Terendus, Manfaatkan Pandemi Corona untuk Lengserkan Jokowi

Selasa, 31/03/2020 13:07 WIB
Presiden Joko Widodo (Foto: dok. Kompas)

Presiden Joko Widodo (Foto: dok. Kompas)

Jakarta, law-justice.co - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan akan menjalankan kebijakan pembatasan sosial berskala besar dengan "physical distancing" yang lebih tegas dan disiplin dan bila perlu didampingi kebijakan darurat sipil. Dengan demikian pemerintah tidak menerapkan lockdown.

Menanggapi keputusan pemerintah ini, pengamat politik S Indro Tjahyono mengatakan, Presiden Jokowi menetapkan darurat sipil untuk atasi pandemi virus Covid 19 karena karakteristik Covid 19 belum terdeteksi dengan baik.

Pemerintah tetap tidak memberlakukan lockdown sesuai UU Kekarantinaan Kesehatan yang diperkirakan akan berdampak pada kemunduran ekonomi dan situasi sosial yang tidak terkendali.

Menurutnya, pemberlakuan lockdown di Itali, Amerika, dan India terbukti menciptakan kekacauan politik dan penjarahan selain menimbulkan dampak buruk terhadap ekonomi dan moneter.

“Di Indonesia bahkan tercium gelagat adanya gerakan politik untuk memanfaatkan serangan virus Covid 19 sebagai momentum melakukan pergantian kekuasaan. Mendorong pelengseran Jokowi. Kepala daerah sebagian benar-benar ingin melakukan lockdown untuk menyelamatkan nyawa warganya, namun sebagian ingin memberlakukan lockdown untuk melumpuhkan otoritas pemerintah pusat,” papar Indro, Senin 30/3/2020).

Gejala untuk mendorong pergantian kekuasaan ini, lanjut aktivis mahasiswa 77/78 ini, bisa diamati dari adanya Gubernur yang tanpa argumentasi dan analisa yang matang menuntut diberlakukan lockdown.

Efek berantai jika lockdown satu daerah ditolerir, tentu akan merembet ke daerah lain yang menyebabkan roda pemerintahan berhenti. Dalam pada itu, ada saja kelompok yang akan memanfaatkan situasi, misalnya KKB yang saat ini meningkatkan ofensi militernya di Papua.

“Kondisi khas inilah yang membuat presiden memilih pemberlakuan darurat sipil daripada sekedar pemberlakuan lockdown. Pemerintah ingin lebih secure dan lebih pasti dalam mengambil keputusan serta tidak digoreng oleh pikiran-pikiran yang dilatarbelakangi vested interest politik,” kata Indro.

Darurat Sipil

Darurat Sipil (DS) hakekatnya sama dengan Darurat Militer (DM) karena Presiden sebenarnya juga Panglima Tinggi militer. Perbedaan paling mencolok antara DS dan DM hanya terletak pada komando tertingginya.

Dalam DM yang bertindak sebagai Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) adalah militer yang ditunjuk presiden. Pada DS komandan dipegang oleh pejabat sipil yakni gubernur/kepala daerah setempat.

Kedua status keamanan itu diatur dalam UU No.23/Prp 1959 tentang Keadaan Bahaya. Hal itu dimaksudkan jika keamanan atau ketertiban hukum terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam yang dikuatirkan tidak dapat diatasi.

Hidup negara berada dalam keadaan bahaya yang dikhawatirkan membahayakan hidup negara. Penguasa Darurat Sipil Daerah dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari komandan militer tertinggi, seorang kepala polisi, dan kepala kejaksaan dari daerah bersangkutan.

Menurut Indro, jangan tanya apakah masih ada demokrasi pada masa damai pada Darurat Sipil. Tetapi inilah pilihan pemerintah karena harus perang menghadapi dua musuh sekaligus. Pertama, virus Covid 19 itu sendiri dan Kedua, orang-orang yang menunggangi pandemi untuk menciptakan panik sosial dan suasana kacau,” papar Indro.

Indro mengemukakan, tentu masyarakat yang cinta demokrasi tidak ingin status darurat sipil diberlakukan terlalu lama. Karena di bawah status ini ada pembatasan terhadap pertunjukan, percetakan, penerbitan dan publikasi; menggeledah tiap-tiap tempat; menyita peralatan yang digunakan untuk merusak keamanan.

Selain itu, lanjutnya, juga melakukan sensor atas percakapan melalui media sosial; membatasi rapat-rapat umum dan pemakaian gedung; membatasi orang berada di luar rumah; dan melakukan pemeriksaan badan.

“Keadaan ini juga tidak pernah dibayangkan oleh para relawan yang mendambakan iklim demokratis dan terbuka. Tetapi kami dapat memahami jika pemerintah mengambil kebijakan yang tepat ketika situasi force majeur ini dijadikan peluang untuk menciptakan suasana chaos. Jelaslah bahwa founding father tidak pernah membayangkan negara merdeka dikelola secara darurat,” ungkap Indro. (Harianterbit.com).

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar