Kritik Keras PSBB Jokowi, Yusril Sebut Peran Kepala Daerah Tak Jelas

Kamis, 02/04/2020 05:48 WIB
Yusril Ihza Mahendra, Pakar Hukum Tata Negara (Fajar.co.id)

Yusril Ihza Mahendra, Pakar Hukum Tata Negara (Fajar.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengkritik kebijakan Presiden Jokowi menetapkan status darurat kesehatan masyarakat dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam menanggulangi wabah virus corona (Covid-19).

Jokowi juga disarankan menyiapkan rencana cadangan menghadapi risiko terburuk wabah virus corona.

Status darurat kesehatan masyarakat dan PSBB ditetapkan Jokowi kemarin. Pemerintah hari ini merilis Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagai dasar hukum pelaksanaan PSBB (PP PSBB).

Menurut Yusril, PP PSBB tersebut tak mengatur rinci soal mekanisme dan kewenangan pemerintah daerah dalam menerapkan pembatasan sosial berskala besar.

Yusril mencontohkan dalam PP PSBB, daerah berwenang melakukan pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu. Namun pelaksanaannya bisa terkendala karena berpotensi melanggar yurisdiksi atau ketentuan daerah lain.

"Daerah-daerah mana saja yang orang dan barang tidak boleh masuk ke daerahnya? Sebab suatu daerah tidak berwenang membuat aturan yang menjangkau daerah lain di luar yurisdiksinya," ujar Yusril dalam keterangan resmi, Rabu (1/4).

Kritik lain dari Yusril terkait pelibatan aparat dalam mendukung kebijakan pembatasan mobilitas orang dan barang. Pemda, kata Yusril, tak mendapat panduan untuk melibatkan polisi maupun militer dalam mendukung PSBB.

"Apakah untuk efektifitas pembatasan mobilitas orang dan barang itu Pemda setempat dapat meminta bantuan polisi atau malah TNI, misalnya, hal itu tidak diatur dalam PP No 21 Tahun 2020 ini," kata Yusril.

"UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan juga tidak memberikan kewenangan kepada polisi untuk mengawasi keluar masuk orang di daerah yang memberlakukan PSBB. Pemda paling hanya dapat mengerahkan Satpol PP yang memang berada di bawah Pemda," imbuhnya.

Yusril berkata merujuk Pasal 54 ayat (3) UU No 6 Tahun 2018, polisi baru berwenang melakukan pengawasan keluar masuk orang dari suatu wilayah ke wilayah lain, jika pemerintah pusat memutuskan untuk melaksanakan Karantina Wilayah.

Dia menuturkan Karantina Wilayah hampir sama dengan lockdown yang diterapkan sejumlah negara seperti Malaysia dan Filipina. Suatu daerah atau suatu kota dinyatakan tertutup, orang tidak diizinkan keluar atau masuk ke daerah atau kota itu.

Pemerintah, Yusril menduga, tidak memilih Karantina Wilayah karena khawatir masalah ekonomi. "Pemerintah juga mungkin tidak akan mampu menyediakan kebutuhan dasar hidup masyarakat dan hewan ternak yang ada di daerah yang diterapkan Karantina Wilayah," tuturnya.

Dia mengandaikan kasus Jakarta. Seandainya ibu kota dikenakan Karantina Wilayah, Yusril berkata pemerintah Pusat harus menyediakan sembako buat sekitar 14 juta orang.

"Bisa-bisa kita seperti India. Lockdown yang dilakukan tanpa persiapan matang, bisa membuat rakyat kalang-kabut dan akhirnya kelaparan," kata Yusril.

Tanpa Karantina Wilayah pemerintah praktis hanya mengandalkan PSBB. Namun PP 21 Tahun 2020 tentang PSBB hanya mengulang apa yang sudah diatur dalam UU No 6 Tahun 2020, yakni soal peliburan sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Menurut Yusril tiga hal tersebut sudah dilaksanakan oleh daerah, namun tidak mampu membatasi penyebaran virus Corona.

"Menjelang akhir Maret, tinggal dua provinsi yang belum ada pasien positif Corona yakni Bengkulu dan Bangka-Belitung. Pas tanggal 31 Maret dua provinsi itu ternyata tak mampu bertahan menghadapi wabah yang ganas," ujar Yusril.

Per hari ini, kata Yusril, belum ada Keputusan Menkes atau Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang menyetujui permintaan daerah tertentu untuk memberlakukan PSBB.

"Pertanyaannya kini adalah, apakah dengan kebijakan PSBB yang harus diminta oleh daerah dan disetujui atau bisa juga ditolak oleh Menkes itu, penyebaran wabah virus corona dapat dikurangi atau dihentikan sama sekali? Jawabannya tentu: wallahu `alam, hanya Allah saja yang lebih mengetahuinya," kata dia.

Jika situasi memburuk, Yusril memperkirakan pemerintah, mau tak mau, akan menempuh Karantina Wilayah alias lockdown dengan segala risiko ekonomi, sosial dan politiknya.

"Karena itu selama masa penerapan PSBB ini, saya sarankan pemerintah mulai bersiap menghadapi risiko terburuk kalau akhirnya tidak punya pilihan lain kecuali menerapkan Karantina Wilayah," ujar Yusril.


Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi

Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan PP dan Keppres terkait penanganan penyebaran virus corona (Covid-19).

"Dengan terbitnya PP ini semua jelas, para kepala daerah tidak membuat kebijakan sendiri-sendiri yang tidak terkoordinasi. Semua kebijakan kepala daerah harus sesuai koridor undang-undang, PP, keputusan presiden tersebut," kata Jokowi saat memberikan keterangan pers, Selasa (31/3).

Aturan itu adalah PP tentang Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB serta Keppres tentang Penetapan Status Darurat Kesehatan Masyarakat. Lebih jauh, Jokowi berharap PP dan keppres yang telah ditandatangainya itu bisa mulai berjalan sehingga efektif.

"Saya berharap agar provinsi, kabupaten, kota sesuai undang-undang yang ada silakan berkoordinasi dengan Ketuga Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 agar semuanya memiliki sebuah aturan main yang sama yaitu undang-undang, PP, keppres yang telah baru saja saya tanda tangan," kata Jokowi. (cnnindonesia).

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar