus sebagai faktor kualitatif lainnya. Hasilnya, kajian ilmiah tersebut menyimpulkan bahwa skenario kebijakan karantina wilayah dalam waktu dekat disertai dengan rapid-test adalah skenario terbaik yang dapat dilakukan pemerintah.

"Dari hasil model mereka, kita bisa yakin bahwa fenomena pandemi di Indonesia dapat mereda lebih cepat serta lebih sedikit kasus kematian jika pemerintah menerapkan karantina wilayah, melakukan rapid-test, dan segera memulai kebijakan-kebijakan tersebut," ujarnya.

Dia pun memastikan segala bentuk pekerjaan yang dilakukan dalam membangun model dan menghasilkan analisa hanya didasarkan pada sikap sukarela. Nuning dan tim tidak punya tujuan lain selain ingin mengerjakan apa yang sudah menjadi bagian dari profesi mereka, yaitu menghasilkan publikasi ilmiah. (Idntimes.com).

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar