H. Desmond J. Mahesa, SH.MH, Wakil Ketua Komisi III DPR RI :

Menyesali Kinerja Polisi yang Cenderung Menjadi Musuh Rakyat

Rabu, 18/03/2020 10:41 WIB
karikatur Japrak Usil. (Law-Justice)

karikatur Japrak Usil. (Law-Justice)

Jakarta, law-justice.co - Sebuah video berdurasi 58 detik yang menayangkan kedatangan  49 tenaga kerja asing (TKA) China yang kembali masuk ke Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Minggu 15 Maret 2020, jam 20.00 Wita menjadi viral di sosial media. Dalam video itu terdengar suara seseorang berteriak dan mengaitkan kedatangan puluhan WNA itu dengan virus corona yang telah mewabah di seluruh dunia.

Sehubungan dengan beredarnya video itu, Polda Sulawesi Tenggara lalu menangkap  Hardiono alias HD (39) warga Desa Onewila, Kecamatan Ranomeeto, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) Sulawesi Tenggara. Ia di tangkap dengan tuduhan sebagai penyebar hoaks sehingga menimbulkan keresahan dimasyarakat khususnya di Sulawesi Tenggara.

Sementara itu, HD menyampaikan permohonan maaf atas video yang diunggahnya di media sosial media. Ia mengaku, tujuan disebarnya video tersebut hanya bentuk keisengan semata.“Saya pembuat rekaman video yang viral terkait kedatangan warga China. Saya ucapkan secara spontan dan hanya untuk main-main saja. Saya meminta maaf yang sebesar-besarnya. Jika saya mengulanginya lagi maka saya siap dihukum sesuai dengan hukuman yang berlaku,” ucapnya.

Menurut Kapolda Sultra Brigjen Merdisyam, WNA asal China tersebut  merupakan tenaga kerja asing dari perusahaan tambang.    “Mereka baru datang dari Jakarta, bukan dari China. Memang selama ini belum pernah pulang ke China. Mereka akan ke Morosi untuk kembali bekerja,” ungkap Kapolda saat dikonfirmasi di Rumah Jabatan (Rujab) Gubernur Sultra, Minggu (15/3/2020).Mereka merupakan TKA asal China itu datang dari Jakarta usai mengurus perpanjangan visa dan izin kerja. Selanjutnya, mereka akan kembali bekerja di perusahaan smelter yang ada di Sultra.

Jelasnya, Kapolda Sultra menegaskan bahwa puluhan WNA tersebut bukan datang dari Cina. TKA itu datang dari Jakarta usai mengurus perpanjangan visa dan izin kerja. “Kami sudah melalukan pengecekan bahwa benar mereka adalah TKA bekerja di salah satu perusahaan smelter di Sulawesi Tenggara,” kata Kapolda Merdisyam seperti dikutip tribunnews.com (16/03).

Belakangan, Kementerian Ketenagakerjaan melalui Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan Kesehatan Kerja RI telah membantah keterangan Kapolda Sultra. Ia mengkonfirmasi bahwa 49 WNA yang masuk melalui Bandar Udara Haluoleo pada Minggu 15 Maret 2020 itu bukan pekerja yang mengurus perpanjangan kerja.

“Kalau mereka urus perpanjangan kerja harus melalui Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja di Daerah, tapi kita tidak pernah keluarkan, saya juga sudah melakukan pengecakan di Kementerian tapi data mereka tidak ada,” kata Kepala Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi Tenggara, Saemu Alwi kepada topiksultra.com (16/03).

Bahwa TKA yang datang itu berasal dari China dibenarkan oleh Sofyan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM) Sulawesi Tenggara (Sultra). Ia menjelaskan, puluhan TKA itu merupakan warga Provinsi Henan, China, yang transit di Bangkok, Thailand, untuk mengurus visa kunjungan, lalu selanjutnya ke Indonesia. Demikian sebagaimana dikutip dirilis melalui siaran pers lembaganya.

Puluhan TKA itu, tiba di Thailand, pada 29 Februari 2020 dan sempat menjalani karantina selama 14 hari, hingga 15 Maret 2020. Kemudian mereka ke Jakarta, Indonesia.“Benar, berdasarkan cap tanda masuk imigrasi Thailand yang tertera pada paspor mereka tiba di Thailand, pada 29 Februari 2020. Tapi mereka juga telah dibekali dengan hasil medical sertifikat atau surat kesehatan, dari pemerintah Thailand,” dalam rilis yang ditandatanganinya.

Kalau sudah begini kejadiannya, lalu siapa sebenarnya yang telah berbohong kepada publik dan menyebabkan keresahan dimasyarakat ditengah heboh merebaknya virus corona ?

Memantik Reaksi

Karuan saja penangkapan terhadap pengunggah video Hardiono tersebut telah menimbulkan reaksi dan tanggapan banyak pihak karena terbukti video kedatangan TKA asal China di Bandara Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara itu benar adanya. Jadi bukan hoaks  sebagaimana dinyatakan oleh Kapolda.

Komisioner Ombudsman Laode Ida, mengecam langkah Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara yang memidanakan orang yang menyebar video kedatangan TKA Cina di Bandara Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara.Ia menilai langkah Kapolda itu merupakan wujud instrumen negara yang otoriter dan dikendalikan oleh pemodal asing. Serta tak mempedulikan ancaman pandemi Virus Corona."Sekali lagi, hal itu merupakan sikap dan kebijakan berwatak arogan, suatu ciri negara otoriter di mana para pejabatnya yang lebih cinta pemodal atau warga asing ketimbang keselamatan jiwa dari warganya sendiri," katanya, Senin, 16 Maret 2020.

Anggota Komisi III DPR DPR RI  yang juga Sekjen DPP Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengaku telah melaporkan kasus Kapolda Sultra tersebut ke Kapolri Jenderal Idham Azis di Jakarta.  “Saya sudah chat ke Kapolri, dan beliau (Kapolri) sudah respons. Intinya, saya menyampaikan kebingungan publik atas informasi bias Kapolda Sultra terkait kedatangan TKA dan meminta Polri untuk mengklarifikasi ulang kebenaran situasi di Sultra,” kata Hinca saat dihubungi, Selasa (17/3).

Anggota DPR tersebut menuturkan, sudah menyerahkan keputusan soal kemungkinan adanya sanksi terhadap Kapolda Sultra kepada Idham Azis sebagai pucuk pimpinan Polri.“Kita serahkan sepenuhnya ke Kapolri. Kita tunggu,” ujar Hinca.

Reaksi cukup keras di sampaikan oleh Praktisi hukum Arman Garuda Nusantara menyoal pemidanaan penyebar video viral di Sultra.“Saya pidanakan balik itu Kapolda kalau berani pidanakan saya.. Emangnya siapa dia berani-beraninya Pidanakan Warga Negara yang ingin membuka tabir kejahatan di negara kita ?,” tulis mantan Staf Ahli Menpan RB Yudhi Chrisnandi itu di akun Twitter @armangn8.

Sosiolog yang juga rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta Musni Umar menanggapi klarifikasi Kepala Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Sultra.“Mereka bebas masuk TKA di Sultra karena ada proyek besar China di Morosi, Kab. Konawe Sulawesi Tenggara. Mereka bebas masuk ke Sultra melalui laut dan udara,” tulis Musni Umar di akun @musniumar meretweet tulisan bertajuk “Kemenaker Bantah Keluarkan Izin Kerja 49 WNA yang Masuk di Bandara Sultra”. Ini bukan masalah sepele, ini soal bangsa dan negara.

Masuknya TKA asal China ini memang menunjukkan amatirnya pemerintah dalam menangani mewabanya virus corona di Indonesia. Hal ini bertolak belakang dengan penyataan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, pada 2 Februari 2020 lalu yang melarang yang mempunyai Paspor atau WNA China masuk ke Indonesia.“Semua pendatang yang tiba dari China daratan dan sudah berada di sana selama 14 hari, untuk sementara tidak diizinkan untuk masuk dan melakukan transit di Indonesia,” terang Retno usai rapat terbatas dengan Presiden RI di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Minggu (2/2/2020).

Tak hanya itu, Retno juga mengatakan pemberian fasilitas bebas visa untuk warga negara China untuk sementara juga dihentikan.“Kebijakan pemberian fasilitas bebas visa kunjungan dan visa on arrival, untuk warga negara RRC dan yang bertempat tinggal di China daratan untuk sementara dihentikan,” tambahnya.

 Namun faktanya, larangan tersebut tidak ditaati alias diabaikan begitu saja.Terbukti warga Negara Tirai Bambu itu, datang ke Sultra untuk menjadi Tenaga Kerja Asing (TKA), di salah satu perusahaan tambang nikel yang ada, di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.Demikian disampaikan Senator Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Sya’roni kepada RMOL, Selasa (17/3/2020).

Peristiwa kedatangan 49 warga China di sultra menurut Senator Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Sya’roni, membuktikkan tidak adanya koordinasi antar instansi pemerintah. Atau juga bisa dicurigai ada yang bermain di bawah meja.“Video Harjono menjadi bukti betapa mudahnya orang dari China memasuki Indonesia,” ujarnya.

Sangat besar kemungkinan, bahwa kondisi kondisi serupa sejatinya lebih banyak terjadi.“Itu baru yang tertangkap kamera. Patut dicurigai entah berapa banyak yang lolos dan tidak diketahui publik,” sambungnya.

Tanggapan keras juga disampaikan oleh Anggota DPR RI, Supriansa yang meminta Kapolri Jenderal Idham Azis mencopot Brigjen Merdisyam sebagai Kapolda Sulawesi Tenggara.“Ini sebuah kecelakaan yang sangat fatal. Aparat mestinya tidak boleh seceroboh itu menerima informasi atau memberi keterangan pers. Apalagi di kepolisian ada namanya intelijen. Mestinya lebih awal memastikan kebenaran sebuah informasi melalui intelijennya,” kata Supriansa ke Fajar.co.id, Selasa (17/03/2020).

Anggota Komisi III DPR RI yang membidangi hukum, HAM dan keamanan ini juga menyayangkan langkah kepolisian yang menangkap pelaku pengambil dan penyebar video kedatangan TKA yang akan berkerja di Konawe, Sulawesi Tenggara.“Padahal apa yang dilakukan pria itu justru saya menilai sangat bagus karena memberi informasi lewat rekaman kepada publik,” jelasnya.

Menanggapi adanya peristiwa penangkapan terhadap Hardiono, Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi meminta kepada Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sultra Brigjen Pol Merdisyam agar melepas dan tidak memproses hukum pelakunya. Menurut Ali Mazi, tindakan yang diambil warga Desa Onewila, Kecamatan Ranomeeto, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) itu justru memberikan informasi yang berguna untuk mencegah mewabahnya virus corona.

“Saya terima kasih banyak atas informasi, tapi lain kali jangan begitu, masih ada cara-cara yang elegan, datang ke kantor gubernur atau rujab gubernur,” ujar Ali Mazi saat ditemui di Rumah Jabatan (Rujab) Gubernur Sultra, Senin (16/3/2020).

Mungkin setelah mendapatkan respons yang kurang menguntungkan, pada akhirnya Kapolda Sulawesi Tenggara, Brigjen Merdisyam, menyampaikan permohonan maaf karena telah menyampaikan informasi yang keliru terkait kedatangan 49 tenaga kerja asing (TKA) asal China di Bandara Haluoleo Kendari Sulawesi Tenggaran pada Minggu (15/3/2020).  "Permohonan maaf kepada rekan-rekan sekalian dari saya sebagai Kapolda Sultra," kata Merdisyam dalam keterangan pers di Media Center Mapolda Sultra, Selasa (17/3/2020).

Permohonan maaf ini merupakan kali kedua setelah sebelumnya tanggal 24 Oktober 2019 yang lalu, Kapolda juga menyampaikan permohonan maafnya. Kala itu permohonan maaf disampaikan atas intimidasi dan tindak kekerasan terhadap sembilan jurnalis saat meliput aksi mahasiswa di Mapolda.“Jika ini benar-benar terjadi, saya benar-benar menyesali dan mohon maaf, karena saya sangat menghargai dan tahu bagaimana tugas seorang jurnalis," kata Kapolda Sultra Brigjen Merdisyam (24/10/2019).

Saat itu sembilan jurnalis yang mendapat intimidasi dan tindak kekerasan yaitu Ancha (Sultra TV), Ronald Fajar (Inikatasultra.com), Pandi (Inilahsultra.com), Jumdin (Anoatimes.id), Mukhtaruddin (Inews TV).Kemudian Muhammad Harianto (LKBN Antara Sultra), Fadli Aksar (Zonasultra.com), Kasman (Berita Kota Kendari), dan Wiwid Abid Abadi (Kendarinesia.id).

Para jurnalis dipaksa untuk menghapus rekaman gambar dan foto. Petugas berpakain preman merampas ponsel, kemudian tanpa izin menghapus seluruh gambar dan rekaman. Oknum tersebut juga mengancam para jurnalis dengan semena mena.Bahkan, wajah jurnalis direkam dengan dibumbui ancaman. "Awas saya tandai kau," kata Muhammad Harianto dari LKBN Antara Sultra menirukan intimidasi aparat yang  bertugas disana sebagaimana dikutip CNN Indonesia.

Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sultra Sarjono mengecam tindakan represif oknum kepolisian tersebut. "Tindakan represif oknum Kepolisian mencerminkan sikap emosional dan tidak profesional,” ujarnya.

Belakangan bumi Sulawesi Tenggara memang identik dengan tindak kekerasan yang diduga  dilakukan oleh aparat negara. Tercatat dua mahasiswa tewas yaitu Randi (21) dan Muhammad Yusuf Kardawi (19). Keduanya meninggal dunia diduga karena dibedil oleh aparat yang bertugas disana ketika mahasiswa berdemonstrasi menentang revisi UU KPK.

Randi tewas tertembak dalam demo berujung bentrok dengan polisi di depan gedung DPRD Sultra, Kendari, Kamis (26/9). Gabungan tim dokter forensik yang melakukan autopsi memastikan Randi tewas karena terkena tembakan senjata.Ketua Tim Forensik dr Raja Alfatih Widya, yang melakukan autopsi, membenarkan lubang pada dada Randy akibat tembakan. "Tidak ada peluru lagi, tapi itu dipastikan dari senjata api," terang Raja, Jumat (27/9/2019).

Menjadi Musuh Rakyat ?

Kebijakan Kapolda Sultra yang begitu sigap menangkap warga yang memvideokan kedatangan WNA asal China lalu menyebutnya sebagai hoaks memang patut disesalkan tentunya. Sebab penangkapan itu terkesan arogan karena tidak didasarkan pada data data yang valid sebagaimana tindakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang aparat negara yang bertuga melindungi rakyatnya.

Justru belakangan yang terbukti berbohong adalah sang Kapolda bukan yang membuat videonya. Dan untuk itu semua Kapolda cukup meminta maaf saja, kemudian selesai perkara. Kalau setiap kesalahan yang dilakukan oleh aparat negara hanya diselesaikan dengan sekedar pernyataan permintaan maaf, kiranya akan menjadi preseden buruk ke depannya.

Sejauh ini memang sudah sering terdengar aparat kepolisian melakukan tindakan tindakan tidak terpuji seperti berbohong dan perilaku buruk lainnya. Yang paling dikhawatirkan adalah ketika fungsi polisi telah menjadi centeng pengusaha dan penguasa sehingga akhirnya polisi menampilkan sosoknya sebagai musuh rakyat.

Bahwa aparat kepolisian telah menampilkan dirinya sebagai “centeng” pengusaha sebenarnya sudah terlihat sejak lama. Sebagai contoh tindakan aparat keamanan yang menembaki dan menangkap warga yang melakukan aksi penolakan terhadap proyek pertambangan di  Sape Bima beberapa tahun silam menunjukkan bahwa kepentingan bisnis di atas segalanya. Aparat tak lagi memperhitungkan akibat dari tindakan tersebut, yaitu merenggut nyawa rakyatnya.

Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat untuk membubarkan para pengunjuk rasa yang menutup alur di pintu masuk Pelabuhan Sape saat melakukan aksinya. Perilaku aparat negara dalam insiden Bima itu juga merupakan perilaku bermental centeng modal. Perilaku yang hanya mungkin dipertanggungjawabkan kepada pemilik modal, bukan kepada rakyat.

Perkara kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian pernah juga terjadi di Mesuji Lampung Sumatera.Beberapa kali terjadi peristiwa kekerasan antara masyarakat petani dengan perusahaan dan penjaga bayaran serta antara masyarakat dengan pihak kepolisian.Masyarakat yang mempertahankan tanahnya mengalami pengusiran, penganiayaan, penangkapan, kekerasan seksual bahkan pembunuhan.

Dalam catatan Kontras telah terjadi kekerasan atas konflik perebutan lahan antara masyarakat setempat dengan perusahaan, baik perusahaan tambang maupun sawit.Kasus-kasus tersebut antara lain terjadi di Poso yang diduga  melibatkan PT Poso Energi; Jambi yang diduga melibatkan PT Krisna Duta Agroindo; Sumatera Selatan yang diduga melibatkan PT Musi Hutan Persada;  Aceh Utara yang diduga melibatkan PT Satiya Agung; Kupang yang diduga melibatkan PT Soe Makmur Resorces; PT Jogya Magaza Iron, Sematera Utara yang diduga melibatkan PT Balakka;  Sulawesi Selatan yang diduga melibatkan PT London Sumatera; serta di Sulawesi Tengah yang diduga melibatkan PT Medco-Pertamina.

Kasus pembunuhan Salim Kancil  di Pasuruan beberapa waktu yang lalu juga menegaskan betapa berkuasanya kaum pemilik modal di daerah sehingga berlaku hukum rimba. Pemodal dengan kekuatan finansialnya bisa menyetir pejabat daerah dengan dukungan aparat keamanan yang bertugas disana. Dengan kekuatan seperti ini, rakyat yang melakukan perlawanan akan di lindas dengan kekuatannya.

Daftar akan bertambah panjang manakala kita tambahkan adanya (oknum) polisi yang menjadi centeng dari pembuat atau pelaku tindakan yang melanggar hukum karena menjadi backing di club-club malam, tempat prostitusi, bahkan tempat berjudi justru mendapatkan perlindungan dari (oknum) polisi, padahal semestinya mereka memberantas hal tersebut. Dalam hal ini masyarakatlah yang menjadi pihak pertama yang dirugikan.

Pendeknnya, beberapa kejadian seperti di Bima (NTB), Mesuji Lampung  dan tempat tempat lainnya mengindikasikan perilaku aparat yang menyimpang. Padahal reformasi telah memberikan peran dan kewenangan polisi yang besar, serta ditunjang dengan anggaran yang besar.Sangat disayangkan kalau kewenangan yang besar itu justru disalahgunakan untuk memusuhi rakyatnya sendiri. Padahal secara fisolofis, negara dibangun atas dasar kepercayaan rakyat, maka seyogyanya harus melindungi kebutuhan rakyatnya, bukan mendukung aktivitas para pemilik modal.

Aparat keamanan telah terbukti  ikut memberi kontribusi meruntuhkan semangat dan sendi-sendi persatuan serta kesatuan bangsa Indonesia.Perilaku `asong` inilah yang menyebabkan Indonesia masih terjajah. Sesungguhnya perilaku aparat keamanan yang berperan sebagai `asong` tak terlepas dari peran Hindia Belanda saat menjajah Indonesia.

Saat terjadi penjajahan, memang ada pribumi yang membantu dan melayani penjajah. Termasuk pasukan militer Belanda seperti KNIL yang menggunakan orang Indonsia sendiri untuk menjadi anggotanya dan siap bertempur melawan saudaranya sendiri. Fenomena seperti itu masih berjalan meski kita sudah merdeka 74 tahun lamanya. Banyak warga Indonesia sendiri justru menjadi `tangan kanan asing` dan rela menjual, menggadaikan negerinya untuk asing.

Apa yang terjadi dengan tentara KNIL, yang merupakan pasukan Belanda di mana 77 persen adalah warga negara Indonesia atau pribumi tidak berubah meskipun zaman sudah berubah. Rupanya perkembangan zaman tidak membuat paradigma KNIL berubah dan lapuk. Bahkan sekarang ini kita dapatkan orang berlomba-lomba untuk menjadi Neo KNIL alias `asong` dengan iming-iming materi, gengsi dan kehormatan. Mereka yang hari ini mentalitasnya budak penjajah justru bangga menjadi Londo Ireng yang menjajah bangsanya sendiri.

Peneliti dari London School of Economics Jacqueline Baker mengatakan ada banyak konglomerat Tionghoa pada era Reformasi yang mengalokasikan anggaran untuk menjalin hubungan baik dengan Polri. Timbal-balik yang ingin didapat konglomerat ini tentunya adalah faktor keamanan dalam menjalankan bisnis. Orang pribumi Indonesia memahaminya sebagai hubungan patron-klien, di mana Tionghoa sebagai patron, atau cukong, menukar modal dengan privilese politik atau kekebalan hukum, tulisnya dalam disertasi berjudul The Rise of Polri: Democratisation and the Political Economy of Security in Indonesia (2012, hlm. 80).

Selain menjadi “centeng” pengusaha, aparat kepolisian juga sering memamerkan perannya sebagai “centeng” penguasa.Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf mengatakan sejak dipimpin Kapolri Jendral Tito Karnavian, Polri telah kehilangan jati dirinya sebagai lembaga penegak hukum dan telah berubah menjadi `bemper` parpol pendukung pemerintah.

Dia menyebut salahsatu buktinya Polri telah menjadi partisan adalah tudingan makar di setiap demonstrasi. Di balik paranoid akan adanya aksi massa, Polri juga kerap menggunakan alasan demo telah ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.

"Orang yang dianggap menggangu presiden secara politik dihabisi, sementara di satu sisi polisi membiarkan berbagai pelanggaran yang bisa mengganggu NKRI seperti persoalan TKA China, orang-orang yang juga menyebarkan fitnah dan berita tidak benar terhadap lawan-lawan politik presiden juga dibiarkan. Orang yang menjaga NKRI dan menjaga akidah Islam ditangkap, sementara orang yang mengusung kembali PKI dibiarkan tanpa ada tindakan. Mengibarkan bendera OPM dibiarkan tanpa tindakan. Ini maunya bagaimana sebenarnya? Masyarakat sekarang gusar," pungkasnya sebagaimana dikutip wartaekonomi.co.id.

Pada hal tugas polisi seharusnya adalah menegakkan hukum dan mengayomi masyarakat Indonesia dan bukan melindungi presiden secara politik di mana polisi dijadikan alat politik untuk memberangus pihak yang dianggap bisa mengganggu presiden secara politik.

Akhir akhir ini terkesan posisi kepolisian memang  telah menggantikan peran tentara pada zaman Orba. Pada zaman Orba, banyaknya penempatan jabatan di pelbagai bidang justru dilakukan oleh militer. Misalnya mantan Panglima ABRI M.Jusuf di posisi Ketua Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), Mayor Jenderal Amirmachmud sebagai Mendagri, Ali Moertopo menguasai Departemen Penerangan, atau Alamsjah Ratu Prawiranegara yang menempati posisi di Departemen Agama.

Namun, penempatan personel militer di lembaga sipil tak didasarkan pada kompetensi atau kepentingan publik. Soeharto, misalnya, menggunakan tentara untuk melanggengkan kekuasaannya. Dosen Fisipol UGM Budi Winarno mencatat, konsep dwifungsi telah membuka peluang penyalahgunaan TNI menjadi alat politik negara.Tentara lebih diorientasikan untuk menjaga kelanggengan kekuasaan Soeharto melalui kekerasan terhadap warga negaranya dibandingkan dengan diorientasikan untuk mengamankan wilayah Indonesia dari ancaman kekuatan eksternal.

Gerakan reformasi telah menghapuskan itu semua. Dwifungsi ABRI dilarang dan penempatan personel di instansi non-militer hanya boleh untuk kementerian/lembaga tertentu. ABRI itu sendiri dibubarkan dan diganti oleh TNI. Polri dipisahkan dari TNI melalui Instruksi Presiden No.2 tahun 1999. Anggota TNI juga tidak boleh lagi langsung ikut penegakan hukum selama tidak menyangkut keamanan nasional. Polri menjadi garda terdepan untuk bersemuka dengan masyarakat dalam urusan hukum.

Dampaknya, Polri berpeluang jadi alat gebuk penguasa menggantikan tentara. Apalagi dengan adanya faktor polisi bertanggung jawab kepada negara. Tindakan penegakan hukum oleh Polri sangat ditentukan oleh pihak penguasa.Dalam konteks ini, maka polisi mencerminkan sikap dan nilai-nilai yang dipraktikan pihak penguasa (negara). Jika penguasa menunjukkan rasa tidak hormat kepada prinsip-prinsip negara hukum, maka kecil kemungkinan mewujudkan pemolisian yang taat HAM dan demokratis.

Bahwa kepolisian telah menjadi alat gebuk bagi penguasa tercermin dari kejadian sepanjang tahun 2019 yang lalu dimana terdapat sejumlah kasus kekerasan aparat terhadap warga sipil: kematian sembilan orang dalam kerusuhan 21-22 Mei, penangkapan 1.489 peserta aksi #ReformasiDikorupsi, hingga penahanan sementara 14 mahasiswa yang ikut aksi peringatan Hari HAM 10 Desember.

Ketiga kejadian melibatkan kekerasan aparat kepolisian. Pada aksi 21-22 Mei, kekerasan yang dilakukan puluhan aparat awalnya bermaksud ditutup-tutupi. Sejumlah wartawan yang meliput diminta menghapus foto dan rekaman video kekerasan polisi terhadap massa. Namun usaha ini sia-sia karena masih ada rekaman kekerasan yang beredar di sosial media.

Akibatnya, 25 anggota Brimob menjalani hukuman disiplin—padahal jumlah yang melakukan kekerasan lebih banyak dari itu. Jumlah itu didapat dari empat video kekerasan polisi yang diserahkan Komnas HAM. Namun hanya dua yang berhasil teridentifikasi lokasinya: Kedutaan Spanyol di Jakarta Pusat dan Asrama Brimob di Jakarta Barat.

Kekerasan justru berulang dalam aksi demonstrasi #ReformasiDikorupsi, meski kali ini modus pemukulan berhasil diredam. Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat ada 390 aduan kekerasan yang dilakukan aparat.

Dalam aksi peringatan hari HAM 10 Desember lalu, mahasiswa juga terkena bogem mentah dari orang yang diduga sebagai intel polisi. Peserta aksi mengaku protes berlangsung damai. Namun, tiba-tiba saja satu orang yang diduga intel polisi mencabut rambu lalu lintas dan membuat keonaran.

Sebagian besar kejadian ini berlangsung di bawah kepemimpinan Tito Karnavian, yang menjabat Kapolri sampai Oktober 2019. Investigasi atas kasus-kasus tersebut dilakukan secara tidak transparan. KontraS menilai keterangan polisi sering berubah-ubah dan tidak jelas.

Kasus kekerasan yang melibat aparat kepolisian yang juga menjadi banyak perhatian terjadi di Taman Sari Bandung Jawa Barat.  Dalam tayangan  video kekerasan aparat yang beredar di media sosial terlihat aparat kepolisian mengejar ngejar warga dan menggebukinya. Pada hal masyarakat tidak bersenjata dan tidak melakukan perlawanan frontal yang membahayakan aparat negara. Dalam hal ini semestinya polisi melindungi masyarakat, bukan pemerintah dan pengusaha yang malah menggusur penduduk yang tinggal disana.

Saatnya Berbenah dan Bertobat

Kiranya sudah terlalu banyak fakta terhidang terkait dengan kiprah kepolisian yang mengindikasikan lembaga ini sudah menjadi centeng pengusaha sekaligus penguasa.  Bisa jadi kita menyebutnya sebagai oknum sebagai pelakunya. Tetapi kalau frekuensi kejadiannya bukan hanya sekali atau dua tetapi sering dijumpai dimana mana maka sulit juga untuk mengatakan bahwa itu semua hanya pekerjaan oknum aparat belaka.

Peristiwa masuknya 49 warga negara China ke Sulawesi Tenggara ditengah merebaknya serangan virus corona adalah salah satu indikasi kejadian yang menunjukkan kearah mana aparat negara berpihak dalam melindungi rakyatnya. Ketika ada warga negara yang peduli dan prihatin atas merebaknya virus corona dengan menginformasikan kedatangan warga negara China ke Sultra justru dianggap sebagai penebar hoaks dan dijadikan tersangka.

Oleh karena itu sudah sewajarnya kalau pemerintah memberikan sanksi yang setimpal kepada pejabat negara termasuk dilingkungan kepolisian yang telah bertindak salah seperti yang dilakukan oleh Kapolda Sultra.  Presiden Jokowi harus meniru ketegasan Presiden Filipina Rodrigo Duterte dalam melindungi warga negaranya ditengah merebaknya virus corona.

Sebagaimana diberitakan Presiden Philipina telah memecat pejabat dan pegawai Biro Imigrasi yang mengizinkan warga negara China masuk ke Filipina. Mereka meloloskan warga China masuk ke Philipina setelah suap yang diterimanya.Seperti halnya Indonesia, secara resmi Filipina melarang turis asal China masuk untuk mencegah penyebaran virus corona di negaranya.

Dikutip dari merdeka.com, laman The Star melaporkan Kamis (20/2), kabar soal pelanggaran imigrasi ini diungkap oleh tokoh oposisi Senator Risa Hontiveros dalam rapat Senat awal pekan ini.Juru bicara kepresidenan Salvador Panelo mengumumkan pemecatan para pejabat imigrasi itu hari ini dalam jumpa pers.``Presiden menilai ini anomali dan termasuk bentuk korupsi yang tidak bisa ditoleransi pemerintah,`` kata Panelo.

``Seperti yang sering kami tekankan, tidak ada orang kebal hukum di pemerintahan ini. Siapa pun pejabat atau pegawai yang berbuat salah dalam tugasnya harus diganjar dengan hukuman yang layak dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,`` kata dia.

Bahwa pemerintah harus tegas juga disampaikan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang menyoroti kabar masuknya 49 tenaga kerja asing (TKA) asal China ke Kendari, Sulawesi Tenggara. Bamsoet mendesak pemerintah agar bersikap tegas dan memberikan perlakukan yang sama terhadap Warga Negara China tersebut. Ia menambahkan pemerintah juga harus membatalkan persetujuan kartu kewaspadaan kesehatan. "Mengingat dalam situasi seperti ini tidak boleh ada perlakuan istimewa terhadap Warga Negara Asing (WNA) manapun," ujarnya.

Mantan ketua DPR tersebut juga mendorong pemerintah melalui tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 untuk segera mendatangi lokasi perusahaan di kawasan industri Virtue Dragon Nickel Industry tempat para warga negara China bekerja. "Untuk mengecek kondisi kesehatan dan mengisolasi Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Cina tersebut, sebagai upaya mencegah masuknya virus Covid-19 di wilayah tersebut," kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/3).

Kemudian MPR juga mendorong Pemerintah untuk mengevaluasi sistem penjagaan di setiap pintu masuk Indonesia. Terutama, lanjut Bamsoet, di wilayah perairan Indonesia/pelabuhan, serta bersama Polair untuk meningkatkan pengawasan dengan melakukan patroli dan penjagaan laut di perbatasan, guna meminimalisir masuknya WNA yang tidak memiliki izin tinggal ataupun bekerja.

"Mendorong Pemerintah dalam situasi saat ini untuk memperketat perizinan bagi para WNA yang ingin berkunjung maupun tinggal/bekerja di Indonesia, serta agar tetap melakukan karantina kesehatan bagi setiap WNA yang masuk ke Indonesia, sebagai upaya pencegahan penyebaran virus Covid-19," jelasnya.

Jika ketegasan seperti ini tidak ditunjukkan oleh Presiden Indonesia maka patut diduda larangan masuknya warga negara China ke Indonesia sebagaimana ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia dan ketentuan yang ada hanya sekadar formalitas belaka.  Hanya sekadar seolah olah pemerintah melindungi warga negara Indonesia dari ancaman penyebaran virus corona pada hal dibalik itu semua kepentingan ekonomi dan kekuasaan yang menjadi prioritasnya.

Terlepas dari itu semua, kiranya kepolisian Indonesia harus segera berbenah dan bertobat, tidak boleh lagi menjadi centeng penguasa atau pengusaha di tengah merebaknya kasus corona. Karena  Kepolisian itu hakekatnya lahir dari rahim masyarakat. Sebagai aparatur yang siap memberikan pengayoman kepada masyarakat, sejatinya polisi tidak lagi menjadi abdi negara, tetapi menjadi abdi masyarakat.

Setidaknya, polisi harus lebih mengutamakan tanggungjawab kepada masyarakat. Sebagaimana pernah disampaikan oleh mantan Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Prof Farouk Muhammad saat dimintakan masukan Revisi UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri di ruang Badan Legislasi (Baleg) DPR beberapa waktu yang lalu.

Kiranya sudah waktunya untuk dimunculkan RUU yang menegaskan bahwa Polri  Polri adalah abdi masyarakat, bukan abdi negara. Sehingga diharapkan hal ini akan  mengubah budaya di internal Polri secara keseluruhan yaitu demi perbaikan pelayanan kepada masyarakat.

Karena sejauh ini Polri sangat rawan digunakan oleh kekuatan politik sebagai rezim penguasa maupun oleh pemodal atau pengusaha. Penggunaan  kekuatan Polri untuk kepentingan politik lebih mudah ketimbang TNI atau tentara.Pasalnya, di dalam kepolisian terdapat kewenangan untuk memaksa sehingga cukup sulit untuk melakukan kontrol terhadap kepolisian yang mempunyai kewenangan tersebut.

Kini sudah saatnya dilakukan penataan perbaikan institusi kepolisian di Indonesia dan perlu  ditegaskan kembali, bahwa tugas Polri yang sangat berbeda dengan TNI. Polri adalah operator (pelaksana kebijakan negara). Bukan regulator (pembuat kebijakan negara). Posisi Polri harus di bawah departemen terkait dan bukan di bawah langsung presiden sehingga dijadikan alat politik oleh partai ruling class (penguasa).

Sampai di sini, sudah banyak pihak yang mengingatkan bahwa tugas Kapolri memang tidak gampang. Ia harus paham benar tupoksinya agar tak offside. Dan, menempatkan posisi Polri di bawah komando presiden adalah inkonstitusional (pelanggaran UUD 1945). Harusnya, Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau Kementerian Hukum, dan tidak boleh dipersenjatai senpi seperti tentara.

Polri adalah sipil atau non-kombatan (non-tempur). Sementara tentara adalah kombatan (tempur) yang harus dipersenjatai senpi kaliber apapun. Bahwa polisi tidak harus dibekali Senpi juga untuk meminimalkan potensi perilaku tindak kekerasan yang selama ini dilakukannya.

Dengan menempatkan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau Kementerian Hukum diharapkan dapat fokus pada fungsi pokoknya yakni menjaga Kamtibmas dan mengayomi masyarakat, bukan menghadapi masyarakat dengan senjata api sehingga polisi tidak menjadi musuh rakyat.

Fungsi tersebut sesuai dengan amanat UUD 1945 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara Pasal 30 ayat empat (4), yang menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum yang berkeadilan untuk semua warga negara. Semoga.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar