Virus Corona Mencekam dan Puncaknya di Ramadhan, Pemerintah Bisa Apa?

Sabtu, 14/03/2020 00:01 WIB
Ilustrasi Virus Corona. (minews.id)

Ilustrasi Virus Corona. (minews.id)

Jakarta, law-justice.co - Kasus pendemi positif virus Corona di Indonesia pada Jumat (13/3) telah melonjak menjadi 69 orang. Ada 4 orang di antaranya meninggal dunia. Ada kenaikan signifikan dibanding sehari sebelumnya 34 kasus.

Data terbaru ini diperoleh setelah juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, menggelar jumpa pers di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (13/3).

Sejak diumumkan oleh Presiden Jokowi bahwa virus corona sudah menyatroni Indonesia, jumlah penderitanya terus bertambah saja. Kepanikan wabah corona sudah melanda hampir seluruh negara di dunia. Bukan hanya Indonesia, masyarakat global juga sudah mulai merasakan dampak mewabahnya virus corona.

Skenario Ditutup Tutupi ?

Indonesia dengan jumlah penduduk begitu besar, 267 juta jiwa, dimana sistem kesehatan, sanitasi, higienitas dan awareness terhadap virus dinilai sangat rendah sempat  menyatakan dirinya terbebas dari kasus Virus Corona. Kenyataan ini banyak diragukan oleh berbagai pihak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

PM Australia, Scott Morison, seperti yang dilansir oleh The Sidney Morning Herald, mempertanyakan kemungkinan adanya virus corona di Indonesia saat ini. Dirinya mempertanyakan  belum adanya kasus infeksi corona virus di Indonesia. Ia agak ragu dengan kemampuan otoritas kesehatan Indonesia dalam menguji infeksi corona di Indonesia.

Dirinya meyakini bahwa sebenarnya virus corona sudah masuk Indonesia, tapi tak mampu di deteksi karena persoalan kapabilitas sumber dayanya. "Saya tidak bermaksud [tidak sopan]. Indonesia memiliki sistem kesehatan yang berbeda dengan Australia. Dan kami memiliki kapasitas yang berbeda untuk memberikan jaminan tersebut," ujar Scott Morison, Jumat (28/02/20).

Dengan kata lain Scott mau mengatakan, bahwa otoritas kesehatan Indonesia memiliki kemampuan yang berbeda dengan Australia, apalagi secara geografis Indonesia itu berpulau-pulau sehingga  akan kesulitan dalam mendeteksi secara akurat keberadaan virus corona di wilayah Indonesia.

Tak hanya Australia yang meragukan Indonesia, beberapa negara termasuk Amerika Serikat menunjukan ke khawatiran serupa.Melalui para Duta Besarnya,mereka menyampaikannya pada Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Terawan Hadi Putranto.Apalagi menurut riset yang dilakukan oleh Harvard University, Indonesia seharusnya secara matematis dan statistik sudah terpapar virus yang mematikan ini.

Pada 23 Februari 2020 lalu, pemerintah India melalui Direktorat Jenderal Penerbangan Komersial India (DGCA) telah menetapkan pengawasan ketat terhadap penumpang pesawat asal 10 negara, di mana Indonesia termasuk di dalamnya.

Profesor Mark Lipstitch mengungkapkan bahwa dengan intensitas kunjungan antara warga China dan Indonesia yang cukup tinggi,  sejak dari awal sudah ada kasus Corona. Sementara itu World Health Organization (WHO), menyatakan bahwa Indonesia seharusnya jangan jumawa karena belum terpapar, karena bisa saja sudah kena namun tak terdeteksi. Kondisi di Indonesia semakin diragukan terbebas dari Corona setelah Arab Saudi menyetop jamaah umroh yang berasal dari berbagai negara termasuk Indonesia.

Muncul spekulasi, bahwa Indonesia berusaha untuk “menutup nutupi” kasus penyebaran corona karena faktor pertimbangan ekonomi. Konteks tersebut dengan jelas terlihat dalam pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani di mana ia menyebutkan bahwa virus corona dapat membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 4,7 persen.

Simpulan Sri Mulyani tersebut memang sangat masuk akal menimbang pada berbagai sektor seperti pariwisata, impor, hingga bisnis haji dan umroh akan terdampak atas wabah virus tersebut.Pada sektor pariwisata misalnya, dengan adanya larangan penerbangan, praktis terjadi penurunan angka wisatawan mancanegara. Menyikapi hal tersebut, pemerintah bahkan sampai mengeluarkan kebijakan pemberian diskon tiket pesawat sebesar 40 sampai 50 persen untuk mendorong peningkatan angka kunjungan wisata.

Lalu pada sektor impor, virus corona dengan jelas memberikan dampak yang besar karena 30 persen total kuota impor Indonesia dipenuhi oleh Tiongkok. Dengan nilai yang mencapai US$ 44,5 miliar atau sekitar Rp 611 triliun tentu saja itu bukan angka yang kecil.Kemudian, dengan adanya larangan umroh dari Arab Saudi, praktis itu membuat vakum bisnis haji dan umroh. Tidak hanya itu, jika larangan tersebut terus berlanjut sampai musim haji, bukan tidak mungkin itu akan menimbulkan gejolak sosial tersendiri di tengah masyarakat.

Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan, terlepas dari benar tidaknya pemerintah Indonesia telah berbohong berusaha untuk menutup nutupi terkait status negatif virus corona, satu hal yang pasti bahwa wabah virus tersebut benar-benar dapat memberikan dampak ekonomi yang besar bagi Indonesia.

Pada akhirnya situasi menjadi berubah manakala muncul pernyataan dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Minggu (1/3) yang mengungkap adanya  pengawasan terhadap ratusan orang terkait covid-19. Pernyataan dari Gubernur DKI ini segera di bantah oleh Menteri Kesehatan. Menteri Kesehatan Republik Indonesia Terawan Agus Putranto menyebut, pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kurang tepat.“ jadi, kurang tepat pernyataan itu. Karena hasil semua PCR sampai detik ini semua negatif. Kalau negatif artinya apa? Memang ndak ada. “, ujar Terawan saat memberikan keterangan pers kepada media (1/3/2020).

Tapi apa mau dikata, sehari setelahnya, pada Senin (2/3) pagi, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto terpaksa harus mengakui bahwa virus corona benar benar memang sudah menyebar di Indonesia. Akhirnya (mungkin) dengan terpaksa pemerintah mengumumkan ada dua warga Depok yang jadi pasien positif corona.

Rupanya pernyataan dari Gubernur Jakarta itu telah membuat pemerintah Pusat galau alias gundah gulana. Upayanya yang selama ini dilakukan yaitu “menutup nutupi” penyebaran virus corona di Indonesia nampaknya sudah tidak bisa dipertahankan terlalu lama. Pengumuman yang disampaikan Jokowi pada Senin pagi itu pun akhirnya berbuah kepanikan.

Dari fenomena kejadian diatas, ada indikasi komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah yang tak sinkron. Keduanya,  terlihat masih jalan sendiri untuk menangani kasus Corona.Dari sisi kebijakannya keduanya ini mencerminkan komunikasi yang tidak baik antara Balaikota dan Istana pemerintah pusat dan daerah, ini rentetan panjang revitaliasiasi Monas sampai ke Virus Corona. Dii situ mengindikasikan memang tidak baik komunikasinya.

Kurangnya komunikasi ini bisa berdampak pada tidak efektifnya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah. Tak hanya ke pemerintah pusat, antar sesama kementerian pun terkadang masih memiliki informasi yang berbeda.Seperti dari Kementerian Perhubungan yang meminta memakai masker, tapi dari Menkes mengatakan tidak perlu. Ini sangat membingungkan masyarakat karena suara pemerintah berbeda himbauannya.

Belajar dari Kasus Flu Spanyol

Sebelum terjadinya wabah virus corona ataupun wabah SARS pada 2003 lalu, dunia telah mengenal berbagai wabah flu lainnya yang bahkan sampai menelan jutaan korban jiwa. Di berbagai kasus tersebut, pandemik Flu Spanyol pada tahun 1918 lalu menjadi pelajaran yang sangat berharga dan begitu relevan sebagai rujukan untuk menjawab mengapa status negatif corona di Indonesia tidak dipercaya.

Kendati namanya adalah Flu Spanyol, wabah tersebut sebenarnya tidak berasal dari negeri Matador. Penamaannya demikian karena pemerintah Spanyol yang pertama kali secara terbuka memberitakan soal flu tersebut.

Terkait asal kasusnya sendiri, sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Beberapa penelitian mengungkapkan asalnya dari Tiongkok, namun penelitian lainnya menyebutkan berasal dari Kansas, Amerika Serikat (AS), karena ditemukannya kasus di instalasi angkatan darat AS di Fort Riley pada 11 Maret 1918.

Atas minimnya keterbukaan berbagai negara atas flu tersebut pada awalnya, boleh jadi itu menjadi faktor utama mengapa penyebaran flu tersebut begitu cepat dan masif, sehingga menelan korban jiwa yang diperkirakan mencapai 50 sampai 100 juta jiwa.

Tidak hanya menelan jutaan korban jiwa, wabah tersebut juga memberikan dampak yang besar bagi ekonomi dunia. Mark Humphery-Jenner dalam tulisannya di The Conversation, dengan mengutip analisis Kantor Anggaran Kongres AS (The US Congressional Budget) bahkan menyebutkan bahwa jika Flu Spanyol terjadi di AS pada 2006, maka itu dapat memangkas pertumbuhan ekonomi  AS sebesar 4,25 persen.

World Bank juga menaksir wabah tersebut dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia sampai sebesar 5 persen. Itu tentu merupakan angka yang fantastik.Konteks serupa juga sebenarnya telah terjadi di kasus virus corona. Pasalnya, sebelum kasus tersebut menyebar luas, pemerintah Tiongkok pada awalnya menuduh delapan tenaga medis tengah menyebarkan hoaks tentang virus baru. Wali Kota Wuhan, Zhou Xianwang juga telah mengindikasikan bahwa Beijing setidaknya ikut bertanggung jawab atas kurangnya transparansi atas virus tersebut pada awalnya.

Apalagi, dengan fakta bahwa Wuhan adalah kota yang menjadi persimpangan jalur kereta api yang menghubungkan kota-kota besar di Tiongkok, serta merupakan satu-satunya kota di Tiongkok tengah yang memiliki bandara dengan akses langsung ke lima benua. Tidak mengherankan mengapa penyebaran virus corona jauh lebih cepat dari SARS.

Tidak hanya di Tiongkok, pemerintah Iran juga melakukan represi terhadap berbagai media agar tidak menyebarluaskan informasi tentang virus corona. Akan tetapi, dengan semakin meningkatnya kasus virus corona yang telah mencapai 139 kasus, informasi terkait virus tersebut nampaknya tidak dapat lagi ditutup-tutupi.

Belajar dari penyebaran flu Spanyol yang sampai merenggut nyawa hingga 100 juta jiwa, seharusnya kasus corona tidak mengulangi kesalahan yang sama. Indonesia yang awalnya berupaya “menutup nutupi” penyebaran virus corona  sudah tepat kalau kemudian mengakui keberadaannya. Karena bagaimanapun informasi harus terbuka supaya masyarakat juga bisa mengantisipasinya. Jangan sampai kasusnya terus di tutup tutupi demi kepentingan ekonomi tapi mengabaikan keselamatan warga negaranya.

Jangan sampai ketika dunia sedang gundah gulana karena penyebaran virus corona sehingga mereka sibuk melindungi keselamatan warga negaranya, pemerintah disini justru malah sibuk memprioritaskan agenda yang tidak terlalu penting seperti pemindahan ibukota, mendorong omnibus law, radikalisme dan membuka peluang turis China untuk menyambangi Indonesia.

Protokol Kedaruratan Bencana

Kini setelah  Indonesia positif Corona, seketika masyarakat menjadi panik. Terbukti masker ludes tak tersisa kalaupun masih ada harganya luar biasa tingginya. Hal sama terjadi pada hand sanitizer yang juga ludes. Terhitung sejak konpers Bapak Presiden terjadi kelangkaan dua benda dimaksud. Belum lagi, barang-barang kebutuhan pokok yang diserbu dan diborong!

Pada dasarnya hal yang normal/logis apabila seseorang menjaga kondisi tetap aman. Sebab, secara alami manusia pasti melakukan pilihan logis untuk tetap bertahan hidup. Idealnya sebagai masyarakat yang ber-Pancasila, dalam kondisi bencana harga-harga semestinya didiskon, masyarakat membeli kebutuhan pokok dengan membatasi diri supaya yang lain kebagian dan terakhir tentu saja yang tidak punya cukup uang untuk membeli kebutuhan, dibantu yang punya cukup uang! Bukankah begitu seorang yang Pancasilais?

Ada yang menarik soal kelangkaan barang di pasar/toko dan juga orang-orang yang membeli dengan jumlah yang tidak rasional. Apakah itu bentuk kepanikan? Soal kelangkaan harus dilihat dengan hati-hati, sebab itu bisa terjadi karena ada `perlakuan` pada tingkat produksi, distribusi atau konsumsi.

Pada tingkat produksi, bisa saja memang dia menahan produksi atau menurunkan produksi. Harapan faktor psikologis masyarakat dan kelangkaan akan mendorong harga naik setinggi-tingginyaPada tingkat distribusi, bisa saja ada yang bermain dengan menimbun barang. Lalu ketika harga sudah sangat maksimal baru barang dilepas pelan-pelan.

Pada tingkat konsumsi, bisa saja ada konsumen sengaja membeli dalam jumlah yang banyak. Mungkin sudah mengestimasi bahwa kejadian akan berlangsung lama. Sehingga dia akan aman karena stock melimpah.Penting untuk menyadari bahwa ada saja orang yang ingin mencari untung di tengah bencana yang dihadapi orang lain. Seringkali pula terjadi "perampokan suka rela" dalam kondisi seperti ini. Orang membayar dengan harga yang tidak rasional!

Berangkat dari fenomena diatas,Indonesia (pemerintah) harus belajar menghadapi situasi kedaruratan. Baik dia benar-benar darurat/rentan atau hanya darurat secara psikologis (hanya perasaan insecure). Analoginya seperti ini, ada berita tentang akan terjadi gempa 2 hari ke depan. Orang-orang kemudian menimbun kebutuhan pokok. Lalu, karena barang langka harga naik tidak rasional.

Kemudian, orang-orang yang tidak memiliki cukup uang melakukan penjarahan dan merampok toko-toko. Setelah 2 hari ternyata tidak terjadi gempa? Betapa malangnya.Pemerintah perlu untuk menetapkan Protokol Kedaruratan untuk mencegah kerusakan tambahan dan kerusakan yang tidak seharusnya terjadi sebagai dampak dari bencana alam/non alam atau dorongan psikologis dari suatu peristiwa.

Selama ini, untuk masalah penimbunan misalnya, hanya dikategorikan "penimbunan barang", artinya kaca mata yang dipakai adalah ekonomi. Dalam kondisi situasi normal mungkin benar, tapi dalam kondisi psikologis terancam bencana atau pada saat bencana telah benar-benar terjadi, itu merupakan pelanggaran kemanusiaan. Efeknya bisa chaos dimana-mana. Negara bisa runtuh tidak berdaya.

Protokol kedaruratan menjadi penting dalam menghadapi dampak dari bencana alam/non alam atau dorongan psikologis dari suatu peristiwa.Pemerintah harus diberi kewenangan yang luas untuk menjamin setiap anggota masyarakat dengan cara mengawasi (jika perlu mengambil alih) proses produksi, distribusi dan menata konsumsi barang.

Analoginya sederhananya seperti ini, jika dalam kondisi darurat negara bisa mengatur batas harga ambang atas suatu barang dan membatasi jumlah maksimal barang yang bisa dijual pengusaha kepada konsumen.

Kenapa itu penting? Tentu saja untuk menjamin hak masyarakat untuk bertahan hidup kepada setiap anggota masyarakat. Dalam kondisi yang lebih darurat, untuk mencegah chaos misalnya, fungsi itu dilakukan sendiri oleh pemerintah dengan pengamanan dari angkatan bersenjata.

Protokol Kedaruratan menjadi perlu di Indonesia, terutama jika kita berkaca pada posisi Indonesia yang rawan bencana. Protokol ini menjamin masyarakat untuk tidak dibunuh dua kali. Sudah kena bencana, dirampok lagi. Jadi, selain menangani peristiwanya (kasusnya), faktor di luar kasusnya perlu distabilkan. Jika masyarakat menjadi tidak manusiawi dalam kondisi bencana (terancam bencana) maka dia harus dimanusiakan lewat penegakan aturan.

Masa Puncak Saat Ramadhan

Deputi V BIN Afini Boer mengungkap permodelan yang dibuat pemerintah terkait penyebaran Corona mengkalkulasi bahwa puncak penyebaran infeksi virus tersebut diprediksi terjadi 60 hingga 80 hari sejak pertama kali diumumkan atau pada bulan April-Mei saat memasuki bulan Ramadan.

Afini mengatakan data itu didapatkan dari permodelan yang dibuat dengan memperkirakan variabel yang terinfeksi dan yang sembuh. Selain itu, ada juga simulasi dari permodelan itu yang telah dibuat beberapa minggu sebelumnya.

"Jadi itu adalah data simulasi yang kita buat. Pertama, suspected, infected dan recovery. Kita hitung pergerakan mobilitas masyarakat di bandara dan sebagainya. Dengan menggunakan model itu, 60 hari puncaknya. Dengan data yang ada pada kita simulasinya sudah kita buat beberapa minggu sebelumnya," jelas Afini.

"Dengan rumus matematika kita memperkirakan dengan variabel suspected, infected dan recovery, model menunjukkan akan masuk masa puncak di 60 sampai 80 hari. Hal ini menyimpulkan bahwa perang melawan Corona masih panjang dan pertanyaan pentingnya, "apa yang bisa dilakukan pemerintah menghadapi masa krisis selama 2 sampai 3 bulan ini"?.

 

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar