Corona Buat Risiko Utang RI Naik, Bagaimana dengan Negara Lain?

Senin, 16/03/2020 17:34 WIB
Risiko utang Indonesia naik gegara corona(seriau)

Risiko utang Indonesia naik gegara corona(seriau)

Jakarta, law-justice.co - Persepsi investor terhadap risiko investasi di Indonesia terpantau memburuk yang ditunjukkan dengan peningkatan premi Credit Default Swap (CDS) bertenor 5 tahun yang naik 39,1% pada Senin (16/3/2020) ke 198,51 basis poin (bps).

Kenaikan CDS Indonesia tak lepas dari gejolak di pasar saham dan pasar modal, setelah wabah virus corona (COVID-19) semakin merajalela ke seluruh penjuru dunia sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengangkat statusnya menjadi pandemi.

Kenaikan premi CDS terjadi berbarengan dengan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di angka Rp 14.895/US$ di pasar spot pada pukul 13:00 WIB. Rupiah sempat melemah 1,05% dibandingkan dengan penutupan perdagangan kemarin, meski sempat menguat 0,27% ke Rp 14.700/US$.

Kenaikan premi CDS juga terlihat dari kecenderungan investor asing untuk meninggalkan Surat Berharga Negara (SBN) dan berkontribusi pada penurunan harga obligasi bertenor 5 tahun di Tanah Air, yang terlihat dari kenaikan imbal hasilnya (yield) sebesar 20,4% menjadi 6,309%.

Namun, Indonesia tidak sendiri. Kenaikan premi CDS untuk tenor yang sama juga terjadi di sejumlah negara berkembang lainnya seperti Thailand yang melonjak 2,79% ke angka 72,65 bps, serta Malaysia yang melonjak 6,1% ke 154,58 bps. Premi CDS Vietnam juga naik 1,1% ke 215,04 bps.

CDS adalah kontrak derivatif swap di mana pembeli melakukan pembayaran ke penjual atas penutupan risiko gagal bayar (default) debitornya. Artinya, dia mendapatkan pembayaran bila terjadi gagal bayar atau kejadian lain yang mengancam pembayaran kredit yang ada.

Dalam praktiknya, CDS bisa menjadi patokan persepsi risiko berinvestasi. Ketika premi CDS suatu negara meningkat, maka pasar derivatif mengasumsikan bahwa risiko berinvestasi atau memegang surat utang di negara tersebut juga meningkat.

Saat ini, pasar global dicekam kecemasan wabah COVID-19, setelah bank sentral Amerika Serikat (AS) pada Minggu memangkas suku bunganya secara mendadak, untuk kedua kalinya. Kini suku bunga Negeri Adidaya tersebut di level 0-0,25% atau kembali di era 2015.

"Ironisnya, pasar sepertinya melihat respons The Fed sebagai sebuah kepanikan, memperburuk kecemasan yang sudah ada; terutama karena kasus COVID-19 melonjak secara global, mendorong lebih ketatnya perbatasan antar negara," tutur Vishnu Varathan, Kepala Perencana Investasi dan Ekonom Mizuho Bank, dalam laporan risetnya.

Kecemasan bahwa sikap The Fed itu mengindikasikan wabah corona bakal berakibat begitu buruk terhadap ekonomi global memicu aksi jual bursa saham global dan obligasi termasuk di Indonesia. Di sisi lain, harga aset lindung nilai (safe haven) seperti emas dan yen terkerek.

Mata uang yen, yang seringkali diburu di kala krisis, diperdagangkan di level 106,82 per dolar AS atau menguat dari 108 pekan lalu. Di sisi lain, harga emas kembali melonjak 1,05% ke level US$ 1.545,59 seiring penghindaran aset berisiko (risk aversion).

Bank Indonesia (BI) telah memangkas tingkat suku bunga sebesar 25 bps menjadi 4,75% pada pertemuan bulan lalu (20/2/2020). Pengumuman kebijakan suku bunga akan diumumkan pada Rabu pekan ini.(cnbcindonesia)

 

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar