Kritis! Rupiah Tinggal Tunggu Waktu Tembus 17.000

Kamis, 02/04/2020 15:58 WIB
nilai tukar rupiah makin anjlok, tunggu waktu tembus 17.000 (katadata)

nilai tukar rupiah makin anjlok, tunggu waktu tembus 17.000 (katadata)

Jakarta, law-justice.co - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (2/4/2020), semakin mendekati rekor terlemah sepanjang masa Rp 16.800/US$ yang dicapai pada 17 Juni 1998.

Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung melemah 0,35%, pelemahan semakin membengkak hingga 0,67% ke Rp 16.550/US$.

Posisi rupiah sedikit membaik, pada pukul 11:30 WIB berada di level Rp 16.540/US$, melemah 0,61% di pasar spot melansir data Refinitiv.

Pandemi virus corona (COVID-19) masih menjadi biang keladi buruknya kinerja rupiah hingga mendekati level terlemah sepanjang sejarah.

Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE sudah ada 180 negara/wilayah yang terpapar COVID-19, dengan jumlah kasus semakin mendekati 1 juta orang. 47.208 diantaranya meninggal dunia, dan 193.700 orang dinyatakan sembuh.

Sementara di Indonesia, hingga Rabu kemarin sudah ada 1.677 kasus, dengan 157 orang meninggal dunia, dan 103 dinyatakan sembuh.

Jumlah kasus yang ada di dalam negeri memang tergolong kecil dibandingkan negara-negara lainnya, tetapi ini baru tahap awal, dan dampak yang ditimbulkan di pasar keuangan dan sektor riil sangat besar.

Sektor finansial sudah terkena dampaknya jauh sebelum COVID-19 menyerang Indonesia. Aksi jual di bursa saham dan pasar obligasi terjadi sejak bulan Februari, dan semakin masif di bulan Maret ketika kasus pertama COVID-19 dilaporkan di Indonesia.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat memberikan update tentang kondisi perekonomian terkini Selasa (31/3/2020) siang mengatakan dana asing masih pergi dari pasar Indonesia. Ia mengatakan, terjadi outflow atau aliran dana asing keluar hingga Rp 145,1 triliun.

"Terdiri dari outflow Rp 131,1 triliun di pasar SBN dan Rp 9,9 triliun di pasar saham," katanya.

Padahal, Berdasarkan data Ditjen Per Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sejak akhir 2019 hingga 24 Januari terjadi capital inflow di pasar obligasi sebesar Rp 30,16 triliun.

Inflow tersebut membuat rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia, per 24 Januari menguat 2,29% melawan dolar AS. Saat itu, tidak ada mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS lebih dari 2% selain rupiah, bahkan tidak banyak mata uang yang menguat.

Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.

Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.

Tekanan bagi rupiah semakin besar setelah COVID-19 mulai menunjukkan dampak buruknya ke sektor riil.

Sektor pariwisata RI menjadi yang paling pertama terpukul sejak awal penyebaran (outbreak) COVID-19 di bulan Januari di kota Wuhan, China.

Badan Pusat Statistik (BPS) Rabu kemarin melaporkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) tercatat 885.067 di bulan Februari. Anjlok 30,42% dibandingkan bulan sebelumnya dan 28,85% dibandingkan periode yang sama pada 2019.

"Biasanya Februari terjadi kenaikan dibandingkan Januari, tetapi Februari ini turun. Pada Maret, penurunan mungkin akan jauh lebih dalam," kata Suhariyanto, Kepala BPS.

Maklum saja, ketika virus corona menyebar dengan cepat di China, pemerintah Tiongkok langsung mengambil kebijakan karantina wilayah (lockdown) kota Wuhan.

Wisatawan asal China juga mulai dibatasi kunjungannnya guna menghindari penyebaran ke nagara-negara lain, meski pada akhirnya penyebaran tidak bisa dicegah, dan COVID-19 resmi menjadi pandemi.

"Ada penurunan curam sekali dari Wisman Tiongkok baik itu year-on-year atau month-to-month. Mengalami penurunan luar biasa dalam sebesar 94% secara year on year [Februari 2020 terhadap Februari 2019]. Jumlah wisman turun paling dalam dari Tiongkok turun 94,1% dan Hong Kong 93,16%," jelas Suhariyanto, Rabu (1/4/2020).

COVID-19 juga sudah menggerogoti sektor manufaktur RI, yang aktivitasnya mengalami kontraksi di bulan Maret.

Aktivitas industri dicerminkan oleh Purchasing Managers` Index (PMI) manufaktur, yang menggambarkan pembelian bahan baku/penolong dan barang modal yang akan digunakan untuk proses produksi pada masa mendatang.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal, di atas 50 berarti industri sedang ekspansif sementara di bawah 50 artinya kontraktif alias mengkerut.

IHS Markit melaporkan PMI Indonesia Maret 2020 adalah 45,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 51,9 sekaligus menjadi yang terendah sepanjang sejarah pencatatan PMI yang dimulai pada April 2011.

Itu artinya sektor manufaktur RI sudah mulai menurunkan hingga menghentikan produksinya.

Kondisi seperti ini masih akan berlangsung setidaknya dua bulan ke depan mengingat puncak pandemi COVID-19 di Indonesia diperkirakan pada April dan Mei.

Saat sektor manufaktur terpukul, perekonomian juga akan merosot mengingat sektor industri berkontribusi nyaris 20% dari struktur produk domestic bruto (PDB) Indonesia.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, kemarin mengatakan ada 2 skenario dampak COVID-19 ke perekonomian, yakni berat dan sangat berat. Dalam skenario berat, PDB diprediksi tumbuh 2,3%, sementara skenario sangat pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa minus 0,4%.

"KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini turun jadi 2,3% dan lebih buruk bisa negatif 0,4%. Sehingga kondisi ini menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tidak bisa dibayarkan dan perusahaan alami kesulitan dari revenue," tutur Sri Mulyani yang juga Ketua KSSK, Rabu (1/3/2020).

Sri Mulyani juga mengatakan, dalam skenario berat rupiah bisa berada di kisaran Rp 17.500/US$, sementara dalam skenario sangat berat rupiah berada di level Rp 20.000/US$

Pelemahan rupiah sepertinya tidak terhindarkan, tinggal masalah waktu Mata Uang Garuda akan melewati rekor terlemah Rp 16.800/US$ dan mencapai Rp 17.000an per dolar AS.

Tanda-tanda rupiah akan ke Rp 17.000/US$ sudah terlihat di pasar Non Deliverable Forward (NDF), hingga spukul 11:34 WIB hanya tenor spot week yang belum berada di atas tersebut.

Periode Kurs
1 Pekan Rp16.844
1 Bulan Rp17.059
2 Bulan Rp17.160
3 Bulan Rp17.312
6 Bulan Rp17.635
9 Bulan Rp17.820
1 Tahun Rp18.070
2 Tahun Rp18.815,3

Tetapi pagi tadi sebelum pasar Indonesia dibuka, kurs NDF spot week sudah sempat berada di atas Rp 17.000/US$.

Bahkan kurs Domestic NDF (DNDF) sudah tenor 1 bulan sudah mencicipi level Rp 17.035/US$ pagi tadi.

Pelemahan kurs NDF dan DNDF hingga ke atas Rp 17.000/US$ menunjukkan pelaku pasar melihat rupiah masih akan tertekan dan tidak lama lagi mencapai level tersebut.

Analisis Teknikal Rupiah

Secara teknikal, rupiah sebenarnya berpeluang menguat setelah di hari Jumat pekan lalu mengakhiri perdagangan di bawah level Rp 16.200/US$ (level tertinggi 18 Juni 1998). Selain itu indikator Stochastic yang berada di wilayah jenuh beli (overbought) dalam waktu yang cukup lama.

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah jenuh beli, maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik turun. Dalam hal ini, dolar AS berpeluang melemah mengingat simbol perdagangan jika melawan rupiah adalah USD/IDR.

Apalagi pada perdagangan Selasa (24/3/2020), rupiah kembali membentuk pola Black Marubozu.

Begitu perdagangan Selasa dibuka, rupiah langsung menguat 0,31% ke level Rp 16.500/US$. Setelahnya penguatan rupiah semakin menebal hingga 0,6% ke Rp 16.450/US$ di akhir perdagangan.

Level pembukaan rupiah itu sekaligus menjadi titik terlemah intraday, sementara level penutupan menjadi titik terkuat rupiah pada hari Selasa. Dengan demikian, secara teknikal rupiah membentuk pola Black Marubozu.

Munculnya Black Marubozu kerap dijadikan sinyal kuat jika harga suatu instrument akan mengalami penurun lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah. Dengan kata lain, rupiah berpotensi melanjutkan penguatan.

Kemudian pada Jumat (27/3/2020) lalu rupiah juga membentuk pola Dravestone Doji, di mana harga pembukaan sama dengan harga penutupan perdagangan, dengan ekor yang panjang di atas. Pola yang sama juga terbentuk Selasa (31/3/2020).

Pola ini kerap kali dijadikan sinyal jika harga suatu instrumen akan berbalik turun, dalam hal ini USD/IDR bergerak turun atau rupiah menguat melawan dolar AS.

Tetapi sayangnya pandemi COVID-19 terus mempengaruhi sentimen pelaku pasar yang membuat rupiah sulit menguat. Faktor fundamental memang akan lebih mempengaruhi pergerakan rupiah selama pandemi COVID-19 belum bisa dihentikan.

Rupiah sejak hari Selasa lalu bergerak di atas Rp 16.200/US$, yang bisa menjadi kunci pergerakan rupiah secara teknikal. Selama tertahan di atas level tersebut, pelemahan rupiah berpotensi berlanjut, menuju Rp Rp16.500 sampai Rp 16.620/US$.

Ke depannya jika dua level tersebut mulus dilewati, rupiah berisiko mencapai level terlemah sepanjang sejarah Rp 16.800/US$, bahkan sampai Rp 17.000/US$.

Sementara jika kembali ke bawah US$ 16.200, peluang penguatan rupiah kembali terbuka menuju Rp 16.000 sampai Rp 15.900/US$.
(cnbcindonesia)

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar