Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Ironis Ancaman Penjara Bagi Penghina Penguasa di Saat Badai Corona

Rabu, 08/04/2020 09:10 WIB
Desmond J. Mahesa

Desmond J. Mahesa

Jakarta, law-justice.co - Mewabahnya virus corona memaksa sebagian besar rakyat Indonesia harus tinggal dirumah untuk mengurangi potensi penyebarannya.  Meskipun sudah tinggal dirumah, rakyat harus tetap waspada ketika berkegiatan yang berhubungan dengan penggunaan sosial media baik lewat facebook, instagram, twitter atau yang lainnya. Karena salah menggunakan sosial media bisa meringkuk di penjara tanpa disangka sangka. 

Potensi untuk meringkuk di penjara terjadi manakala masyarakat tidak hati hati dalam menyuarakan pendapatnya terkait dengan kinerja Presiden Indonesia dan wakilnya.  Jika tidak hati hati, ucapan, gambar atau perbuatan yang mengandung kritikan kepada Presiden bisa jadi perkara. Sudah banyak contohnya sehingga ancaman penjara ini menjadi momok yang menakutkan rakyat selain ancaman virus corona.

Adalah Tim Direktorat Krimsus Polda Bangka Belitung yang menangkap Juranda Aditya (22) atas kasus dugaan ujaran kebencian (hate speech). Juranda diduga menghina Presiden Joko Widodo (Jokowi) di sosial media."Pelaku ditangkap karena ujaran kebencian di media sosial Facebook," kata Dirkrimsus Polda Babel Kombes Indra Krismayadi saat jumpa pers di Mapolda Babel, Rabu (3/7/2019).

Selain Aditya, seorang pengemudi ojek online (ojol)berinisial MAA ditangkap kepolisian lantaran diduga menghina Presiden Joko Widodo dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Muhammad Luthfi bin Yahya atau Habib Luthfi di sosial media. MAA ditangkap oleh Polres Jakarta Utara."Kasus ujaran kebencian menggunakan sosial media," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus dalam keterangannya, Jumat (3/4, sebagaimana dikutip law-justice.co.

Sebelumnya seorang yang bernama Ali Baharsyah juga ditangkap polisi. Pria yang dikenal di media sosial kerap disebut sebagai pendukung Hizbut Tahrir ini ditangkap Tim Cyber Crime Bareskrim Mabes Polri.Ali dijerat pidana UU ITE karena menghina Jokowi. Ali dilaporkan Muannas Alaidid yang dikenal sebagai pendukung Jokowi.Ali ditangkap pada Sabtu (4/4) bersama 3 temannya di Jakarta Timur. Ali, yang biasa mengkritisi pemerintah dalam postingan di media sosial ini kini ditahan di Bareskrim Polda Metro Jaya.

Nama nama seperti Juranda Aditya, pengemudi ojek online atau Ali Baharsyah hanya deretan kecil dari puluhan orang yang benasib sial karena ditangkap aparat gara gara di tuduh sebagai penghina penguasa. Sebelumnya tentu saja sudah banyak yang bernasib serupa. Berakhir dipenjara atau sekurang kurangnya harus tanda tangan diatas materai sebagai bukti pertobatannya tidak lagi menghina penguasa.

Semakin kesini, nampaknya mereka yang ditangkap polisi karena menghina penguasa akan semakin  banyak saja. Lebih lebih setelah Kapolri Jenderal Idham Azis menerbitkan tiga surat telegram perihal tindakan kepolisian dalama penanganan pandemi COVID-19 atau virus Corona. Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Argo Yuwono membenarkan adanya ketiga surat itu. Telegram pertama, terkait dengan perkara kejahatan siber di sosial media. Surat itu berseri ST/1098/IV/HUK.7.1/2020 dimana kemungkinan masalah yang akan timbul yakni: Penghinaan kepada penguasa, presiden dan pejabat pemerintah lainnya. Masalah lainnya seputar penyebaran berita bohong dan ketahanan data akses internet/ sosial media. "Laksanakan patroli siber untuk monitoring perkembangan situasi serta opini di ruang siber," bunyi surat yang ditandatangani Kabareskrim Polri Irjen Listyo Sigit, atas nama Kapolri Jenderal Idham Aziz itu, Minggu (4/4/2020).

Dengan adanya telegram itu maka aparat kepolisian diperintahkan untuk melakukan patrol cyber guna memantau perkembangan situasi dan opini selama pandemic corona. Sasarannya antara lain adalah para penghina penguasa dan jajararannya. Jika ditemukan, polisi tidak akan segan segan menindaknya.

Hampir bisa dipastikan dengan adanya patrol cyber itu jumlah mereka yang akan ditangkap karena dituduh menghina penguasa akan semakin meningkat jumlahnya sehingga memunculkan teror dan ketakutan masyarakat ketika akan menyuarakan aspirasinya lewat sosial media. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan ditengah isu dimana pemerintah di kabarkan akan membebaskan para narapidana korupsi karena wabah corona.Sampai sampai teman saya dengan setengah bercanda bilang, “mungkin penjara saat ini sengaja di kosongin untuk di isi dengan mereka yang menjadi pengkritik atau penghina penguasa”.

Jas Merah Delik Penghinaan

Jas merah (jangan lupakan sejarah), kalau kita telusuri sejarahnya, embrio delik penghinaan presiden dan wapres sebenarnya berasal dari jaman Belanda yaitu Artikel 111 Nederlands Wetboek van Strafrecht (WvS Nederlands 1881) alias KUHP Belanda. Kandungannya mengatur tentang opzettelijke beleediging den koning of der koningin atau penghinaan yang disengaja untuk raja dan ratu Belanda dengan ancaman hukuman penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 300 gulden.

Sejak 15 Oktober 1915, pasal penghinaan diadopsi KUHP Hindia Belanda (WvS Nederlands Indie) dan mengikat per 1 Januari 1918. Sedikit berbeda dari KUHP Belanda, Pasal 134 KUHP Hindia Belanda menyematkan hukuman penjara bagi penghina raja dan ratu Belanda selama 6 tahun atau denda 300 gulden. Hukuman berlaku pula bagi penghina gubernur jenderal Hindia Belanda selaku wakil penguasa monarki Belanda di Nusantara.Setelah Indonesia merdeka, KUHP Hindia Belanda berubah menjadi KUHP Indonesia. Terminologi raja dan ratu Belanda bersalin rupa menjadi presiden dan wapres Indonesia.

Sejak diberlakukan di Indoneia, delik penghinaan ini telah berhasil mengantarkan cukup banyak orang ke penjara karena dianggap menghina Presiden dan juga wakilnya. Sampai akhirnya muncul gugatan yang disampaikan oleh seorang yang bernama Eggy Sujana. Ia  menilai bahwa delik penghinaan kepada Presiden dan wakilnya tidak sesuai dengan UUD 1945. Didalam  UUD 1945, kebebasan berpendapat merupakan hak asasi setiap warga negara dijamin konstitusi negara. Artinya, pasal demi pasal perihal kebebasan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden telah diatur dengan jelas di  UUD 1945, khususnya Pasal 28, 28E Ayat (2), Pasal 28E Ayat (3).

Dengan adanya gugatan tersebut, maka pada hari Senin tanggal 4 Desember 2016 silam, Mahkamah Konstitusi atau MK melalui Keputusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006.mengabulkan gugatan terkait Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP. Ketiga aturan yang berisi larangan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Salah satu hakim konstitusi, Maruarar Siahaan menyebut dasar pertimbangan dalam mengabulkan gugatan tersebut diantarnya mengacu pada pendapat Profesor Mardjono Reksodiputro dan Profesor JE Sahetapy.

Kedua ahli pidana itu menganggap, bahwa arti penghinaan harus menggunakan pengertian yang berkembang dalam masyarakat tentang Pasal 310-321 KUHP (mutatis mutandis). Dengan mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai sosial dasar dalam masyarakat demokratik yang modern, maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah baik pusat dan daerah, maupun pejabat-pejabat pemerintah.

Selain itu, dalam suatu negara republik, maka kepentingan negara tidak dapat dikaitkan dengan pribadi presiden dan wakil presiden, seperti yang berlaku untuk pribadi raja dalam suatu negara kerajaan. Bahkan, Sahetapy menganggap pasal penghinaan terhadap presiden serta wakil presiden tak relevan dalam era demokrasi dan reformasi lantaran kehilangan raison d’etre-nya.

Meski demikian, dalam putusan yang diketok oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie itu terdapat perbedaan pendapat hakim atau dissenting opinion. Dari sembilan hakim konstitusi, empat diantaranya tak sepakat untuk mengabulkan gugatan tersebut.

Keempat hakim itu adalah I Dewa Gede Palguna, HAS Natabaya, Soedarsono dan Achmad Roestandi. Pasal tersebut pun dinilai masih relevan oleh I Dewa Gede. Meski beleidnya peninggalan pemerintah kolonial Belanda, di mana ketentuan tentang penghinaan terhadap lembaga presiden dan wakil presiden, menurut sejarah penyusunannya adalah bertolak dari maksud untuk melindungi martabat raja.

Alasannya, karena martabat raja tidak membenarkan pribadi raja bertindak sebagai pengadu (aanklager) dan bahwa pribadi raja begitu dekat terkait (verweren) dengan kepentingan negara (staatsbelang), sehingga martabat raja memerlukan perlindungan khusus.

Apapun itu, putusan MK yang membatalkan ketentuan delik penghinaan telah mendapat apresiasi dari Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menilai Indonesia telah mampu melampaui peradaban di negara-negara seperti Jerman, Georgia, Belgia, Swedia, dan Belanda, yang masih menerapkan delik penghinaan terhadap presiden.

Dengan telah dibatalkannya pasal penghinaan kepada Presiden  oleh MK maka seyogyanya ketentuan pasal tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Karena pasal tersebut sudah tidak relevan disebabkan pada zaman demokrasi presiden bukan lambang negara dan jabatan presiden boleh dikritik dan dikritisi kebijakannya. Adanya pasal tersebut justru berpotensi disalahgunakan untuk membungkam lawan politik.

Dikhawatirkan juga  pasal peghinaan presiden bisa digunakan untuk menjerat insan pers yang memuat pemberitaan mengarah kritik kepada suatu kebijakan yang merupakan ide presiden. Sebab, pemberitaan tersebut bisa dianggap mencemarkan dan menghina presiden.

Meskipun telah dibatalkan oleh MK, tapi nyatanya pasal pasal yang berkaitan dengan delik penghinaan itu tetap digunakan oleh aparat yang terkait untuk menjerat mereka mereka yang dianggap melakukan penghinaan kepada presiden dan wakilnya.

Delik Aduan

Terlepas dari kenyataan bahwa sebenarnya delik penghinaan terhadap presiden telah dibatalkan oleh MK, yang perlu dipahami adalah bahwa delik itu adalah delik aduan. Delik aduan merupakan tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Sedangkan delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa terhadap permohonan pemrosesan peristiwa pidana yang termasuk delik aduan hanya dapat ditindaklanjuti oleh yang berwajib (dalam hal ini pemerintah yang diwakili oleh polisi, kejaksaan, dan hakim) apabila didahului dengan pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan, sedangkan permohonan pemrosesan peristiwa pidana yang termasuk delik biasa dapat ditindaklanjuti oleh yang berwajib tanpa harus didahului dengan pengaduan terlebih dahulu.

Contoh peristiwa hukum yang termasuk delik aduan diantaranya adalah Pencemaran nama baik, pencurian uang orang tua oleh anggota keluarga dan menghilangkan barang milik orang lain dan penghinaan terhadap presiden/ wakil presiden.  Sedangkan yang termasuk delik biasa diantaranya adalah pencurian, penipuan dan penggelapan uang.

Sebagai delik aduan maka orang atau penguasa yang merasa dihina martabat dan kehormatannya harus melaporkan sendiri pelakunya kepada pihak yang berwenang menanganinya. Hal ini pernah dilakukan oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang melaporkan sendiri orang yang dianggap menghinanya. SBY saat itu didampingi oleh istrinya melaporkan Zainal Maarif  ke Polda Metro Jaya pada hari minggu tanggal 29 Juli 2007/7/2007 didampingi almarhum Ani Yudhoyono/ istrinya. Laporan ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Polda Metro Jaya diterima oleh  Irjen Pol Adang Firman yang saat itu menjadi Kapolda Metro Jaya.

SBY saat itu melaporkan Zainal Maarif karena tidak terima dituduh telah melakukan pernikahan sebelum ia masuk Akademi Militer (Akmil), sehingga dianggap telah mencemarkan nama baiknya. SBY mengaku tidak pernah menikah, apalagi memiliki anak, sebelum masuk Akmil pada 1970 sebagaimana yang dituduhkan kepadanya.

Berbeda dengan jaman SBY, penghinaan presiden di era Jokowi ini dilaporkan oleh orang lain yang kebanyakan adalah para pendukung atau orang oran dekatnya. Sebagai contoh kasus penghinaan yang dilakukan oleh Ali Baharsyah dilaporkan oleh Ketua Cyber Indonesia, Muannas Alaidid (pendukung Jokowi) , pada Rabu 1 april 2020.  Ali dilaporkan atas dugaan penyebaran kebencian dan hoaks tentang penanganan virus corona.

Penangkapan para tersangka yang dituduh menghina penguasa tanpa laporan langsung dari yang merasa menjadi korbannya ini memaksa banyak orang buka suara. Budayawan Sudjiwo Tedjo misalnya, mengungkapkan keresahannya mengenai langkah Polri yang menindak hukum para penghina penguasa.Menurut Tedjo, aturan menindak para penghina pemimpin tanpa delik aduan dari pihak yang merasa terhina ini justru berpotensi menimbulkan kebencian yang lebih mendalam kepada penguasa.

"Yth, Pak Kapolri Jend Pol Idham Azis, jika betul Polri akan nindak para penghina pemimpin tanpa delik aduan yang merasa dihina, izinkan saya nguda rasa via [THREAD] ini bahwa salah langkah dikit saja, aturan ini malah kontra produktif berupa cibiran, tidak di mulut/medsos, tapi di hati," tulis Tedjo melalui Twitter-nya pada Senin (6/4/2020) sebagaimana dikutip law-justice.co.

Tanggapan juga disampaikan oleh  Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Peneliti PSHK Agil Oktaryal menyayangkan penangkapan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap mereka yang disangka menjadi penghina penguasa.  Saat ini keadaan darurat kesehatan bukan darurat sipil. “Polisi tidak bisa seenaknya memutarbalikan pasal yang semula delik aduan menjadi delik laporan,” katanya sebagaimana dikutip tempo.co Senin, 6 April 2020.

Agil mengatakan Pasal 207 KUHP adalah delik aduan. Artinya, pihak yang merasa dihina harus melaporkan sendiri aduannya ke kepolisian.Polisi baru memiliki hak subyektif untuk menggunakan pasal itu, bila pemerintah menetapkan kondisi sekarang sebagai darurat sipil. “Jadi jangan istimewakan presiden atau pejabat dalam kondisi saat ini,” katanya.

Di sisi lain, masyarakat berhak mengkritik pemerintah dalam upaya penanggulangan virus Corona. Terlebih, apabila pemerintah tak mampu memenuhi kebutuhan warganya. “Tak perlu melakukan pengekangan yang begitu besar,” kata dia.

Hakekat Sebuah Hinaan

Terlepas dari masalah delik penghinaan yang sebenarnya merupakan delik aduan, pada hakekatnya sebagai seorang pemimpin harus arif menyikapi hinaan yang ditujukan kepadanya. Tidak elok rasanya kalau ditengah badai corona, penguasa lebih sibuk mengurusi harga diri dan martabatnya. Terkesan alergi di kritik atau dihina pada hal semua itu berkaitan dengan kinerjanya.

Sekiranya penguasa Indonesia mau belajar pada  pemimpin-pemimpin besar dunia tentulah akan memiliki kearifan dalam menyikapi hinaan yang ditujukan kepadanya. Pada zaman Nabi Muhammad SAW bahkan tidak hanya disakiti tapi juga  dihina hina. Namun beliau tidak pernah memikirkan itu semua.

Ketika umatnya ada yang melempari beliau dengan kotoran atau batu sekalipun hingga membuat beliau berdarah-darah, hal itu tidak lantas membuatnya ingin dikasihani. Mengapa? Karena niatan tulus beliau untuk memberikan keteladanan akhlak serta akidah kepada umatnya.

Beliau senantiasa berprasangka baik kepada umatnya. Apa yang mereka lakukan, penghinaan, kekerasan, dan semua perlakuan buruk itu semata karena ketidaktahuan mereka. Mereka belum memahami indahnya ajaran yang dibawa Sang Rasul sebagai utusanNya.

Jikalau pemimpin umat seperti Nabi Muhammad SAW  saja tidak pernah mengeluhkan penghinaan yang beliau terima, lantas mengapa presiden kita tercinta sampai harus berharap untuk tidak mendapatkan penghinaan atas kinerja sebagai penguasa? Beliau adalah pemimpin bangsa yang menggenggam nasib seluruh warga negara Indonesia.

Seharusnya tidak menjadi masalah ketika ada sekelompok orang yang menghina beliau selama tugas dan tanggung jawab yang diembannya ditunaikan secara maksimal, tidak ingkar janji atau dusta. Toh, kalimat penghinaan atau kata-kata menyudutkan samasekali tidak mengurangi sesuatu apapun dari dirinya kalau memang bagus kinerjanya. Penghinaan macam apapun, selama itu memang tidak benar pada akhirnya akan lenyap dengan sendirinya. Jadi presiden tidak perlu repot-repot "mengemis" kepada warga negaranya supaya tidak dihina-hina

Terhina atau tidaknya pribadi seseorang itu bukan dari seberapa banyak caci maki yang diterimanya. Akan tetapi bisa tidaknya ia menepati janji yang ia sampaikan selama kampanye atau waktu ingin mendapatkan suara dari rakyatnya. Tanpa dihinapun, ketika janji yang dulu sempat diumbar lantas dilanggar maka secara otomatis kehinaan itu menjadi bagian dari dirinya. Jadi tidak ada asap kalau tidak ada api, tidak ada hinaan kalau tidak ada pemicunya.

Siapapun diri kita, pemimpin negara atau pemimpin rumah tangga mesti memegang teguh janji yang pernah  diutarakannya. Jangan takut dihina terlebih mengemis untuk tidak dihina. Cukup bagi kita menjaga integritas diri melalui penepatan setiap janji, atau pembuktian setiap kata-kata. Pemimpin itu disegani karena karakternya, karena integritasnya.

Rakyat, umat, atau orang-orang yang menjadi tanggung jawab pemimpin bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan penghinaannya. Selama mereka dilayani dengan baik dan diberikan keteladanan luhur seorang pemimpin, maka tanpa diminta sekalipun mereka tidak akan pernah menghina sang pemimpin. Malah justru sang pemimpin akan dimuliakannya. Bukankah ada pepatah yang mengatakan : raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah ?

Selepas baginda Nabi Muhammad SAW wafat, sahabat Abu Bakar As Shiddiq datang menghampiri istri nabi yang juga putri beliau, Aisyah RA. "Duhai putriku, amalan apakah yang selama hidup dilakukan Rasullullah tapi belum pernah ayah lakukan?". Sayyidah Aisyah RA menjawab, "Tidak ada satu pun amal yang dilakukan Rasullullah yang tidak ayah lakukan kecuali satu hal. Baginda nabi setiap hari selalu membawakan makan seorang buta miskin di pasar, meskipun setiap hari itu pula si buta miskin itu menghinanya."

Sahabat Abu Bakar lantas melakukan apa yang biasanya dilakukan Rasullullah, yaitu membawakan makan kepada si buta miskin di pasar. Beliau menyuapi orang itu sebagaimana yang baginda nabi lakukan. Namun, saat suapan pertama dilakukan, si buta miskin itu berkata ,"Kamu bukan orang yang biasa menyuapiku.", katanya

Tapi sahabat Abu Bakar mencoba meyakinkan, "Tidak. Aku adalah orang yang biasanya." Si miskin kemudian memberikan penjelasan bahwa orang yang biasa menyuapinya itu senantiasa mengunyah lembut makanannya terlebih dahulu sebelum disuapkan kepada dirinya. Sontak saat itu Sahabat Abu Bakar tersungkur menangis mendengarnya.

Baginda nabi adalah sosok pemimpin yang meskipun dihina sedemikian rupa malah justru berlaku demikian mulia. Beliau tidak mengeluh apalagi mengemis agar tidak dihina. Integritas akhlak beliaulah yang kemudian memberikan bukti nyata atas seperti apa pemimpin itu seharusnya bersikap pada umat atau rakyatnya.

Selain ajaran nabi, para  leluhur Nusantara pernah memberi wejangan tentang hinaan dan semacamnya yang sebaiknya ditempatkan di bokor kencana (emas) sedangkan pujian malah harus dibuang ke paidon (tempat meludah).Mungkin maksud leluhur agar manusia, terutama pemimpin selalu eling (ingat, dzikir) dan waspada. Bahkan para pemimpin yang udah baik pun, tetap perlu meletakkan hinaan padanya di bokor kencana, dan pujian padanya di tempat meludah, agar dia tetap dapat mengontrol dirinya. Pempimpin yang terhormat tak perlu takut merasa terhina karena akan selalu ada masyarakat yang bersimpati jika ada yang menghinanya.

Berkaca pada fenomena tersebut diatas, kiranya presiden Indonesia yang sekarang berkuasa perlu lebih menyadari posisinya. Apalagi dahulu ketika kampanye beliau pernah berjanji untuk tidak memperkarakan para pengkritiknya. Ada sebuah cuplikan video yang menggambarkan saat Jokowi berdiskusi dengan para blogger atau netizen di salah satu stasiun televisi nasional sebelum dirinya resmi terpilih sebagai presiden Indonesia.

Pada kesempatan itu salah satu netizen melontarkan pertanyaan kecemasan akan kehilangan kebebasan dalam berekspresi dan aspirasi terhadap pemerintahan ke depannya."Saya sebagai blogger politik itu sangat takut sama pemerintah yang bisa represif oleh blogger-blogger yang berani menyuarakan pendapatnya mengenai pemerintah. Nah saya ingin tahu bagaimana bapak bisa membuat kita merasa aman kalau bapak nanti menjadi presiden dan bagaimana bapak menanggapi masyarakat para netizen itu yang mengkritisi bapak, karena saya yakin bapak nanti tidak sempurna," ujarnya.

Pertanyaan ini dijawab dengan lugas oleh Jokowi dengan janji dirinya tidak akan marah jika dikritik sekeras apapun apabila dirinya terpilih sebagai presiden dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2015 yang mungkin akan dimenanginya.

"Tapi kalau hanya berkaitan dengan saling mengkritik atau saling memberikan kritikan yang pedas, saya kira tidak ada masalah. Saya pun juga biasa ke masyarakat juga ada yang suka teriak-teriak seperti itu ya biasa saja. Apalagi di sosial media tidak ada masalah buat saya. Mau ngomong sekasar apapun kepada saya, enggak akan marah saya. Saya akan pakai sebagai koreksi," jawab Jokowi dengan lugasnya.

Kalau kemudian para pengkritik penguasa itu sekarang banyak yang menjadi pesakitan dan dikirim ke penjara, lalu bagaimana dengan komitmen dan janjiya ketika sedang berkampanye untuk menangguk suara ?

Pasal Penghinaan di RUU KUHP

UUD 1945 mengatakan bahwa tiap warganegara berhak untuk berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat, sejauh tidak bertentangan dengan undang-undang. Dengan demikian, rakyat berhak untuk mengritik pemerintah, termasuk para wakil rakyat. Sebab, itu merupakan hal yang konstitusional. Disamping itu, pemerintah dan wakil rakyat digaji memakai uang negara yang berasal dari rakyatnya.

Timbulnya sebuah hinaan pasti ada sebab yang melatarbelakanginya. Kalau suatu pemerintahan berjalan amanah menjalankan semua yang menjadi kewajibannya maka tidak mungkin rasanya akan muncul suatu hinaan kepada pemimpinnya. Kalaupun muncul pasti komponen rakyat lainya akan membela Presiden atau pemimpin yang dihinakannya. Jadi pemimpin yang adil dan amanah tidak akan takut dan kuatir akan dihina oleh rakyatnya.

Karena itulah saya termasuk orang yang tidak setuju pasal penghinaan masuk ke dalam rancangan RUU KUHP yang sebentar lagi mungkin akan disahkan berlakunya. Selain karena alasan filosofis, pasal penghinaan itu telah dibatalkan oleh MK dan seharusnya kita semua harus tunduk dan mematuhinya.

Selain itu  pasal penghinaan presiden dan wapres itu merupakan peninggalan Belanda yang ditujukan untuk penghina kepada pemimpin kolonial, seperti Ratu Belanda dan Gubernur Jenderal Belanda. Pasal itu digunakan bukan di Belanda, namun di negara-negara jajahan untuk melindungi kekuasaan dari rakyat terjajah yang melawannya. Kalau sudah tahu seperti ini sejarahnya lalu buat  apa urgensinya mempertahankan pasal yang menjadi warisan kolonial Belanda pada hal kita mempunyai UUD 1945 yang memberikan kebebasan warga negara untuk menyampaikan aspirasinya ?

Menurut  catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), pasal penghinaan kepada Presiden dan wakil presiden termasuk pasal bermasalah dalam RUU KUHP dan berbahaya. Namun seperti kita ketahui bersama, Pemerintah dan DPR telah  menyepakati Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat pengambilan keputusan tingkat pertama. Dengan demikian, RUU KUHP tinggal disahkan dalam rapat paripurna DPR yang hingga hari ini belum kelar realisasinya.

Dalam revisi KUHP saat ini, aturan penghinaan itu masuk dalam tiga pasal yakni Pasal 218, 219, dan 220. Pasal 218 mengatur soal ketentuan pidana bagi orang yang menghina presiden dan wapres dengan pidana tiga hingga enam tahun penjara. Pasal 219 ditujukan bagi pihak yang menyiarkan atau menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden dengan pidana empat hingga enam tahun penjara. Adapun Pasal 220 memastikan aturan ini merupakan delik aduan yang mensyaratkan keharusan bagi yang dihina untuk melaporkan sendiri penghinanya.

Dengan tetap masuknya pasal penghinaan penguasa ke RUU KUHP yang baru pada hal ketentuan tersebut sebenarnya telah dibatalkan oleh MK, maka yang tersisa sekarang hanya sebuah tanda tanya. Tinggal kini masyarakat bereaksi menyikapi itu semua lewat diskusi, seminar atau unjuk rasa. Namun nasib RUU KUHP barangkali akan sama dengan RUU KPK yang tetap disahkan meskipun mendapatkan perlawanan luar biasa dari rakyat yang menentangnya. Kalau sudah begini kondisinya, siapa yang patut menanggung dosanya ?. Siapa ?

 

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar