Himawan Sutanto, Pemerhati Budaya Politik

Makna Darurat Sipil dan Kecemasan Istana

Selasa, 31/03/2020 14:09 WIB
Wacana Darurat Sipil Jokowi (koran tempo)

Wacana Darurat Sipil Jokowi (koran tempo)

Jakarta, law-justice.co - Dalam pidato di Istana Bogor, Presiden Joko Widodo  meminta agar dilakukan kebijakan pembatasan sosial dalam skala besar. Langkah ini dilakukan untuk menanggulangi persebaran virus corona atau Covid-19.

Jokowi juga meminta ke depan agar dilakukan kebijakan darurat sipil. Menurutnya, hal itu perlu diterapkan agar penyebaran Covid-19 di Tanah Air tidak semakin meluas ke sejumlah wilayah.

Penetapan darurat sipil itu dirasa aneh, sebab Indonesia baru kena wabah virus Covid19 dan itu harus ada solusi pencegahannya. Apalagi pemerintahan Jokowi telah memiliki rujukan yang ada yakni UU No. 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Yang sampai sekarang belum pernah digunakan. Padahal menggunakan UU tersebut adalah solusi awal yang lebih pas dalam melakukan pencegahan.

Dibalik Darurat Sipil

Sepertinya darurat sipil yang dipakai oleh Jokowi adalah kurang tepat dan menunjukkan bahwa Istana sudah mengalami kecemasan, kepanikan terhadap kekuasaannya. Hal itu bisa dilihat dari latar belakang istana dalam menghadapi kasus virus tersebut. Dimana sejak awal selalu meremehkan dengan kasus tersebut atau lebih pastinya jadi gojekan murahan para pejabat.

Darurat sipil yang dipakai pemerintah adalah Darurat Sipil yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Pasal 1 menyatakan, Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang. Tiga syarat keadaan darurat itu ditentukan dalam Pasal 1 ayat 1, 2, dan 3.

Hal ini yang akan menjadikan alasan tersebut diatas dilakukan karena bukan saja virus covid19, tapi lebih dari itu dipakai dalam prespektif politik kekuasaan.

Legitimasi Jokowi yang semakin menurun adalah nyata adanya. Dimana rakyat lebih percaya kepada Kepala Daerahnya dalam menangani wabah virus corona tersebut. Kebijakan lockdown atau karantina wilayah didaerah ternyata lebih efektif dibandingkan himbauan pemerintah pusat.

Keputusan para Kepala Daerah yang melakukan karantina wilayahnya menjadikan rakyat bersatu padu untuk menjaga daerahnya dari para pemudik yang datang dari kota besar. Bahkan Gubernur Yogyakarya akan melakukan karantina 14 hari kepada para pemudik.

Pernyataan juru bicara BNPB adalah triger dalam menghadapi virus tersebut. Dimana juru bicara BNPB telah menyalahkan rakyat miskin sebagai penyebar virus tersebut. Hal itu menjadi viral dan dibully habis di sosial media.

Sepertinya rakyat miskin adalah penyebab penularan virus corona ke orang kaya. Padahal justru orang kaya yang punya kesempatan bepergian ke LN dengan pesawat. Pernyataan juru bicara BNPB blunder dan menjadi akumulasi kekesalan rakyat terhadap pemerintah pusat.

Ditambah lagi munculnya Walikota Tegal yang dengan gagah berani mengatakan kota Tegal lockdown dan semua akses masuk ditutup dan dijaga. Hal itu yang membuat rakyat punya figur tokoh pembela rakyat menghadapi virus Corona. Disamping ada figur lain seperti, Anis Baswedan, Sri Sultan HB X dan akhirnya banyak daerah yang mengikuti jejak langkah Walikota Tegal.

Disinilah pentingnya pemimpin hadir ketika rakyat panik. Bukan memberikan apologie yang tidak sesuai konteksnya. Seperti memberi diskon tiket pesawat, mengundang turis datang dan lain-lain.

Hal itu bisa dilihat sepertinya kehadiran para tokoh daerah yang dengan jelas dan tegas, semua langkah dan pesannya diikuti dengan penuh rasa percaya diri bisa melawan wabah virus Corona bersama dengan tinggal dirumah dan memutus rantai penyebarannya. Seperti Anis Baswedan di Jakarta dengan segala upaya menghentikan atau melakukan edukasi ke warga dengan rasional bisa diikuti, bahkan peran paramedis diperlakukan istimewa, sampai ada tunjangan harian.

Hal itu wajar, karena paramedis adalah garda terdepan menghadapi serangan virus tersebut. Bahkan surat Anis yang ditujukan buat paramedis menjadi viral. Begitu juga dengan pesan Sri Sultan HB X di Yogyakarta menjadi panutan warga. Bahkan pesan berdurasi 1-2 menit dengan menggunakan bahasa jawa dengan iringan gending gamelan jawa yang sangat apik dan mejadi viral. Dari situlah kita bisa melihat bahwa begitu paniknya istana melihat realitas yang ada.

Opsi darurat sipil juga bentuk sikap otororiternya negara dengan segala daya upaya menghentikan semua kebebasan yang ada jadi terkontrol dan bisa diadakan penangkapan-penangkapan kedepannya. Disamping itu negara juga tidak mau menghadapi soal pemberian santunan jika terjadi lockdown atau karantina wilayah-karena memang tidak ada uang.

Padahal banyak rumor yang beredar bahwa Darurat Sipil juga dipakai guna memuluskan pengesahan Omnibus Law yang sedang digodog DPR. Bahkan Virus Corona dengan secara apik dapat menggeser isu Jiwasraya, Asabri dan larinya Harun Masiku.

Tidak hadirnya banyak menteri

Menghadapai virus corona diatas negara memang tidak siap, Menkes saja tidak pernah hadir secara signifikan menghadapi kasus tersebut, pertanyaannya ada apa dengan Menkes?. Lalu juru bicara BNPB juga kurang kapable sebagai juru bicara.

Menteri sosial juga dipertanyakan keberadaannya, lalu semua diserahkan pada orang yang tidak memiliki kapasitas solusi. Bahkan bisa dihitung siapa saja menteri yang aktif dan tidak jelas keberadaannya, padahal gaji terus diterima.

Yang memprihatinkan, bahwa kas negara sepertinya tidak ada dana, sampai Menkeu sudah minta donasi sebagai sarana melawan virus Corona. Kita bisa melihat banyak sekali lubang kondisi riil negara ini, tapi pejabat tetep saja menutupinya. 

Bahkan persoalan data korban Virus corona saja tidak dibuka, bahkan.Sltan pernah minta data saja tidak dikasih sampai sekarang. Sementara gerakan mau utang ke bank dunia saja masih dengan alasan membantu UMKM karena adanya dampak pendemi. Padahal bank dunia hanya membantu negara yang melakukan lockdown.

Pertanyaannya adalah kenapa pejabat kita tidak terbuka? Hal itulah yang mejadi persoalan yang harus dijawab sebenarnya, sebab keterbukaan akan membawa kebaikan. Kekuasaan itu tidak abadi dan selalu berganti. Tapi negara dan rakyat akan selalu ada. Jangan sampai darurat sipil justru akan terciptanya istabilitas politik baru.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar