Perbolehkan Mudik, Ahli Epidemiologi: Pak Jokowi, 200.000 Bisa Tewas

Selasa, 07/04/2020 17:01 WIB
Sejumlah kendaraan pemudik memadati pintu gerbang tol Cipali, Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, 28 Juni 2017. Memasuki H+3 Lebaran, arus balik di tol Cipali terpantau padat. ANTARA/Dedhez Anggara

Sejumlah kendaraan pemudik memadati pintu gerbang tol Cipali, Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, 28 Juni 2017. Memasuki H+3 Lebaran, arus balik di tol Cipali terpantau padat. ANTARA/Dedhez Anggara

Jakarta, law-justice.co - Keputusan pemerintah Indonesia memperbolehkan mudik mendapat kritikan tajam dari ahli epidemiologi karena berpotensi menyebabkan penyebaran virus corona menjadi tidak akan terkendali dan berpotensi menewaskan ratusan ribu korban orang.

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) menegaskan keputusan pemerintah itu.

Dalam Pasal 13 ayat 10 dijelaskan bahwa moda transportasi tetap beroperasi dengan beberapa pembatasan seperti moda transportasi penumpang baik umum atau pribadi tetap memperhatikan jumlah penumpang dan menjaga jarak antar penumpang.

Untuk moda transportasi barang perlu memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.

Setelah Permenkes itu terbit, pemerintah kini tengah menyusun buku panduan prosedur standar operasional untuk implementasi jaga jarak fisik (physical distancing) bagi penumpang.

Dokter epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengecam keputusan pemerintah tersebut.

"Pemerintah tidak menyadari begitu dahsyatnya daya penularan Covid-19 ini. Apakah kita ikhlas 200.000 rakyat Indonesia mati sia-sia bahkan bisa lebih. Prediksi saya akan mencapai 200.000 kalau kita terus seperti ini. Kita tidak memikirkan nyawa manusia, hanya dipikirkan ekonomi, ekonomi dan ekonomi," kata Pandu kepada BBC News Indonesia.

Mengapa mudik dapat memperparah penyebaran dan berpotensi menyebabkan ratusan ribu orang meninggal?

Menurut Pandu karena banyak orang-orang di daerah merah (red zone) seperti Jakarta dan sekitarnya yang terinfeksi Covid-19 tidak menunjukan gejala atau asimtomatik.

"Disangkanya hanya dengan memeriksa suhu sudah bisa mendeteksi, sebagian orang itu tidak demam tapi di tenggorokan, saluran nafas atasnya banyak virus. Nah orang-orang asimtomatik ini yang menularkan ke seluruh dunia.

"Mereka yang mudik ini pulang ke kampung dan tidak tahu membawa virus karena tidak dites, lalu ketemu orang tua dan sanak saudara dan menginfeksi mereka. Dari daerah yang tidak ada virus lalu menjadi terpapar dan terjadi perluasan penyebaran infeksi," kata Pandu.

Setelah terjadi penyebaran, faktor lain yang memperparah kata Pandu adalah daya tampung dan fasilitas rumah sakit di daerah yang sangat terbatas.

"Di Jakarta saja kewalahan, apalagi di daerah terpencil? Kapasitas rumah sakit di daerah memang berapa, kalau ratusan hingga ribuan memang bisa tampung? Mikir ke sana tidak pemerintah? Jadi kuncinya adalah menghentikan perluasan dengan melarang mobilisasi, titik."

"Akibatnya menjadi tidak terkendali lagi, kita akan lihat banyak yang meninggal akibat penyakit Covid atau mereka yang menderita sakit berat dan terlantar akibat Covid."

Senada dengan Pandu, Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Klinik dari Universitas Indonesia, Amin Soebandrio, juga menyebut mudik akan meningkatkan secara tajam orang yang terpapar virus corona.

"Hitungan kasar, jika satu orang menularkan ke dua hingga empat orang, dan ada seribu yang membawa virus ke daerahnya. Maka satu hingga dua minggu ke depan akan ada 2.000-4.000 kasus baru. Lalu mereka menularkan lagi ke dua hingga empat orang, lalu lagi dan lagi. Bisa kita bayangkan pertambahan jumlah kasus? Meningkat tajam," ujarnya.

Menurut Amin, mudik merupakan cara ampuh dan cepat menyebarkan virus corona hingga ke desa dan kampung di daerah.

Apa strategi pemerintah?

Dalam rangka meminimalisir penyebaran Covid-19 bagi masyarakat yang tetap melaksanakan mudik, pemerintah mengeluarkan beberapa strategi jaga jarak fisik.

Pertama, menurut Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Ridwan Djamaluddin, pemerintah akan mengurangi kapasitas penumpang baik pengguna kendaraan umum maupun kendaraan pribadi hingga 50%, misalnya dari berkapasitas 50 kursi menjadi 25 kursi.

Kedua, pemerintah akan menaikkan harga tiket transportasi umum.

Ketiga, untuk pengguna sepeda motor dilarang untuk membawa penumpang.

Keempat, setiap orang yang mudik harus melakukan isolasi mandiri selama 14 hari di kampungnya lalu menjalani isolasi 14 hari lagi saat kembali ke kota.

"Dengan langkah-langkah ini, jumlah orang yang kembali ke kampung halaman mereka tahun ini diperkirakan rendah. Semua tindakan ini akan diberlakukan secara ketat oleh polisi lalu lintas dan Kementerian Perhubungan," kata Ridwan.

Berdasarkan hasil survei badan penelitian dan pengembangan Kementerian Perhubungan terhadap hampir 43 ribu responden di wilayah Jabodetabek tentang keinginan mereka untuk mudik pada 2020 menunjukan terdapat 56% yang menyatakan tidak akan mudik, lalu yang belum mau mudik 37%, dan yang ingin mudik 7%.

"Tapi yang 37% belum mudik itu masih bisa berubah. Itu salah satu parameter. Namun untuk 7% saja dari penduduk Jabodetabek sekitar 29 juta itu jumlah besar," kata Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Polana Banguningsih Pramesti.

Permenkes adalah `strategi tidak bayar kompensasi`
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo menilai Permenkes yang baru diterbitkan tidak memiliki aturan yang baru yang dapat diterapkanarena semua sudah diterapkan oleh Jakarta.

Sebaliknya, kata Syafrin, Permenkes hanya sebagai penegas bahwa daerah-daerah tidak boleh melakukan pelarangan operasi bagi transportasi umum sesuai Pasal 13.

"Sekarang dengan terbit Permenkes ini maka operator angkutan dipaksa operasional, tapi, tidak ada kompensasi buat mereka. Itu sama saja dengan silahkan beroperasi seperti biasa, kemudian tidak ada kompensasi dari kami, dan penumpang tidak ada," kata Syafrin.

Gejala virus corona

Padahal menurut Syafrin kondisi sekarang membuat operator angkutan umum menjerit. Sebagai contoh, penumpang di Terminal Kalideres, Jakarta Barat, total penumpan kurang dari 150 orang dalam sehari.

Artinya, kata Syafrin, banyak bus-bus kosong yang harus beroperasi karena terikat dengan jadwal.

"Saya harap setelah terbit Permenkes disusul aturan dari Permenhub yang lebih teknis sehingga angkutan umum bisa juga bertahan. Di saat inilah pemerintah harus hadir," katanya.

Sementara itu, Organisasi Angkutan Darat atau Organda mengungkapkan kondisi saat ini menyebabkan penurunan pendapatan angkutan transportasi dari 75% hingga 100%.

"Akibatnya seluruh awak kami yang langsung berkaitan dengan operasional karena prinsipnya no work no pay, mereka sungguh-sungguh kasihan. Lalu kewajiban bayar pajak, cicilan dan lainnya kami tidak bisa bayar akibat penurunan omset," kata Sekjen DPP Organda Ateng Aryono.

Untuk itu Ateng meminta pemerintah untuk memberikan kompensasi bagi para awak operasional transportasi dan juga penundaan pembayaran cicilan hingga kondisi kembali normal.

Belajar dari China saat `Hari Raya Imlek`

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan tajam penyebaran virus corona di China beberapa waktu lalu karena tidak adanya larangan mobilisasi massa saat perayaan Imlek.

Pemerintah China tidak melarang warganya melakukan mobilisasi besar-besaran dari kota atau luar negeri untuk pulang ke kampung halaman.

Akibatnya terdapat puluhan kota di China yang terpapar virus corona dan penyebaran virus corona sulit ditekan dan dikontrol dan menyebabkan lebih dari 3.000 orang meninggal dunia.

Menurut dokter Pandu, Indonesia harus belajar dari pengalaman terdahulu negara lain agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Untuk itu, Pandu meminta pemerintah untuk mengeluarkan keputusan tegas yaitu melarang mudik demi keselamatan masyarakat luas. Jika ada yang mudik, maka diberikan sanksi tegas.

Hingga Minggu, 5 April 2020, terdapat lebih dari 2.273 pasien Covid di Indonesia, dengan jumlah korban meninggal 198 orang, 1.911 dirawat dan 164 pasien sembuh.

Sementara itu secara global, terdapat 1.224.374 kasus Covid-19 dengan total kematian 66.503 orang. (detikcom)

 

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar