H. Desmond J. Mahesa, SH.MH, Wakil Ketua Komisi III DPR RI :

Nasib Rakyat Disaat Policy Distancing Berskala Besar Ala Darurat Sipil

Selasa, 31/03/2020 17:09 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Law-Justice.co)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Law-Justice.co)

Jakarta, law-justice.co - Korban jiwa akibat serangan virus corona terus berjatuhan tanpa diketahui kapan berakhirnya. Kondisi ini telah membuat Pemerintah Indonesia melakukan berbagai cara untuk mencegah penyebarannya. Keadaan semakin mencekam setelah beberapa pengamat luar negeri menyatakan Indonesia bisa menjadi epicentrum baru mewabahnya virus corona.

Banyak yang menyarankan agar Pemerintah segera melakukan upaya lockdown atau karantina wilayah untuk mengendalikan terus bertambahnya sebaran daerah yang terpapar corona. Namun upaya lockdown/karantina wilayah ini dianggap sebagai kebijakan yang terlalu besar resikonya terutama dipandang dari sudut ekonomi bangsa yang akhir akhir ini makin menggenaskan kondisinya.

Kini babak baru perlawanan terhadap virus corona akhirnya dimulai dengan munculnya pengumuman yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dari istana. Sebagaimana kita ketahui bersama, Presiden Jokowi telah  menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sebagai solusinya.Hal itu disampaikan Jokowi saat memimpin rapat terbatas dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, lewat video conference dari Istana Bogor, Senin (30/3/2020).

Bukan hanya sekadar meminta pelaksanaaan PSBB saja, Jokowi juga meminta agar PSBB ini disertai pula dengan kebijakan darurat sipil. "Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi sehingga tadi sudah saya sampaikan, bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Jokowi, di Istana Bogor, Senin (30/3/2020).

Kebijakan PSBB yang di iringi dengan penerapan  darurat sipil diambil ditengah kondisi runtuhnya kewibawaan pemerintah Pusat di mata pemerintah daerah yang telah terlebih dahulu mengambil kebijakan lockdown untuk daerahnya.Keputusan tanpa memikirkan instruksi pemerintah pusat itu menunjukkan bahwa rezim ini cenderung buruk.

"Ketika daerah lakukan lockdown tanpa melihat instruksi pusat, maka saat itulah wibawa pemerintah pusat runtuh, pemerintahan semacam ini cenderung buruk," ujar Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah  sebagaimana dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (29/3).

Tidak hanya pemerintah kabupaten/kota yang melakukan lockdown, sejumlah desa dan kampung juga melakukan hal serupa. Salah satunya Kampung Jaha di Kota Bekasi yang turut melakukan lockdown lokal untuk mencegah penyebaran Covid-19 di kampung mereka.

Apa perbedaan antara PSBB dengan karantina wilayah ?, Bagaimana  konsekuensi yang timbul dengan adanya kebijakan melalui PSBB yang disertai dengan kebijakan darurat sipil ?.  Mengapa Jokowi lebih memilih kebijakan PSBB ketimbang karantina wilayah? Sudah tepatkah pengambilan kebijakan penerapan PSBB melalui kebijakan darurat sipil ?. Bagaimana kesiapan Polri dalam melaksanakan PSBB yang bernuansa darurat sipil ini ?

Antara PSBB dan Karantina Wilayah

Beberapa upaya untuk mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat antara lain adalah dengan menerapkan PSBB dan karantina wilayah.  Demikian sebagaimana diatur dalam Undang Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pasal 1 angka 10 UU tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan  Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Sementara Pasal 1 angka 11 menyatakan bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Perbedaan antara dua aturan tersebut adalah karantina wilayah secara tegas mengamanatkan pembatasan di pintu masuk, bahkan penutupan. Sementara itu, pembatasan sosial berskala besar tidak mengamanatkan adanya pembatasan di pintu masuk atau penutupan akses dari dan ke suatu wilayah. Pembatasan sosial hanya mengamanatkan pembatasan kegiatan penduduk.

Teknis dua upaya merespons kondisi darurat ini pun diatur dengan cara berbeda. Teknis karantina wilayah diatur dalam pasal 53 hingga pasal 55. Adapun teknis yang diatur oleh UU terkait karantina wilayah, misalnya, wilayah yang dikarantina diberi garis karantina. Tidak hanya itu, wilayah tersebut harus dijaga terus-menerus oleh pejabat karantina kesehatan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina (pasal 54 ayat 2).

Pengaturan karantina lainnya adalah anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar-masuk wilayah karantina (pasal 54 ayat 3). Selain itu, pemerintah bertanggung jawab atas kebutuhan hidup orang banyak, termasuk makanan hewan ternak, selama karantina wilayah (pasal 55 ayat 1 dan 2).

Sementara itu, teknis PSBB  diatur dalam pasal 59 menyatakan :

(1). Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

(2). Pembatasan Sosial Berskala Besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu.

(3). Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

  1. peliburan sekolah dan tempat kerja;
  2. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
  3. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

(4). Penyelenggaraan Pembatasan Sosial Berskala Besar berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Tiga langkah tersebut sebenarnya sudah dilakukan di Indonesia, khususnya Jakarta sebagai episentrum penyebaran virus corona Covid-19. Pemeritah Provinsi DKI Jakarta sudah meliburkan sekolah, dan membatasi operasional transportasi umum untuk meminimalisasi penyebaran Covid-19.

Namun, UU tersebut juga menekankan bahwa tiga langkah itu adalah upaya minimum atau "paling sedikit" dalam kondisi darurat kesehatan masyarakat. Sayangnya, UU Kekarantinaan Kesehatan tidak menjelaskan upaya paling maksimal dalam PSBB  sehingga bisa saja pembatasan sosial tersebut berwujud seperti lockdown atau karantina wilayah dengan pintu keluar/masuk ditutup.

Di sisi lain, pemerintah dalam kebijakan PSBB ini  tidak memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas kebutuhan hidup orang banyak, termasuk makanan hewan ternak, selama masa pembatasan sosial. Terkait dengan penanganan Covid-19, meskipun Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan ada perlindungan sosial dan stimulus ekonomi untuk UMKM, pelaku usaha, dan pekerja informal.

Seperti apa teknis atau lebih mendetail pembatasan sosial berskala besar, termasuk apakah pemerintah akan melibatkan TNI dan Polri, kita masih harus menunggu peraturan pemerintah. Pasalnya, pasal 60 UU Kekarantinaan Kesehatan sudah menegaskan bahwa pelaksanaan karantina dan pembatasan sosial berskala besar diatur dengan peraturan pemerintah (PP).

PSBB Bernuansa Darurat Sipil Panen Kritikan

Sebagaimana dikemukakan diatas, Presiden Jokowi telah mengatakan bahwa negara ini perlu menerapkan kebijakan darurat sipil. Kebijakan tersebut diperlukan untuk memberlakukan aturan physical distanding dalam skala luas atau PSBB  secara tegas, efektif, dan disiplin. Kebijakan ini akan diambil jika masalah virus corona ini tidak kunjung membaik.“Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi sehingga tadi sudah saya sampaikan, bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil,” kata Jokowi, di Istana Bogor, Senin 30 Maret 2020.

Munculnya kebijakan PSBB yang diiringi dengan kebijakan darurat sipil diduga karena pemerintah mengantasisipasi adanya kemungkinan gejolak sosial akibat tidak terkendalinya penyebaran virus corona. Sehingga secara dini diantisipasi melalui ketentuan tentang darurat sipil supaya aparat berwenang bisa melakukan tindakan tindakan yang diperlukan untuk pengamanannya.

Lantas apa yang dimaksud dengan kebijakan Darurat Sipil ?. Kebijakan Darurat Sipil yang disebut Presiden Jokowi mengacu pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Pencabutan Undang-Undang No.74 Tahun 1957 (Lembaran Negara No. 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya.

Dalam Undang-Undang tersebut, disebutkan dalam Peraturan Umum Pasal 1 Ayat 1 bahwa:

  • Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:
  1. keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
  2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
  3. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah keadaan yang timbul sekarang ini sudah memenuhi syarat sebagaimana dikemukakan ketiga syarat tersebut diatas ? Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menerangkan, keadaan darurat sipil merupakan keadaan darurat yang tingkatan bahayanya dianggap paling rendah dalam arti paling sedikit ancaman bahayanya. Karena tingkatan bahayanya yang demikian itu, tidak diperlukan operasi penanggulangan yang dipimpin oleh suatu komando militer.

"Sekiranya pun anggota tentara atau pasukan militer diperlukan untuk mengatasi keadaan, kehadiran mereka hanya bersifat pembantu. Operasi penanggulangan keadaan tetap berada di bawah kendali dan tanggung jawab pejabat sipil," kata Jimly dalam buku Hukum Tata Negara Darurat cetakan 2008.

Menurut Jimly, keadaan darurat sipil dapat terjadi karena berbagai sebab, baik yang bersifat alami, insani, dan/atau sebab-sebab yang bersifat hewani. Sebab alami yaitu sebab yang terjadi akibat bencana alam baik yang timul dari perut bumi, dari lautan, atau dari udara. Sebab-sebab yang bersifat insani yaitu sebab-sebab yang terjadi akibat dari ulah manusia. Sementara itu, sebab-sebab yang bersifat hewani adalah bencana yang timbul karena hewan yang menyebabkan wabah penyakit meluas.

Sungguhpun demikian, Kebijakan pemerintah yang akan menerapkan PSBB diiringi kebijakan daerat sipil ini menuai banyak kritikan dari masyarakat.  Kritik antara lain disampaikan oleh PBHI. " pemerintah belum saatnya menerapkan keadaan darurat sipil dalam menghadapi virus corona," kata Koordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani dalam keterangan tertulis, Senin (30/3/2020).

Sementara itu Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai kebijakan darurat sipil sehubungan dengan wabah virus Corona yang akan diambil oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak tepat. Pemerintah diminta berhati-hati menggunakan dasar hukum yang digunakan untuk meminimalisir bias tafsir dan penggunaan kewenangan yang lebih tepat sasaran.

"Merujuk kepada regulasi yang tersedia, Koalisi mendesak pemerintah tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan," kata peneliti Imparsial Anton Aliabas dalam keterangan tertulis, Senin 30 Maret 2020.

Penolakan juga disampaikan oleh  koalisi lеmbаgа ѕwаdауа mаѕуаrаkаt (LSM) yang tеrdіrі аtаѕ Elѕаm, Imparsial, LBH Jаkаrtа, LBH Masyarakat, LBH Pers, ICW, PBHI, PILNET Indonesia, dаn KоntrаS. Mereka mеnіlаі status dаrurаt ѕіріl ѕааt іnі tidak tераt kаrеnа tidak ѕеѕuаі dеngаn perundang-undangan yang bеrlаku.

Merujuk kepada regulasi yang tersedia, Koalisi mendesak pemerintah tetap mengacu pada UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Hal ini didasarkan pada isu COVID-19 yang merupakan kondisi yang disebabkan oleh bencana penyakit. Selain itu, penerapan pembatasan sosial meluas yang merujuk pada karantina kesehatan perlu dilakukan guna menghindari sekuritisasi problem kesehatan yang tidak perlu.

Harus diakui, sejak awal pemerintah alpa mematuhi keseluruhan prosedur yang telah diatur dalam UU Penanggulangan Bencana. Sebelum penetapan masa tanggap darurat nasional, semestinya Presiden Joko Widodo melakukan penetapan status darurat bencana nasional (Pasal 51 ayat 2). Oleh karena itu, Presiden hendaknya segera mengeluarkan keputusan (Kerpres) terkait penetapan status bencana nasional yang akan menjadi payung hukum penerapan kebijakan pembatasan sosial.

Selain itu, Koalisi mendesak pemerintah untuk membuat alur komando kendali (kodal) bencana yang lebih jelas. Ketiadaan pengaturan struktur kodal bencana dalam Keppres 9/2020 membuat penanganan bencana COVID-19 berjalan secara parsial dan tidak terkoordinasi. Kodal ini harus langsung dipimpin oleh Presiden Joko Widodo.

Mengingat pembatasan sosial akan disertai sanksi, Koalisi mendesak pemerintah untuk berpijak pada UU Karantina kesehatan. Koalisi menilai, pemerintah belum saatnya menerapkan keadaan darurat militer dan darurat sipil. Optimalisasi penggunaan UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Penanggulangan Bencana masih dapat dilakukan pemerintah dalam penanganan wabah COVID-19. Oleh karena itu, pemerintah belum saatnya menerepakan keadaan darurat militer dan darurat sipil.

Mantan Komisioner Komnas HAM 2012-2017 Natalius Pigai yang juga  Aktivis Hak Asasi Manusia juga menyatakan ketidaksetujuannya pada penerapan darurat sipil dalam menghadapi virus corona. Karena menurutnya masih ada cara lain yang bisa ditempuh negara untuk menghadapi ancaman kuman Corona.

Menurutnyak Kita harus pahami bahwa virus Corona harus dihadapi bukan dengan cara perang konvensional tapi perang melawan kuman.  Sehingga ancamannya bukan militer  tetapi ancaman kuman yang tidak terlihat. Makanya  Negara harus menyiapkan sistem Layanan Kesehatan khusus untuk mengobati virus Corona secara memadai sampai dipolosok. Menyiapkan Tenaga Profesional dan perawat secara masif.

Mengintegrasikan layanan kesehatan tersebut dengan layanan kesehatan atau instalasi kesehatan militer. Memberi peluang kepada universitas dan lembaga penelitian untuk mengembangkan teknologi dan obat anti kuman. Selain itu  Negara  musti menyiapkan anggaran yang cukup untuk menghadapi ancaman virus Corona.

Menurut Pigai Pemerintah yang menerapkan Darurat Sipil itu sama saja dengan Kudeta Negara pada kebebasan sipil (sipil liberties). Pemerintah akan makin otoritas dan beringas kepada rakyat, dan itu akan Menentang kehendak umum ttg Demokrasi, HAM & Keadilan. “Saya tolak Darurat Sipil karena justru menyebabkan kematian tidak terkontrol pada Rakyat yang terancam dari kuman, ekonomi namun tidak berani berekspresi tentang kondisi  orang-orang lemah di Indonesia. Apapun alasannya, kita tegas  “MENOLAK DARURAT SIPIL DI INDONESIA!”, katanya.

Suara penolakan juga disampaikan oleh Politisi PKS Nasir Djamil, "Presiden Jokowi sebaiknya melupakan keinginannya  menerapkan darurat sipil dalam mengatasi wabah virus corona. Selain rentan berpotensi melanggar hak asasi manusia, darurat sipil menunjukkan kebingungan pemerintah dalam menghadapi pandemi ini," kata Nasir Djamil, Senin (30/3/2020) malam.

Politisi PKS itu juga mendesak Pemerintah agar jangan berlama-lama memberikan kompensasi atau intensif kepada pihak-pihak yang terdampak dari kebijakan karantina wilayah, baik  ekonomi, sosial, psikis, dan medis. "Intinya dalam suasana menghadapi pandemi virus corona jangan banyak berwacana tapi kerja nyata yang dilindungi oleh regulasi yang jelas", ujar politisi asal Aceh itu

Menilik pada ketentuan tentang darurat sipil pada pasal 34 mengatur tentang peraturan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Pejabat Daerah, yakni:

  • Peraturan-peraturan dari Pemerintah Daerah Pejabat Daerah dan Instansi-instansi Daerah lain tidak boleh dikeluarkan dan diumumkan, jika tidak memperoleh persetujuan lebih dahulu dari Penguasa Darurat Militer Daerah yang bersangkutan.
  • Kepada Penguasa Darurat Militer Daerah dapat diberi kekuasaan penuh atau kekuasaan bersyarat oleh Presiden untuk mengatur hal-hal yang harus diatur oleh perundang-undangan pusat, kecuali hal-hal yang harus diatur dengan Undang-undang.

Ketika kebijakan Darurat Sipil diberlakukan, maka seperti yang tercantum dalam pasal 18 UU, penguasa Darurat Sipil memiliki hak untuk:

  • Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan ketentuan bahwa untuk mengadakan rapat-rapat umum, pertemuan-pertemuan umum dan arak-arakan harus diminta idzin terlebih dahulu. ldzin ini oleh Penguasa Darurat Sipil diberikan penuh atau bersyarat. Yang dimaksud dengan rapat-rapat umum dan pertemuan-pertemuan umum adalah rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan umum yang dapat dikunjungi oleh rakyat umum.
  • Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi atau melarang memasuki atau memakai gedung-gedung, tempat-tempat kediaman atau lapangan-lapangan untuk beberapa waktu yang tertentu.
  • Ketentuan-ketentuan. dalam ayat (1) dan (2) pasal ini tidak berlaku untuk peribadatan, pengajian, upacara-upacara agama dan adat dan rapat-rapat Pemerintah.

Selain itu, aturan dalam pasal 19 UU ini menyebutkan Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah, memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai serta menyuruh memeriksanya oleh pejabat-pejabat Polisi atau pejabat-pejabat pengusut lain, seperti yang tercantum dalam pasal 20 dan sebagianya.

Dengan diberlakukannya darurat sipil maka Gubernur atau Bupati/Wali Kota selaku Penguasa Darurat Sipil Daerah  berhak :

  1. Mengeluarkan peraturan polisi
  2. Meminta keterangan dari pegawai negeri
  3. Mengadakan peraturan-peraturan tentang pembatasan pertunjukan-pertunjukan apa pun juga serta semua percetakan, penerbitan, pengumuman dan lain sebagainya.
  4. Menggeledah tiap-tiap tempat
  5. Memeriksa dan menyita barang-barang yang disangka dipakai atau dipakai untuk merusak keamanan
  6. Mengambil atau memakai barang-barang dinas umum
  7. Mengetahui percakapan melalui radio, membatasi pemakaian kode-kode dan sebagainya
  8. Membatasi rapat-rapat umum dan sebagainya dan membatasi atau melarang memasuki dan memakai gedung
  9. Membatasi orang berada di luar rumah
  10. Memeriksa badan dan pakaian
  11. Memerintah dan mengatur badan-badan kepolisian, pemadam kebakaran dan badan-badan keamanan lainnya.

Kiranya menjadi jelas bahwa dengan berlakunya darurat sipil maka aparat mempunyai dasar hukum untuk membubarkan kerumunan orang di ruang public. Sementara Pemerintah daerah mempunyai kekuasaan untuk membuat aturan untuk kepentingan umum selain karantina wilayah. Kepala daerah juga berhak untuk membatasi keberadaan orang diluar rumah. Kepala daerah menjadi ketua gugus tugas dan membawahkan berbagai instansi termasuk kepolisian.

Mengapa Kebijakan PSBB Yang Diambil Pemerintah ?

Harapan beberapa pihak untuk adanya karantina wilayah atau lockdown memang tidak bisa diwujudkan. Pemerintah lebih memilih opsi PSBB daripada lockdown.Juru Bicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman menyampaikan alasan Presiden Jokowi memilih kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ketimbang karantina wilayah atau lockdown. Menurut presiden, penerapan lockdown tidak efektif sebagaimana yang terjadi di India dan Italia.

"Kan sudah ada di dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, di sana kan ada urutannya tuh, karantina rumah, karantina rumah sakit kemudian ada pembatasan sosial skala besar baru kemudian karantina wilayah," kata Fadjroel sebagaimana dikutip jitunews.com , Senin (30/3/2020).

Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin menilai negara tidak hadir di tengah masyarakat yang kesulitan karena wabah Corona pasca memilih opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan kebijakan Darurat Sipil.“Negara tak hadir di tengah- tengah masyarakat yang kesulitan karena wabah Corona. Berbeda dengan negara lain. Pemimpinnya memerangi langsung virus Corona dengan berbagi penderitaan dengan rakyat,” sebagaimana dikutip kedaipena.com , Selasa, (31/3/2020).

Ujang mengungkapkan di negara lain rakyat disuruh untuk tetap di rumah dengan kepastian kebutuhan hidupnya dijamin oleh negara.“Di Indonesia. Masyarakat di suruh di rumah. Tapi kebutuhan hidup rakyat harus memenuhi sendiri,” tegas Ujang.

Sesuai dengan ketentuan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2018, ketika terjadi karantina wilayah maka hak hak masyarakat harus diberikan. Adapun hak masyarakat selama dalam karantina wilayah, adalah tercukupinya kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina dimana semua itu menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Kemudian, Pasal 8 UU 6/2018 menegaskan bahwa setiap orang juga mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina.Selain itu, setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.

Bisa jadi karena ingin  menghindarkan diri dari kewajiban negara “menyantuni” rakyatnya pada saat pelaksanaan di saat wabah corona merebak inilah akhirnya pemerintah Pusat  lebih suka menerapkan PSBB daripada karantina wilayah.

Keengganan Pemerintah ini rupanya ditangkap pula oleh Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Haris Azhar. Ia menilai bahwa pemerintah enggan me-lockdown negara karena ingin menghindari tanggung jawab menyantuni masyarakat sipil yang tak bisa bekerja.Pernyataan ini ia sampaikan ketika menjadi narasumber dalam acara Indonesia Lawyers Club di TV One, Selasa (24/3/2020).

"Saya melihat pemerintah tidak mau lockdown karena pemerintah pusat mau menghindar dari tanggung jawab untuk ngurusin warganya, yang minta kalau dua minggu diam di rumah, kirimin berasnya," kata Haris memberikan penjelasannya.

Suara keras juga disampaikan oleh Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu. Ia heran semestinya Jokowi selaku kepala negara bisa menerapkan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kerantinaan Kesehatan."Ada UU karantina wilayah yg bisa digunakan, sekarang mau gunakan UU thn 59 utk darurat sipil. Ini semua akal2an untuk: 1. Lari dari tanggung jawab utk penuhi kebutuhan rakyat krn ga ada lagi uang. 2. Lebih mengutamakan kekuasaan daripada menyelamatkan nyawa rakyat," kata Said dikutip dari akun Twitternya, Selasa, 31 Maret 2020.

Kebijakan Pemerintah untuk menghindarkan diri dari kebijakan karantina wilayah atau lockdown ini memang patut disesalkan sementara kalau kita bandingkan dengan kebutuhan lainnya misalnya pembangunan infrastruktur, pindah ibukota atau pembahasan RUU Omnibus law, pemerintah begitu sigap mencarikan dananya. Bahkan dibela belain dengan cara ngutang ke mancanegara untuk mendapatkan dananya.

Tapi giliran ada wabah penyakit dimana untuk mengendalikan penyebarannya dilakukan dengan cara karantina wilayah yang mengandung konsekuensi keharusan Pemerintah Pusat menyediakan biaya hidup rakyat selama masa lockdown atau karantikan wilayah, Pemerintah tidak mau melakukannya. Menjadi pertanyaan tentunya, kalau sudah begini kondisinya maka keberadaan pemerintah itu untuk siapa ?

Wajar kalau kemudian banyak pihak yang meminta supaya Pemerintah mengalokasikan dana yang awalnya untuk pembiayaan seperti pindah ibukota dan dana Desa dialihkan ke penanganan virus corona. Seperti yang disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Seperti diberitakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyarankan Pemerintah segera melakukan lockdown nasional atau wilayah secepatnya demi mengantisipasi penyebaran virus corona.  Kemudian mengalihkan sebagian anggaran yang ada di APBN untuk menanganinya.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI, Anwar Abbas mengatakan salah satu anggaran yang perlu dialihkan adalah pembangunan ibu kota baru. Menurutnya pembiayaan ibu kota baru harus ditunda sementara untuk penanganan corona. "Menunda penggunaan rencana anggaran pemindahan ibu kota untuk yang tahun 2020 ini seluruhnya dan atau sebagiannya bagi dipergunakan untuk menolong ekonomi rakyat dan memulihkan perekonomian nasional," ujar Anwar dalam keterangan tertulis yang dikutip Suara.com, Minggu (29/3/2020).

Selain itu, ia juga meminta dana untuk desa dan Kelurahan dialihkan. Anggaran ini dinilai lebih baik digunakan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat saat lockdown."Mengalihkan seluruh dan atau sebagian anggaran yang diperuntukkan bagi desa dan kelurahan bagi menolong rakyat setempat selama masa lockdown," tuturnya.

Harapan sudah banyak disuarakan oleh masyarakat  tapi realisasinya tidak sesuai dengan harapan yang ada. Pemerintah nampaknya menganggap kalau dana yang ada digunakan untuk kebutuhan rakyatnya dalam menghadapi corona  dianggap sebagai sebuah kerugian. Pada hal tujuan pendirian negara adalah melindungi segenap warga bangsa dan mensejahterakannya. Pemerintah macam apakah ini kiranya ?

Fungsi dan Harapan kepada  Polri

Dalam rangka menjalankan kebijakan PSBB yang bernuansa darurat sipil, Polri memegang peranan yang sangat penting karena selama ini Polri terlihat aktif melaksanakan fungsinya sebagai garda terdepan dalam memerangi penyebaran virus corona.

Langkah langkah yang telah diambil oleh Polri adalah sejalan dengan fungsinya  sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI yaitu :Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Sejauh ini atas dasar instruksi Presiden untuk menerapkan sosial distancing, Kapolri telah pro aktif mengeluarkan maklumat kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah dalam penanganan penyebaran virus corona.

Dengan dasar pertimbangan untuk  memberikan perlindungan kepada masyarakat, serta mengacu asas keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex Esto), Kapolri telah mengeluarkan Maklumat sebagai berikut :

  1. Tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak, baik ditempat umum maupun di lingkungan sendiri, yaitu :
  2. Pertemuan sosial, budaya, keagamaan dan aliran kepercayaan dalam bentuk seminar, lokakarya, dan kegiatan lainnya yang sejenis;
  3. Kegiatan konser musik, pekan raya, festival, bazar, pasar malam, pameran dan resepsi keluarga;
  4. Kegiatan olah raga, kesenian dan jasa hiburan;
  5. Unjuk rasa, pawai dan karnaval, serta;
  6. Kegiatan lainnya yang sifatnya berkumpulnya massa.
  7. Tetap tenang dan tidak panik serta lebih meningkatkan kewaspadaan di lingkungan masing-masing dengan selalu mengikuti informasi dan himbauan resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah;
  8. Apabila dalam keadaan mendesak dan tidak dapat dihindari, kegiatan yang melibatkan banyak orang dilaksanakan dengan tetap menjaga jarak dan wajib mengikuti prosedur pemerintah terkait pencegahan penyebaran Covid-19;
  9. Tidak melakukan pembelian dan/atau menimbun kebutuhan bahan pokok maupun kebutuhan masyarakat lainnya secara berlebihan;
  10. Tidak terpengaruh dan menyebarkan berita-berita dengan sumber tidak jelas yang dapat menimbulkan keresahan di tengah masyarakat;
  11. Apabila ada informasi yang tidak jelas sumbernya dapat menghubungi kepolisian setempat;

Maklumat tersebut juga telah mengandung  ancaman ancaman pidana bagi mereka yang berani melanggarnya sebagai berikut :

  1. Ancaman Pidana bagi pelaku : Pasal 14 (1) Undang-Undang No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular”Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)”.
  2. Pasal 93 Undang-Undang No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraaan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraanKekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratur juta rupiah)”.
  3. Pasal 212 KUHP.Melawan seorang pejabat yang menjalankan tugas yang sah, dipidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan.
  4. Pasal 214 KUHP. Jika hal tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih maka ancaman pidana nya maksimal 2 tahun penjara
  5. Pasal 216 ayat 1 KUHP. Tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang, dipidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu.
  6. Pasal 218 KUHP. Barang siapa pada waktu rakyat dating berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta dengan pidana penjara 4 bulan 2 minggu.

Dengan diberlakukannya darurat sipil sebagai dasar distancing skala besar, untuk mengatasi wabah corona, paling tidak ada 2 implikasinya,yaitu :

  1. Aparat bisa menindak suara suara kritis dan  ketidakpuasan publik atas kinerja Pemerintah dalam menangani wabah corona, yang dianggap sebagai pembangkangan terhadap negara
  2. Darurat sipil membebaskan pemerintah dari kewajiban menyediakan kebutuhan pokok rakyat saat diwajibkan utk tetap di rumah. Berbeda halnya dengan karantina wilayah, yang mewajibkan pemerintah pusat bertanggung jawab atas kebutuhan pokok rakyat yang terkena karantina wilayah.

Selaku wakil rakyat kami mengkhawatirkan dua hal tersebut akan terjadi dan dipraktekkan oleh pihak Polri yang selama ini menjadi garda terdepan dalam menjalankan fungsi keamanan dan ketertiban. Namun jangan sampai dengan alasan ini rakyat yang kemudian dikorbankan.

Karena kalau ini terjadi berarti ada dua sial yang bakal diterima oleh masyarakat. Sial pertama adalah punahnya harapan untuk mendapatkan santunan dicukupinya kebutuhan dasar yang seharusnya didapat jika opsi kebijakan karantina wilayah yang diambil pemerintah. Sial kedua adalah masyarakat akan dihantui oleh ketakutan dan kekhawatiran kalau melakukan protes karena dianggap melakukan pembangkangan.

Harus diakui, paket hemat yangg ditempuh oleh Pemerintah melalui PSBB bernuansa darurat sipil , mungkin bisa mengurangi penyebaran Covid-19. Tetapi tidak memberikan jaminan kebutuhan pokok pada rakyat miskin, pekerja serabutan dll, yang akan kian sulit memenuhi  kebutuhan dasarnya. Juga tidak menjamin perlindungan HAM bagi mereka yang ingin menyuarakan aspirasinya.

Sungguhpun demikian kita  berharap pihak aparat tetap bijak melaksanakan peran dan fungsinya dalam mengawal kebijakan PSBB yang bernuasa darurat sipil ini berdasarkan peraturan pelaksanaannya (PP) yang mungkin sebentar lagi akan dikeluarkan oleh Pemerintah. Kita berharap isi PP  sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungann HAM dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Penutup

Menurut pandangan kami, kondisi merebaknya virus corona sekarang sesungguhnya belum memenuhi syarat untuk diterapkannya darurar sipil sebagaimana kriteria yang tertuang dalam  Pasal 1 Perpu 23/1959. Disini nampaknya Pemerintah memandang bahwa wabah Covid-19 sebagai bencana Alam. Padahal definisi bencana alam sudah diatur dalam UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Oleh karena itu belum tepat kiranya kalau diterapkan keadaan darurat sipil apalagi darurat militer dalam menghadapi virus corona. Karena yang dihadapi adalah virus atau kuman dan bukan ancaman militer atau pemberontakan. Karena itu Negara harus menyiapkan sistem Layanan Kesehatan khusus untuk mengobati virus Corona secara memadai sampai dipolosok tanah air . Menyiapkan Tenaga Profesional dan perawat secara masif. Mengintegrasikan layanan kesehatan tersebut dengan layanan kesehatan atau instalasi kesehatan militer

Secara legalitas, Presiden Jokowi harus berpijak kepada UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dalam menanggulangi permasalahan wabah COVID-19; dan bukan yang lainnya apalagi darurat sipil.

Sebagai bagian dari prosedur menghadapi bencana, Presiden harus mengeluarkan Keppres terkait penetapan status bencana nasional yang akan menjadi payung hukum penerapan kebijakan pembatasan sosial.Keppres tersebut termasuk mengatur struktur komando pengendalian (kodal) bencana yang lebih jelas yang dipimpin oleh Presiden sendiri.

Keppres tersebut juga harus memasukan dan menanggulangi kerugian terhadap pihak-pihak yang terdampak dari kebijakan tersebut, baik ekonomi, sosial dan kesehatan. Selanjutnya demi efektivitas penanganan kekarantinaan kesehatan pemerintah perlu segera mengeluarkan peraturan pelaksanaannya (PP) yang sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM dan keadilan bagi warga negara. PP inilah nantinya yang akan menjadi pedoman bagi pihak terkait termasuk aparat kepolisian (jika dilibatkan) untuk menjalankan tugasnya.

 

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar