International Women`s Day

Sudah Saatnya Melawan Kekerasan Sistematis terhadap Perempuan

Minggu, 08/03/2020 21:45 WIB
Salah satu kampanye anti kekerasan terhadap perempuan (Foto: Doc. AJI Jakarta)

Salah satu kampanye anti kekerasan terhadap perempuan (Foto: Doc. AJI Jakarta)

law-justice.co -
Memperingati Hari Perempuan Internasional, Aliansi Gerakan Perempuan yang tergabung dari berbagai organisasi masyarakat menyerukan perlawanan kekerasan sistermatis terhadap perempuan.

Koordinator Gerak Perempuan Mutiara Ika Pratiwi ini menjelaskan jika kekerasan terhadap perempuan terjadi secara sistematis, baik terhadap perempuan biologis (cisgender) maupun individu yang mengidentifikasi diri sebagai perempuan (transgender/non- conforming).

Kekerasan tersebut dilandasi oleh nilai hetero-patriarki yakni nilai yang memberikan keistimewaan lebih pada laki-laki biologis (cisgender), heteroseksual, dan maskulin. Ia bekerja melalui institusi agama, budaya, dan negara.

Menurut aliansi ini, kekerasan sistematis terhadap perempuan mewujud dalam kebijakan yang mengatur ranah publik dan privat, produk perundang-undangan, sikap politik, norma sosial, sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem kemasyarakatan, sistem teknologi, sistem ekonomi, sistem kepercayaan dan kesenian, yang dilanggengkan melalui cara-cara militeristik, manipulatif, berulang dan tidak pernah putus.

“Perempuan seakan ditundukkan pikirannya, dihancurkan tubuh dan martabat kemanusiaannya, dijauhkan dari akses keadilan sehingga perempuan tidak memiliki ruang aman mulai dari dalam rumah, dunia pendidikan, dunia kerja, ruang publik, hingga dunia maya. Perempuan diperangkap dalam berbagai bentuk lingkaran kekerasan,” terangnya melalui keterangan Pers, di Jakarta, Minggu (8/3/2020).

Bentuk kekerasan sistematis terhadap perempuan itu ada yang langsung menyasar tubuh perempuan seperti kekerasan seksual, kekerasan fisik, psikis, dan verbal.

Selain itu, tembah dia bentuk kekerasan menyasar ruang kehidupan perempuan sebagai basis operasinya seperti: kekerasan berbasis ekonomi, kekerasan berbasis lingkungan, kekerasan berbasis orientasi seksual dan identitas gender.

Untuk itu, Aliansi Gerak Perempuan meminta negara mengakui dan menuntaskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan mulai dari penghancuran gerakan perempuan 1965, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Marsinah, pemerkosaan Mei 98 hingga kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pasca-reformasi.

Kedua, negara harus mencabut segala produk dan rencana kebijakan dan atau perundangan- undangan dari tingkat nasional hingga daerah yang mendiskriminasi dan melanggengkan kekerasan terhadap perempuan.

Ketiga, negara harus mendorong regulasi yang memberikan perlindungan terhadap perempuan baik dalam undang-undang maupun peraturan turunannya.

Keempat, negara harus mengakui keberagaman identitas gender dan orientasi seksual serta menghentikan segala bentuk upaya kriminalisasi terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender yang dilandasi oleh sikap homo-bi-transfobia.

Terakhir, menjalankan sistem bernegara yang berkeadilan gender yang mengedepankan pemenuhan hak asasi manusia sebagai landasan pembangunan. Gerak Perempuan meyakini bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah sistematis.

“Kami percaya bahwa kesetaraan, nirkekerasan, solidaritas, dan demokrasi adalah nilai dan prinsip yang harus ada untuk membangun kekuatan politik guna menghentikan kekerasan sistematis terhadap perempuan,” tegasnya.

Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Komisi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2020 menyebut bahwa sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terlaporkan pada tahun 2019.

Angka ini naik 6% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 406.178. Masih menurut Komnas Perempuan, hingga kini semakin banyak peraturan di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun daerah, yang mendiskriminasi perempuan. Mulai dari kewajiban berjilbab—anak sekolah maupun perempuan dewasa— sampai jam malam buat perempuan.

Kewajiban berjilbab bisa menciptakan bullying/perundungan terhadap anak perempuan. Di berbagai kabupaten, jilbab juga dipaksakan kepada siswi yang tidak beragama Islam. Ini melanggar kebebasan beragama.

Pada 2017, setidaknya ada 420 peraturan yang diskriminatif terhadap perempuan. Ini juga termasuk praktik “tes keperawanan” terhadap perempuan yang hendak melamar masuk ke Tentara Nasional Indonesia (TNI). Praktik memeriksa hymen/selaput dara ini, menurut World Health Organization (WHO), tidaklah ilmiah.

Pemeriksaan hymen tidak bisa membuktikan perempuan pernah berhubungan seks atau belum. TNI harus meniru Kepolisian RI yang secara resmi telah menghentikan praktik—yang traumatik dan melanggar hak asasi—ini sejak 2015.

Meski demikian, data tersebut masih berada di luar dari jumlah kasus kekerasan yang belum terlaporkan. Misal, kekerasan yang menimpa perempuan adat, perempuan nelayan, perempuan tani, perempuan buruh, perempuan miskin kota yang berjuang mempertahankan ruang hidup dan sumber kehidupan.

Perempuan adat yang bertaruh nyawa mempertahankan tanah wilayahnya dari cengkraman ekspansi perusahaan sawit dan tambang semakin diperparah dengan dibatasinya mereka dalam pengambilan keputusan.

PEREMPUAN AMAN mencatat bahwa sebanyak 67.4% dari 1116 responden di 44 desa serta melibatkan 31 komunitas adat mengaku tidak dilibatkan dalam pembangunan yang berlangsung di wilayah adat.

Kondisi mereka juga diancam dengan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan mempidana warga negara yang menikah namun tidak tercatat. Terkait itu, sebanyak 43,3% perempuan adat dari penelitian tersebut tidak memiliki akta nikah.

Pada saat yang sama, perempuan dan anak di tanah Papua bertahan hidup di tengah-tengah konflik kekerasan militeristik di Papua.

Di Nduga misalnya, pada Desember 2019, tercatat sebanyak 37.000 warga mengungsi dengan 241 diantaranya tewas dan jumlah korban nyawa didominasi oleh perempuan; antara lain: 21 perempuan dewasa, 21 anak perempuan, 14 balita perempuan, 8 bayi perempuan, 20 anak laki-laki, 17 bayi laki-laki dan 12 balita laki-laki.

(Lili Handayani\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar