Membedah Perpu 23/1959 Alat Perang Lawan Corona, Negara Diuntungkan

Sabtu, 04/04/2020 06:46 WIB
karikatur Bang Japrak soal Darurat Sipil. (LJ)

karikatur Bang Japrak soal Darurat Sipil. (LJ)

Jakarta, law-justice.co - Babak baru perlawanan terhadap virus corona akhirnya dimulai dengan munculnya pengumuman yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dari Istana Negara, yang telah menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sebagai solusinya.

Bukan hanya sekadar meminta pelaksanaaan PSBB saja, Jokowi juga meminta agar PSBB ini disertai pula dengan kebijakan darurat sipil. "Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi sehingga tadi sudah saya sampaikan, bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Jokowi, di Istana Bogor, Senin (30/3/2020).

Munculnya kebijakan PSBB yang disertai darurat sipil itu memunculkan banyak kritik yang mengidindikasikan ketidaksetujuan masyarakat terhadap kebijakan yang diambil oleh Jokowi selaku presiden Indonesia. Bahkan  Ahli hukum dari UGM Yogyakarta, Oce Madril, mengaku tidak habis pikir atas rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerapkan darurat sipil sebagai langkah terakhir mengatasi penyebaran Corona. Padahal, Jokowi menandatangani UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai payung hukum menanggulangi wabah penyakit yang sekarang sedang merajalela.

"Entah mengapa Perppu 1959 yang dirujuk. Padahal ada regulasi UU Penanggulangan Bencana tahun 2007 dan UU yang dibuat oleh Presiden Jokowi, yaitu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan," kata Oce kepada pers, Selasa (31/3/2020).

Sejarah Perpu 23/1959

Pada 29 Maret 2020 yang lalu media massa ramai memberitakan, bahwa dalam menghadapi pandemik yang disebabkan oleh virus corona (Covid-19), Presiden akan menggunakan Perppu Tentang Darurat Sipil untuk penegakan hukumnya. Perpu yang dimaksud tentunya adalah merujuk kepada Perppu No 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Mengapa kemudian sampai muncul wacana untuk menggunakan Perpu 23/1959 sebagai alternative untuk penegakan hukumnya, hal ini inampaknya Presiden mendapatkan masukan dari para pembantu dan penasehatnya. Namun apakah presiden juga diberitahu oleh orang disekelilingnya tersebut mengenai latar belakang sejarah diterbitkannya Perppu No 23 tahun 1959?. Karena dari mimik dan tampilan Presiden ketika mengumumkan untuk menggunakan Perpu 23/1959 nampak kelihatan gagap dan terkesan kurang menguasai substansinya.

Jika menilik latar belakang sejarah terbitnya Perpu 23/1959 maka Perpu ini tidak mengedepankan penyebutan istilah Darurat Sipil sebagaimana yang sekarang banyak di kutip oleh media.   Judul lengkapnya adalah PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG PENCABUTAN UU NO 74 TAHUN 1957 (LEMBARAN NEGARA NO 160) DAN MENETAPKAN KEADAAN BAHAYA. Tentang Darurat Sipil hanya bagian dari ketentuan yang diatur didalamnya.

Oleh karena itu penting sekali bagi para penasehat dan pembantu Presiden untuk menyampaikan latar belakang atau sejarah pembentukan suatu peraturan termasuk Perpu 23/1959 tentang keadaan bahaya. Agar kiranya tidak tergesa gesa memberikan masukan kepada Presiden dalam membuat suatu keputusan yang berdampak bagi perjalanan nasib bangsa ditengah merebaknya virus corona.

Pentingnya pengetahuan sejarah Perpu bagi  para pembantu dan penasihat presiden, agar tidak sembarangan menggunakan produk Undang-Undang dari masa lalu yang  begitu luas implikasinya. Tanpa mengetahui sejarah dan rangkaian peristiwa-peristiwa yang mendasari diterbitkannya Perppu tersebut akan sangat berbahaya.

Perintah untuk mengetahui sejarah dan latar belakang suatu peraturan ini juga ditekankan dalam Penjelasan UUD 45 Asli disebut antara lain:“Undang-undang Dasar Negara manapun tidak dapat dimengerti, kalau hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-undang Dasar dari suatu Negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui, keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin. Dengan demikian kita dapat mengerti apa maksudnya Undang-undang yang kita pelajari aliran pikiran apa yang menjadi dasar Undang-undang itu.”

Penekanan tersebut tentunya juga berlaku untuk semua UU dan produk hukum, yaitu harus mengetahui latar belakang sejarah diterbitkannya Undang-undang, Peraturan, Perppu, dll. Harus diketahui, dalam kaitan apa UU atau Perppu tersebut diterbitkan pada masanya.

Terkait dengan Perpu 23/1959, maka hal pertama yang perlu diketahui adalah, Perppu No 23 Tahun 1959 diterbitkan tanggal 16 Desember 1959, setelah Indonesia kembali ke UUD 45 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Perppu ini diterbitkan untuk menggantikan UU No 74 Tahun 1957.Undang-Undang No 74 Tahun 1957 itu sendiri diterbitkan untuk mencabut REGELING OP DE STAAT VAN OORLOG EN VAN BELEG (STAATSBLAD 1939 NO. 582) dan UNDANG-UNDANG NO 6 TAHUN 1946 TENTANG KEADAAN BAHAYA.

Regeling op de staat van oorlog en van beleg (Peraturan Negara dalam keadaan perang dan pengepungan), dikenal sebagai SOB, adalah UU No 32 Tahun 1939 warisan dari pemerintah Nederlands Indie (Hindia-Belanda). Undang-Undang ini diberlakukan di Indonesia oleh Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun 1950. Untuk itu, perlu diketahui latar belakang diterbitkannya UU No 32 tahun 1939 oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Untuk mengetahui latar belakang diterbitkannya UU No 32 tahun 1939 oleh pemerintah Hindia-Belanda, kita harus mengetahui situasi yang terjadi Tahun 1939 Di Nederlands Indie (Hindia-Belanda). Pada saat itu Perang Dunia II di Eropa pecah pada 1 September 1939, yang diawali dengan penyerbuan tentara Jerman ke Polandia. Di Asia Timur dan Asia Tenggara, negara-negara Eropa yang merupakan penjajah, bersiap-siap menghadapi agresi militer Jepang, yang kemudian dilancarkan pada 7 Desember 1941. Perang Pasifik diawali dengan penyerangan terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, Amerika.

Setelah pecah Perang Dunia II di Eropa dan menghadapi agresi militer Jepang, pemerintah Hindia-Belanda menerbitkan Undang-Undang No 32 tahun 1939 yang ditandatangani pada 13 September tahun 1939 oleh Gubernur Jenderal Nederlands Indie ke-64, dan yang terakhir, 1936-1942, Jonkheer Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starckenborgh-Stachouwer.

Ternyata Belanda dan sekutunya yang tergabung dalam Abdacom (American, British, Dutch, Australian Command) tidak sanggup mengadang agresi militer Jepang. Belanda resmi menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 9 Maret 1942. Negara Hindia-Belanda hilang. Penjajahan Belanda di Asia tenggara resmi berakhir.

Pada 15 Agustus 1945 Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, namun dokumen menyerah tanpa syarat baru ditandatangani di atas Kapal Perang Amerika Serikat pada 2 September 1945.Pada 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan dan mendirikan Negara Bangsa (Nation State) Indonesia. Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia (sampai sekarang, April 2020).

Dengan bantuan 3 Divisi tentara Inggris dan 2 Divisi tentara Australia, Belanda berhasil masuk ke wilayah Republik Indonesia. Tentara Inggris membantu Belanda di Sumatera dan Jawa, sedangkan tentara Australia ditugaskan untuk “membersihkan“ kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia di wilayah Indonesia bagian timur, dari mulai Kalimantan, Sulawesi, Bali sampai ke Papua.

Pada 15 Juli 1946 Australia “menyerahkan” seluruh wilayah Indonesia bagian timur kepada Belanda. Kemudian dengan politik Divide et Impera, dan melancarkan Agresi Militer I dan II, Belanda berhasil menduduki sebagian besar wilayah Republik Indonesia.

Kemudian, 6 Juni 1946, Presiden Soekarno dan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin menandatangani UU No 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya. Dengan demikian, UU No 6 tahun 1946 ini diterbitkan dalam situasi perang mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda dan sekutu serta antek-anteknya.

Selanjutnya setelah Tahun 1950, Sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), pada 27 Desember 1949 dibentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari 16 Negara Bagian. Di antaranya adalah Republik Indonesia dengan Ibukota Yogyakarta.

Sejak berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS), pihak Belanda dan kakitangannya terus berusaha memecah-belah Indonesia, dalam hal ini RIS. Dimulai dengan percobaan Kudeta APRA-nya Westerling pada 23 Januari 1950, di mana 90 tentara Indonesia yang tidak bersenjata dari Divisi Siliwangi dibunuh oleh anak buah Westerling.

Kemudian menyusul pemberontakan Republik Maluku Selatan pada 25 April 1950. Pemberontakan ini berlangsung selama lebih dari 15 tahun. RMS dapat ditumpas tahun 1966. Kemudian ada pemberontakan Andi Azis, mantan tentara KNIL di Sulawesi Selatan.Selain itu timbul gerakan-gerakan bersenjata DI/TII di Jawa Barat, Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan. Gerakan DI/TII berakhir awal 1960-an.

Pada 1957 timbul gerakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi. Gerakan-gerakan yang menimbulkan konflik bersenjata dengan pemerintah Republik Indonsia ini, baru berakhir awal 1960-an.

Juga pada 1957 timbul konflik antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda. Pemerintah Indonesia secara sepihak membatalkan hasil KMB dan menghilangkan Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh Ratu Belanda.

Dalam rangka merebut Provinsi Irian Barat dari kekuasaan Belanda, Indonesia melancarkan konfrontasi terhadap Belanda, antara lain melakukan nasionalisasi semua perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia.

Tepat 17 Agustus 1960, pemerintah Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan Belanda. Semua warga negara Belanda pulang ke negara mereka. Perang Indonesia melawan Belanda tanpa pernyataan perang dimulai. Dapat diperkirakan, pemerintah Belanda menyusupkan agen-agen/mata-matanya ke pihak Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya Undang-Undang Keamanan Nasional.

Untuk menghadapi semua permasalahan tersebut, yaitu perang, pemberontakan, konflik dan gerakan-gerakan bersenjata, sampai 1957 Pemerintah Indonesia masih menggunakan UU SOB, yaitu UU Hindia-Belanda No 32 tahun 1939 dan dan UU No 6 tahun 1946.

Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya persiapan konfrontasi melawan Belanda, mengatasi pemberontakan, konflik dan gerakan bersenjata, Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang No 74 Tahun 1957 untuk mengganti UU No 32 warisan Belanda dan UU No 6 Tahun 1946.

Sejak 1960-an, semua pemberontakan telah berakhir. RMS dan DI/TII sudah ditumpas. PRRI dan Permesta telah berakhir. Konfrontasi dengan Belanda telah berakhir, Irian barat berhasil direbut oleh Indonesia.Dengan demikian, seharusnya UU No 74 Tahun 1959 sudah tidak diperlukan lagi, dan dapat diganti dengan Undang-Undang Keamanan Nasional.

Sebagaimana dikemukakan diatas, UU No 74 Tahun 1959 kemudian diganti dengan  Perppu No 23 Tahun 1959 diterbitkan tanggal 16 Desember 1959, setelah Indonesia kembali ke UUD 45 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Hal ini juga ditegaskan pada bagian Menimbang di Perpu ini yang menyatakan : bahwa berhubung dengan berlakunya kembali Undang-undang Dasar 1945 perlu ditetapkan peraturan Negara baru tentang keadaan bahaya untuk mengganti Undang-undang Keadaan bahaya 1957. Bahwa karena keadaan yang memaksa, peraturan baru tentang keadaan bahaya itu perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; Mengingat: Pasal 12 Undang-undang Dasar; Mengingat pula: Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Dasar;

Sejarah tata negara Indonesia mencatat,  kondisi darurat seperti ini sebelumnya pernah diterapkan. Namun, belum ada satupun yang penetapannya disebabkan karena wabah penyakit macam corona ini.Adalah; Presiden ke-5 Republik Indonesia Megawati Sukarnoputri yang menerapkan status darurat sipil di Aceh, menggantikan status darurat militer yang telah diterapkan sebelumnya.

Perubahan status itu diumumkan Presiden Megawati di Istana Negara pada Selasa 18 Mei 2004, tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) nomor 43 Tahun 2004. Kondisi-kondisi ini diterapkan seiring konflik dan pemberontakan oleh kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di bumi Serambi Mekah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ketika itu berkuasa menggantikan Megawati kemudian memperpanjang masa darurat sipil itu. Ini tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 2 Tahun 2004 tetang Perpanjangan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Sipil di Nangroe Aceh Darussalam (NAD).Sebelumnya, status darurat sipil itu juga sempat diterapkan oleh Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika pecah konflik etnis politis bernuansa agama di Maluku, khususnya Ambon dan Halmahera.

Konflik pecah sesaat Presiden Soeharto lengser, berbagai huru-hara tahun 1998, krisis ekonomi dan menyebabkan ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia. konflik itu berkepanjangan berujung tindak kekerasan antarwarga.Darurat Sipil di Maluku dan Maluku Utara, merujuk Kepres nomor 88 Tahun 2000 ini berjalan sekira 3 tahun.  Megawati sendiri, pada 15 September 2003 mencabut status darurat sipil melalui Kepres nomor 71 Tahun 2003. Pencabutan status darurat sipil ini diambil melihat kondisi di sana yang mulai stabil.

Jika kita menelusuri dari aspek sejarahnya tersebut, maka  menjadi pertanyaan besar tentunya, apakah Perppu yang berlatarbelakang perang, pemberontakan, konflik besenjata tersebut layak diterapkan dalam kondisi damai untuk menangani pandemik penyakit yang ditimbulkan oleh virus corona (Covid-19)?. Tentu akan lebih bijak, untuk menangani masalah yang sehubungan dengan kesehatan rakyat Indonesia, pemerintah menggunakan UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 7 Agustus 2018 yang lalu.

Substansi Perpu 23/1959 dan Implikasi Jika di Berlakukan

Perpu Nomor 23/1959  terdiri dari 7 Bab dan 62 Pasal . Bab I mengatur tengan Peraturan Umum, Bab II tentang Keadaan Darurat Sipil, Bab III tentang Keadaan Darurat Militer, Bab IV tentang Keadaan Perang, Bab V tentang ketentuan ketentuan untuk menegakkan dan mengatur akibat dari pelaksanaan kekuasaan serta ketentuan ketentuan pidana, Bab VI Peraturan Peralihan dan Bab VII Peraturan Penutup.

Bagian penting dari Perpu 23 /1959 adalah Bab II tentang Darurat Sipil sebagaimana telah banyak disebut sebut oleh Presiden dan dan banyak diberitakan oleh media. Darurat sipil merujuk pada Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) nomor 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yg membagi keadaan bahaya dalam empat tingkat, yaitu tertib sipil, darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang.

Pasal 1 Perpu 23/1959 menyatakan bahwa Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah negara RI dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:

  1. Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau sebagian wilayah Negara Ri terancam pemberontakan, kerusuhan2 atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.
  2. Timbul perang atau bahaya perang atau dikuatirkan perkosaan wilayah Negara Ri dengan cara apapun juga.
  3. Hidup negara berada didalam keadaan bahaya atau dari keadaan keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara.

Wacana pemberlakukan kebijakan darurat sipil praktis menambahkan sejumlah wewenang yang bisa dipegang oleh Presiden dan Kepala Daerah jika mengacu kepada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-undang No. 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya.

Penghapusan keadaan darurat sipil maupun darurat militer atau keadaan bahaya dilakukan oleh presiden/panglima tertinggi angkatan perang.Pasal 2 menyebutkan, keputusan yang menyatakan atau menghapuskan keadaan bahaya mulai berlaku pada hari diumumkan, kecuali jikalau ditetapkan waktu yang lain dalam keputusan tersebut. Pengumuman pernyataan atau penghapusan keadaan bahaya dilakukan oleh presiden.

Kemudian, pada Pasal 3, diatur tentang penguasa tertinggi dalam kondisi darurat sipil maupun darurat militer, adalah presiden/panglima tertinggi angkatan perang.Dalam melakukan penguasaan keadaan darurat sipil/keadaan darurat militer/keadaan perang, presiden/panglima tertinggi angkatan perang dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari beberapa menteri, di antaranya Menteri Keamanan/Pertahanan; Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah; Menteri Luar Negeri; Kepala Staf Angkatan Darat; Kepala Staf Angkatan Laut; Kepala Staf Angkatan Udara; dan Kepala Kepolisian Negara. Presiden diperbolehkan mengangkat menteri/pejabat lain selain jika diperlukan.

"Di daerah-daerah penguasaan keadaan darurat sipil dilakukan oleh Kepala Daerah serendah-rendahnya dari Daerah tingkat II selaku Penguasa Darurat Sipil Daerah yang daerah hukumnya ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang," demikian tertulis dalam Pasal 4 ayat (1).

Dalam ayat (2), disebutkan bahwa penguasa darurat sipil daerah dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari seorang komandan militer tertinggi dari daerah yang bersangkutan; seorang kepala polisi dari daerah yang bersangkutan; dan seorang Pengawas/kepala kejaksaan dari daerah yang bersangkutan. Namun penunjukan mereka dilakukan oleh presiden/panglima tertinggi angkatan perang, dan penguasa darurat sipil pusat dapat menentukan susunan penguasaan dalam keadaan darurat sipil, jika diperlukan.

Kemudian, pada Pasal 7 ayat (1) tertulis, "Dalam melakukan wewenang-wewenang dan kewajiban-kewajibannya. Penguasa Darurat Sipil Daerah/Penguasa Darurat Militer Daerah/Penguasa Perang Daerah menuruti petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah yang diberikan oleh Penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa Darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat dan bertanggung-jawab kepadanya".

Pada ayat (2) pasal tersebut menyatakan, jika dalam bagian wilayah yang dinyatakan dalam tingkatan keadaan darurat sipil, terdapat beberapa orang kepala daerah yang menjabat penguasa darurat sipil daerah, maka tiap-tiap penguasa darurat sipil daerah tersebut wajib menjalankan petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah dari kepala daerah yang menjabat penguasa darurat sipil daerah yang lebih tinggi kedudukannya dalam wilayah tersebut, kecuali apabila penguasa darurat sipil pusat menentukan lain.

"Penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa Darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat dapat mencabut sebagian dari kekuasaan Yang diberikan oleh Peraturan ini kepada Penguasa Darurat Sipil Daerah/Penguasa Darurat Militer Daerah/Penguasa Perang Daerah," demikian tertulis pada ayat (5) pasal tersebut.

Bab II pada Perppu tersebut mengatur tentang ketentuan- ketentuan yang berlaku untuk wilayah atau sebagian wilayah Negara Republik Indonesia yang dinyatakan dalam keadaan darurat sipil.Apabila keadaan darurat sipil dihapuskan dengan tidak disusul dengan pernyataan keadaan darurat militer atau keadaan perang, maka pada saat penghapusan itu, peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan dan tindakan-tindakan yang telah diambil oleh penguasa darurat sipil tidak berlaku lagi, kecuali yang tersebut dalam Pasal 8 ayat (3).

"Apabila dipandangnya perlu, Kepala Daerah yang bersangkutan dapat mempertahankan untuk daerahnya seluruh atau sebagian dari peraturan-peraturan/tindakan-tindakan Penguasa Darurat Daerah, dengan ketentuan bahwa peraturan- peraturan/tindakan-tindakan yang dipertahankan itu dapat berlaku terus selama-lamanya empat bulan sesudah penghapusan keadaan darurat sipil," tertulis dalam Pasal 8 ayat (3).

Selanjutnya, dalam Pasal 10 ayat (1), disampaikan bahwa penguasa darurat sipil daerah berhak mengadakan peraturan-peraturan yang dianggap perlu untuk kepentingan ketertiban umum atau untuk kepentingan keamanan daerahnya, yang menurut perundang-undangan pusat boleh diatur dengan peraturan yang bukan perundang-undangan pusat.

Sedangkan pada ayat (2) diatur bahwa penguasa darurat sipil pusat berhak mengadakan segala peraturan-peraturan yang dianggap perlu untuk kepentingan ketertiban umum dan untuk kepentingan keamanan. Secara garis besar ada 12  kewenangan pemerintah pusat dan daerah jika diberlakukan status darurat sipil berdasarkan Perpu No 23 Tahun 1959, yaitu :

  1. Pasal 12 Ayat 1.Di daerah yang menyatakan dalam keadaan darurat sipil, setiap pegawai negeri wajib memberikan segala keterangan yang diperlukan oleh Penguasa Darurat Sipil, kecuali apabila ada alasan yang sah untuk tidak memberikan keterangan-keterangan itu.
  2. Pasal 13.Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar.
  3. Pasal 14.Penguasa Darurat Sipil berhak atau dapat-menyuruh atas namanya pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lainnya atau menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun bertentangan dengan kehendak yang mempunyai atau yang menenpatinya, dengan menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa.
  4. Pasal 15 Ayat 1.Penguasa Darurat Sipil berhak akan dapat menyuruh memeriksa dan menyita semua barang yang diduga atau akan dipakai untuk mengganggu keamanan serta membatasi atau melarang pemakaian barang itu.
  5. Pasal 16.Penguasa Darurat Sipil berhak mengambil atau memakai barang-barang dinas umum.
  6. Pasal 17 Ayat 1.Penguasa Darurat Sipil berhak mengetahui,semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dipercakapkan kepada kantor telepon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan dengan perantaraan telepon atau radio.
  7. Pasal 17 Ayat 2.Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi atau melarang pemakaian kode-kode, tulisan rahasia, percetakan rahasia, tulisan steno, gambar-gambar, tanda-tanda, juga pemakaian bahasa-bahasa lain dari pada bahasa Indonesia.
  8. Pasal 17 Ayat 3.Penguasa Darurat Sipil berhak menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi sepertinya telepon, telegraf, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga menyita atau menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut.
  9. Pasal 18 Ayat 1.Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan ketentuan bahwa untuk mengadakan rapat-rapat umum, pertemuan-pertemuan umum dan arak-arakan harus diminta izin terlebih dahulu. lzin ini oleh Penguasa Darurat Sipil diberikan penuh atau bersyarat. Yang dimaksud dengan rapat-rapat umum dan pertemuan-pertemuan umum adalah rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan umum yang dapat dikunjungi oleh rakyat umum.
  10. Pasal 18 Ayat 2.Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi atau melarang memasuki atau memakai gedung-gedung, tempat-tempat kediaman atau lapangan-lapangan untuk beberapa waktu yang tertentu.
  11. Pasal 19. Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah.
  12. Pasal 20. Penguasa Darurat Sipil berhak memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai serta menyuruh memeriksanya oleh pejabat-pejabat Polisi atau pejabat-pejabat pengusut lain

Jika dikaji secara yuridis maka pasal-pasal dalam Perpu No 23 Tahun 1959 yang mengatur Darurat Sipil itu tidak relevan dengan upaya untuk melawan merebaknya wabah virus corona. Pengaturannya hanya efektif untuk mengatasi pemberontakan dan kerusuhan, bukan mengatasi wabah yang mengancam jiwa setiap orang.

Satu satunya pasal  yang relevan hanya adalah pasal yang berkaitan dengan kewenangan Penguasa Darurat Sipil untuk membatasi orang ke luar rumah. Ketentuan lain seperti melakukan razia dan penggeledahan hanya relevan dengan pemberontakan dan kerusuhan. Begitu juga pembatasan penggunaan alat-alat komunikasi yang biasa digunakan sebagai alat untuk propaganda kerusuhan dan pemberontakan juga tidak relevan.

Darurat Sipil Harus Ditolak

Kaidah darurat sipil diatur dalam Perpu No.23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang sebenarnya lahir untuk memenuhi ketentuan Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945. Beberapa ketentuan yang diatur dalam Perpu tersebut jika terjadi darurat sipil adalah kewenangan penyadapan, penggeledahan, penyitaan dan tindakan lain yang terkait keamanan. Situasi yang dihadapi dalam darurat sipil adalah kondisi keamanan yang bersifat umum, sehingga pendekatannya lebih kepada pendekatan yang bersifat militeristik.

Lantas pertanyaannya adalah kenapa Pemerintah tidak mengambil kebijakan karantina wilayah sebagaimana amanat Pasal 53 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan? Dalam hal ini terdapat logika dasar kebijakan Pemerintah yang bisa dikatakan lompat terlalu, yaitu dari UU No.6 Tahun 2018 ke Perpu No.23 Tahun 1959. Dalam upaya untuk menanggulangi penyebaran virus Corona, tentu dibutuhkan kebijakan pemerintah yang bersifat represif, namun kebijakan yang dibuat pun tentunya tidak hanya bersifat represif tapi juga harus bersifat solutif.

Pada saat sekarang ini yang darurat adalah kesehatan masyarakat, namun jika diterapkan darurat sipil maka yang darurat adalah negaranya karena ancaman keamanan dan kekacauan lainnya.

Dengan demikian yang seharusnya dioptimalkan adalah pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, bukan lompat kepada Perpu No. 23/1959 karena akan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya dan tidak dapat mengakomodir kebutuhan-kebutuhan masyarakat secara mendasar.

Ketentuan yang mengatur mengenai karantina wilayah terdapat dalam Bab VII bagian ketiga tentang Karantina Wilayah, yakni pada Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018. Namun hal tersebut justru diabaikan oleh Pemerintah, ini semacam pribahasa "gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak".

Artinya bahwa mengapa pemerintah tidak menggunakan UU Karantina Kesehatan yang lebih baru dan lebih solutif bagi masyarakat ketimbang mundur ke belakang dengan menggunakan Perpu No. 23/1959. Dimana seharusnya, dalam kondisi wabah yang terus meluas maka dari kebijakan pembatasan sosial berskala besar, dilanjutkan dengan mengambil solusi karantina wilayah sebagaimana amanat dari Undang-Undang tentang Karantina Kesehatan bukan justru mengambil kebijakan darurat sipil.

Oleh karena itu jangan sampai kemudian Pemerintah terlihat takut dan ingin lari dari kewajiban atas konsekuensi jika dilakukan karantina wilayah sebagaimana termuat dalam Pasal 55 UU No. 6 Tahun 2018 yakni dengan mencari jalan lain yaitu menerapkan kebijakan darurat sipil. Di dalam pasal 55 UU tentang Karantina Kesehatan yang mengatur tentang karantina wilayah, memuat kewajiban pemerintah untuk menanggung kebutuhan dasar orang di wilayah karantina dan hal tersebut merupakan konsekuensi logis yang seharusnya di ambil oleh pemerintah.

Pemerintah sebagai entitas tertinggi di suatu negara memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk memenuhi dan menjamin kebutuhan masyarakat. Karena pada dasarnya keberadaan rakyat sebagai pemegang kedaulatan (Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945) dimana kedaulatan rakyat sebagai the supreme of authority, hal ini didasari oleh suatu asas yang berbunyi solus populous supreme lex bahwa kepentingan rakyat adalah hukum paling tertinggi.

Maka keberadaan dari undang-undang tidak hanya sekedar menjadi pajangan dalam memenuhi etalase lembaran negara, namun bagaimana undang-undang tersebut mampu untuk dijalankan dalam mengakomodir kebutuhan masyarakat dan demi kepentingan masyarakat itu sendiri.

Penggunaan Perpu 23/1959 sebagai acuan dalam menerapkan kebijakan darurat sipil berpotensi melanggar hak asasi manusia. Pasalnya di dalam Perpu 23/1959, penguasa darurat sipil bisa menyuruh aparat untuk menggeledah tempat sekalipun pihak pemilik tempat tidak bersedia, penguasa darurat sipil berhak menyita semua barang yang diduga menggangu keamanan, hingga memeriksa badan dan pakaian tiap orang yang dicurigai.

Penguasa darurat sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah, penguasa darurat sipil berhak mengetahui semua berita dan percakapan telepon, melarang pemakaian kode hingga bahasa selain bahasa Indonesia, membatasi penggunaan alat telekomunikasi, dan menghancurkan alat telekomunikasi. Hal tersebut kemudian memungkinkan kekuasaan secara subyektif otoriterian dan kebebasan sipil dipastikan akan terganggu dalam skala nasional.

Perlu untuk digaris bawahi, bahwa permasalahan yang terjadi saat ini bukan masalah keamanan negara, melainkan kepatuhan masyarakat dalam kaitannya dengan upaya pencegahan penularan Covid-19. Sehingga jangan sampai arah dari kebijakan darurat sipil justru melihat rakyat sebagai suatu ancaman dan bukan lagi memandang wabah corona sebagai ancaman.

Oleh karena itu, perlu untuk dicermati, bahwa  dengan kondisi saat sekarang ini, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat merupakan hal yang utama, dan bahwa salah satu faktor yang membuat rakyat tidak taat atas himbauan. Fenomena ini harus menjadi perhatian Pemerintah agar supaya kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Skala Besar) efektif dilaksanakan tanpa harus melanggar HAM dan keadilan.

Sebab kalau masih ada  Pemaksaan pelaksanaan PSBB dimana Pemerintah akan menggunakan alat negara yakni TNI dan Polri, yang dimobilisasi menggunakan UU Darurat (Perppu No. 23 Tahun 1959). Dimungkinkan akan muncul persoalan besar dalam rencana pengambilan kebijakan ini :

Pertama, potensi perlawanan rakyat jika dipaksa berada dirumahnya, dipaksa melakukan PSBB, tetapi Pemerintah tidak menjamin kebutuhan hidup dasar rakyat.

Kedua, Pemberlakuan Kebijakan PSBB secara ketat itu diberlakukan bersamaan dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, Bukan dengan status Karantina Wilayah (Lockdown). Itu artinya, represifme ini tidak diimbangi dengan kompensasi jaminan kebutuhan hidup dasar bagi rakyat sebagaimana diatur dalam pasal 55 UU Nomor 6 Tahun 2018.

Ketiga, Pemberlakuan PSBB  yang tegas (baca : keras), seiring dengan Pemberlakuan Kebijakan Darurat Sipil yang memungkinkan Negara memobilisir Polisi dan Tentara, berpotensi membenturkan antara rakyat dengan polisi dan tentara.

Kalau rakyat dipaksa dirumah, tidak punya bahan makanan, sementara pemaksaan itu menggunakan unsur militer dan polisi, dikhawatirkan  akan terjadi Chaos.Sebab rakyat tidak punya pilihan, selain terpaksa keluar rumah -meskipun harus melawan atau kucing kucingan dengan polisi dan tentara- untuk mencari nafkah, ketimbang mati kelaparan dirumah.

Bagaimanapun kebutuhan makan adalah kebutuhan asasi, keselamatan nyawa juga hal yang sangat asasi. Dua hal ini semestinya tidak perlu dibenturkan.Pemerintah sebenarnya lebih ringan membiayai Lockdown (karantina wilayah), memberi makan rakyat, ketimbang menghadapi resiko chaos, resiko benturan antara rakyat dan alat negara.

Fakta dari pelaksanaan PSBB dengan darurat sipil itu jelas menunjukkan negara tak mau repot harus menanggung biaya hidup rakyatnya selama karantina di rumah saja. Darurat sipil ini kan terjadi sebab ada bencana penyakit bukan karena ada ancaman kerusuhan dan perang fisik nyata. Ironisnya, PSBB dipakai Jokowi hanya untuk memperkuat jaminan kekuasaan negara agar tidak bisa di-impeach oleh DPR dan kekuatan rakyat sipil lainnya.

Semakin jelaslah bahwa Presiden Jokowi hanya mementingkan kekuasaannya langgeng terus dengan kebijakan PSBB dan tidak mau mengalihkan triliunan dana infrastruktur proyek mercusuar dan pindah ibukota untuk dipakai memberi makan rakyatnya yang kelaparan karena tidak bekerja selama masa karantina di rumah yang masih akan berlanjut entah sampai kapan. Sedihnya nasib rakyat -62...

 

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar