Tingginya Ambang Batas Presiden Disebut Picu Otoritarianisme Baru

Rabu, 04/03/2020 10:28 WIB
Sejumlah aktifis pro demokrasi meminta MK untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden. (katadata).

Sejumlah aktifis pro demokrasi meminta MK untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden. (katadata).

Jakarta, law-justice.co - Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah menilai praktik otoritarianisme politik di Indonesia pascareformasi semakin menjadi-jadi.

Kata dia, Angka ambang batas presiden yang cukup tinggi dinilai sebagai salah satu faktor penyebabnya.

Menurut dia, ambang batas presiden sebetulnya tidak sejalan dengan cita-cita demokrasi yang dianut Indonesia.

Sebab, hal itu dapat membatasi warga negara yang ingin ikut berpartisipasi dalam Pemilihan Presiden.

"Idealnya dengan sistem multiparpol, Indonesia sebaiknya menurunkan angka ambang batas," kata Dedi Kurnia Syah Selasa (3/3).

Meski begitu, jika diterapkan zero presidential treshold (ambang batas nol) juga dinilai kurang tepat. Sebab, hal itu akan membuat riuh kontestasi politik tanah air.

"(Ambang batas) tidak sepenuhnya hilang. Karena jika tidak ada ambang batas, demokrasi elektoral akan sangat riuh sekali. Dan minim seleksi kualitas kepemimpinan," ujarnya.

"Zero presidential treshold kurang tepat, dua persen hemat saya cukup adil. Karena menimbang presentasi partisipasi pemilih," sambungnya.

Lebih lanjut pengamat politik dari Universitas Telkom ini sepakat jika tingginya ambang batas pencalonan presiden mengarah pada praktik otoritarinisme baru.

Meskipun, tidak sepenuhnya praktik otoritarianisme baru di Indonesia itu penyebabnya adalah ambang batas pencalonan presiden.

"Dari sisi kekuasaan Parpol memungkinkan lahirnya praktik otoritarian, tetapi tidak sepenuhnya demikian. Karena sistem regenerasi kita mengarah pada batasan periode kepemimpinan," demikian Dedi Kurnia Syah. (rmol.id).

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar